Monday, September 30, 2013

PASCA: Fiqh Muamalah (Tugas Individu) Istishna'


AL-ISTISHNA’

A. Pengertian dan Definisi

Akad Istishna'  ialah akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
(Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani 5/2 & Al Bahrur Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6/185)

Al-Istishna’ adalah “akad dengan pihak pengrajin atau pekerja untuk mengerjakan suatu produk barang (pesanan) tertentu dimana materi dan biaya produksi menjadi tanggung jawab pihak pengrajin”.

Istishna' adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a - yastashni'u . Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya.
Menurut mazhab Hanafi, istishna' adalah sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakannya.
Menurut mazhab Hambali menyebutkan istishna' adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam.
Kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.

B. Dalil Akad

Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)

C. Aplikasi Akad dalam Muamalah Kontemporer

1.       Akad istishna’ tunggal: pemesanan furniture
Sebuah keluarga memerlukan sofa baru yang memiliki multifungsi untuk menjadi tempat duduk dan tempat tidur. Ayah menghubungi pengrajin sofabed dan membuat pesanan dengan deskripsi ukuran, model, bahan, dan warna yang diinginkan, serta menyepakati lokasi tempat pengantaran barang. Harga sofabed ditentukan oleh pengrajin sebesar Rp 1.800.000 dan pengrajin meminta untuk ditransfer uang muka sebesar Rp 300.000 ke rekening banknya. Setelah pembayaran uang muka dilakukan, pengrajin membuatkan pesanan tersebut. Satu minggu kemudian sofabed yang dipesan telah selesai dikerjakan kemudian diantarkan ke lokasi yang telah disepakati. Pembayaran sisa harga sofabed tersebut sebesar Rp 1.500.000 dilakukan secara tunai di tempat pengantaran.

2.       Akad istishna’ paralel: di perbankan syariah2)
Pemerintah daerah mempunyai proyek pengerjaan pembuatan jalan tol sepanjang 80 km. Kebutuhan total dana untuk proyek ini adalah Rp 3 triliun dengan jangka waktu pengerjaan 3 tahun. Untuk pembangunan ini, pada tanggal 1 Mei 2002 Pemda Jateng menunjuk salah satu perusahaan pembangunan sebagai kontraktor tunggal dalam pengerjaan proyek tersebut. Kontraktor meminta adanya pembayaran di muka sebesar 50% dan sisanya dibayar ketika pengerjaan sudah mencapai 75% dan 100%. Pemda tidak mampu untuk membayar dengan term pembayaran sesuai dengan permintaan kontraktor. Untuk itu pemda menghubungi Bank Syariah untuk mendapatkan pembiayaan pengerjaan proyek tersebut. Pemda bersedia untuk membayar biaya pembuatan proyek tersebut seharga Rp 3,6 triliun dengan pembayaran secara angsuran sebesar Rp. 100 juta / bulan.
-          Akad Istishna’ 1
Bank syariah bertindak sebagai pembeli proyek jalan tol, Kontraktor bertindak sebagai penjual yang akan membuatkan jalan tol. Bank syariah memesan jalan tol kepada kontraktor dan membayar sesuai permintaan kontraktor.
-          Akad Istishna’ 2
Bank Syariah bertindak sebagai penjual proyek jalan tol, Pemda bertindak sebagai pembeli. Pemda memesan jalan tol kepada bank syariah dan membayar dengan cara mencicil per bulan.


Sumber:
1.       Drs. Ghufron A. Mas’adi, M.Ag. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. PT RajaGrafindo Persada.
2.       Ir. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. PT RajaGrafindo Persada.
3.       Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. 2009. Akad Istishna'. Diakses dari http://pengusahamuslim.com/akad-istishna#.Ukma7H_kCfE pada tanggal 30 September 2013.
4.       Hukum Zone. 2012. Istishna’ dalam Fiqh Muamalah. Diakses dari http://hukumzone.blogspot.com/2012/03/istishna-dalam-fiqh-muamalah.html pada tanggal 30 September 2013.

Saturday, September 28, 2013

PASCA: Fiqh Muamalah (2)



Akad jual beli (Bai’)
Tidak boleh menjual barang yang belum diterima (Qabdh). Jakarta membeli barang ke Surabaya kemudian menjual ke Medan. Tidak boleh dari penjual Sby langsung mengirim ke Mdn, solusi: Jkt mewakalahkan orang di Sby utk menerima barang dari penjual Sby dan kemudian wakil Jkt di Sby mengirim barang ke Mdn.
Pengecualian untuk akad salam dan istishna’.

Akad lazim : setiap salah satu pihak tidak dapat membatalkan. QS “Penuhilah akad-akad kalian.” Bila tidak diambil hak khiyar, tidak membatalkan.
Akad jaiz : salah satu pihak boleh mencabut diri bila tidak ada persyaratan mengikat. Contoh: syirkah, wakalah, ijarah.

Khiyar : hak untuk meneruskan atau menarik akad. Khiyar majlis: jalan beberapa langkah sudah meninggalkan majlis. Hak khiyar selagi belum berpisah / berpindah dari tempat tersebut. Barang yang sudah dijual tidak bisa dikembalikan jika sudah meninggalkan tempat, tanpa adanya khiyar syarat.

Khiyar syarat : beli baju “jika tidak pas saya kembalikan sampai waktu tertentu” atau ditukar dengan barang yang sesuai. Batasan waktu menurut jumhur sesuai kesepakatan antar para pihak tapi harus jelas tidak boleh gharar, contoh gharar: seumur hidup. Barang boleh dikembalikan jika masih dalam jangka waktu yang disepakati walaupun sudah dipakai banyak dan penjual tidak boleh meminta uang sewa karena akadnya jual beli. Khiyar syarat batal jika bentuk barang sudah berubah. Boleh beli barang untuk dijual kembali jika tidak laku saya kembalikan dengan jangka waktu yang ditetapkan.

Khiyar aib : cacat pada barang sehingga mengurangi harga. Mengembalikan baju karena ada sobek, penjual mengatakan cacat terjadi di tangan pembeli, jika ada saksi maka meminta kesaksiannya, jika tidak ada saksi pembeli bersumpah demi Allah. Sumpah dapat melariskan tetapi menghilangkan keberkahan transaksi. Dapat dilakukan : mengembalikan barang ditukar dengan uang, menukar barang, jika barang sudah dimakan ditemukan lalat barang tidak dapat dikembalikan tetapi bisa meminta kompensasi (selisih barang cacat dari yang tidak cacat) dari penjual. Bila tidak ada khiyar maka jual beli menjadi lazim. Khiyar syarat tidak boleh untuk sharf dan emas.

Hal-hal yang menyebabkan jual beli tidak sah: mengandung unsur riba atau gharar.
Jual beli yang dilakukan pada waktu yang terlarang : contoh setelah azan jumat. Jual beli tidak sah jika dilakukan oleh orang yang wajib jumat. Solat laki-laki mengenakan emas sah. Jual beli dilarang di masjid (batasannya khilafiyah antara tanah yang dikuasai masjid dengan area solatnya saja).
Bila mengandung unsur riba maka jual beli sah, menurut Hanafiyah dan Syafiiyah jual beli sah tapi persyaratan ribanya bathil.

Riba adalah tambahan. Alasan inflasi untuk menambah uang yang dipinjamkan tidak dapat digunakan karena peminjam bukan penyebab inflasi dan jika terjadi deflasi pemberi pinjaman tidak mau dikurangi pengembalian hutangnya. Pengecualian jika terjadi hiperinflasi menurut OKI, mata uang yang lama tidak berlaku. Jika meminjam uang kemudian terjadi hiperinflasi lebih dari 2/3 (66,67%) maka perhitungan dikembalikan kepada nilai indeks yang tetap (contoh: emas). Dibawah 1/3 (33,33%) maka nilai uang tetap dianggap berlaku dan tidak menggunakan nilai indeks tetap. Diantara 1/3 sampai 2/3 menurut sebagian ulama tetap dibayar dengan nominal uang. Menurut yang lain maka : Al-jarihah (musibah yang menimpa banyak orang) resiko ditanggung berdua antara peminjam dan pemberi pinjaman.

Dinar dari Romawi dan dirham dari Persia, halal penggunaannya, juga penggunaan mata uang sekarang.
Wadiah yad dhamanah : menitipkan uang dikembalikan harus nomor seri yang sama, jika tidak memungkinkan maka akad berubah menjadi pinjam meminjam. Memberikan pinjaman kemudian diberi hadiah dari peminjam maka hadiah tidak boleh diterima jika memang sebelum meminjam tidak pernah memberi hadiah. Pinjaman dengan meminta jaminan : jaminan tidak boleh dipakai oleh pemegang jaminan karena mengambil manfaat, jika jaminan sapi diberi makan oleh peminjam.


Fasilitator: Dr. Erwandi Tarmizi

PASCA: Ekonomi Mikro Islam (2) Konsep Dasar dan Karakteristik Ekonomi Islam


Konsep Dasar dan Karakteristik Ekonomi Islam


Tujuan hidup manusia
- Mencapai kesejahteraan
- Dalam perspektif Islam mencapai FALAH yaitu kesejahteraan holistik dan seimbang = material-spiritual, individual-sosial, dunia-akhirat. -> tidak ada dikotomi antar semua dimensi

Kelangkaan
- Kesenjangan antara sumberdaya dengan kebutuhan manusia
- Absolut -> Allah menciptakan alam semesta dengan kapasitas yang memadai. Mempercayai kelangkaan absolut adalah bentuk syirik.
- Relatif -> Kelangkaan terjadi karena: ketidakmerataan distribusi, keterbatasan manusia, konflik tujuan duniawi dan ukhrowi.

Falah = kebutuhan manusia terpenuhi secara seimbang
Maslahah = keadaan material dan non-material à meningkatkan kedudukan manusia, dengan parameternya diambil dari maqasid Islam:
1. agama (dien)
2. intelektual (‘aql)
3. material (maal)
4. jiwa (nafs)
5. keturunan (nasl)
(6) hifzhul bi’ah *tambahan dari Yusuf Qardhawi
Jika tidak memenuhi tujuan tersebut, hukum fiqh (yang zhanniy) dapat direview kecuali yg qath’iy. Qath’iy yaitu yang terkait dengan ibadah mahdhah.

Buku: Akram Khan
Kasus: jika pesaing bisnis melakukan hal2 yang dilarang bagaimana menyikapinya, dengan meninggalkan hal tersebut dan meyakini rahmat Allah, pada hal lain.




Perspektif kesejahteraan dan preferensi manusia berbeda-beda.


Ekonomi merupakan bagian integral dari ajaran Islam (kaaffaah). Ekonomi Islam terwujud jika Islam diyakini dan dilaksanakan menyeluruh.

Normatif: what ought to be
Positif: what it is
Ekonomi Islam mempelajari yang akan dan telah dilakukan manusia dalam berekonomi.
Positivisme lebih cocok untuk ilmu alam yang tunduk pada hukum alam (sunnatullah), tidak cocok untuk ilmu sosial yang objeknya manusia.
Ekonomi Islam tidak menggunakan the law of the big number, keadaan mayoritas (demokrasi) tidak menjadi benar jika bertentangan dengan tuntunan wahyu.
Rasional Islami: individu yang sadar dan perhatian untuk memperoleh falah, menjadi perilaku logis dan etis:
-          bervisi dan berprinsip jangka panjang
-          etis mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar daripada kemaslahatan individu

Kebenaran dan kebaikan dalam ekonomi Islam menyatu: diambil dari wahyu dan turunannya (wahyu+fakta) fakta mendukung wahyu.
Sedangkan dalam ekonomi konvensional dapat terjadi divergensi antara kebenaran dan kebaikan: teori harus didukung fakta walaupun tidak baik secara moral, fakta dapat merubah teori.


Ekonomi Islam dalam praktek kehidupan negara Indonesia yang tidak dilandaskan atas aturan Islam adalah adanya harmonisasi antara fatwa ulama dengan peraturan dari negara. Di negara-negara yang merupakan negara Islam peraturan dari negara akan direview apakah sesuai dengan maqasid dan menghasilkan feedback bagi pemerintah. Proses harmonisasi untuk keuangan syariah dari produk hingga menjadi peraturan yang mengikat dengan diskusi antara ulama dengan instansi pemerintah yang berkaitan, sebagian dengan permintaan fatwa dari pihak yang ingin mengeluarkan produk bisnis tertentu.

Fasilitator: Dr. Yulizar D. Sanrego, M.Ec.