Thursday, July 16, 2015

Tadabbur ayat-ayat Quran tentang personal finance di detik-detik terakhir Ramadhan 1436 H

Landasan hukum dalam Al-Qur’an tentang kewajiban untuk mengelola harta dengan baik dapat ditemukan dalam HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, hal 8, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946 “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya”. Al-Asyaqar menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami , maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT. Sedangkan ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Yang dimaksud sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir, berdasarkan dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan (25) ayat 67, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram. Dalil yang melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil terdapat pada Al-Qur’an surat Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat (Al-Asyaqar, 2006): - QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan. - HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).” Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.