Wednesday, March 17, 2010

Pendirian BMT dan BPRS

Banyak yang tanya cara pendirian BMT dan BPRS, sudah ketemu e-book dari PKES dan peraturan BI. Coba lihat link berikut, insyaAllah ringkasannya menyusul:

http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/se_113409.htm
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 11/34/DPbS perihal Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

http://www.bi.go.id/web/id/Peraturan/Perbankan/pbi_112309.htm
Peraturan Bank Indonesia Nomor 11/23/PBI/2009 tentang Bank Pembiayaan Rakyat Syariah

http://www.pkesinteraktif.com/download/e-book-pkes/94-e-book-ekonomi-syariah-pkes.html

Saturday, March 6, 2010

Fiqih Kontemporer

Pendahuluan

Fiqih adalah suatu bidang ilmu yang berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu fiqih juga sangat tergantung pada kondisi tempat dan masa dimana manusia itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu, muncullah pertanyaan-pertanyaan baru dalam masalah fiqh yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan teknologi. Kemudian seperti yang kita semua ketahui bahwa agama Islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan manusia maka begitu pula dengan fiqih, maka untuk menjawab tantangan zaman itulah muncul ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan hukum-hukum fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia modern. Untuk lebih jelasnya saya paparkan dalam makalah berikut ini. Semoga dapat diterima dengan baik.

Daftar Isi

Pendahuluan
Daftar Isi
Fiqih Kontemporer
A. Fiqih Memasuki Era Modern
B. Sebab-sebab Timbulnya Fiqih Kontemporer
C. Beberapa Contoh Masalah Fiqih Kontemporer
1. Masalah Pernikahan Melalui Telepon
2. Seputar Masalah Pencangkokan Organ Tubuh
3. Undian Berhadiah Dari Perusahaan Dagang (Produsen)
4. Penggunaan Ayat Al-Quran & Suara Azan Sebagai Nada Dering HP
Daftar Pustaka

Fiqih Kontemporer

A. Fiqih Memasuki Era Modern

Memasuki era modern, fiqih dalam Islam mengalami penurunan dalam penggunaan oleh masyarakat. Fiqih yang sebenarnya mencakup segala hal dalam kehidupan manusia, mengalami degradasi dalam cakupan pengertiannya terutama di kalangan masyarakat awam yang memahami fiqh hanya mengatur tata cara beribadah secara ritual. Pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan apa yang disebut sekulerisme yang memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik dan sosial. Fiqih yang tadinya dipakai sebagai dasar negara dakam mengambil keputusan mulai dipisahkan dari kehidupan kenegaraan karena dianggap tidak dapat menjawab segala masalah yang muncul di era modern. Bahkan sebagian orang berpikir bahwa agama menghambat kemajuan. Hal ini dikarenakan para ulama tidak berani berijtihad dalam mengambil keputusan hukum tentang suatu topik dan masalah aktual-kontemporer yang relevan dengan kehidupan kini.
Pada akhir abad ke 20, beberapa negara berkembang mulai memeriksa kembali struktur hukum mereka dan memantau dari segi Al Qur’an dan hukum tradisional Islam yang ternyata terbukti lebih baik dari sistem imperialisme yang diterapkan negara-negara barat.

B. Sebab-sebab Timbulnya Fiqih Kontemporer

Masyarakat Islam dituntut untuk mengikuti perubahan sosial dan sejarah dalam dunia modern. Masalah fiqih kontemporer ini mencakup hal-hal yang terjadi akibat perkembangan zaman dan teknologi. Contohnya dalam hal telepon dan fungsinya apakah dapat digunakan sebagai lebih dari sekedar alat komunikasi, juga permasalahan dalam kedokteran modern, apa saja pandangan Islam terhadap sistem-sistem pemerintahan yang muncul di era modern, dan lain sebagainya.
Tentu saja semua itu memerlukan jawaban yang ditopang dalil-dalil yang kuat, argumentatif, dan komparatif. Maka muncullah pemikir-pemikir besar di kalangan ulama Islam terutama yang berusaha mencari jawaban atas segi fiqih suatu permasalahan yang muncul akibat perkembangan zaman. Salah satunya adalah Dr. Yusuf Qardhawi dari Mesir, beliau mengeluarkan fatwa-fatwa tentang permasalahan yang dihadapi atau dialami umat Islam. Yang mencoba mengembalikan fungsi Islam sebenarnya yaitu bukan sebagai agama saja tetapi juga sebagai cara hidup manusia secara keseluruhan.

C. Beberapa Contoh Masalah Fiqih Kontemporer

1. Masalah Pernikahan Melalui Telepon

Untuk dapat menjawab pertanyaan tentang masalah akad nikah melalui telepon, pertama-tama kita harus mengkaji tentang ijab kabul itu sendiri. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dalam mencapai keabsahan ijab kabul ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah ittihad al-majelis / bersatunya majelis dalam melakukan akad.
Terdapat dua penafsiran ”bersatunya majelis” di kalangan para ulama.
a. Pendapat pertama dikemukakan oleh Said Sabiq dan Al-Jaziri dari madzhab Hanafi yang menekankan pada persatuan waktu antara ijab dan kabul, dan bukan persatuan tempat.
Menurutnya, yang dimaksud dengan ittihad al-majelis adalah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah. Bukan dilakukan dalam dua jarak waktu terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara ijab bubar, kabul diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal dua jarak waktu yang terpisah bisa saja tempatnya sama dan diadakan dalam dua acara yang berturut-turut tetapi karena kesinambungan antara ijab dan kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah.
Kita dapat melihatnya dari praktik akad nikah yang dianggap sah di kalangan madzhab Hanafiyah. Yaitu kondisi dimana salah seorang diantara pihak yang akan melakukan akad nikah gaib (tidak bisa hadir), maka jalan keluarnya adalah selain bisa mengutus wali, juga bisa dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya, yang kemudian menghadirkan saksi untuk membacakan redaksi surat itu di depan mereka. Hal itu dianggap sah selama pengucapan kabulnya dilakukan langsung dalam satu majelis. Juga dalam praktek ijab kabul dimana kedua pihak tidak berada di ruangan yang sama tetapi menggunakan pengeras suara. Sedangkan konsekuensinya adalah saksi tidak dapat melihat salah satu pihak yang melakukan ijab kabul.
Kemudian dalam hal saksi yang tidak bisa melihat salah satu pihak dapat diqiyaskan kepada masalah orang buta sebagai saksi yaitu menurut Ibnu Qudamah, seorang ahli fiqh dari kalangan Hanbali. Dalam kitabnya Al-Mughni beliau menegaskan kabsahan kesaksian dua orang buta untuk akad nikah, dengan alasan bahwa yang akan disaksikan adalah suara. Jika saksi tersebut dapat memastikan secara yakin bahwa suara itu benar-benar diucapkan oleh dua orang yang melakukan akad nikah. Pendapat ini juga diikuti oleh Said Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah.
Jika kita menggabungkan antara dua kasus ini maka pernikahan melalui telepon menjadi sah karena masalah bahwa dua orang saksi harus mampu melihat kedua orang yang mengucapkan ijab dan kabul menjadi tidak penting, akan tetapi kedua saksi harus dapat memastikan bahwa yang berbicara adalah benar-benar kedua pihak yang melakukan akad nikah dan tidak ada perselisihan dalam hal itu.
b. Pendapat kedua yang diutarakan madzhab Syafi’iyah menegaskan praktik akad nikah melalui telepon tidak sah. Berikut pokok-pokok perbandingannya:
• Kesaksian didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Untuk memenuhi persyaratan bersatu majelis dalam artian bersatu secara fisik, karena itu dengan persyaratan al mu’ayanah (dapat dilihat secara fisik) dapat dipenuhi.
• Dua orang saksi menyaksikan calon suami saja, dan dua orang menyaksikan wali perempuan saja. Meskipun hal itu bisa menjamin bahwa kedua belah pihak berakad, namun yang seperti itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Sedangkan akad nikah mengandung arti ta’abbud yaitu dalam pelaksanaannya harus terikat dengan contoh dari Rasulullah.
• Yang dicontohkan Rasulullah adalah selain calon suami hadir bersama wali perempuan pada satu tempat untuk melakukan akad nikah yaitu dengan cara mewakilkan (tawkil) kepada seseorang yang dipercaya jika calon suami tidak dapat hadir. Seperti dalam hadits ”HR Abu Dawud dari Uqbah bin Amir Rasulullah berkata pada seorang lelaki, ’Apakah engkau rela untuk saya nikahkan dengan perempuan Fulan?’ Lelaki itu menawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan ’Apakah kamu bersedia untuk saya nikahkan dengan lelaki itu?’ Perempuan itu menjawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya. Disini Rasulullah bertindak sebagai wakil si lelaki dan juga sebagai wali si perempuan. Maka dapat dijadikan dalil bagi ketidakhadiran secara fisik calon suami tetapi dialternatifkan dengan cara mewakilkan.
• Apabila bukan hanya suara calon suami saja yang dapat didengar tetapi juga gambar yang sedang berbicara tetap dianggap tidak sah oleh madzhab Syafi’i karena yang dilihat hanyalah gambar dan fisiknya tetap tidak berada disana.
• Pemahaman Syafi’iyah dalam hal ini terasa sangat kaku, sehingga masalah pelaksanaan akad nikah tidak bisa berkembang. Tetapi dalam keketatan itu terdapat sikap kehati-hatian untuk menghindari akad nikah yang dilakukan dengan penuh khidmat itu, jangan sampai membuka peluang kepada praktik-praktik yang tidak pasti.
Kedua pandangan diatas dapat dijadikan alternatif untuk memilih salah satu diantaranya selama belum ada ketegasan Undang-undang dari pemerintah. Sedangkan jika pemerintah sudah menegaskan maka para ulama sepakat untuk mengikuti ketetapan dari peradilan.

2. Seputar Masalah Pencangkokan Organ Tubuh

a. Mendermakan organ tubuhnya ketika seorang muslim masih hidup.
Tubuh merupakan titipan dari Allah akan tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan menggunakannnya, sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukan.
Akan tetapi kebolehan ini bersifat bersyarat (muqayyad) yaitu tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. Oleh sebab itu tidak boleh mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya misalnya hati atau jantung karena orang tersebut tidak mungkin hidup tanpa organ tersebut. Maka kewajiban menghilangkan dharar tidak boleh sampai menimbulkan dharar pada orang yang mendermakan. Juga termasuk tidak boleh mendonorkan organ tubuh bagian luar seperti mata, tangan, dan kaki. Sedangkan mendonorkan salah satu ginjal apabila kedua ginjal berfungsi baik diperkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi yang melakukan tetapi tetap harus dilakukan dengan seizin orang yang berhak kepada orang yang ingin mendonorkan seperti suami seorang istri yang ingin mendonorkan karena berpengaruh juga dapat menimbulkan dharar bagi sang suami. Dan mendonorkan ini hanya dapat dilakukan orang dewasa dan berakal sebab anak-anak dan orang gila tidak mengerti persis apa kepentingan dirinya.

b. Mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia.
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, maka tidaklah terlarang untuk mewasiatkannya setelah dia meninggal nanti. Sebab yang demikian itu akan menimbulkan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat sedikit pun kepada dirinya. Jika ia melakukannya dengan mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka tidak ada satu pun dalil syara’ yang mengharamkannya.
Sedangkan alasan orang-orang yang tidak memperbolehkan yaitu akan menghilangkan kehormatan mayit berdasarkan hadits ”Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup” tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena hadits itu dimaksudkan untuk melarang memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliyah. Mengambil sebagian organ tubuh mayit dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, tanpa merusak tubuhnya dan mematahkan tulangnya.

c. Menjual organ tubuh.
Pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu (sebagaimana di ta’rifkan fuqaha) adalah tukar menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan di tawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, disana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Disana diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah untuk dikonsumsi orang-orang kaya yang tidak lepas dari campur tangan ”mafia baru” yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu membeli sejumlah uang kepada donor -tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah,hadiah, dan pertolongan- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berhutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara’ dan terpuji, bahkan Rasulullah SAW pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (hutang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda :
”Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kamu ialah yang lebih baik pembayaran hutangnya.” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

d. Mencangkokkan organ tubuh binatang yang najis ke tubuh orang muslim.
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa ”segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya”, dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim terpercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai (yaitu kulitnya) padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur’an. Maka apabila syara’ memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab shahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata ”Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maymunah” lalu beliau bersabda ”Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?” Mereka menjawab, ”Sesungguhnya itu adalah bangkai” beliau bersabda ”Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim? Dalam hal ini yang dilarang syara’ ialah mengenakan benda najis di tubuh bagian luar. Adapun yang di dalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda najis, seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran, dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Quran, tawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam tubuhnya dan tidak membatalkannya sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam tubuh.

3. Undian Berhadiah Dari Perusahaan Dagang (Produsen)

Kasus :
Seorang wakil dari perusahaan perdagangan menarik sejumlah angka sesuai dengan jumlah pelanggan dan dikirimkan kepada mereka (misalnya 100 orang pelanggan) kemudian menarik beberapa nomor lain. Apabila nomor yang ditarik ini sesuai dengan nomor yang dikirimkan sebelumnya, maka orang yang mendapat nomor yang sama itulah yang beruntung.
Kemudian pihak perusahaan mengirimkan nomor-nomor tersebut kepada pelanggan bersangkutan untuk memberitahukan kepada mereka mengenai hadiah yang akan mereka peroleh atau sejumlah keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Sedangkan pelanggan yang bersangkutan tidak ikut perlombaan, tidak mendatangi penarikan undian, juga tidak membayar apa-apa untuk undian tersebut, hanya saja seperti biasanya mereka membeli produk perusahaan tersebut.
Jawaban :
Hadiah yang dibagi-bagikan perusahaan dagang kepada para pelanggan atau pembelinya baik yang berupa uang maupun barang itu tidak termasuk ke dalam kategori judi (maisir). Sebab salah satu karakter judi ialah mengandung untung-rugi bagi salah satu dari dua belah pihak, seperti halnya yanasib yang terkenal di negara-negara Barat, sangat disesalkan praktik ini telah masuk ke dalam masyarakat kita. Hal ini karena hadiah yang diberikan oleh perusahaan itu sifatnya dari satu pihak (yakni pihak perusahaan) tanpa merugikan pihak kedua, yakni para pelanggan atau pembeli.
Adapun cara yang dipergunakan sebagian perusahaan dengan
menggunakan undian, maka hal itu tidak terlarang oleh syara’ menurut pandangan jumhur ulama, dan hal ini juga ditunjuki oleh beberapa hadits sahih yang memperbolehkan menetapkan kemenangan dengan jalan undian.
Namun, dikecualikan dari hal itu ialah orang yang membeli barang dari toko atau perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan hadiah, sedang ia tidak punya tujuan (keperluan) untuk membelinya. Maka hal ini mengarah kepada judi yang terlarang atau mendekatinya.
Meskipun cara menarik pelanggan dengan menggunakan cara Barat ini kurang dianjurkan untuk diikuti pengusaha-pengusaha Islam, misalnya dengan membagi-bagikan hadiah yang hakikatnya masih samar bagi kebanyakan pedagang pada zaman sekarang. Sebab hadiah-hadiah yang dibagikan kepada sebagian pembeli itu pada akhirnya menimbulkan kenaikan harga yang akhirnya harus ditanggung oleh semua pembeli. Dengan demikian, seolah-olah pembeli yang beruntung mendapatkan hadiah itu (pada undian terakhir) memungut harganya dari seluruh pembeli. Hal inilah yang menimbulkan kesamaran (syubhat) menurut pandangan sebagian ulama, walaupun sebagian pedagang (produsen) beralasan bahwa hadiah yang diberikan itu diambilkan dari laba atau keuntungannya, hal ini memang masih perlu diteliti.
Bagaimanapun, menerima hadiah tersebut asalkan tujuan pokoknya adalah membeli tidak dipandang terlarang. Wallahu a’lam.

4. Penggunaan Ayat Al-Quran dan Suara Azan Sebagai Nada Dering HP

Teknologi tidak pernah berhenti berkembang. Namun sejumlah temuan-temuan baru teknologi ternyata memunculkan perdebatan pro-kontra antara para ulama. Ring tone atau nada dering yang begitu banyak variasinya dalam telepon genggam, awalnya tidak pernah menjadi perhatian apalagi mengundang perdebatan ulama.
Bunyi ring tone, yang mulanya hanya merupakan nada panggil biasa, kemudian berkembang menjadi lagu-lagu, dan berkembang lagi pada pembacaan ayat suci Al-Quran. Perkembangan nada panggil berupa ayat suci Al-Quran lah yang kemudian memicu perbedaan pendapat para ulama. Boleh atau tidak, haram atau halal bila nada dering itu berisi bunyi ayat-ayat Al-Quran?
Tidak sedikit umat Islam yang menggunakan nada panggil telepon seluler miliknya berupa pembacaan ayat suci Al-Quran atau suara azan, atau do'a. Dr. Ahmad Thoha Rayan, memandang tidak boleh menggunakan nada panggil yang berisi suara bacaan Al-Quranul Karim. Ia beralasan, karena Al-Quran yang dibacakan itu seharusnya diperhatikan bacaannya dan direnungkan isinya (ditadabburi), bahkan juga harus disertai adab dan etika tertentu untuk membacanya seperti dengan "ta'awudz" dan "basmalah". Semua alasan itu, tidak mungkin dilakukan oleh para pemilik telepon genggam.
Sementara tentang nada panggil bersuara azan, Dr. Rayan juga mengatakan tidak membolehkannya. Karena ini mungkin saja memunculkan kekacauan, keraguan, salah tanggap, bagi orang yang mendengarnya ketika bukan di waktu awal shalat. Ia juga menegaskan alasannya bukan hanya itu, tapi karena azan adalah syiar suci yang mempunyai waktu dan tempat sendiri untuk dilantunkan. Dan itu semua wajib dihormati.
Di Mesir dan Saudi, fatwa sejumlah ulama juga tidak jauh berbeda. Dr. Ali Jam'ah, Mufti Mesir telah memfatwakan haramnya menggunakan bunyi pembacaan ayat suci Al-Quran dalam telepon genggam yang dijadikan nada panggil. Pengharaman yang disampaikan Dr. Ali Jam'ah, adalah pengharaman yang mutlak sifatnya karena hal tersebut dianggap menodai kesucian Al-Quranul Karim yang diturunkan Allah swt untuk peringatan, dan membacanya adalah ibadah. Bukan digunakan untuk hal-hal yang keluar dari lingkup tujuan diturunkannya.
Sementara Syaikh Mahmud Asyur, tokoh Al-Azhar Mesir dan anggota Majma' Buhuts Islam (forum Kajian Masalah Islam), juga mengatakan hal yang sama. Katanya, "Al-Quran diturunkan dari langit bukan untuk digunakan sebagai urusan yang justeru menyepelekan Al-Quran seperti menjadikannya sebagai nada panggil." Sejumlah ulama lainnya juga menyatakan hal yang hampir sama. Haram. Termasuk Syaikh Shalih Syamrani, Dosen Ma'had Ilmi di Jeddah yang berada di bawah Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud. Ia melarang penggunaan Al-Quran dan azan sebagai nada panggil di telepon.
Hanya saja, Dr. Salwa Basusi, Dosen Fiqih Fakultas Studi Islam di Al-Azhar Mesir, lebih lunak sedikit. Ia tidak mengharamkan dan tidak pula membolehkan. Ia hanya menyebutkan, menggunakan suara pembacaan Al-Quran dan azan dalam nada panggil adalah makruh. Sehingga tidak menggunakannya dianggap lebih utama dan lebih baik. Selain para ulama tersebut, memang ada yang tidak terlalu menganggap hal ini terlarang. Mereka lebih mengkaitkan soal adab dan etika. Jangan sampai, bunyi ayat Al-Quran yang dibaca terpotong di tengah ayat, sehingga memunculkan arti yang kacau. Atau, jangan sampai kalimat "Allahu Akbar" terpotong menjadi "Allahu Ak.. " karena si pemilik menjawab teleponnya. Bahkan yang lebih berbahaya, jika kalimat "Laa ilaaha illallah" terpotong menjadi "Laa ilaah.. " yang berarti tidak ada tuhan, sehingga kalimat itu menjadi syirik.

Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, Prof Dr. H. SH., dan Prof Dr H.M. Atho Mudzar,
Permasalahan Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam. Jakarta :
Gema Insani Press. 2002.
Voll, John Obert, Islam : Continuity and Change in the Modern World, Essex-
England : Westview Press Inc., 1982.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Fatwa-fatwa Kontemporer : Jilid 2. Jakarta : Gema
Insani Press. 1995.
Eramuslim, Jumat, 5 Jan 07 11:30 WIB (www.eramuslim.com)

Disampaikan pada matakuliah Pengantar Ilmu Fiqh STEI dan STAI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Chairuman Kamal, Lc. pada Semester Ganjil 2006/2007

Kitab dan Rasul

KATA PENGANTAR

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
Segala puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT atas nikmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan dan menghadirkan kepada rekan-rekan mahasiswa sebuah makalah dengan tema “Kitab & Rasul”.
Ucapan Terima Kasih kami sampaikan kepada Bp. H. Ali Akhmadi, MA selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahannya dalam penyusunan makalah ini. Juga kepada rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Kami sadari, makalah ini masih sangat jauh dari sempurna, karenya kritik dan saran dari rekan-rekan mahasiswa sangat kami harapkan. Harapan kami, semoga makalah ini dapat membantu kita dalam memahami mata kuliah study Islam.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Jakarta, 3 Oktober 2006

Tim Penyusun

DAFTAR ISI

1. Pengertian Kitab
2. Sejarah Kitab yang dianggap Wahyu
3. Wahyu menurut Islam
4. Al-Qur’anul Karim
5. Nama-nama Al-Qur’an
6. Pengertian Rasul
7. Sejarah singkat tentang Rasul
8. Rasul dimata agama secara umum
9. Muhammad adalah Rasul Penutup
10. Keistimewaan Rasulullah saw
11. Tugas-Tugas Kerasulan

Kitab

I. Pengertian kitab
- Dalam Kitab Mu’jam Al-Wasith disebutkan bahwa Al-Kitab adalah lembaran – lembaran yang dikumpulkan. Jamaknya Al-Kutub. seperti : Al-Qur’an, Taurat, Zabur dan Injil. Al-Kitab juga bermakna Al-Hukmu, seperti dalam firman Allah :
لأُقْضِيَنَّ بَيْنَكُمَا بِكِتَابِ الله
“Dan aku pasti benar-benar akan menghukumi diantara kalian berdua dengan kitab Allah (hukum Allah).”
Al-Kitab juga bermakna Al-‘Ajal (ketetapan) atau Al-Qadar (ketentuan).

- Adalah kitab atau lembaran-lembaran yang diturunkan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-Nya, dan merupakan kalam-Nya yang benar, yang berisikan segala yang hak, petunjuk dan cahaya.

II. Sejarah kitab yang dianggap wahyu/diwahyukan
Wajib bagi kita untuk beriman kepada semua kitab yang diwahyukan Allah SWT kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Adapun jumlahnya tak terhitung banyaknya, tiada yang mengetahuinya kecuali Allah SWT, namun ada beberapa yang telah diketahui, diantaranya : Suhuf Ibrahim, Taurat, Injil dan Al-Qur’an.
Namun telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan serta perubahan terhadap isi kitab-kitab tersebut kecuali Al-Qur’an. Karena Allah SWT sendiri yang telah menjamin penjagaannya sehingga tidak terjadi perubahan sedikitpun didalamnya.
Allah SWT berfirman :
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا نَحْنُ لَحافِظُوْنَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q. S. Al-Hijr : 9)

Didalam ayat yang lain disebutkan :
لاَ يَأْ تِيْهِ البَاطِلَ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَلاَ مِنْ خَلْفِهِ تَنْزِيْلٌ مِنْ حَكِيْمٍ حَمِيْدٍ
“(yang) tidak akan didatangi oleh kebatilan Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al-Qur’an dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q. S. Al-Hijr : 9)

Sehingga Al-Qur’an yang kita baca sekarang sama persis dengan Al-Qur’an yang dibaca oleh para sahabat r.a. empat belas abad yang silam.

III. Wahyu menurut Islam
Wajib diambil dari akar kata waha-yahi-wahyan yang secara etimologis berarti suara, api, kecepatan, bisikan, rahasia, isyarat, tulisan dan kitab.
Dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan 77 kali kata wahyu. Yang digunakan untuk menerangkan beberapa pengertian, diantaranya :
- Wahyu dalam arti ilham (instink atau intuisi)
- Wahyu dengan arti perintah
- Wahyu dalam arti bisikan/bujukan
- Wahyu dengan arti isyarat

Sedangkan pengertian wahyu secara terminologis menurut pendapat :
a. Syekh Muhammad Abduh
Wahyu ialah pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan yang penuh, bahwa pengetahuan itu datang (berasal) dari Allah SWT, baik melalui perantara atau tidak.
b. Al-Sayyid Rasyid Ridha
Suatu ilmu yang dikhususkan untuk para Nabi dengan tidak mereka usahakan dan tidak mereka pelajari. Wahyu ialah suatu pengetahuan yang mereka peroleh dalam dirinya dengan tidak berijtihad (lebih dahulu) yang disertai oleh suatu pengetahuan yang timbul dengan sendirinya dan diyakini bahwa yang memasukkan ke dalam jiwa mereka adalah Allah Yang Maha Kuasa.

Kata wahyu dalam istilah teknis sehari-hari lebih banyak digunakan dengan pengertian “ajaran Allah yang disampaikan dengan cepat dan rahasia kepada para Nabi dan Rasul.”

Cara penyampaian wahyu ada 3 (tiga) macam, yaitu :
1. Allah memasukkan pengetahuan ke dalam jiwa Nabi tanpa melalui perantaraan malaikat.
2. Allah memperdengarkan suara dari balik tabir.
3. Melalui seorang utusan, yaitu malaikat.

IV. Alqur-anul Karim
Al-Qur’an menurut bahasa berasal dari kata qara’a-yaqra’u-qur’an, yang berarti bacaan. Tetapi para ulama berbeda pendapat tentang pengertian Al-Qur’an menurut bahasa :
• Asy-Syafi’I : kata Al-Qur’an itu bukan pecahan dari akar kata apapun. Yaitu diberi nama seperti itu secara khusus.
• Al-Farra : Kata Al-Qur’an berasal dari qara’in yang berarti jama’ dari kaitan. Karena ayat Al-Quran saling berkaitan satu sama lain.
• Al-Asyari : Kata Al-Qur’an berasal dari qarn yang berarti gabunga/kaitan.

Sedangkan pengertian Al-Qur’an secara istilah adalah firman Allah dalam bahasa Arab (quraisy) yang mengandung mukjizat yaitu tahan uji, yang diturunkan kepada Nabi terakhir melalui perantara malaikat dan tertulis dalam mushaf-mushaf sampai kepada kita melalui jalur mutawatir (dari orang banyak kepada orang banyak) dimulai dengan surat Al-Fatihah dan diakhiri dengan surat An-Naas.
Al-Qur’an pertama kali diturunkan pada malam di bulan Ramadhan yang disebut Lailatul qadr (malam kemuliaan) dan kemudian dilanjutkan secara berangsur-angsur selama 20 tahun. Ayat-ayat dalam Al-Qur’an dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu : Ayat Makkiyah yang diturunkan di Mekkah yang kebanyakan berisi tentang Aqidah dan ayat Madaniyah yang diturunkan di Madinah yang kebanyakan berisi tentang hukum-hukum dan cerita.
Kandungan Al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi :
1. Aqidah, yaitu isi kandungan Al-Qur’an tentang keyakinan yang terpenting, disebut juga ushuluddin, ilmu kalam dan tauhid.
2. Syariat Ibadah, yaitu yang menjadi tujuan penciptaan manusia dan jin untuk menciptakan ketaqwaan.
3. Wa’du dan Wa’id yang berarti janji baik dan ancaman buruk yang pada umumnya dikaitkan dengan masalah-masalah keimanan dan hukum.
4. Akhlaq, yang juga dikenal dengan istilah etika atau moral. Diantara tujuan utama dari kenabian dan kerasulan Muhammad saw adalah untuk menyempurnakan akhlaq.
5. Hukum, yaitu seluruh ketentuan yang dibutuhkan manusia untuk meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat yang berisi perintah dan larangan disimpulkan dalam ilmu fiqh.
6. Kisah-kisah yang pasti benar dan bermanfaat bagi manusia agar dapat mengambil pelajaran darinya.
7. Ilmu pengetahuan dan teknologi yang disebut ayat kauniyah / ayat ‘ulum yang dapat mendorong para ilmuwan untuk memperhatikan alam semesta dan menggali ilmu pengatahuan sebanyak-banyaknya.

Asmaa Al-Qur’an / Nama-nama Al-Qur’an

Nama-nama lain bagi Al-Qur’an yang disebut sendiri oleh Allah diantaranya :
1. Al Kitaab (kitab)
Perkataan kitab dalam bahasa Arab dengan barisan tanwin di akhirnya (kitabun) memberikan makna umum yaitu sebagai kitab yang tidak tertentu. Apabila ditambah dengan alif dan laam didepannya menjadi Al Kitab ia telah berubah menjadi sesuatu yang khusus (tertentu). Dalam hubungan ini, nama lain bagi Al Qur’an itu disebut oleh Allah adalah Al Kitab. Sesuai dengan dalil yang terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 2.


2. Al Hudaa (petunjuk)
Allah telah menyatakan bahwa Al Qur’an itu adalah petunjuk. Dalam satu ayat Allah menyatakan ia sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa dan satu ayat yang lain ia sebagai petunjuk untuk manusia seluruhnya. Apabila disebut oleh Allah sebagai petunjuk maka ia merupakan sumber rujukan dan jarum kompas bagi kehidupan manusia. Dalilnya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 2 dan ayat 185.
3. Al Furqaan (pembeda)
Allah memberikan nama lain Al Qur’an dengan Al Furqaan berarti Al Qur’an sebagai pembeda antara yang haq dan yang bathil. Hal ini sesuai dengan firmanNya dalam surat Al Qomar ayat 1.
4. Ar Rahmah (Rahmat)
Allah menamakannya dengan rahmat karena dengan Al Qur’an ini akan melahirkan iman dan hikmah. Bagi manusia yang beriman dan berpegang kepada Al Qur’an ia akan mencari kebaikan dan cenderung kepada kebaikan itu. Dalilnya yaitu dalam Al Qur’an surat ke 17 ayat 82.
5. Ar Ruuh (ruh)
Sifat ruh adalah menghidupkan sesuatu. Seperti jasad manusia yang bila tanpa ruh akan mati, busuk, dan tidak berguna. Bahkan ia akan dipandang seperti binatang yang mati di tepi jalan. Dalam hubungan ini menurut ulama Al Quran mampu menghidupkan hati-hati yang mati sehingga dekat dengan penciptanya. Dalilnya yaitu dalam Al Qur’an surat ke 42 ayat 52 dan surat ke 40 ayat 15.
6. Asy Syifa (obat)
Allah telah mensifatkan bahwa AL Qur’an sebagai penyembuh atau obat, tentu ada kaitannya dengan penyakit. Dalam tafsir Ibnu Katsir dinyatakan bahwa Al Qur’an adalah penyembuh dari penyakit-penyakit dalam hati-hati manusia seperti syirik, sombong, congkak, ragu, dsb, dan ini sesuai dengan firmanNya dalam surat ke 10 ayat 7.
7. Al Haq (kebenaran)
Al Qur’an dinamakan dengan Al Haq karena dari awal hingga akhirnya kandungan Al Qur’an adalah kebenaran semua. Bukanlah kebenaran itu mengikuti ukuran dan nafsu manusia, karena pandangan dan nafsu manusia terlalu dangkal dan terbatas dalam menentukan keadilan dan kebenaran yang hakiki. Hal ini sesuai dengan Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 147.
8. Al Bayaan (penerangan)
Al Qur’an adalah kitab yang membawa keterangan dan penjelasan kepada manusia tentang apa yang baik dan yang buruk untuk mereka. Selain itu Al Qur’an juga menerangkan kisah-kisah terdahulu yang pernah mengingkari perintah Allah lalu ditimpakan dengan berbagai azab yang tidak terduga. Semua keterangan itu wajib ditadaburi oleh manusia untuk menyelamatkan tujuan hidup mereka sehingga mereka akan mati penuh kemuliaan. Hal tersebut seperti yang tercantum dalam surat Ali Imran ayat 138.
9. Al Mau’izah (pengajaran)
Al Qur’an diturunkan untuk kegunaan dan keperluan manusia, karena manusia senantiasa memerlukan peringatan dan pelajaran yang akan membawa mereka kembali kepada penciptaan yang sebenarnya. Tanpa bahan pengajaran manusia akan lalai dan terlena dari tugasnya karena mereka senantiasa diikuti oleh syaitan laknatullah yang akan menjauhkan mereka dari jalan Allah. Dalilnya terdapat dalam Al Qur’an surat 3 ayat 138 dan surat ke 54 ayat 17 dan 22.
10. Adz Dzikr (pemberi peringatan)
Al Qur’an disifatkan sebagai Adz Dzikr karena sebetulnya Al Qur’an itu senantiasa memberikan peringatan kepada manusia karena sifat lupa yang tidak luput dari manusia, hal ini sesuai dengan Al Qur’an surat ke 15 ayat 9.
11. Al Busyraa (berita gembira)
Al Qur’an sering menceritakan kabar gembira bagi mereka yang beriman kepada Allah dan menjalani hidup mereka menurut kehendak dan jalan yang telah diatur oleh Al Qur’an. Kabar ini menyampaikan akhir yang baik dan balasan yang menggembirakan bagi orang yang patuh pada jalan Al Qur’an. Begitu banyak janji-janji gembira yang pasti dari Allah untuk mereka yang beriman, dalilnya terdapat dalam Al Qur’an surat ke 16 ayat 89.


RASUL

Pengertian Rasul
Menurut bahasa, rasul berasal dari kata Al-Mursal yang dalam Bahasa Arab dipakai untuk muannats atau mudzakkar baik dalam bentuk mufrad (tunggal) maupun jama’ (plural). Dalam bentuk jamak disebut juga rusul atau arsul yang berarti “yang diutus”.
Sedangkan menurut istilah, pengertian rasul adalah lelaki pilihan yang diutus Allah dengan risalah Islam kepada manusia. Sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an :
يايُهَاالرَسُوْل بلّغ إلَيْكَ ما أنزل من ربك ..
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan Tuhanmu kepadamu.”

Selain itu juga, Rasul juga berarti teladan dalam melaksanakan risalah, sebagaimana terdapat dalam ayat :
الذين يـبلغون رسالات ...
“(yaitu) orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah …”

Sejarah singkat tentang Rasul
Pada masa Adam a.s manusia itu hidup dalam satu tempat, oleh karena itu, maka ajaran yang coraknya satu itu telah mencukuinya. Hingga zaman Nabi Nuh a.s umat manusia itu hidup dalam tempat-tepmat yang terpencil. Setelah Nabi Nuh a.s inilah, maka umat manusia merata di pelbaga dunia ini. Tetapi pengaruh ajaran Nabi Nuh is. Ini mulai berkurang. Maka datanglah rasul-rasul yang lain, dan pengaruh mereka berangsur-angsur berkurang pula. Dan tiap-tiap rasul itu diutus untuk kaumnya masing-masing dan untuk masa tertentu. Risalah yang dibawa oleh Musa a.s, Isa a.s, dan Nabi-nabi yang lain ke pelbagai dunia ini, adalah seperti anak-anak sungai menuju ke satu aliran sungai besar dan menuju ke samudra raya itu. Memang semua risalah yang dibawa oleh Nabi-nabi itu baik, tetapi adalah suatu keharusan bahwa sungai-sungai itu harus mengalir ke satu tujuan adalah samudre raya. Dan membuktikan ke-Esa-an Tuhan dan mengajarkan satu tujuan yang agung, yang pengahabisa, yaitu agama Islam. Yang untuk tujuan itu manusia diciptakan. Apabila Al-Qur’an tidak membawa ajaran ini, maka ajaran Nabi manakah yang akan menerangkan? Sudah barang tentu bukanlah kitab injil, karena injil hanya membicarakan soal Tuhan anak-cucu Israel. Juga bukan ajaran Isa a.s, karena Isa a.s bukanlah seorang Nabi untuk seluruh umat manusia. Oleh karena itu, memang sebelum datangnya Nabi Muhammad saw tidak ada seorang Nabi pun yang diutus kepada seluruh umat manusia, dan seseblum Al-Qur’an, tidak ada sebuah kitab sucipun yang ditujukan kepada seluruh umat manusia.
“Katakanlah : Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan Langit dan bumi, tidak ada Tuhan selain Dia, yang menghidupkan dan mematikan. Karena itu, berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kalimat-kalimat-Nya (kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat pentunjuk (Q.S Al-A’raf : 158)

Rasul dimata agama secara umum
Dalam ajaran agama Samawi, semuanya mengakui adanya rasul (pembawa risalah). Mereka adalah orang-orang yang sebelum menjadi Nabi, dihargai dan dinilai tinggi oleh masyarakatnya karena ketinggian budi pekertinya, sekalipun oleh orang-orang yang kemudian hari menjadi musuhnya. Didalam Al-Qur’an disebutkan :
“Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul dari golongan mereka sendiri. Dia membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka dalam kesesatan yang nyata.” (Q.S. Ali Imran : 164)

Juga :
“Telah datang seorang Rasul dari bangsa kamu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,sangat menginginkan (keimanan dan kebahagiaanmu), amat belas kasihan lagi penyayangterhadap orang-orang mukmin.” (Q.S At-Taubah : 128)

Ini berarti bahwa Rasul yang diturunkan kepada mereka itu adalah salah seorang diantara mereka, yang mereka tahu benar tentang kemurnian moralnya dan kebaikan budi pekertinya.

Muhammad adalah Rasul penutup
Keluarga Nabi saw dikenal dengan sebutan keluarga Hasyimiah yang dinisbahkan kepada kakeknya Hasyim bin Abdul Manaf. Bapak Rasulullah saw adalah Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf. Sedangkan ibunya adalah Aminah binti Wahab bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Keduanya merupakan kabilah yang terhormat di Arab pada masa itu.
Rasulullah saw.dilahirkan ditengah keluarga bani Hasyim di Makkah pada Senin pagi, tanggal 12 Rabiul Awal permulaan tahun dari peristiwa gajah. Pada awal-awal masa remajanya, Rasulullah tidak mempunyai pekerjaan tetap. Beliau biasa menggembala kambing di kalangan bani sa’ad dan juga di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar. Pada usia 25 tahun beliau pergi berdagang ke Syam, menjalankan barang dagangan milik Khodijah binti Khuwailid. Beliau pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisaroh. Sekembalinya beliau menikah dengan Khodijah.
Pada masa tersebut, kehidupan Arab berada dalam kondisi jahiliyah yang terdapat banyak kerusakan dalam kehidupannya. Tetapi bahkan sebelum masa pengangkatannya, Rasulullah saw, telah dipercaya oleh masyarakat sehingga diberi julukan Al Amin atau yang terpercaya karena sifat-sifatnya yang mulia. Hal ini terbukti dalam peristiwa pengembalian hajar aswad setelah renovasi. Rasulullah saw berhasil memberikan solusi yang sama-sama disukai masing-masing kabilah yang memperebutkan kehormatan untuk mengembalikan hajar aswad ke tempatnya semula dan menghindarkan perpecahan karena hal ini
Selagi usia beliau belum genap 40 tahun, ketika beliau menyendiri di Gua Hira, malaikat Jibril turun dan menyampaikan wahyu pengangkatannya menjadi rasul yang terakhir. Sejak saat itu dimulailah masa berdakwah beliau yang penuh perjuangan. Beliau berdakwah kepada bangsa Arab di Makkah, dan kemudian hijrah ke Madinah ketika tekanan bagi umat muslim di Makkah sudah dirasa terlalu berat. Al Qur’an juga diturunkan kepada Rasulullah untuk menjadi pegangan seluruh umatnya hingga akhir zaman.
Seperti yang disebutkan dalam hadits beliau.
“Kutinggalkan padamu dua hal yang jika engkau berpegang teguh kepada keduanya maka akan selamat, yaitu Al Qur’an dan Al Hadits. “
Pada masa kenabian beliau dan diteruskan pada masa khulafaur Rasyidin, Islam berhasil disebarkan hampir keseluruh dunia dan menguasai peradaban dunia selama beberapa abad. Orang-orang yang hidup berdekatan dengan Rasulullah pasti mencintainya kerena beliau memiliki akhla yang mulia. Beliau memiliki empat sifat yang wajib dimilki nabi dan rasul : Sidiq (benar), Amanah (terpercaya), Tabligh (menyampaikan) Fathonah (cerdas). Beliau tidak pernah menunjukkan sedikitpun keburukan akhlak sampai-sampai Allah swt berfirman kepada beliau dan memuji beliau : “ Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” Qs. Al Qolam :4.
Selain sifat-sifatnya yang mulia, Rasulullah juga memiliki penampilan fisik yang baik. Seperti digambarkan oleh Ali bin Abi Thalib ra. “ Aku tidak pernah melihat orang seperti beliau sebelum dan sesudahnya .

Keistimewaan Rasulullah saw
Nabi Muhammad mempunyai ciri-ciri yang khusus dan keistimewaan dibandingkan dengan para rasul lainnya. Diantara ciri dan keistimewaan tersebut adalah :
- Khatam Al Anbiyaa’ / Nabi penutup
 Allah telah menurunkan Nabi sebanyak 124.000 dan Rasul sebanyak 313 orang. Namun demikian dalam Al Qur’an yang disebutkan hanya 25 orang. Sedangkan penutup bagi semua Rasul dan Nabi itu adalah Nabi Muhammad SAW.
 Muhammad itu bukan bapak salah seorang diantara lelaki kamu tetapi dia adalah Rasul Allah dan penutup dari Rasul-rasul Allah.
 Dalilnya terdapat dalam Al Qur’an surat ke 33 ayat 40, surat ke 40 ayat 78, surat ke 4 ayat 163-164 dan surat ke 6 ayat 84-86.



- Naasikh Ar Risaalat / penghapus risalah
• Risalah terdahulu hanya untuk kaum tertentu saja, sehingga hanya sesuai untuk kaum tersebut. Selain itu risalah terdahulu mengikuti keadaan dan situasi serta keperluan di masa itu sehingga hanya sesuai pada saat tersebut saja.
• Risalah Nabi Muhammad sebagai pelengkap dari risalah sebelumnya dan sekaligus memasukkan risalah sebelumnya. Risalah nabi dapat diamalkan hingga hari kiamat.
• Dalilnya terdapat dalam Al Qur’an surat ke 33:40, QS 61:8, QS 34:28 dan QS 21:107
- Mushaddiqa Al Anbiyaa / membenarkan para Nabi
• Banyak tantangan dan ujian yang mencoba menghapuskan agama Allah, namun demikian Allah senantiasa menjaga dan memeliharanya dari serangan kaum kafir. Nabi Muhammad sebagai nabi akhir melengkapi risalah sebelumnya dan dijadikan sebagai rujukan utama bagi umat Islam.
• Dalilnya terdapat dalam Al Qur’an surat 61 ayat 8 dan 9.
- Mukammil Ar Risaalat / penyempurna Risalah
• Selain membenarkan rasul dan nabi sebelumnya yang membawa risalah Islam, kehadiran Nabi Muhammad SAW juga diperuntukkan bagi suatu kaum tertentu saja dan bagi saat tertentu. Berbeda dengan Muhammad yang diutus untuk semua manusia dan berlaku hingga hari kiamat.
- Rahmatan lil ‘Alamin / Rahmat bagi alam semesta
• Kehadiran Nabi Muhammad di muka bumi adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam yang tidak hanya dirasakan manusia tetapi juga alam, hewan, tumbuh-tumbuhan. Dengan demikian Islam dan Muhammad tidak hanya untuk umat Islam tetapi kebaikannya juga dirasakan oleh manusia lainnya. Islam adalah agama fitrah yang sesuai dengan penciptaan manusia, jadi apabila disampaikan maka akan dirasakan sesuai oleh manusia.
• Dalilnya terdapat dalam Qur’an surat 21:107.



Wazhifah Ar Rasul / Tugas-tugas kerasulan

• Allah SWT memerintahkan rasul untuk menyampaikan wahyu dan sebagai hasil dari penyebaran wahyu ini adalah terbentuknya diinullah. Oleh karena itu, tugas utama menyampaikan dakwah ini juga perlu diiringi dengan menegakkan diinullah. Kedua tugas ini saling berkaitan oleh karena itu perlu memahaminya secara mendalam agar dapat menjalankan dakwah dengan baik. Menyampaikan risalah adalah pekerjaan nabi yang paling utama dan kita pun harus mengikuti tugas ini sebagai kewajiban seorang muslim.
• Rasul diperintahkan untuk menyampaikan dakwah. Tidak ada satupun rasul yang tidak berdakwah karena semua rasul mendapatkan risalah dari Allah dan bertanggungjawab menyampaikannya kepada manusia. Kehadiran rasul dengan dakwahnya adalah membawa manusia di dunia untuk beriman dan beramal shaleh.
• Allah memberikan wasiat kepada para Rasul untuk menegakkan diin. Menegakkan diin Islam berarti menjadikan kedamaian di muka bumi. Tugas rasul adalah agar dunia ini damai dan dirahmati.

Disampaikan pada matakuliah Studi Islam STEI dan STAI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Ali Akhmadi, M.A. pada Semester Ganjil 2006/2007

Hadits Maudhu'

A. Pengertian Hadits Maudhu’

Definisi al-maudhu dan hadits maudhu’ adalah :
- Secara bahasa berasal dari kata wadha’a yadha’u wadh’an yang dapat diartikan menyimpan, mengada-ada, atau ditinggal.
- Sedangkan secara istilah maka hadits maudhu berarti ”(1)Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat, ataupun menetapkannya.” Dan dapat pula diartikan sebagai berikut ”(2) Hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
Pelaku yang memalsukan hadits mendapatkan peringatan dari Rasulullah SAW dalam haditsnya :
(a)
”Barangsiapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.”

B. Latar Belakang Timbulnya Hadits Maudhu’

1. Kefanatikan terhadap golongan, atau suatu negri, dll.
Orang-orang yang fanatik terhadap suatu golongan politik, seperti partai Syi’ah terutama Syi’ah Rafidhah, dan juga golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah, sedangkan golongan jumhur yang kurang berilmu juga membuat hadits palsu sebagai tandingan bagi hadits-hadits palsu yang dibuat oleh golongan-golongan tersebut. Sedangkan orang-orang yang fanatik terhadap bahasa Persi juga membuat hadits yang mengagungkan bahasa Persi, begitu pula dengan orang-orang yang terlalu fanatik dengan suatu madzhab.
Contoh hadits maudhu’ dari golongan Syi’ah :
(b)
”Apabila kamu melihat Mu’wiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah dia.“
2. Usaha kaum Zindik.
Kaum zindik adalah kaum yang membenci Islam baik sebagai agama maupun sebagai dasar negara. Karena Al-Qur’an tidak dapat dipalsukan, maka mereka mencoba memalsukan hadits dengan tujuan menghancurkan Islam dari dalam. Contoh hadits buatan kaum Zindiq :
(c)
”Melihat wajah cantik termasuk ibadah.”
3. Adanya pendapat yang memperbolehkan memalsukan hadits untuk kebaikan.
Yaitu dengan tujuan untuk menarik simpati dan menumbuhkan minat beribadah bagi orang-orang awam, tetapi dengan bahasa yang berlebih-lebihan. Dan dengan tujuan agar orang-orang awam melakukan ibadah seperti wirid dan sebagainya. Contoh :
(e)

”Barangsiapa mengatakan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung dari setiap kalimat yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan.”
4. Perselisihan madzhab fiqhiyah dan kelompok-kelompok ilmu kalam.
Dalam rangka memperkuat madzhab masing-masing, mereka berani melakukan pemalsuan hadits. Contoh hadits seperti ini :
(d)
”Barangsiapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka tidak sah shalatnya.”
5. Menjilat penguasa.
Dalam hal ini, para pemalsu hadits membuat hadits palsu yang isinya akan membuat senang penguasa sehingga orang yang memalsukan hadits tersebut akan disukai oleh penguasa saat itu. Contohnya yaitu dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
(f)
Kemudian ditambahkan kata ___________________ oleh Al-Ghiyats untuk menarik simpati khalifah saat itu yaitu Al-Mahdy. Yang berarti :
”Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung.”

C. Ciri-ciri Hadits Maudhu’

Pada dasarnya, ciri-ciri hadits maudhu adalah tidak memenuhi persyaratan hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Lebih lengkapnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad.
1. Pengakuan dari si pembuat sendiri. Contohnya seperti pengakuan seorang guru tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an mengatakan, ”Tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia-manusia membenci Al-Qur’an, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an) agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.” Tetapi menurut Ibnu Daqiqi’l, pengakuan seorang rawi belum dapat dipastikan memaudhukan suatu hadits, karena mungkin sekali sang perawi berbohong.
2. Adanya qarinah/alasan yang memperkuat adanya pengakuan pembuat hadits maudhu. Misalnya seorang perawi mengaku menerima suatu hadits dari seorang guru, sedangkan kenyataannya sang perawi tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau guru yang dimaksud sudah meninggal sebelum sang perawi dilahirkan.
3. Tingkah laku sang perawi yang mencerminkan pernah berbuat hal yang tidak baik seperti sering berdusta kemudian hadits yang sejenis tidak ditemukan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah.
Ciri-ciri yang terdapat pada matan.
1. Maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, atau dengan hadits mutawatir, atau dengan ijma’, dan dengan logika yang sehat.
* Contoh hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :
(1)
”Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.”
Hal ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An’am : 164 :
(2)
”...dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain...”
* Contoh hadits yang bertentangan dengan hadits mutawatir :
(3)
”Sesungguhnya setiap orang yang dinamakan dengan nama-nama Muhammad dan Ahmad dan semisalnya tidak akan dimasukkan neraka.”
Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.
2. Redaksi haditsnya buruk yaitu lafadz yang tidak baik dan tidak fasih padahal Rasulullah SAW adalah orang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun dan enak di telinga. Redaksi yang jelek dapat berpengaruh kepada arti hadits itu sendiri.
3. Isinya menyebutkan janji yang sangat besar untuk perbuatan kecil. Contoh :
(4)
”Sesuap makanan di perut si lapar adalah lebih baik dari membangun seribu masjid jami’.”
4. Maknanya rusak. Hal ini dititikberatkan pada kerusakan arti, sebab periwayatan hadits tidak harus bi lafdzi tetapi boleh maknawi, kecuali bila maknawi tetapi dikatakan lafalnya dari nabi akan termasuk hadits palsu.
5. Isinya bertentangan dengan kenyataan sejarah yang terjadi di masa Rasulullah SAW seperti hadits tentang ketentuan jizyah (pajak) yang dibebankan pada penduduk Khaibar. Kelemahan hadits tersebut berada pada sanadnya yang dikatakan dari Sa’ad bin Muadz yang telah meninggal sebelum perang Khandaq melawan Khaibar, dan bahwa pada saat itu kewajiban jizyah belum diterapkan.
6. Isinya terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat. Contoh hadits ini :
(g)

”Bahwa Rasulullah SAW memegang tangan Ali bin Abi Thalib pada suatu majlis diantara para sahabat yang lain kemudian bersabda ’Inilah wasiatku dan saudaraku, dan khalifah setelahku’ kemudian sahabat yang lain sepakat.”
D. Macam-Macam Hadits Maudhu’

1. Hadits Matruk
Hadits Matruk ialah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
Yang disebut dengan rawy yang tertuduh dusta ialah seorang rawy yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan, bahwa dia sudah pernah berdusta dalam membuat Hadits. Seorang rawy tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan Haditsnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh rawy yang tertuduh dusta, disebut Hadits Matruk dan rawy yang meriwayatkannya disebut dengan Matruku’l-Hadits (orang yang ditinggalkan Haditsnya).
Adapun orang yang pernah berbuat dusta di luar Hadits, tidak ditolak periwayatannya. Sedang menurut sebagian ahli Hadits menolak periwayatannya, dikarenakan orang yang pernah berdusta di luar periwayatan hadits, ada kemungkinan dia berdusta di dalam periwayatan hadits.
Contoh Hadits Matruk :
(h)

”Telah bercerita kepadaku Ya’qub bin Sufyan bin ’Ashim, katanya : ”telah bercerita kepadaku Muhamad bin ’Imran, ujarnya: ”telah bercerita kepadaku ’Isa bin Ziyad, katanya: ”telah bercerita kepadaku ’Abdu’r-Rahim bin Zaid dari ayahnya, dari Sa’id ibnu-’l-Musayyab, dari ’Umar Ibnu’l-Khaththab r.a., katanya: ”Rasulullah s.a.w. bersabda: ”Andaikata (di dunia ini) tak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh”.
Ibnu ’Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawy, yakni: ’Abdu’r-Rahim dan ayahnya (Zaid), adalah orang yang matruku’l-Hadits. Karenanya Hadits yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut Hadits Matruk.
2. Hadits Munkar dan Ma’ruf
Hadits Munkar ialah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan Al-Hadits, sedangkan banyak-salah terjadi dalam menyampaikan Al-Hadits. Adapun yang dikehendaki dengan fasik, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, sebab soal curang dalam i’tikad dinamakan bid’ah dan ini masuk dalam pembicaraan Hadits Dla’if, yang karena rawynya orang pembuat bid’ah.
Definisi hadits munkar di atas tidak mensyaratkan bahwa suatu Hadits dikatakan munkar itu harus ada perlawanannya, yaitu berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqah.
3. Hadits Mu’allal.
Hadits Mu’allal (Ma’lul) ialah suatu hadits, yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, nampak adanya salah sangka dari rawynya, dengan mewashalkan (menganggap, bersambung suatu sanad) Hadits yang Munqathi’ (terputus) atau memasukan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu. Ringkasnya, Hadits Mu’alal itu nampaknya tidak bercacat, tetapi setelah diselidiki terdapat ’illat, kadang-kadang terdapat pada sanad dan kadang-kadang terdapat pada matan. Contohnya Hadits Ya’la bin ’Ubaid :
(i)

”Dari Sufyan Ats-Tsaury dari ’Amr bin Dinar dari Ibnu ’Umar dari Nabi s.a.w ujarnya: Sipenjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.”
’Illat Hadits ini terletak pada ’Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia yang meriwayatkan, melainkan ’Abdullah bin Dinar. Hal itu dapat diketahui berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut. Tetapi oleh karena kedua rawy tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matannya.

4. Hadits Mudraj (Saduran)
Hadits Mudraj ialah hadits yang menampilkan redaksi tambahan, padahal bukan bagian dari hadits. Redaksi tersebut bisa saja milik orang lain baik itu dari sahabat maupun

Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang-Indonesia : PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Rachman, Fatchur, Drs., Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung-Indonesia : PT
Al-Ma’arif, 1978.
Suparta, Munzier, Drs. MA., Ilmu Hadis, Jakarta-Indonesia : PT RajaGrafindo
Persada, 1993.

Disampaikan pada matakuliah Ulumul Hadits STEI dan STAI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Imran Zabidi, M.A., M.Phil. pada Semester Ganjil 2006/2007

Rangkuman Materi Penghalang Ahliyah Al-’Ada’ dan 5 Sumber hukum yang menjadi Mukhtalaf Fiih

Penghalang-penghalang Ahliyah Al-’Ada’

Dalam salah satu persyaratan taklif untuk Mahkum Alaih, terdapat 2 macam kelayakan untuk mendapat taklif yaitu Ahliyah Al Wujub dan Ahliyah Al-Ada’. Ahliyah Al-Ada’ adalah tanggung jawab yang berdasar pada akal. Singkatnya Ahliyah Al-’Ada’ adalah baligh yang dijadikan batas awal dimulainya tuntutan taklif.
Ahliyah Al-’Ada’ terkadang berkurang karena adanya halangan-halangan tertentu. Ada dua macam halangan dalam hal ini yaitu :
1. Halangan samawiy yaitu halangan yang bukan karena upaya dan bukan pula karena pilihan. Contoh : keadaan belum dewasa masa kecil, gila dan gila berselang, lupa tidur, pingsan, sakit dan meninggal.
2. Halangan kasbiy yaitu halangan-halangan karena usaha dan upaya manusia, artinya diakibatkan karena perbuatan manusia. Contoh : ketidaktahuan, mabuk, diletakkan dibawah pengampuan (al-hajr), kesalahan dan keadaan dipaksa (al-ikrah).
Sedangkan pengaruh dari halangan ini disimpulkan menjadi 3 yaitu :
1. Halangan yang menghapus Ahliyah Al-’Ada’. Contoh : meninggal yang menghapuskan untuk selamanya dan gila, tidur, pingsan, mabuk, dan lupa hanya menghapuskan sementara.
2. Halangan yang tidak menghapuskan samasekali tetapi hanya menyebabkan keringanan. Contoh : pada keadaan dipaksa, sakit, haid, nifas, dan lain sebagainya.
3. Halangan yang tidak menghapuskan dan tidak meringankan tetapi hanya mengubah hukum yang berlaku untuk kepentingannya atau kepentingan orang lain. Contoh : orang yang diletakkan di bawah pengampunan (curatele).
Beberapa kasus dalam halangan-halangan terhadap Ahliyah Al-’Ada’ :
1. Al Mahjur Alaih / Al Safih yaitu orang yang diletakkan dibawah pengampunan. Contoh : orang yang berakal tetapi tidak mampu mengurus hartanya. Oleh karena itu ia tetap dituntut untuk melaksanakan semua tuntutan syariat, selain akad-akad yang berkaitan dengan harta.
2. Ketidaktahuan. Dalam hal ini Imam Syafi’i membagi ilmu menjadi 2 :
a. Ilmu umum yang mudah diketahui oleh umumnya manusia. Contoh : salat, puasa, haji, zakat, haramnya membunuh, mencuri, dsb. Dalam hal ini tidak bisa menghapuskan Ahliyah Al-’Ada’ karena apabila orang tersebut berada di wilayah Islam maka mudah diketahui karena sering melihat atau mendengar, meskipun tidak pernah membaca khusus tentang hal tersebut.
b. Ilmu khusus yang hanya diketahui oleh para ahlinya. Contoh : sanksi ta’zir, dalam bidang muamalah, dll.
3. Al Khatha’ (kesalahan) menghilangkan dosa akhirat. Akan tetapi dalam masalah jinayah, Al Khatha’ menghapuskan hukuman badan tetapi tidak menghapuskan hukuman harta atau kafarat. Al Khatha’ dibagi menjadi 3 :
a. Kesalahan dalam perbuatan (al-khatha’ fil fi’l)
b. Kesalahan dalam niat dan maksud (al khatha’ fil qasd)
c. Kesalahan dalam perkiraan (al-khatha’ fil taqdir)
4. Paksaan (al Ikhrah) mempengaruhi Ahliyah Al-’Ada’ baik dalam perkataan maupun perbuatan, tetapi tidak menghilangkan ahliyahnya, sebab orang yang dipaksa tetap dituntut untuk melakukan semua tuntutan syariah.

Sumber-sumber hukum yang menjadi Mukhtalaf Fiih
(Menjadi pertentangan di kalangan ulama)


A. Istihsan

Definisi Al Istihsan secara bahasa adalah mengikuti sesuatu yang baik. Sedangkan menurut istilah dapat disimpulkan sebagai berikut ”perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus karena ada dalil syara’ yang khusus”. Dalil tentang istihsan terdapat pada QS Az Zumar : 17-18 ”Maka gembirakanlah hamba-hambaKu yang mendengar perkataan lalu mengikutinya dengan yang lebih baik” dan dari hadits Nabi SAW.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum :
1. Berpindahnya suatu hukum dari qiyas dhahir kepada suatu qiyas khafiy (istihsan). Contoh : seorang lelaki gila yang sudah dewasa. Berdasarkan qiyas dhahir, ayah sebagai wali telah habis masa perwaliannya dengan balighnya anak tersebut kecuali ada ketetapan hakim. Atas dasar istihsan (qiyas khafiy) maka ayah tetap menjadi wali tanpa keputusan hakim, dengan alasan sebab perwaliannya tetap, yaitu kelemahan akal.
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada yang khusus. Contoh tentang pencuri yang harus dipotong tangan tetapi karena sedang berada pada masa kelaparan, Umar tidak memotongnya.
3. Berpindahnya suatu hukum yang kulliy kepada hukum yang merupakan kekecualian.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi sanadnya :
1. Istihsan yang sanadnya qiyas untuk kemudahan dan menghilangkan kesempitan (kemaslahatan). Contoh dalam qiyas khafiy.
2. Istihsan yang sanadnya ’urf yang shahih. Contoh membayar angkutan umum tanpa ijab qabul.
3. Istihsan yang sanadnya nash. Contoh : sah puasanya orang yang lupa makan atau minum.
4. Istihsan yang sanadnya darurat. Contoh : membersihkan sumur yang terkena najis dengan menuangkan air bersih karena tidak ada jalan lain untuk membersihkannya.
Pendapat ulama tentang Istihsan :
1. Istihsan adalah dalil syara’ menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah. Dengan alasan : digunakan untuk mendapatkan maslahat yang lebih kuat atau madharat yang lebih sedikit, dengan hukum azimah dan rukhshah, seperti dalam ayat Al Qur’an yang menyatakan adanya keringanan dalam keadaan terpaksa.
2. Ulama-ulama yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ yaitu Imam Asy-Syafi’i. Dengan alasan : syariat itu berupa nash atau mengqiyaskan kepada nash, ayat-ayat Al Qur’an yang menyuruh kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah serta tidak mengikuti hawa nafsu, Nabi SAW tidak pernah memberikan fatwa dengan istihsan, Nabi SAW menolah sahabat yang berfatwa dengan dasar istihsan, istihsan tidak ada dhabitnya dan tidak ada ukuran dalam mengqiyas.
3. Pendapat Imam Asy-Syaukani bahwa istihsan adalah dalil syara’, tetapi bukan dalil yang mustaqil melainkan kembali kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah diteliti membawa maslahat.

B. Maslahah Mursalah

Disebut juga dengan maslahah muthalaqah. Definisinya secara istilah ”memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nash dan ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaitu yang tidak ditegaskan maupun tidak ditolak oleh syara.” Dalil untuk maslahah mursalah dalam QS Al Anbiya : 107 ”Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam” dan QS Yunus : 57, Al Baqarah : 220.
Kriteria maslahat yang dimaksud disini yaitu :
1. Tidak bertentangan dengan maqashid syari’at yang daruriyah, hajiyyat, tahsiniyah.
2. Rasional.
3. Mengakibatkan raf’ al haraj (tidak menyempitkan).
Persyaratan dalam menggunakan maslahah mursalah :
1. Maslahah mursalah hanya berlaku dalam muamalah dalam arti hubungan manusia dengan manusia dan tidak berlaku dalam ibadah karena tidak bisa berubah-ubah.
2. Maslahah disini harus kemaslahatan yang hakiki bukan yang diragukan, dalam arti mengambil maslahat tadi nyata-nyata membawa manfaat dan menolak kemadharatan.
3. Bersifat umum bukan kemaslahatan yang sifatnya individual, dalam arti kemaslahatan yang memberi manfaat pada umumnya umat.
4. Maslahat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang berupa maqashid al syari’ah dan dalil-dalil yang kulliy serta nash-nash yang qath’iy wurudnya dan dalalahnya.

C. Sadz Dzari’ah dan Fath Dzari’ah

Dzari’ah artinya washilah atau jalan yang menyampaikan pada tujuan. Secara istilah berarti jalan untuk sampai kepada yang haram atau yang halal. Yaitu jalan atau cara yang menyampaikan kepada yang haram menjadi haram juga, jalan yang menyampaikan kepada yang halal menjadi halal juga bahkan cara yang menyampaikan kepada yang wajib juga menjadi wajib. Contoh : shalat jum’at adalah wajib maka meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum’at adalah wajib juga.
Atas dasar ini maka hukum dibagi dua :
1. Maqashid (tujuan) yaitu maqashid al-syari’ah yang berupa kemaslahatan
2. Wasa’il (cara) yaitu jalan yang menuju kepada pencapaian tujuan.
Yang dilihat dalam dzari’ah ini adalah wasa’il tersebut.
Perbuatan atau tingkah laku manusia ditinjau dari cara dzari’ah :
1. Perbuatan yang pelaksanaannya mengakibatkan kemafsadatan secara qath’iy. Contoh : Nabi melarang penimbunan karena penimbunan menjadi dzari’ah kepada kesulitan manusia.
2. Perbuatan yang mengakibatkan kemafsadatan. Contoh : menanam anggur yang dari anggur itu kemudian bisa dibuat khamr. Hal ini memiliki manfaat yang lebih besar dari kemadharatannya.
3. Perbuatan yang paling ghalibnya menyebabkan kemafsadatan. Contoh : menjual anggur kepada tukang membuat khamr.
4. Perbuatan yang mengakibatkan banyak menimbulkan kemafsadatan. Contoh : jual beli yang merupakan sadz al-dzari’at untuk riba yaitu salam pembeli dengan harga yang lebih murah dari harga barang saat penyerahan.
Sadz al-dzari’at adalah perintah yang terdiri dari maksudnya sendiri dan jalan untuk sampai kepada maksud dan larangan yang terdiri dari sesuatu yang dilarang karena ada mafsadat dan washilah yang mengarah pada mafsadat. Sadz al-dzari’at digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat yang dinashkan dan sudah pasti. Kemudian tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan soal amanat (tugas-tugas keagamaan) bahwa kemadharatan meninggalkan amanat lebih besar daripada pelaksanaan suatu perbuatan atas dasar sadz al-dzari’at.
Fath al-dzari’at adalah yang menyampaikan kepada yang diperintah dan digunakan apabila menjadi cara/jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan karena yang dinashkan adalah qath’iy.

D. Istishab

Istishab secara bahasa berarti terus bersama-sama, sedangkan secara istilah adalah ”mengekalkan apa yang telah ada selama tidak ada yang mengubahnnya” atau ”terus berlakunya apa yang ditetapkan maupun yang tidak ditetapkan sehingga ada dalil yang mengubah keadaan.”
Pembagian Istishab :
1. Istishab al bara’at al ashliyah yaitu seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Contoh : anak kecil sampai datang balighnya.
2. Istishab yang ditunjukkan oleh syara’ atau akal. Contoh : seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap hutang sampai ada bukti dia telah melunasi.
3. Istishab hukum. Contoh : sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
4. Istishab washaf. Contoh : bila seseorang meninggalkan kampung halaman dalam keadaan hidup maka orang ini dianggap hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia.

E. Al ’Urf

Al ’Urf juga dikenal dengan istilah Al ’Adat & Al Ta’ammul. Definisinya ”segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan atau perkataan. Adat dengan persyaratan-persyaratan tertentu da[at dijadikan sandaran untuk menetapkan suatu hukum. Dalil penggunaan adat dalam hadits Nabi SAW ”Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah.”
Syarat penggunaan adat kebiasaan :
1. Tidak bertentangan dengan nash.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk tidak memberi kesempitan dan kesulitan.
3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
4. Tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdhah.
Pembagian ’adat kebiasaan secara kualitatif :
1. Al ’adat al shahihah (adat kebiasaan yang benar) yaitu adat yang memenuhi persyaratan diatas. Terdiri dari : adat yang umum biasa dilakukan manusia dimana saja, dan adat yang khusus kebiasaan di negara / tempat tertentu.
2. Al ’adat al bathilah yaitu adat kebiasaan yang tidak memenuhi salah satu syarat diatas.

Disampaikan pada matakuliah Pengantar Ushul Fiqh STEI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Saiful Akib, Lc pada Semester Ganjil 2006/2007