Saturday, December 21, 2013

PASCA: Fiqh Muamalah (13) Rangkuman Akhir Semester

BAI' / JUAL BELI

Secara bahasa bai' berarti: menerima sesuatu dan memberikan sesuatu yang lain.
Secara istilah bai' berarti: saling tukar-menukar harta dengan tujuan kepemilikan.


Rukun jual beli :
1. Pelaku transaksi yaitu penjual dan pembeli
2. Objek transaksi yaitu harga dan barang
3. Akad transaksi yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang manunjukan mereka sedang melakukan transaksi baik dengan kata kata(akad dengan kata2) maupun perbuatan(akad dengan perbuatan)



Syarat sah jual beli :
1. Saling rela antara jedua belah pihak
2. Pelaku akad adalah orang yg diperbolahkan melakukan akad (mukallaf: baligh,berakal, dan 
    mengerti)
3. Harta yg menjadi objek adalah yg telah di miliki sebelumnya oleh kedua belah pihak
4. Objek transaksi adalah barang yang diperbolehkan dalam agama.
5. Objek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan
6. Objek transaksi diketahui oleh kedua belah pihak saat akad (bisa dilihat langsung 
    maupun penjual menjelaskan sejelas2nya spesifikasi barang sehingga seolah2 pembeli
    melihat barang tersebut)
7. Harga harus jelas saat traksaksi



Dalil Syarat Sah Jual Beli:

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu." ( An Nisaa: 29 ).

Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. (An Nisaa: 5).

"Jangan engkau jual barang yang bukan milikmu". (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Sesungguhnya Allah bila mengharamkan suatu barang juga mengharamkan nilai jual barang tersebut. (HR. Ahmad).

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Nabi melarang jual beli gharar (penipuan). (HR. Muslim).


KHIAR


Khiar adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad, yang jenis-jenisnya terdiri dari khiar majelis, khiar syarat, dan khiar aib. Khiar majelis adalah hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah dengan dalil yang berasal dari HR Bukhari Muslim “Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam bahwa Nabi bersabda, "Penjual dan pembeli memiliki hak khiar selama mereka belum berpisah maka jika keduanya jujur dan saling terbuka niscaya akad mereka diberkahi dan jika keduanya berdusta dan saling menutupi dicabut keberkahan dari akad yang mereka lakukan". Khiar majelis merupakan hak kedua pihak, waktunya dimulai dari awal akad dan berakhir saat jasad kedua belah pihak berpisah dari tempat akad berlangsung sekalipun akad tersebut berlangsung lama.
Akad di tempat belanja modern (minimarket, supermarket, hypermarket) berakhir saat struk belanjaan telah selesai dicetak oleh petugas dan pembeli membayar. Oleh karena itu hak khiar majelis juga berakhir pada saat tersebut, sehingga tulisan pada struk belanja “Barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan” sudah sesuai dengan hukum fiqih hak khiar majelis.

Khiar Syarat: yaitu: kedua pihak atau salah satunya berhak memberikan persyaratan khiar dalam jangka waktu tertentu.
Misalnya: Pembeli berkata," aku beli barang ini dengan syarat aku berhak khiar selama 1 minggu. Maka dia berhak meneruskan atau membatalkan transaksi dalam tempo tersebut sekalipun barang itu tidak ada cacatnya.
"Diriwayatkan dari Amru bin Auf bahwa Nabi bersabda," Orang islam terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram". (HR. Tirmizi).

Syarat sah khiar syarat:
Agar khiar syarat dianggap sah disyaratkan 2 hal:
-Kedua belah pihak saling rela, baik kerelaannya terjadi sebelum atau saat akad berlangsung.
-Waktunya jelas sekalipun jangkanya panjang.
Khiar syarat berakhir ditandai dengan berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati atau keduanya sepakat mengakhiri waktu khiar sebelum berakhirnya waktu yang disepakati sebelumnya.

Khiar Aib yaitu hak pilihan untuk meneruskan atau membatalkan akad dikarenakan terdapat cacat pada barang yang mengurangi harganya.
Misalnya:
-Retak pada dinding rumah yang merupakan obyek akad.
-Mesin mobil tidak berfungsi.
-Banyak terdapat buah busuk dibagian bawah keranjang saat membelinya dalam jumlah besar.
 


JUAL BELI EMAS



Syarat Sah Jual Beli Emas menurut Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam :

Dari ‘Ubadah bin Ash-Shomit radhiyallahu ‘anhu Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wasallam bersabda:

“Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, korma dengan korma, dan garam dengan garam. Harus sama besar, sama takarannya, dan harus kontan. Kalau jenis-jenis ini berbeda maka juallah sesuka kalian dengan syarat harus kontan.” (HR. Muslim)

Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:

 Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”


RIBA BAI’ / RIBA JUAL BELI

Enam komoditi : emas, perak, gandum bulat, gandum panjang, garam, kurma.
Jika ditukar antar yang berbeda jenis, agar tidak ada riba, maka harus tunai dan sama takarannya, bukan sama nilainya. Contoh emas berbeda karat maka jika ditukar harus sama jumlah gramnya. Oleh karena itu maka harus dibayar dengan uang kedua-duanya, tidak bisa langsung ditukarkan.

Perbedaan ‘illat dengan hikmah: hukum bisa ada bila hikmahnya tidak diketahui, tetapi hukum tidak bisa ada bila tidak ada ‘illatnya.

Enam komoditi yang disebut barang ribawi tersebut terbagi menjadi 2 kelompok:
a. emas, perak
b. gandum bulat, gandum panjang, garam, kurma

Terdapat 3 pendapat tentang qiyas terhadap keenam barang tersebut:
1. Hanya keenam barang tersebut yang dimaksud dan tidak dapat diqiyaskan kepada barang apapun, merupakan pendapat yang lemah karena tidak mengakui qiyas, sedangkan qiyas kuat dasarnya.
2. ‘Illat untuk emas dan perak adalah karena barang tersebut ditimbang, sedangkan ‘illat untuk 4 barang lainnya karena barang tersebut ditakar. Barang yang ditakar dan ditimbang tidak boleh ditukar kecuali tunai bila berbeda jenis. Contoh: minyak yang ditakar dengan air maka harus ditukar tunai. Sedangkan untuk uang tidak dapat ditimbang, termasuk barang yang boleh ditukar sehingga bisa membeli emas dengan cara tidak tunai, dan bisa membeli uang 10jt sekarang untuk dibayar dengan 11jt nanti. Pendapat ini tidak kuat karena tidak bisa dinalar dengan akal, dan perkataan yang menjadi dasarnya “wa kadzaalikal miizan” bukan merupakan hadits, tetapi atsar.
3. Pendapat asy-Syafiiyah, untuk 4 komoditi tersebut illatnya yaitu sebagai makanan. Bila sejenis maka harus sama dan tunai. Sedangkan emas dan perak illatnya karena bahannya emas dan perak. Fulus dianggap tidak sama dengan emas dan perak sehingga tidak dapat diqiyaskan, boleh ditukar berlebih dan tidak tunai. Pendapat ini lemah karena emas dan perak tidak dapat diqiyaskan dengan yang lain.
4. Pendapat Malikiyah adalah emas dan perak illatnya sebagai alat pembayaran, sedangkan keempat makanan tersebut illatnya sebagai makanan pokok. Pendapat ini diambil oleh kebanyakan ulama kontemporer. Sehingga bila menukar dollar dengan dollar harus sama nominalnya dan harus tunai, dollar dengan rupiah harus tunai boleh berbeda nominalnya karena berbeda jenisnya tapi sama tujuannya.

Kasus: Cicil emas di lembaga syariah diperbolehkan karena emas sudah tidak lagi digunakan sebagai mata uang, karena emas perhiasan dan emas dinar boleh tidak tunai menurut pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, dan bukan merupakan pendapat ijma’. Sepanjang emas tersebut bukan untuk alat tukar dan untuk alat penyimpan nilai kekayaan. Emas dinyatakan sebagai alat ribawi oleh nash (hadits Rasulullah) sedangkan mata uang merupakan hasil ijtihad, hasil ijtihad tidak dapat menghapuskan nash.
Menurut OKI, dilarang mengikat hutang dengan indeks tetap (seperti nilai emas). AAOIFI, yang merupakan kumpulan bank-bank syariah di timur tengah yang memutuskan produk, mengatakan tidak boleh mencicil emas, perak, dan mata uang.



Fatwa DSN MUI No 77 tentang Jual Beli Emas secara Tidak Tunai memutuskan:

Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah,ja’iz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang).
Batasan dan Ketentuan
1. Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
2. Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
3. Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan obyek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.



SALAM
Dari kata “As salaf” : pendahuluan karena pemesan barang menyerahkan uangnya di muka.
Menurut Istilah Bai’ as-Salam berarti pembelian barang yang diserahkan dikemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan dimuka
   
Aplikasi kontemporer :
Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun ke depan.
Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per kilogram.
Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.

Tinjauan Fikih kontemporer salam :
1.Ada Dalil Yang membolehkan yaitu :
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah dan beliau mendapati penduduk Madinah melakukan akad salam (dan barang diserahkan) setelah berlalu dua dan tiga tahun. Maka beliau bersabda, “Barang siapa yang melakukan transaksi salam hendaklah ditentukan berat serta ukuran barangnya dan waktu serah-terima barang juga jelas.” (HR. Bukhari dan Muslim)
2.Ada Kebutuhan (Hajah) antara penjual dan pembeli

IJARAH
Al Ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat suatu objek (barang dan jasa) dengan jalan penggantian (sewa menyewa).

Aplikasi kontemporer :
Ijarah pada kartu kredit, A membeli sebuah barang seharga 1jt rupiah, A membayar dengan menggunakan kartu kredit.  Lalu penjual memasukkan kartu  kredit ke sebuah alat khusus untuk mengirim data transaksi kepada bank penerbit kartu dengan tujuan meminta persetujuan.  Jika bank setuju maka bank menstransfer uang ke rekening penjual setelah dipotong komisi yang telah disepakati sebelumnya antara bank dengan pihak penjual. Andai komisinya sebanyak 2% maka bank hanya membayar kepada penjual sebanyak 980 ribu rupiah.  Kemudian bank menagih kredit kepada pemegang kartu atas pembayaran tagihan barang yang dibelinya sebesar 1jt rupiah.
Tinjauan Fikih kontemporer Ijarah :
Fee dari jasa perantara ini dibolehkan dengan syarat penjual barang tidak menaikkan harga barang terlebih dahulu.
Hukum bolehnya bank penerbit kartu menerima fee dari pedagang merupakan keputusan muktamar Majma’ Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) no. 108 (2/12) 2000, disebutkan, “Bank penerbit kartu boleh mengambil Fee dari pedagang yang menerima pembayaran menggunakan kartu kredit”.

ISTISHNA
dari kata dasar istashna'a-yastashni'u meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.

Aplikasi kontemporer :

• Pembelian Rumah secara Inden
• Pembelian Alat Rumah Tangga dengan cara memesan (misalnya, Pembuatan Furniture, dll)
Tinjauan Fikih kontemporer Istishna :

Dalil akad
Diriwayatkan dari sahabat Anas radhiallahu 'anhu, pada suatu hari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam hendak menuliskan surat kepada seorang raja non arab, lalu dikabarkan kepada beliau: Sesungguhnya raja-raja non arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel, maka beliaupun memesan agar ia dibautkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (Riwayat Muslim)


WADI'AH
Wadi’ah adalah menempatkan sesuatu yang ditempatkan bukan pada pemiliknya untuk dipelihara.
wadi’ah dapat diartikan menitipkan sesuatu harta/barang pada orang yang dapat dipercaya untuk menjaganya.

Aplikasi kontemporer :

Saat ini, akad wadi’ah cukup banyak diterapkan pada lembaga keuangan syariah. Salah satunya pada produk giro perbankan syariah. Giro adalah simpanan dana yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan penggunaan cek, bilyet giro, sarana perintah pembayaran lainnya, atau dengan pemindahbukuan. Tidak semua transaksi giro di bank konvensional dapat dibenarkan oleh syariah. Giro wadi’ah tidak menggunakan perhitungan bunga.
Pada giro wadi’ah, dana yang diterima oleh bank dari nasabah bersifat titipan. Nasabah dapat mengambil dana titipan tersebut kapan saja. Namun nasabah tidak mendapat imbalan dari bank atas dana titipan tersebut. Kalaupun mendapat imbalan, inisiatifnya datang dari pihak bank.
Pada praktiknya, bonus atas giro wadi’ah jarang diberikan oleh bank. Nominal dana titipan nasabah tetap sama dengan pada saat nasabah menitipkan dananya. Kalaupun berkurang beberapa ribu, karena adanya biaya administrasi atas bea materai lunas atau fasilitas internet banking.      
Tinjauan Fikih kontemporer Wadi’ah :
Hadits
“Serahkanlah amanah orang yang mempercayai engkau, dan jangan kamu mengkhianati orang yang mengkhianati engkau.” (HR Abu Daud, al-Tirmizi dan al-Hakim)

KAFALAH
Menurut istilah kafalah berarti akad pemberian jaminan yang diberikan satu pihak (kafil) kepada pihak lain (makful ‘anhu) dimana pemberi jaminan bertanggung jawab atas pembayaran suatu hutang yang menjadi hak penerima jaminan (makful lahu).

Aplikasi kontemporer :
Aplikasi : dalam kartu Kredit
Bank kepada pihak ketiga  (Merchant) dalam rangka memenuhi kewajiban yang ditanggung (makful ‘anhu) dalam hal ini pemegang kartu kredit,  apabila pihak yang ditanggung cidera janji atau wanprestasi.
Dalam kartu Kredit Syariah, biaya-biaya (fee) yang dikenakan sesuai Fatwa DSN :
•Iuran  keanggotaan (membership fee)
•Merchant fee
•Fee cash Advance
•Fee Kafalah .
•Semua bentuk fee tersebut di atas (a-d) harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali untuk merchant fee.

Tinjauan Fikih kontemporer Kafalah :
•Hakikat imbalan dalam akad kafalah kartu kredit adalah riba, karena pada saat kafil membayarkan utang makful’anhu posisinya menjadi muqridh yang nantinya akan menerima piutang dan manfaat (imbalan akad kafalah)
•Dalam Islam imbalan berhak diterima karena melakukan sesuatu (kerja), sementara akad kafalah hanya pernyataan kesediaan kafil menanggung hutang makful’anhu.

RAHN
Rahn berarti menahan, dalilnya dari hadits tentang Rasulullah menggadaikan baju besinya ketika meminjam uang. Aplikasi rahn kontemporer yaitu qardhul hasan dan mendapatkan fee atas jasa pemeliharaan barang gadai, walaupun tidak mendapatkan keuntungan dari pinjaman tetapi mendapat keuntungan dari fee ijarah tersebut yang biayanya lebih besar daripada menyewa SDB. Aplikasinya berupa rahn elektronik dan rahn emas. Fatwa DSN membolehkan rahn dan mengambil fee untuk dana yang benar2 dikeluarkan untuk pemeliharaan barang gadai, sedangkan pada prakteknya ada keuntungan yang didapatkan sehingga tidak sesuai dengan kebolehan yang difatwakan oleh DSN. 


HAWALAH


Berasal dari kata hawalatan yaitu memindahkan hutang dari beban orang yang berhutang kepada orang yang dibebankan hutang kepadanya. A memiliki hutang kepada B, B memiliki hutang kepada C, B memindahkan beban hutangnya ke C kepada A, sehingga A berhutang kepada C. Penerima pengalihan hutang tidak harus berhutang kepada pemberi pengalihan hutang. Hiwalah boleh berdasarkan ijma ulama. Sedangkan mengambil fee dari pengalihan hutang tidak boleh karena termasuk riba yaitu manfaat dari pinjaman yang diberikan tetapi fatwa DSN membolehkan hiwalah jika ada keperluan tetapi kelebihan yang ditagih tetap merupakan riba. Menjual hutang dan piutang tidak dibolehkan, oleh karena itu menjual sukuk tidak dibolehkan.