Saturday, April 26, 2014

PASCA: Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam (7-8) Epistemologi Ekonomi Islam



EPISTEMOLOGI EKONOMI ISLAM

Epistemologi : theory of knowledge
Apa yang dapat diketahui? Bagaimana mengetahuinya? Darimana diperoleh? Bagaimana validitas pengetahuan a piori dengan a posteriori?

Epistemologi ekonomi Islam:
Darimana sumbernya? Sumber ini mempengaruhi bangunan ilmu
Bagaimana cara mengetahuinya? Apakah pengetahuan ini berhubungan dengan ekonomi Islam? Bagaimana proses mendapatkan pengetahuan tersebut? Keshahihan / validitas: a priori dengan a posteriori.

Perbedaan a priori dengan a posteriori
A priori=pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman, hipotesa, teori tanpa praktek
A posteriori=setelah mendapat pengalaman
Dibutuhkan karena cara pandang terhadap pengetahuan akan berbeda sebelum dengan setelah ada experience.

Dalam Islam sangat memungkinkan adanya perubahan pengetahuan a priori dengan a posteriori, jika sumbernya salah dipahami atau salah mengambil sumber.
Ilmu ekonomi mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Epistemologi ekonomi Islam = hakikat ilmu, esensi, makna sesungguhnya dari ekonomi Islam
Ekonomi Islam dengan konvensional berbeda dasar = kodrat / nature / karakter dasar dan scope pengetahuan / ruang lingkup
Epistemologi ekonomi Islam: esensi, karakter dasar, ruang lingkup -> originalitas
Dalam ekonomi Islam, ilmu manajemen, bisnis, dll merupakan cabang dari ilmu ekonomi sedangkan dalam konvensional merupakan ilmu tersendiri karena perbedaan epistemologinya.
Originalitas ekonomi Islam: contoh ketika menggantikan bunga dengan bagi hasil dalam kurva LM, kurva equilibrium antara money demand dengan money supply. Tidak relevan menggantinya begitu saja dan dianggap tidak original.
Selama ekonomi Islam belum dapat menjawab pertanyaan epistemologi ini maka akan terus dianggap sebagai penjiplak.
Sedangkan ilmu ekonomi di fakultas ekonomi yang ada di Indonesia semuanya mempelajari ekonomi neoklasikal.
Dalam pandangan yang sekuler sumber ilmu adalah akal dan panca indera, yang diawali karena kegagalan peradaban yang mengikuti agama pada masa dark ages di Eropa. Orang yang memiliki pemikiran berbeda dengan doktrin gereja saat itu dihukum mati, ketika rasionalitas manusia terus berkembang maka agama ditinggalkan. Barat maju ketika mereka meninggalkan agama tetapi umat Islam terpuruk ketika mereka meninggalkan agama.
Dasar pembentukan ilmu ekonomi yaitu intellect: proses reasoning = nalar akal dan panca indera, tetapi nalar manusia berbeda2. Contoh: bunga menambah harta jika dipinjamkan, sehingga dikembangkan oleh ekonomi neoklasikal.
Proses reasoningnya bisa berbeda, untuk menjembataninya mereka membuat kriteria yang harus bersifat objektif. Contoh: garis kemiskinan disusun dari 2 standar: makanan dan non makanan. Garis kemiskinan bukan makanan dari komoditas yang dibuat monetary valuenya. Nilai 293rb per orang per bulan, dibawah itu adalah miskin. Tetapi sedikit diatasnya tidak termasuk miskin padahal nilainya masih sangat kecil tetapi hal ini dianggap yang objektif.
Ketika membahas tentang index kebahagiaan, GDP, dll berdasarkan reasoning yang mendapat validitas dari teori objektifitas. Objektifitas akan divalidasi. Dari hal inilah ilmu ekonomi berkembang, sehingga tidak selalu sama dan berkembang banyak mazhab2 dalam ilmu ekonomi.
Contoh reasoning dengan teori objektivitas: kesejahteraan ekonomi dicapai ketika efisiensi tercapai, minimum wasteful resources. Tetapi efisiensi berkaitan dengan size, siapa pemain yang ada dibalik pasar who is the player. Sehingga perdagangan bebas di satu sisi menciptakan efisiensi tetapi di sisi lain hanya pemain besar yang dapat bertahan dan terjadi take over atau pengambilalihan pasar dari produsen kecil kepada produsen besar. Objektivitas: siapa yang menjadi target dan apa kepentingannya.
Yang disebut objektif oleh ekonomi konvensional adalah: efisiensi, dll.
Sehingga perdebatannya terjadi di level epistemologi.
Kriteria objektif di ekonomi konvensional: observasi empiris + metodologi yang benar & bebas nilai: normative statement harus lewat proses verifikasi = kebenaran empiris, tidak ada kebenaran yang mutlak, berubah sesuai waktu tempat budaya -> relativism.
Contoh: ketika riba dilarang maka harus diverifikasi dulu.
Teori ekonomi berubah dengan munculnya mazhab2 dan saling menyalahkan mazhab lain.

Kebenaran mutlak vs relatif

Sofisme di zaman Yunani Kuno menciptakan skeptisisme dan relativisme: benar menurut A belum tentu benar menurut B -> memunculkan istilah ekonomi mainstream vs heterodoks dan menciptakan mazhab2.
Objektifitas adalah rasionalisasi dari subjektifitas.
Sejarah ekonomi mazhab2: classical -> keynes -> neo classical -> new Keynesian
Cara mengetahui ada 2 aliran:
1. Rasionalisme: dari rasio dan logis menghasilkan pengetahuan logis.
2. Empirisme: dari pengalaman menghasilkan pengetahuan empiris.
Contoh logis: makanan enak pantas untuk dibisniskan, contoh empiris: melihat titik keramaian, pesaing, harga, dll.
Kadang pengetahuan empiris menciptakan hasil yang berbeda dengan pengetahuan logis. Contohnya logikanya jika mengenakan bunga harta bertambah, tetapi telah dibuktikan secara empiris bunga menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun.
Kadangkala juga pengetahuan empiris hasilnya tidak logis. Terjadi perbedaan antara rasionalisme dengan empirisme.
Dua metodologi pengetahuan yang berbeda ini kemudian digabung menjadi: scientific method.
Penggabungan rasionalisme dengan empirisme menghasilkan pengetahuan yang ilmiah.
Pengetahuan ilmiah: logis dan empiris, logis dan bisa dibuktikan secara empiris.
Pengetahuan filsafat: logis tetapi tidak empiris. Contoh: takdir, jika sesuatu telah ditentukan (umur, rezeki, jodoh) untuk apa berusaha.
Ilmu ekonomi konvensional dibangun atas hal seperti itu sehingga wajar tidak ada pembahasan tentang halal dan haram.
Contoh cara berpikir logis tentang ilmu ekonomi yang mempelajari human behavior, manusia yang diamati adalah homo economicus yang didasarkan pada self-interest: tindakan ekonomi yang dilakukan agar menguntungkan pribadinya. Konsekuensinya menjadi dasar pembentukan teori2 seperti budget line dan indifference curve, maximum utility, maksimalisasi profit oleh perusahaan. Filsafat ekonomi sudah tidak dibahas lagi di fakultas2 ekonomi padahal ini merupakan landasan cara berpikir.
Semua ilmu harus punya philosophical foundation yang kuat / epistemological foundation: termasuk meyakini bebas nilai adalah sebuah nilai.
Rasionalisme + empirisme = scientific method -> positivisme
Segala logika harus ada ukurannya, contoh pengukuran indikator2 ekonomi.

Mainstream ekonomi: ilmu ekonomi konvensional harus berlandaskan filosofis logis, teori ilmiah berdasarkan paham positivisme, dan dapat diukur sebagai empirical evidence.
Sumber ilmu lainnya yang lebih rendah daripada akal dan panca indera adalah intuisi: paham intuisionisme yaitu nalar, wisdom.

Dari proses2 tadi, definisi pengetahuan menurut perspektif barat yaitu pengetahuan terbagi 2 yaitu science dan knowledge. Science (ilmu pengetahuan) untuk ilmu empiris dan knowledge (pengetahuan) untuk yang non fisik. Sehingga agama masuk kepada kategori knowledge, bukan science. Letak knowledge ada di bawah science karena sudah melewati proses empiris, proses metode ilmiah.
Knowledge tidak perlu diketahui semuanya, jika tidak tahu tidak rugi.
Teori2 dalam ilmu ekonomi konvensional akan disebut science ketika telah melewati prosedur ilmiah yang disebut positive statement. Sedangkan normative statement adalah yang belum melewati prosedur ilmiah. Dengan tingkatan: statement -> knowledge -> science.

EPISTEMOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM

Istilah ekonomi Islam dengan syariah dipersamakan di Indonesia dikarenakan hal politik.
Sumber pengetahuan ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional.
Yaitu:
1. Sumber tertinggi yang kebenarannya bersifat absolut dan mutlak: Quran dan Sunnah.
2. Akal dan panca indera: membangun logika dan mencari bukti empiris terhadap kebenaran Quran dan Sunnah: sumber kedua ini hanya mendukung sumber pertama dan tidak dapat mengalahkan sumber pertama. Mendekatkan realitas dengan idealitas ajaran Islam, sehingga ajarannya tidak dapat dirubah.
3. Intuisi (bashirah) didapatkan dengan menghidupkan hati, membangun intuisi. Ahmad Tafsir mengatakan ada ilumionasionisme yaitu ilham sebagai sumber pengetahuan tambahan yang diberikan pada manusia yang hatinya bersih tunduk patuh pada Allah berdasarkan teori kasyf.

Contoh membayar zakat secara logika sederhana mengurangi harta tetapi Quran mengatakan bertambah bahkan berlipat, kemudian logikanya dikembangkan dan ditemukan logika ekonomi makro yang dapat menemukan kebenaran bahwa zakat mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa berbagi mensejahterakan.
Proses simultaneous antara sumber kebenaran absolute dengan sumber logika empiris, setiap permasalahan ada solusi yang dibuka baginya.

Pendapat ulama:
- An Nasafi: saluran sumber ilmu adalah indera, akal, intuisi melalui informasi yang benar dengan sumber tertinggi wahyu.
- Al Ghazali: indera, intuisi dan akal tidak bertentangan dengan wahyu.

Definisi ilmu pengetahuan:
Definisi beragam / limitless (Wan Daud dan Al Attas) tetapi esensinya ilmu adalah yang datang dari Allah dan diperoleh oleh jiwa yang aktif dan kreatif (deskripsi oleh Al Attas).
Semua hal datang dari Allah, hanya bagaimana menginterpretasikannya agar semakin dekat dengan Allah. Hasil ilmuwan akan berbeda apakah mendekati Allah atau menjauhiNya berdasarkan basis keimanan atau bukan.

Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu antara yang ilmiah dan tidak ilmiah.
Pembagian ilmu berdasarkan ulama2 Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, dll terbagi dua yaitu yang berdasarkan wahyu dan yang tampak. Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Tools of analysis seperti index dan indikator2 ekonomi yang digunakan ilmu konvensional ada yang dapat diterima ada yang tidak dapat diterima dalam ekonomi Islam tergantung apakah sesuai dengan landasan epistemologinya sehingga boleh saja dipakai jika tidak bertentangan dengan syariat Islam.

Dosen: Irfan Syauqi Beik, PhD

PASCA: Ekonomi Makro Islami (7) Ekonomi Makro Indonesia



Ekonomi Makro dalam perkembangannya dekat dengan politik ekonomi karena kebijakan fiskal dan moneter tidak dapat dipisahkan dan harus mendapatkan persetujuan dari legislative yaitu parlemen atau DPR. DPR mempunyai 3 fungsi: (1) legislasi produknya berupa undang-undang, (2) budgeting / anggaran produknya berupa APBN, dan (3) pengawasan.

Dalam teori public finance, kebijakan public finance dimulai dari pemilu yang menghasilkan anggota parlemen kemudian menghasilkan politik anggaran dan kemudian menghasilkan kebijakan.
Anggaran pendapatan dan belanja Negara (apbn dan apbd) dasar hukumnya dari UUD 45 dan UU. Presiden yang mengajukan UU, kemudian presiden dan dpr yang membahas. Inisiasi dari presiden dan pemerintah, dpr tidak boleh mengajukan anggaran sendiri. Di US parlemen dapat mengajukan anggaran. Presiden menunjuk menteri keuangan sebagai coordinator pemerintah dalam membahas UU tsb.
Dasar hukum APBN dari UUD 45 dan UU no 17 thn 2003.
UU mengatur pendapatan Negara diambil dari mana saja, yaitu pajak, dan lain-lain. Jika ingin memasukkan zakat ke pendapatan Negara berarti harus mengamandemen UU tsb dan juga UU Pajak yaitu dimasukkan sebagai pendapatan pengurang pajak.

Fungsi anggaran yaitu hak budget dpr untuk menyetujui atau tidak anggaran yang diajukan pemerintah. UU APBN yang berlaku saat ini memiliki ciri: (1) Dulu menggunakan T account, sekarang menggunakan I account. (2) Berbasiskan pada kinerja, indikatornya adalah output, outcome dan impact. (3) Sampai pertengahan tahun belum sampai 30 40 %, sehingga pada akhir tahun banyak kegiatan menghabiskan budget. Seharusnya anggaran digunakan untuk program yang hasilnya terlihat hingga 3 tahun ke depan dan tidak langsung habis.

Konversi T account menjadi I account: pengeluaran pembangunan dihilangkan dan digabungkan ke dalam belanja pemerintah pusat. Menutup pembiayaan melalui sukuk, dan pantas diangkat menjadi judul penelitian seberapa besar seharusnya pemerintah mengeluarkan sukuk dan jenis sukuk seperti apa yang pas untuk diterbitkan.

Membaca APBN
Sisi belanja pemerintah lebih besar dari pendapatan negaranya. Salah satu pembiayaannya berasal dari utang luar negeri sehingga terus bertambah dan dapat diambil dari hutang dalam negeri juga melalui SUN atau sukuk. Hutang dalam negeri bersifat soft loan dan jangka panjang, bunganya kecil. Bunga yang muncul dari hutang luar negeri dibayar APBN.

Pertumbuhan ekonomi adalah pertumbuhan output yang dihasilkan dari jumlah produksi barang dan jasa dibanding tahun lalu. Dikategorikan berdasarkan jenis pengeluaran: konsumsi lebih besar daripada pembentukan modal, ekspor hanya sedikit lebih besar dari impor. Sehingga pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi. Konsumsi adalah disposable income yaitu pendapatan dikurangi pajak sehingga pajak mengurangi daya beli. Sedangkan zakat seharusnya menaikkan daya beli secara agregat karena walaupun mengurangi disposable income masyarakat menjadi disposable income bagi masyarakat fakir dan miskin.

GINI ratio meningkat. GINI ratio adalah mengukur gap yang terjadi diantara orang berpendapatan tinggi dengan orang berpendapatan rendah. Indonesia disebut sebagai middle income country yaitu karena orang yang berpendapatan pertengahan tumbuh cepat yaitu yang bekerja di sektor2 jasa keuangan, teknologi, transportasi, dll sedangkan di sektor pertanian dsb tidak meningkat sehingga gapnya terus melebar.

Dosen: Dr. Handi Risza Idris

PASCA: Metodologi Penelitian (7) Penilaian Proposal Penelitian



PROPOSAL PENELITIAN

Penelitian tesis akan diteruskan untuk disertasi dan beberapa S3 mensyaratkan mahasiswa pendaftar sudah memiliki penelitian yang diterbitkan di jurnal internasional sehingga seharusnya penelitian tesis cukup layak untuk diterbitkan di jurnal internasional.

*Catatan penelitian pribadi: mengkritisi materi perencanaan keuangan syariah dari sisi materi pengelolaan harta Islami.

Tidak bisa berinovasi tanpa ada landasan teori utk penelitian ilmiah, disinilah letak perbedaan dengan riset perusahaan.

Minggu ke 3 presentasi, tanggal 17 mei


PENILAIAN PROPOSAL PENELITIAN

Data relevan atau tidak, teori yang dipakai untuk meninjau variabel yang dimaksud.
Jika ada kasus yang sama lebih baik.
Bagaimana peneliti melakukan formalisasi terhadap ungkapan permasalahannya.
Dari perumusan masalah, keluar pertanyaan penelitian.
Topik besar -> topik
Penelitian besar : tujuan adalah langkah2 untuk menjawab pertanyaan besar tersebut
Peneliti diminta untuk melihat framework penelitian.

Kajian Literatur
-kecukupan kajian literatur: bacanya yang banyak
-kesesuaian literatur terhadap topik yang dibahas
-teori yang dipakai untuk membahas variabel
-teori yang menggunakan metodologi, untuk dasar memilih metodologi bab 3

Metodologi
-basis teori pemilihan metode: kenapa memilih metode itu dan tidak yang lain
-ketika memilih variabel dijelaskan dasar teorinya, variabel dipilih berdasarkan teori tertentu atau dari gabungan peneliti satu dengan yang lainnya
-langkah2 penelitian untuk menjawab pertanyaan: contoh pengambilan data primer menggunakan interview, uji reliabilitas dan validitas, hubungan antara variabel independen dengan dependen




Penilaian (dari email)
       
1. Latar belakang
- data yang disajikan selaras dengan permasalahan   
- kajian teori yang dipakai untuk menarik permasalahan
Permasalahan: - formulasi penarikan permasalahan; membandingkan data dengna teori   
Pertanyaan penelitian: inline dengan permasalahan   
Tujuan penelitian: menjawab permasalahan dan bisa digunakan sebagai milestone penelitian, dasar pembuatan framwork   
       
2. Kajian literatur: kecukupan dan kesesuaian dengan topik   
Tentukan teori yang dipakai untuk permasalahan   
teori untuk medtodologi, teori untuk pemilihan variael   
       
3. Metodologi:
- basis teori pemilihan metode, kenapa memilih dan tidak memilih metode lain   
- dasar pemilihan variabel, mana yang dipilih dan alasan kenapa tidak memilih variabel yang lain
- langkah-langkah penleitian untuk menjawab permasalahan.





BAB I           

Latar belakang    
1.Apakah data yang disajikan selaras dengan permasalahan
2.Seberapa dalam observasi fakta yang akan diangkat sebagai topik.
3.Berapa banyak jumlah literatur yang dipakai untuk menguatkan topik yang diangkat
4.Apakah literatur yang dipakai menampilkan teori-teori yang membahas topik yang diangkat
5.Seberapa dalam kemampuan peneliti dalam memahami teori-teori yang dibahas.

Permasalahan:   
1.Formulasi penarikan permasalahan; membandingkan data dengna teori

Pertanyaan penelitian:   
1.Apakah inline dengan permasalahan
   
Tujuan penelitian:   
1.Apakah menjawab permasalahan dan bisa digunakan sebagai guideline penelitian dan dasar pembuatan framwork

BAB II           
   
kajian literatur:    
1.Apakah cukup dan sesuai dengan topik yang diangkat,       
2.Apakah cukup untuk memperlihatkan keahlian penulis dalam topik penelitian
3.Apakah teori yang dipakai untuk menjawab permasalahan sudah tepat
4.Seberapa dalam pembahasan teori untuk medtodologi, teori untuk pemilihan variael

BAB III           
   
Metodologi:   
1.Apa yang menjadi basis teori dalam pemilihan metode, kenapa memilih dan tidak memilih metode lain
2.Apa yang menjadi dasar pemilihan variabel, mana yang dipilih dan alasan kenapa tidak memilih variabel yang lain
3.Apakah langkah-langkah penleitian untuk menjawab permasalahan sudah dirasakan cukup menjawab semua pertanyaan penelitian yang diajukan



Dosen: Dr. Eng. Saiful Anwar SE, MSi Ak

Wednesday, April 23, 2014

PASCA: Ekonomi Makro Islami: Rangkuman Materi UTS




Kritik dan Koreksi Ilmu Ekonomi Islam terhadap Paham Ekonomi Neoklasikal

Istilah neoclassical economics pertama kali digunakan oleh Thorstein Veblen pada tahun 1900, dan digunakan untuk mendefinisikan beberapa aliran pemikiran ilmu ekonomi yang menjabarkan pembentukan harga, produksi, dan distribusi pendapatan melalui mekanisme permintaan dan penawaran pada suatu pasar. Ciri paham ekonomi neoklasikal sebagaimana yang diadopsi dalam ilmu ekonomi di fakultas ekonomi pada umumnya adalah berdasarkan tiga asumsi dasar bahwa: (1) pelaku ekonomi secara rasional memilih pilihan yang memberikan hasil yang paling tinggi nilai ekonominya, (2) tujuan konsumen melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan kepuasan dan tujuan perusahaan melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan keuntungan, (3) pelaku ekonomi bertindak secara independen dalam menentukan pilihan berdasarkan informasi yang lengkap dan relevan.
Tujuan kegiatan ekonomi sebagaimana yang disebutkan dalam paham ekonomi neoklasikal tersebut hanya mengedepankan masalah materi dan berusaha memenuhi kebutuhan materi manusia tetapi kurang mewakili dimensi spiritualisme dan etika kehidupan masyarakat atau moral dalam bahasa mereka. Ilmu ekonomi Islam di lain pihak, memiliki tujuan dengan dimensi yang lebih luas daripada keuntungan materi semata yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat yang dirangkum dalam istilah falah yang merupakan dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan materialisme.
Asas filsafat yang melandasi ekonomi Islam sebagaimana yang disarikan dari tulisan Nurul Huda, et al, adalah: (1) Semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk menggunakan milikNya. Sehingga segala sesuatunya harus tunduk pada Allah sang pencipta dan pemilik, (2) Manusia bertugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, oleh karena itu untuk dapat melaksanakan tugasnya maka manusia wajib melakukan tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah, (3) Beriman kepada hari kiamat merupakan asas penting dalam suatu sistem ekonomi Islam karena dengan keyakinan ini tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah SWT.
Pembahasan dasar dalam ilmu ekonomi neoklasikal diawali dengan asumsi atas kelangkaan sumber daya dan pengakuan atas kebebasan individu serta kepemilikan mutlak dalam hal materi. Kenyataan adanya kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang cukup besar juga dibahas dalam ekonomi neoklasikal, tetapi penyelesaian dan solusi yang ditawarkan adalah yang bersifat praktis dan berbeda-beda pelaksanaannya di setiap wilayah. Ekonomi Islam di lain hal memasukkan pembahasan masalah kelangkaan dan penyebaran pendapatan dalam pembahasan fundamental yang mendasari seluruh pembahasan berikutnya. Nilai-nilai prinsip yang dianut dalam ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam buku teks “Ekonomi Makro Islam: Pendekaan Teoretis” adalah: (1) Mengenai kepemilikan harta benda di tangan manusia bukan merupakan penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi dituntut untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut, masa kepemilikannya adalah selama manusia hidup di dunia, dan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. (2) Keseimbangan ekonomi terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan tidak boros, (3) Keadilan harus diterapkan dalam kehidupan ekonomi seperti proses distribusi, produksi, konsumsi, dan lain-lain.
Fungsi uang disebutkan dalam teori ekonomi berpaham neoklasikal terdiri dari 3 hal yaitu: (1) medium of exchange yaitu alat tukar yang dapat diterima sebagai alat pembayaran, (2) unit of account yaitu uang sebagai ukuran harga, dan (3) store of value yaitu uang sebagai media penyimpan nilai. Akan tetapi sebagaimana yang dijelaskan oleh Adiwarman Karim terdapat kerancuan dalam fungsi uang yang diakui dengan fungsi uang yang sebenarnya terjadi dibawah sistem ekonomi makro yang berlandaskan pada paham ekonomi neoklasikal yaitu adanya konsep time value of money yang pada akhirnya menciptakan fungsi uang sebagai media penyimpan nilai menjadi melemah. Ekonomi Islam mengkritisi konsep tersebut dengan konsep economic value of time. Perbedaan antara keduanya ada pada konsep pertama menganggap uang bernilai dengan dirinya sendiri dan hanya dengan berjalannya waktu nilai uang akan meningkat, sedangkan pada konsep kedua uang tidak memiliki nilai jika berdiri sendiri tetapi akan dapat menghasilkan pertambahan jika digunakan dalam kegiatan ekonomi dalam suatu periode waktu.


Indikator untuk Menghitung Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam periode tertentu yang dihitung berdasarkan nilai pasar, tujuan penghitungan pendapatan nasional adalah untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu Negara yang berfokus pada ukuran kesejahteraan ekonomi. Terdapat banyak indikator yang dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional seperti yang dijelaskan oleh Libby Rittenberg dan Timothy Tregarthen dengan penjelasan sebagai berikut:
*GDP is the sum of final goods and services produced for consumption (C), private investment (I),
government purchases (G), and net exports (Xn). Thus GDP = C + I + G + Xn.
*GDP + net factor earnings from abroad = gross national product (GNP)
*GNP − depreciation (consumption of fixed capital) = net national product (NNP)
*NNP − statistical discrepancy = national income (NI)
*NI − income earned but not received [e.g., taxes on production and imports, social security payroll taxes, corporate profit taxes, and retained earnings] + transfer payments and other income received but not earned in the production of GNP = personal income (PI)
*PI − personal income taxes = disposable personal income (DPI)
Pendekatan yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) pendekatan produksi (production) dengan perhitungan GDP yaitu Gross Domestic Product yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari semua sektor produksi dimana di Indonesia terdiri dari 11 sektor industri, (2) pendekatan pendapatan (income) dengan perhitungan GNP yaitu Gross National Product yang dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi yaitu konsumsi rumah tangga, investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran ekspor impor, (3) pendekatan pengeluaran (expenditure) dengan perhitungan NNP yaitu Net National Product yang merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu.
Kritik utama atas ketiga pendekatan itu adalah bahwa nilai yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan kemakmuran suatu Negara secara riil yang termasuk kesejahteraan masyarakatnya secara umum. Karena bisa jadi tingkat kemakmurannya tinggi secara ekonomi untuk suatu periode tertentu tetapi kondisi riil masyarakatnya tidak sejahtera secara hakiki dan menyimpan masalah-masalah lain yang dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menghasilkan permasalahan ekonomi di periode berikutnya. Uraian permasalahan yang tidak tercakup dalam penghitungan yang ada dijelaskan dalam bagian berikutnya.
Nurul Huda et al menjabarkan lebih lanjut mengenai kritik dan solusi atas keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu Negara adalah sebagai berikut: (1) GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, tetapi GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output per kapita padahal inilah yang dapat menjelaskan seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP, sedangkan produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri tidak tercakup dalam GNP padahal hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan individu. Produk barang mewah yang disamakan bobotnya dengan kebutuhan pokok juga membuat bias pengukuran GNP, seharusnya kebutuhan pokok mendapat bobot yang lebih berat. (2) GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin banyak menginginkan waktu istirahat. (3) Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan. (4) Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan. (5) Pendapatan nasional harus dapat mengukur produksi di sektor pedesaan. Contohnya peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat pedesaan umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di tingkat konsumen suburban dan peningkatan pendapatan para pedagang perantara. Padahal inti masalah distribusi pendapatan ada pada sektor tersebut yang didalamnya bergantung nafkah rakyat dalam jumlah besar. (6) Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi Islam yaitu untuk mengekspresikan kebutuhan dasar akan barang dan jasa sebagai persentase total konsumsi karena kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya dapat menjadi ukuran tingkat kesejahteraan. (7) Nilai santunan antar saudara dan sedekah juga dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk menggambarkan bekerjanya sistem keamanan sosial. Cara yang lebih mudah adalah dengan mengestimasi nilai zakat, yaitu memasukkan pendapatan dalam penghitungan pendapatan nasional menggunakaan GNP.


Perbedaan Pemanfaatan Zakat dan Pajak yang Digunakan dalam Sejarah Pemerintahan Islam

Pembahasan pemanfaatan pajak merupakan salah satu bagian dalam pembahasan kebijakan fiskal yang dikelola oleh pemerintah suatu Negara. Oleh karena itu, perlu melihat definisi kebijakan fiskal dalam buku teks Principles of Macroeconomics “Fiscal policy—the use of government expenditures and taxes to influence the level of economic activity—is the government counterpart to monetary policy. Like monetary policy, it can be used in an effort to close a recessionary or an inflationary gap.” Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dengan cara meningkatkan atau menurunkan pendapatan dalam bidang anggaran dan belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Adapun sumber terbesar untuk anggaran dan belanja Negara dalam ekonomi makro umumnya berasal dari penerimaan Negara di bidang pajak, sementara sektor usaha milik Negara kebanyakan dikelola untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak menghasilkan penerimaan yang signifikan bagi Negara.
Di Indonesia, pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Bumi Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Migas (PBB sektor P3). Sedangkan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB sektor P2) dan BPHTB menjadi wewenang Pemda. Pemanfaatan pajak yang dihimpun oleh Dirjen Pajak adalah wewenang DPR/DPRD dan Kementerian-Kementerian Negara/Lembaga yang terkait. Alokasinya dimanfaatkan untuk membiayai 14 (empat belas) bidang kegiatan pembangunan nasional, yaitu bidang-bidang: Fasilitas dan Infrastruktur, Dana Alokasi Umum, Pemilihan Umum, Penegakan Hukum, Subsidi Pangan, Subsidi BBM, Pelayanan Kesehatan, Pertahanan dan Keamanan (Hankam), Pendidikan, Kelestarian Lingkungan Hidup, Penanggulangan Bencana, Kelestarian Budaya, Transportasi Massal dan Penyediaan Biaya Listrik terjangkau.
Saat ini di Indonesia, zakat belum merupakan salah satu komponen sumber penerimaan Negara yang diperhitungkan langsung sebagai pengurang beban/hutang Pajak dan menunjukkan bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah saling menggantikan namun tidak sepenuhnya. Tetapi telah menempatkan Zakat hanya sebagai pengurang penghasilan neto wajib pajak yang berdampak pada berkurangnya nilai beban Pajak yang masih harus dibayar. Persyaratan lengkap untuk prosedur ini sebagaimana dikutip dari tulisan Erikson Wijaya sebagai berikut.
“Adapun syarat Zakat agar dapat dibiayakan (diperhitungkan sebagai pengurang) menurut Pasal 9 UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ)atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Di Indonesia ada BAZ Nasional. Itu kenapa zakat fitrah tidak dapat memenuhi kriteria ini, lain hal dengan Zakat maal yang oleh perusahaan atau orang pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ. Sementara zakat fitrah diserahkan hanya atas nama individu dan kepada lembaga amil zakat yang sifatnya lokal atau langsung ke Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).”
Sejarah ekonomi makro Islami dalam buku Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis menyebutkan bahwa sumber penerimaan pada masa Rasulullah dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu: (1) dari kaum muslim terdiri atas zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, amwal fadhla, nawaib, shadaqah seperti qurban dan kafarat, (2) dari kaum non muslim terdiri dari jizyah, kharaj, dan ushr, (3) dan dari sumber lain misalnya ghanimah, fay, uang tebusan, hadiah dari pemimpin dan Negara lain, pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim.
Lebih lanjut buku tersebut juga menjelaskan tentang pemanfaatan zakat dan pajak dalam sejarah pemerintahan Islam yang sumber penerimaannya dari instrumen-instrumen yang telah disebutkan. Instrumen ghanimah yaitu harta rampasan perang yang disebut juga sebagai khums pemanfaatannya adalah (1) seperlima bagian diperuntukkan bagi Allah, Rasul dan kerabatnya, golongan yatim, golongan miskin, dan ibnu sabil, (2) sisanya yaitu sebesar 4/5 adalah milik para pejuang yang berhak atas rampasan perang tersebut. Setelah Rasulullah wafat maka saham beliau dikeluarkan dari pembagian ghanimah.
Jizyah yang merupakan pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim laki-laki yang telah baligh dan berakal untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer merupakan hak Allah dan diberikan kepada kaum Muslimin dengan tujuan utama kebersamaan dalam menanggung beban Negara serta dorongan bagi kaum kafir agar masuk Islam. Kharaj adalah pajak tanah yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara Islam yang baru berdiri dan jumlahnya tetap yaitu setengah dari hasil produksi dan diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin karena kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Zakat dan ushr adalah pendapatan utama bagi Negara semasa Rasulullah hidup. Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yaitu diwajibkan pada komoditas perdagangan baik yang diekspor maupun diimpor dalam sebuah Negara Islam. Ushr juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan yang disebabkan adanya perjanjian perdamaian. Adapun tanpa perjanjian maka memungut cukai diharamkan oleh Rasulullah. Pemanfaatan zakat disebutkan dengan jelas dalam Quran surat At-Taubah ayat 60 (QS 9: 60) yaitu untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dipandang untuk mencapai sasaran distribusi pendapatan yang lebih merata.
Amwal fadhla adalah harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain yaitu nawaib adalah pajak yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya untuk menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
Belanja pemerintah pada masa Rasulullah terbagi menjadi: (1) hal-hal pokok meliputi biaya pertahanan Negara, penyaluran zakat, dan ushr untuk yang berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang Negara serta bantuan untuk musafir. (2) hal-hal sekunder diperuntukkan bagi bantuan orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan dan utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab dapat disimpulkan pengelompokan pemanfaatan zakat dan pajak sebagai pembentuk pendapatan Negara dalam 4 bagian: (1) zakat dan ushr untuk pendistribusian lokal dan jika berlebih disimpan, (2) khums dan sadaqah digunakan untuk fakir miskin dan kesejahteraan, (3) kharaj, fay, jizyah, ushr, sewa tetap digunakan untuk dana pensiun dan dana pinjaman (allowance), (4) pendapatan dari semua sumber digunakan untuk pekerja, pemelihara anak terlantar dan dana sosial.
Adiwarman Karim membuat pernyataan bahwa pengeluaran Negara yang lebih banyak adalah untuk kemaslahatan umat pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dengan kesimpulan sebagai berikut: (1) Primer penggunaannya untuk: biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan, penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Quran termasuk para pemungut zakat, pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negaa lainnya, pembayaran upah para sukarelawan, pembayaran utang Negara, bantuan untuk musafir. (2) Sekunder penggunaannya untuk: bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan, hiburan untuk para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka, hadiah untuk pemerintah Negara lain, pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi budak, pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum muslimin, pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin, pembayaran tunjangan untuk orang miskin, tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah, persediaan darurat.
Untuk memberikan kesimpulan bagi pembahasan ini maka perlu ditinjau tulisan Muhammad Syafii Antonio sebagai berikut: kedudukan zakat dalam perekonomian Indonesia yaitu belum menjadi sumber pendapatan resmi Negara mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam, sedangkan kedudukan zakat dalam ekonomi Islam berdasarkan pendapat Abu Ubaid yaitu zakat merupakan institusi khusus keuangan publik yang potensial untuk mengatasi pengeluaran publik bagi kaum Muslim bahkan untuk kaum non-Muslim jika pendapatan negara dari sumber selain pajak tidak mampu memenuhi kebutuhan pulik secara umum.


Konsep dan Peran Baitul Maal dalam Mengelola Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kedudukan lembaga Baitul Maal dalam ekonomi Islam serupa dengan kedudukan national treasury pada perekonomian saat ini. National treasury adalah suatu departemen dalam pemerintahan yang berwenang atas pengumpulan, pengelolaan, dan pengeluaran Negara sebagaimana yang didefinisikan dalam kamus Thesaurus untuk kata treasury yang terkait pemerintahan yaitu “the government department responsible for collecting and managing and spending public revenues”. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara bersamaan untuk mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi yaitu menggunakan kebijakan fiskal yang berupa pengelolaan belanja Negara, transfer payments, dan pajak di satu sisi dan diimbangi dengan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral di sisi lain. Keduanya berfungsi secara bersamaan untuk menjaga stabilitas ekonomi di suatu Negara.
Sejarah baitul maal dalam buku tulisan Nurul Huda et al adalah Rasulullah yang pertama kali menyerahkan pengelolaan sumber penerimaan Negara dan sumber pengeluaran Negara pada baitul maal. Pada masa Abu Bakar, dilakukan pengembangan pembangunan baitul maal dan penanggung jawab baitul maal adalah Abu Ubaida. Kemudian Umar bin Khatab melakukan reorganisasi baitul maal dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama dan disebut sebagai al-divan yaitu sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensium dan tunjangan-tunjangan lain.
Adiwarman Karim dalam Ekonomi Makro Islam menyebutkan bahwa dalam pemerintahan Islam, kebijakan fiskal telah dikenal sejak zaman Rasulullah hingga zaman pertengahan. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat, Baitul Maal adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara. Kebijakan fiskal di Baitul Maal memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ciri kebijakan fiskal Baitul Maal di zaman Rasulullah dan para sahabat adalah sebagai berikut: (1) Sangat jarang terjadi defisit anggaran (2) sistem pajak proporsional, (3) besarnya rate kharaj ditentukan berdasarkan produktivitas lahan, bukan berdasarkan zona, (4) berlakunya regressive rate untuk zakat peternakan, (5) perhitungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan, bukan atas harga jual, (6) porsi besar untuk pembangunan infrastruktur, (7) manajemen yang baik akan memberikan hasil yang baik, (8) jaringan kerja antara baitul maal pusat dengan daerah. Baitul maal juga mengatur pengeluaran dalam rangka mengembangkan ekonomi serta untuk meningkatkan partisipasi kerja dan produksi yaitu dengan: (1) mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh baitul maal, dan (2) mengeluarkan dana baitul maal untuk kebijakan dan tindakan aksi yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Instrumen kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Rasulullah antara lain meningkatkan pendapatan nasional dan partisipasi kerja dengan mempersaudarakan dan mendorong terjalinnya kerjasama antara kaum muhajirin dengan anshar, membagikan tanah dan perumahan untuk kaum muhajirin, membagikan 80% harta rampasan perang yang meningkatkan aggregate demand. Adapun peran baitul maal dalam kebijakan fiskal ini adalah dalam pemungutan pajak dan pengaturan anggaran dengan menganut asas anggaran berimbang (balance budget) yaitu semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Salah satu penyebab terjadinya peredaran uang yang terlalu tinggi (inflasi) adalah terjadinya defisit anggaran yang ditutup dengan pinjaman. Karena itu dengan penerapan balance budget, inflasi dapat ditekan sedemikian rupa karena pemerintah tidak perlu banyak mencetak uang.

Referensi
·         Buku Teks:
-          Adiwarman A. Karim, (2007), Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
-          Jaribah Al-Haritsi, (2006), Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa, Pustaka Al-Kautsar Group.
-          Libby Rittenberg, Timothy Tregarthen, Principles of Macroeconomics. California, USA: Flat World Knowledge, Inc.
-          Nurul Huda, Handi Risza Idris, Mustafa Edwin Nasution, Ranti Wiliasih, (2008), Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
·         Jurnal
-          Marie Finnegan, Department of Economics, University of Limerick, Limerick, Ireland, (1995), The moral dimensions of neoclassical economics: a critique. International Journal of Social Economics Volume: 22 Issue: 6 1995.
·         Website
-          Erikson Wijaya, (2012), Tinjauan Singkat Pajak dan Zakat. Artikel dalam website resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia http://www.pajak.go.id/content/article/tinjauan-singkat-pajak-dan-zakat
-          Muhammad SYafii Antonio dan Zakiyah Dwi Poetry, Efectivity of Zakat in Indonesian Regulatory; Overview on Abu Ubaid Perspective. Disarikan dari www.syafiiantonio.com yang dimuat dalam http://andalusia.or.id/www/index.php?page=content&&ide=26
-          Wiyoso Hadi, (2013), Berjamaah Mengawasi Manfaat Penggunaan Uang Pajak. Artikel dalam website resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia http://www.pajak.go.id/content/article/berjamaah-mengawasi-manfaat-penggunaan-uang-pajak