Saturday, July 2, 2016

PASCA: Jangan Terkecoh oleh Harta dan Jangan Lalai Terhadap Perintah Allah SWT

Saat harta dijadikan landasan dan simbol kesuksesan, maka yang terjadi adalah upaya menghalalkan segala cara untuk memperoleh dan menumpuk harta. Pada saat yang sama, penggunaan harta cenderung berorientasi untuk bisa memenuhi segala nafsu dan ambisi.
Egoisme manusia dalam menyikapi, mendapatkan, dan membelanjakan harta kekayaan sering kali melampaui batasan etika, moral, bahkan kewajaran. Mereka bisa sangat tamak, curang, dan tidak memiliki sensitivitas terhadap orang-orang miskin. Harta kekayaan yang mereka peroleh hanyalah demi memenuhi dua hal yang sesungguhnya tidak akan pernah terpuaskan.
Pertama, demi kesenangan dan / atau kemewahan.
Kedua, demi mempertahankan dan / atau menambah harta kekayaan agar gaya hidup bersenang-senang dan bermewah-mewah bisa terus berlangsung. Jika memungkinkan, menguasai sarana atau milik orang lain demi meningkatkan gengsi atau derajat sosial. Akibat yang terjadi adalah orang-orang kaya hanya mementingkan kepentingan sendiri. Si kaya menganggap pembiaran terhadap orang-orang yang berada dalam kelaparan dan kemiskinan merupakan tindakan yang benar.
Gaya hidup bersenang-senang atau bermewah-mewah merupakan kehidupan yang berlebihan - melebihi dari apa yang sesungguhnya mereka butuhkan. Memiliki banyak mobil (mewah) tetapi tidak sesuai dengan kebutuhan; mempunyai banyak perhiasan emas dan / atau berlian, namun sekadar untuk menumpuk kekayaan atau memamerkannya; menghiasi ruangan rumah dengan barang pecah-belah bermutu tinggi; membeli hewan peliharaan dengan harga yang sangat mahal; dan seterusnya. Tidak lupa, mereka pun menghiasi dinding-dinding rumah dengan lukisan yang fantastis harganya, hingga jutaan rupiah. Sedangkan lantai rumah diperindah dengan permadani yang harganya selangit.
Begitulah! Mereka benar-benar memenuhi "kebutuhan" tertentu yang mereka ciptakan sendiri. Demikian pula dengan "kebutuhan" terhadap seks bebas, kehidupan malam, dan gaya hidup bebas lainnya. Demi menikmati sesuatu, bersenang-senang, atau meningkatkan gengsi sosial, mereka menjadikan orang-orang agar dapat melayani gaya hidup mereka dan menopang tujuan-tujuan pribadi mereka.
QS 4: 14
Kalau pun mereka "berbaik hati" meminjamkan uang kepada orang atau pihak tertentu, biasanya mereka selalu menentukan nilai lebih (bunga) dari uang yang dipinjamkan. Bisa juga karena ada pamrih atau motif politis di balik itu. Tidak ada kata "berderma", tidak ada "keikhlasan". Bagi mereka, "pertolongan" harus selalu merujuk pertimbangan "untung-rugi" tanpa peduli bahwa orang-orang yang membutuhkan pertolongan adalah kaum miskin yang kelaparan.

Dr. Muhammad Syafii Antonio, M.Ec. dan Tim TAZKIA. 2010. Ensiklopedia Leadership & Manajemen Muhammad SAW “The Super Leader Super Manager” Bisnis dan Kewirausahaan. Tazkia Publishing, Jakarta. Hlm 27-28.

PASCA: hadits At-Tirmidzi no 2417 & 2354

2417. Abdullah bin Abdurrahman menyampaikan kepada kami dari al-Aswad bin Amir, dari Abu Bakar bin Ayyasy , dari Al-A’masy, dari Sa’id bin Abdullah bin Juraij, dari Abu Barzah al-Aslami bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kedua telapak kaki seorang hamba belum akan berpindah pada Hari Kiamat sampai ditanya tentang umurnya untuk apa dia habiskan, tentang ilmunya untuk apa dia amalkan, tentang hartanya dari mana dia peroleh dan ke mana dia infakkan, serta tentang tubuhnya untuk apa dia pergunakan.”
Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih. Sa’id bin Abdullah bin Juraij adalah orang Bashrah dan maula dari Abu Basrah al-Aslami, sedangkan nama Abu Barzah al-Aslami adalah Nadhlah bin Ubaid.” (hlm 803)

2354. Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari al-Muharibi, dari Muhammad bin Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang Muslim yang fakir masuk surga setengah hari lebih dahulu sebelum orang-orang kaya, selisihnya lima ratus tahun.”
Abu Isa berkata, “Hadits ini hasan shahih.” (hlm 784)

Source: Abu Isa Muhammad bin Isa at-Tirmidzi. Ensiklopedia Hadits 6; Jami’ at-Tirmidzi. Terjemahan oleh Tim Darussunnah, Misbakhul Khaer, Solihin. Diterbitkan oleh Penerbit Almahira, Jakarta (2013).

PASCA: tafsir QS Yusuf (12): 47-49

“Dia berkata, “Kamu bercocok tanam tujuh tahun sebagaimana biasa, maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan di bulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya kecuali sedikit dari apa yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan pada masa itu mereka memeras.”

Tafsir al-Mishbah :
Mendengar pertanyaan yang diajukan atas nama Raja dan pemuka-pemuka masyarakat itu, tanpa menunggu – sesuai dengan harapan penanya – langsung saja dia, yakni Nabi Yusuf as berkata seakan-akan berdialog dengan mereka semua. Karena itu, beliau menggunakan bentuk jamak, “Mimpi memerintahkan kamu wahai masyarakat Mesir, melalui Raja, agar kamu terus-menerus bercocok tanam selama tujuh tahun sebagaimana biasa kamu bercocok tanam, yakni dengan memperhatikan keadaan cuaca, jenis tanaman yang ditanam, pengairan dan sebagainya, atau selama tujuh tahun berturut-turut dengan bersungguh-sungguh. Maka apa yang kamu tuai dari hasil panen sepanjang masa itu hendaklah kamu biarkan di bulirnya agar dia tetap segar tidak rusak, karena biasanya gandum Mesir hanya bertahan dua tahun – demikian pakar tafsir Abu Hayyan – kecuali sedikit yaitu yang tidak perlu kamu simpan dan biarkan di bulirnya yaitu yang kamu butuhkan untuk kamu makan. Kemudian sesudah masa tujuh tahun itu, akan datang tujuh tahun yang amat sulit, akibat terjadinya paceklik di seluruh negeri yang menghabiskan apa yang kamu simpan unuk menghadapinya, yakni untuk menghadapi tahun sulit itu yang dilambangkan oleh tujuh bulir gandum yang kering itu kecuali sedikit dari apa, yakni bibit gandum yang kamu simpan. Itulah takwil mimpi Raja.”
Lebih jauh Nabi Yusuf as melanjutkan, “Kemudian setelah paceklik itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan dengan cukup dan pada masa itu mereka akan hidup sejahtera yang ditandai antara lain bahwa ketika itu mereka terus-menerus memeras sekian banyak hal seperti aneka buah yang menghasilkan minuman, memeras susu binatang dan sebagainya.”
Kata yughats, apabila dipahami dari kata ghaits / hujan, maka terjemahannya adalah diberi hujan. Dan jika ia berasal dari kata ghauts yang berarti pertolongan, maka ia berarti perolehan manfaat yang sangat dibutuhkan guna menampik datangnya mudharat. Dari kata ini lahir istilah istighatsah.
Memperhatikan jawaban Nabi Yusuf as ini, agaknya kita dapat berkata bahwa beliau memahami tujuh ekor sapi sebagai tujuh tahun masa pertanian.Boleh jadi karena sapi digunakan untuk membajak, kegemukan sapi adalah lambang kesuburan, sedang sapi kurus adalah masa sulit di bidang pertanian, yakni masa paceklik.Bulir-bulir gandum lambang pangan yang tersedia. Setiap bulir sama dengan setahun. Demikian juga sebaliknya.
Mimpi Raja ini merupakan anugerah Allah SWT kepada masyarakat Mesir ketika itu.Boleh jadi karena Rajanya yang berlaku adil – walau tidak mempercayai keesaan Allah.Keadilan itu menghasilkan kesejahteraan lahiriah buat mereka. Rujuklah ke uraian penulis pada ayat 117 surah Hud, untuk memahami lebih jauh tentang persoalan ini.
Thabathaba’i mengkritik ulama-ulama yang memahami mimpi Raja itu secara sederhana, yakni mereka yang hanya memahaminya sebagai gambaran tentang apa yang akan terjadi pada dua kali tujuh tahun depan. Memang, redaksi penjelasan Nabi Yusuf as bukan redaksi perintah, tetapi redaksi berita. Namun demikian, apa yang dikemukakan Thabathaba’i dapat diterima, karena sekian banyak redaksi berbentuk berita yang bertujuan perintah. Ulama itu menilai bahwa mimpi tersebut adalah isyarat kepada Raja untuk mengambil langkah-langkah guna menyelamatkan masyarakatnya dari krisis pangan. Yaitu hendaklah dia menggemukkan tujuh ekor sapi agar dimakan oleh tujuh ekor sapi kurus dan menyimpan sebagian besar dari bahan pangan yang telah dituai tetap dalam bulirnya agar tetap segar dan tidak rusak oleh faktor cuaca dan sebagainya. Dengan demikian, menghadapinya, yaitu hendaklah bersungguh-sungguh menanam serta menyimpan sebagian besar hasil panen.
Thabathaba’i, walau memahami ayat 49 di atas sebagai informasi baru tentang apa yang akan terjadi sesudah tujuh tahun sulit, tetapi itu pun dipahaminya dari mimpi tersebut. Dalam arti, jika tujuh tahun sulit itu telah berlalu, maka sesudah itu situasi akan pulih, dan ketika itu tidak perlu lagi mengencangkan ikat pinggang, atau membanting tulang dalam bekerja atau menyimpan hasil panen sebagaimana halnya pada tujuh tahun pertama. Ini karena keadaan telah normal kembali. Itu pula sebabnya, menurut Thabathaba’i dalam mimpi Raja tidak disebut kata tujuh ketika menyatakan bulir-bulir kering, karena masa sesudah tujuh tahun sulit itu akan berjalan normal bukan hanya sepanjang tujuh tahun.

Tafsir Depag & UII:
47. Dengan segala kemurahan hati Yusuf menerangkan ta’bir mimpi raja itu, seolah-olah Yusuf menyampaikan kepada raja dan pembesar-pembesarnya, katanya: “Wahai raja dan pembesar-pembesar negara semuanya, kamu akan menghadapi suatu masa tujuh tahun lamanya penuh dengan segala kemakmuran dan keamanan. Ternak berkembang biak, tumbuh-tumbuhan subur, dan semua orang akan merasa senang dan bahagia. Maka galakkanlah rakyat bertanam dalam masa tujuh tahun itu.Hasil dari tanaman itu harus kamu simpan, gandum disimpan dengan tangkai-tangkainya supaya tahan lama.Sebagian kecil kamu keluarkan untuk dimakan sekedar keperluan saja.
48. Sehabis masa yang makmur itu akan datang masa yang penuh kesengsaraan dan penderitaan selama tujuh tahun pula. Pada waktu itu ternak habis musnah, tanaman-tanaman tidak berbuah, udara panas, musim kemarau panjang.Sumber-sumber air menjadi kering dan rakyat menderita kekurangan makanan. Semua simpanan makanan akan habis, kecuali tinggal sedikit untuk kamu jadikan benih.
49. Kemudian sesudah berlalu masa kesulitan dan kesengsaraan itu, maka datanglah masa hidup makmur, aman dan sentosa. Di masa itu bumi menjadi subur, hujan turun sangat lebatnya, manusia kelihatan beramai-ramai memeras anggur dengan aman dan gembira.Mereka telah duduk bersantai menikmati buah-buahan hasil kebunnya bersama anak-anak dan keluarganya.Itulah ta’bir mimpi raja itu saya sampaikan kepadamu untuk saudara sampaikan kepada raja dan pembesar-pembesarnya.

Sources:
- M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 6. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm 471-473
- Al Qur’an dan Tafsirnya: Jilid IV Juz 10-11-12. Naskah asli Milik Departemen Agama Republik Indonesia dengan perbaikan. Cetak Ulang oleh Universitas Islam Indonesia (1995). Penulis: Tim Tashih Departemen Agama & Universitas Islam Indonesia. Pelaksana cetak Ulang: PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, Indonesia. Hlm 648

PASCA: tafsir QS At-Takatsur (102): 8

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu ).

Tafsir Depag & UII: dalam ayat ini Allah SWT, lebih memperkuat lagi celaan-Nya terhadap mereka, bahwa sesungguhnya mereka akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan yang mereka megah-megahkan di dunia, apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu. Apakah kamu telah menunaikan hak Allah daripadanya, atau apakah kamu menjaga batas-batas hukum Allah yang telah ditentukan dalam bersenang-senang dengan nikmat tersebut.Jika kamu tidak melakukannya, ketahuilah bahwa nikmat-nikmat itu adalah puncak kecelakaan di hari akhirat.Telah diriwayatkan bahwa Umar ra. Bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Nikmat apakah yang ditanyakan kepada kami, Ya Rasulullah, padahal kami telah diusir dari kampung halaman kami dan harta kami?”. Nabi SAW menjawab: “Naungan-naungan rumah, pohon-pohon, gubuk-gubuk yang melindungi kamu dari udara panas dan dingin dan air yang sejuk di hari yang panas .” Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi Muhammad SAW, beliau berkata: “Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman sentausa dalam keluarganya, sehat walafiat badannya serta mempunyai bekal hidup untuk harinya, maka seolah-olah dunia dengan segala kekayaannya telah diserahkan kepadanya.

Tafsir al-Mishbah :
“Kemudian, pasti kamu akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im.”
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dan memperingatkan mereka yang bersaing secara tidak sehat memperbanyak kenikmatan duniawi, ayat di atas memperingatkan bahwa kenikmatan apapun bentuknya pasti akan dimintakan pertanggungjawaban. Atau setelah ayat yang lalu menggambarkan ancaman yang menanti mereka karena hanya memperhatikan kenikmatan duniawi, ayat di atas mengingatkan mereka bahwa sikap tersebut akan mereka pertanggungjawabkan dan kelak mereka akan ditanyai tentang sikap mereka menyangkut kenikmatan ukhrawi. Apapun hubungannya, ayat di atas bagaikan menyatakan: Kemudian, Aku bersumpah bahwa pasti kamu semua wahai manusia akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im yakni aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih, atau kenikmatan ukhrawi yang kamu abaikan.
Kata la tus’alunna terambil dari kata sa’ala yang digandengkan dengan huruf lam yang berfungsi sebagai isyarat adanya sumpah dan nun yang digunakan untuk menunjukkan kepastian serta penekanan. Sedang kata sa’ala dapat berarti meminta, baik materi maupun informasi.Yang dimaksud bukan permintaan materi, bukan juga informasi dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi pertanggungjawaban.Kata tersebut berbentuk pasif dalam arti bahwa pelaku yang meminta pertanggungjawaban itu tidak disebutkan.Ini untuk mengarahkan perhatian pendengar kepada pertanggungjawaban itu – tanpa mempersoalkan siapa pun yang melakukannya.
Kata an-na’im biasa diterjemahkan kenikmatan. Sementara ulama menyebut beberapa riwayat yang menjelaskan maksud kata ini, seperti angin sepoi, air sejuk, alas kaki, sampai kepada al-Qur’an dan kehadiran Rasul SAW. Sahabat Nabi SA, Anas Ibn Malik ra menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas seorang yang sangat miskin berdiri di hadapan Nabi SAW sambil berkata: “Apakah ada suatu nikmat yang kumiliki?” Nabi menjawab: “Ya, naungan, rumput dan air yang sejuk” (kesemuanya adalah nikmat yang engkau peroleh).
Jika kita menelusuri penggunaan al-Qur’an tentang kata-kata yang seakar dengan kata na’im, ditemukan bentuk-bentuk ni’mah, na’mah, na’maa’, an’um. Tentu saja maknanya tidak sama. Kata na’mah (dengan fathah pada huruf nuun) yang digunakan al-Qur’an dalam dua ayat (QS ad-Dukhan (44): 27 dan al-Muzammil (73): 11) dan keduanya dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang kafir yang memperoleh limpahan anugerah atau nikmat material yang mereka tidak syukuri. Sedang kata ni’mah (dengan kasrah pada huruf nun) yang terulang sebanyak 34 kali, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sadar atau diharapkan dapat sadar, baik nikmat tersebut bersifat material maupun spiritual. Bahkan sementara ulama membatasinya dalam bidang spiritual keagamaan. Atau paling tidak, pada umumnya kata ni’mah dalam al-Qur’an digunakan dalam arti petunjuk keagamaan (perhatikan QS al-Ma’idah (5): 3 dan QS adh-Dhuha (93): 11.
Kata na’im terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali, 8 di antaranya dengan redaksi jannaat an-na’im (surga-surga yang penuh kenikmatan), 3 dengan redaksi jannatu na’im (surga yang penuh kenikmatan) dalam bentuk tunggal dan 6 sisanya digandengkan dengan berbagai kata tetapi seluruhnya digunakan dalam konteks kenikmatan surgawi di akhirat kelak (lihat misalnya QS al-Infithaar (82): 13-14 atau QS al-Insaan (76): 20. Atas dasar itu rasanya kurang tepat memahami kata na’im pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti kenikmatan yang diperoleh manusia di dunia – baik besar maupun kecil. Kata na’im di sini agaknya lebih tepat dipahami pula dalam konteks kenikmatan ukhrawi sehingga ayat terakhir surah ini memperingatkan kepada mereka yang bersaing secara tidak sehat dalam rangka memperoleh dan memperbanyak harta benda, anak, pengikut dan kedudukan – memperingatkan mereka – bahwa kelak mereka akan diminta untuk mempertanggungjawabkan sikap mereka terhadap kenikmatan ukhrawi, mereka akan ditanyai: Bagaimana sikap kamu di dunia menyangkut kenikmatan-kenikmatan ukhrawi? Apakah kamu percaya atau tidak?” Yang percaya tentu tidak akan bersaing memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan duniawi yang kecil itu bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi. Yang percaya tentu akan berlomba memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan ukhrawi.
Seseorang yang menyadari bahwa ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan duniawi tentu tidak akan mengarahkan seluruh pandangan dan usahanya semata-mata hanya kepada kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara itu, bahkan seseorang yang menyadari betapa besar kenikmatan ukhrawi itu akan bersedia mengorbankan kenikmatan duniawi yang dimiliki dan dirasakannya demi memperoleh kenikmatan ukhrawi itu. Demikian awal ayat surah ini berbicara tentang perlombaan menumpuk kenikmatan duniawi, dan akhirnya memperingatkan mereka tentang tanggung jawab kepemilikan harta itu bahkan mengingatkan mereka tentang kenikmatan ukhrawi yang tiada taranya.Demikian, Maha Benar Allah dalam segala firmannya.Wa Allaah A’lam.

Sources:
- Al Qur’an dan Tafsirnya: Jilid X Juz 28-29-30. Naskah asli Milik Departemen Agama Republik Indonesia dengan perbaikan. Cetak Ulang oleh Universitas Islam Indonesia (1995). Penulis: Tim Tashih Departemen Agama & Universitas Islam Indonesia. Pelaksana cetak Ulang: PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, Indonesia. Hlm 795.
- M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm 490-492

Keterangan:
Abu Nizhan, 2011. Al-Qur’an Tematis: Panduan Praktis Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Penerbit Mizan, Bandung, Indonesia. Hlm 236. Hal-hal yang Ditanyakan Ketika Dihisab:
Perihal Kekafiran dan Kemusyrikan, Apa saja yang dikerjakan di dunia (QS 15: 92-93), Nikmat yang telah diberikan, Ditanya tentang Panca Indera