Wednesday, November 27, 2019

Maqashid Sharia

Iman Al-Shatibi's Theory of Higher Objectives and Intents of Islamic Law

Written by Dr. Ahmad Al-Raysuni translated by Nancy Roberts

1433 AH / 2011 CE
The International Institute of Islamic Thought
London, UK & Washington, USA

p.136
Dimensions of the Theory

Al-Shatibi's theory of objectives is not found exclusively in the section of al-Muwafaqat devoted to this theme, namely, 'The Book of Higher Objectives' of which I have just presented a synopsis. Rather, it finds its way into the majority of al-Shatibi's writings. This being the case, 'The Book of Higher Objectives' is not sufficient in and of itself for a complete elucidation of the theory of objectives, its various dimensions, and its effects.
In all that al-Shatibi's writes, one finds that 'the objectives' are his companion, present in his words, exercising their sway over his views and rendering them more profound and discerning, while his views, in turn, render his theory clearer and more comprehensible. In fact, anyone who studies al-Shatibi will conclude that he wrote about nothing but maqaqshid al-shari'ah and their outcomes.

This section still engaged in the presentation of the theory, and in what follows I will deal in some detail with the imprints left by 'objectives' in three particular realms, namely: (1) the five essentials (elsewhere than in "The Book of Higher Objectives', (2) questions relating to actions classified as mubah, or permissible (under the rubric of al-ahkam al-taklifiyyah, that is, rulings which define legal obligations), and (3) causes and outcomes (under the rubric of al-ahkam al-wad'iyyah), or rulings which specify causes, conditions, and or constraints on such obligations).

p.137
1. The Five 'Essentials'

From his initial introductions to al-Muwafaqat, al-Shatibi begins raising issues relating to the objectives of Islamic Law and relying on his analysis of such issues for support and clarification of his views as they relate to the fundamentals of jurisprudence. In the first introduction, which he devotes to the claim that the fundamentals of Islamic jurisprudence are founded on the universals of the Law, which can be nothing other than definitive. He states, "What I mean by 'universals' here are: the essentials, exigencies and embellishments.

The definitive nature of these universals is beyond dispute. As al-Shatibi puts it, "The Muslim community - and, indeed, all religions - are in agreement that the Law was established to preserve the five essentials, namely, religion, human life, progeny, material wealth, and the human faculty of reason. Moreover, knowledge of these universals is also considered essential by the Muslim community."

From the introductions we move to 'The Book of Evidence' (Part 3 according to the book's division in modern printings), where al-Shatibi lays the general foundation for examining legal evidence. In Question 8, for example, he states "If, among the laws established in Madinah, you find a universal principle, then think carefully on it and you will find that in relation to that which is still more general, it is a specific, or a complement to a universal principle. Evidence of this may be seen in the fact that the universals which the Shari'ah has commanded us to preserve are five, namely: religion, human life, the faculty of human reason, progeny, and material wealth."

What al-Shatibi means by this statement is that even if what are considered to be universal principles of general rules are found among the various forms of legislation which were instituted in (p.138) Madinah, they are, in reality, no more than branches of the more general and more important universals which, given their significance, were revealed in Makkah. Hence, the higher objectives of the Law and its principle foundations were secured in the Makkan Qur'an side by side with the fundamentals and principles of Islamic doctrine. Al-Shatibi then goes on to trace the five universals (or essentials) to their supporting evidence in the Makkan Qur'an.

As for the preservation of (the Islamic) religion and the correction and consolidation of faith in the Makkan Qur'an, it is a matter so familiar and clear to many that it requires no evidence or examples to be cited in its support. In fact, there has come to be a widespread, albeit mistaken, belief that this is all that the Makkan Qur'an consisted of. However, Imam al-Shatibi corrects this notion by presenting what the Makkan Qur'an contained by way of legal principles and universals.

In connection with the preservation of human life, for example, we read, "...and do not take any human being's life - (the life) which God has declared to be sacred." (Qur'an, 81: 8-9).

Preservation of human life includes the preservation of the faculty of reason, while the complement to the preservation of the faculty of reason may be seen in the Madinan prohibition of intoxicants and the establishment of a penalty for its violation. Hence, the

2016-2019 research report

Methodology

https://www.youtube.com/watch?v=REWv4dYgODk

Observational Research, types:
1. Unstructured: the observation is broad and ill-defined, "look out for things that seem interesting, important, different". Lots of detail but hard to record all data.
2. Disguised / covert: those being observed are not aware of observation occuring
3. Natural: observation occurs in a natural, real-world setting
4. Human: a human observer is directly responsible for observing and coding the observations

Observation is a suitable data collection method, when your research is concerned with "what people do".
Participant observation emphasis is on discovering the meanings that people attach to their actions. Under participant observation, the researcher attempts to participate fully in the lives and activities of members and thus becomes a member of their group, organization or community. This enables the researcher to share their experiences by not merely observing but also feeling it.

Complete participant role sees you as the researcher attempting to become a member of the group in which you are performing research. You do not reveal your true purpose to the group members.





ILMU MANFAAT DAN ILMU YANG MENIPU

Oleh: Kholili Hasib

SUATU saat, seorang murid senior Imam al-Ghazali berkirim surat berkeluh-kesah atas keadaan dirinya. Sang murid itu telah bertahun-tahun belajar kepada sang Hujjatul Islam. Hingga berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu sampai pada tingkat detil dan rumit. Akan tetapi, dengan modal ilmu-ilmu itu, ia merasa ada yang kurang. Sebab, ia kebingungan mana yang bermanfaat untuk masa depannya.
“Telah aku baca berbagai macam dan jenis disiplin ilmu. Aku habiskan rentang usiaku hanya untuk mempelajari dan menguasainya. Sekarang, aku harus memilah dan memilih jenis disiplin ilmu apa yang bermanfaat untukku di masa depan serta mampu menjadi teman yang menghiburku di dalam sempit nan gelap di liang kubur, mana juga yang tidak bermanfaat hingga aku langsung menyisihkannya”, demikian kata sang murid dalam hatinya (Imam al-Ghazali, Ayyuhal Walad,).

Renungan murid imam al-Ghazali tersebut patut kita cerna baik-baik. Mungkin saja kita sedang dalam keadaan menggeluti sesuatu yang belum memberi manfaat untuk masa depan hidup kita. Karena, kita berada dalam milliupendidikan yang tidak lagi menjadikan ilmufardhu ain dan fardhu kifayah sebagai frame pendidikan Islam. Di lain pihak masih banyak lembaga yang masih mencari-cari model pendidikan yang mampu melahirkan generasi Muslim beradab.

Maka dapat kita ditemui, para orang tua sangat menekankan anak-anaknya untuk kursus bahasa Mandarin, kursus menari, musik, bimbingan belajar matematika dan lain-lain. Bahkan beban itu terlampau melewati batas normal kemampuan anak. Dengan biaya mahal sekalipun. Tapi lalai, bahwa anaknya belum bisa membaca surat al-Fatihah, belum hafal bacaan shalat dan tata caranya, dan buta terhadap maksud rukun iman dan Islam.

Begitulah, kejahilan tentang ilmu fardhu ‘ain dan fardhu kifayah menyebabkan seseorang itu tertipu (maghrur). Apalagi ada perasaan ‘ujub terhadap pencapaian ilmu yang telah diraihnya. Bisa jadi, seseorang tersibukkan dengan ilmu-ilmu yang tidak membawa manfaatnya.

Diterangkan oleh imam al-Ghazali, terdapat ilmu yang ahli bidang hukum dan khilafiyah fiqih dengan detail. Akan tetapi, ilmu tersebut tidak bermanfaat (untuk dirinya). Indikasinya, semakin detail ia pelajari, semakin ia bermaksiat kepada Allah.

Siang-malam dihabiskan untuk meneliti persoalan khilafiyah, namun abai terhadap penyakit yang menempel dalam hatinya sendiri. Berprasangka bahwa tidak ada ilmu lain yang menarik perhatiannya, kecuali ilmu perdebatan (munadzarah), membela diri, mengalahkan lawan-lawannya demi eksistensinya sebagai ilmuan yang ‘ahli’ fikih.

Akibatnya, tipe orang seperti itu mengabaikan sifat-sifat yang tercela seperti sombong, riya, hasud, cinta kehormatan, pangkat dan mencari popularitas. Semua ini adalah bentuk ketertipuan terhadap ilmunya. Kesibukannya hanya bertumpu pada amaliah lahir saja. Yang benar, mestinya ilmuan tersebut mempelajari ilmu lahir (fikih) sekaligus ilmu batin (tazkiyatun nafs).

Sebagaimana seseorang yang mempelajari fiqih harus memahami tauhid. Bahkan, kata Ibnu Athoillah al-Sakandari, memisahkan keduanya berarti terjun ke dalam ‘kekufuran’. Ia berpendapat: “Orang yang banyak berbicara tentang tauhid tetapi tidak peduli ilmu fiqih, sama saja dengan mencampakkan dirinya ke dalam samudra kekufuran”.
Seorang yang tertipu oleh ilmunya sendiri antara lain ada yang menekuni ilmu-ilmu syariat dan ilmu rasional (ilm ‘aqliyah). Dua ilmu ini baik dan bagus. Semestinya membawa manfaat. Namun di sisi yang lain, mereka membiarkan anggota tubuhnya berbuat maksiat. Ddisebabkan, ilmunya tidak tidak diamalkan dengan baik.

Seseorang tertipu dengan ilmunya itu, karena dalam dirinya terdapat perasaan bahwa dengan eksisnya ilmu syariat dalam dirinya, ia merasa sudah aman dari murka Allah Swt. Prasangka yang berlebihan bahwa ilmu yang ia pelajari langsung menaikkan derajatnya di sisi AllahSubhanahu Wata’ala.

Mereka inilah yang tertipu dengan ilmu yang dimiliki. Padahal, ilmu yang bermanfaat adalah apabila diamalkan dan membawa kepada rasa khasyyah (takut) kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Tanda ilmu yang bermanfaat itu diungkapkan oleh Ibnu Athoillah al-Sakandari, yaitu jika ilmu itu kita pelajari mengundang khasyyah (rasa takut) kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ibnu Athoillah al-Sakandari, Al-Hikam,hal.278). Bila kita pelajari suatu ilmu, tetapi tidak semakin bertakwa, maka ada dua sebab; bisa jadi ada subjek ilmu yang belum ditekuni dan bisa pulamindset belajarnya keliru yaitu ilmunya dituju untuk tujuan-tujuan tidak baik.

Ternyata, disiplin ilmu-ilmu itu tidak mengandung manfaat kecuali bila membantu menuju kepada takwa. Jadi, kemuliaan ilmu digantungkan oleh manfaat atau tidaknya. Sudah pasti dengan memenuhi syarat mempelajari; yaitu niat karena Allah Subhanahu Wata’ala. Sementara, ilmu yang tidak bermanfaat akan menjadi ‘senjata’ menenggelamkan seseorang dalam kekeliruan.

Kata Ibnu Athoillah, ‘sebaik-baik ilmu adalah yang mengundang rasa khasyyah. Maka, setiap ilmu yang tidak disertai rasa takwa dipastikan tidak akan memberikan kebaikan. Dan pemiliknya tidak boleh digelari dengan alim.Maksud dari ungkapan Ibnu Athoillah tersebut adalah ilmu-ilmu yang dapat menghantar untuk mengenal Allah. Inilah ilmu terbaik.

Ilmu yang manfaat atau yang tidak, diukur dengan manfaatnya masa depan akhirat. Sufyan al-Tsauri mengatakan: “Sesungguhnya ilmu itu dipelajari semata untuk taqwa kepada Allah. Maka, jika ada ilmu yang di dalamnya tidak bisa membawa taqwa, maka buanglah” (Muhammad bin Ibrahim al-Randy,Ghaitsul Mawahib al-‘Aliyyah fi Syarh al-Hikam al-‘Athoiyyah, hal. 278).

Karena itu, banyaknya subjek ilmu yang dikuasai seseorang menjadikan seseorang menjadi takabbur sehingga merusak hati dan pikirannya. Bahayanya adalah, bila seseorang tidak merasa sama sekali dalam hatinya bahwa ia tertipu dengan ilmunya sendiri. Lebih bahaya lagi banyaknya subjek ilmu yang dipelajari bukan dari guru.

Seringkali ilmu menjadi sesuatu yang buruk dan merusak karena pemilik ilmu itu jauh dari Allah. Ia menempatkan orientasi ilmunya pada popularitas, dan selalu disibukkan dengan dunia. Ilmu yang demikian, hanya akan merusak masa depan seseorang.

Maka, riwayat Abu Hurairah ini harus menjadi pengingat para ilmuan; “Barangsiapa menuntut ilmu yang seharusnya ditujukan untuk ridha Allah, tetapi ia pelajari untuk dunia, di hari kiamat ia tak mencium bau Surga.” (HR. Ahmad dan Abu Daud).*

Wednesday, November 6, 2019

Konsep Tauhid dan Kajian Perspektif Worldview Islam

Konsep Tauhid dan Kajian Perspektif Worldview Islam

04/11/2019
Oleh: Kholili Hasib

Pembicaraan tentang konsep tauhid merupakan karakteristik penting dari konsep Tuhan dalam Islamic Worldview. Pembahaman yang benar tentang Tuhan, dibahas dalam ilmu tauhid. Dalam tradisi Islam, konsep tauhid bukan hanya dibicarakan pada tingkat Kalam, tapi juga pada level Tasawuf. Kajiannya berada pada tingkat teologis, bukan antropologis. Metafisika, bukan fisika. Dalam konteks kajian Islamic Worldview, pengkajian ini akan memperlihatkan perbedaan mendasar sekaligus jawabatan atas pemahaman kaum pluralisme agama atau pemahaman masyarakat sekuler pada umumnya.

Dengan konsep Tauhid inilah manusia mengenal Tuhannya dengan benar. Pengenalan dan pengakuan manusia kapada Tuhan dengan benar itulah bisa mempengaruhi perilaku dan pikiran seorang manusia.

Pada aspek Kalam, kajian tauhid dibahas dengan nama konsep wahdaniyyah (pengesaan kepada Allah Swt). Syaikh Ibrahim al-Laqqani menjelaskan yang dimaksud ke-Esa-an Allah itu adalah Esa dalam Dzat-Nya, Sifat-Nya dan Af’al-Nya (Tuhfatul Murid, hal. 79).

Esa dalam Dzat-Nya maksudnya Allah tidak tersusun dari beberapa bagian (juzu’). Tidak ada satu dzat pun yang menyerupai Dzat Allah. Adapun maksud Allah Esa dalam Sifat-Nya adalah tidak ada bagi Allah itu dua sifat yang bersesuaian pada nama dan makna seperti dua qudrat, dua ilm, atau dua iradah. Tidak ada seorangpun yang memiliki sifat yang menyerupai salah satu dari sifat-sifat Allah. Adapun makna Allah Esa dalam Af’al-Nya adalah Allah melaksanakan af’alnya tanpa ada bantuan dari seorang pun.

Dalam Islam, Allah Swt merupakan realitas tertinggi menjadi acuan setiap aktifitas kaum Muslim. Seorang Muslim dinilai kurang sempurna imannya jika dalam satu aspek dia menjadikan Allah Swt sebagai acuan, tapi dalam aspek lain menepikan Allah Swt. Apapun aktivitas, profesi dan kegiatan manusia merupakan penghambaan (ibadah) kepada Allah Swt.

Seseorang yang telah sampai pada ihsan juga selalu memelihara kehadirannya di mana saja berada bersama Allah Swt. Memelihara kehadiran ini disebut syuhud. Dalam Islam ada ibadah yang disebut ghairu mahdhoh. Aktifitas apa saja — yang tidak bertentangan dengan syariat — bisa menjadi ibadah. Maka, setiap Muslim yang melakukan aktifitasnya dengan memelihara kebersamaan bersama Allah Swt disebut ihsan. Syekh Abdul Wahid bin Zaid menjelaskan tentang ihsan: Jika Tuhanku mengawasiku, maka aku tidak mempedulikan selain-Nya. Demikian yang dimaksud kajian tauhid pada level tasawuf.

Seorang saintis yang ihsan misalnya, dia melakukan kerja-kerja sains-nya, atau aktifitas keilmuannya dengan selalu merasa bersama Allah Swt. Ketika ia merasa bersama Allah Swt itulah dia menggunakan pandangan-pandangan keilmuannya terkait dengan-Nya. Dia melihat peristiwa alam bukan sekedar realitas yang terjadi secara ‘otomatis’. Tapi dia meyakini bahwa dalam peristiwa alam itu ada kuasa Allah Swt. Bahwa alam itu merupakan tanda (alamah) akan kewujudan agung Allah Swt.

Dalam mengamalkan akhlak dan adab, seorang Muslim juga harus menjadikan Allah Swt sebagai acuan, sebagai pengamalan ihsan. Termasuk dalam etika pertemanan (al-suhbah). Imam al-Ghazali menyebutnya — pertemanan yang baik — sebagai salah satu rukun agama. Dikatakannya, bahwa agama (al-din) itu sesungguhnya seperti safar (berpergian) menuju Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan salah satu pilar ber-safar adalah berbaik hati ketika berteman (Imam al-Ghazali, al-Arba’in fi Ushul al-Din,84).

Jadi, mengamalkan ihsan berarti menjadikan tauhid sebagai tonggak tertinggi dalam melakukan iktifitas. Jika sesorang dalam hati memiliki keyakinan bahwa Allah Swt mengawasi setiap perbuatan kita dan tiap aktivitas kita ada tanggung jawabnya kepada Allah Swt, maka kita tidak akan meninggalkan Allah Swt dalam berbagai aspek. Di mana pun dan kapanpun pikiran kita harus tetap pikiran yang Islam. Di kampus, kantor, masjid, pasar dan lain-lain Islam dan nilai ketuhanan menjadi dasar penggerak aktivitas.

Maka, dalam pandangan Islam, realitas tertinggi adalah Tuhan, dan menjadi asas paling dasar dalam aktivitas berpikir. Dalam menjalani kehidupan beragama ini, seorang Muslim memiliki pandangan-pandangan terhadap konsep kehidupan, manusia, akhlak, ilmu alam dan lain sebagainya. Jika konsep-konsep yang berpusat dengan konsep Allah ini berfungsi menjadi alat utama memandang sesuatu, maka seorang Muslim memandang realitas ini dalam kesatuan konsep yang berpusat kepada tauhid.

Maka, apapun keahlian ilmu seorang Muslim; fisikawan, ahli kedokteran, insinyur, ahli ekonomi, teolog, ahli falsafah, faqih, dan lain-lain, jika menggunakan tauhid sebagai standarnya, maka ilmu yang terpancar dari akal fikirnya menjadi kekhasan tersendiri sebagai seorang ilmuan Muslim yang hakiki.

Selain itu, bertauhid berkait dengan adab kemanusiaan, begitu pula sebaliknya. Artinya, tauhid Islam tidak berarti menafikan nilai-nilai yang disebut ‘humanis’. Justru tauhid itu menurut Isma’il Raji al-Faruqi mengimplikasikan pada sikap beradab terhadap berbagai aspek, seperti sosial, ekonomi, seni, sains dan lain-lain. Seorang muslim religius adalah pribadi yang peduli kemanusiaan, sains dan ilmu-ilmu lainnya. Sebaliknya, seorang muslim yang ‘humanis’ mestinya bertauhid bukan secular (Isma’il Raji al-Faruqi,terj,Tauhid,terj. hal. 62). Etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan sepenuhnya dibangun di atasnya. Rasulullah SAW bersabda:”Mu’min yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Ini berarti mu’min yang sempurna itu yang ‘humanis’. Abu Bakar Jabir al-Jazairi mengatakan tujuan tauhid itu setelah mengesakan Allah dan tunduk pada syari’at, adalah menjaga kelestarian kesucian dan kebaikan manusia, menjaga kemulyaan dan kedudukan manusia di antara umat-umat lain. Menurut al-Faruqi, Islam tidak mengenal predikat ‘religius-sekular’ karena itu tidak mungkin. Selain itu, orang ber-tauhid harus tunduk pada syari’at-Nya, bukan mengikuti apa kata diri manusia. Al-Jazairi mengatakan tauhid mewajibkan beribadah hanya kapada-Nya, sekaligus meyakini bahwa semua makhluk diurus oleh Allah.

Menurut Prof. Syed M Naquib al-Attas orang baik itu orang yang menyadari sepenuhnya tanggung jawab terhadap dirinya kepada Tuhan, sekaligus memahami dan menunaikan keadilan terhadap diri, orang lain dan alam. Konsep kebaikan tidak lepas dari keilahian. Adil terhadap diri, manusia dan alam itu berpondasi kepada Tuhan, bukan kepada rasio belaka. Artinya, orang baik itu adalah ber-tauhid sekaligus toleran (Wan Mohd Nor Wan Daud,Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed Muhammad Naquib al-Attas,terj. hal. 174). Muslim bertauhid harus muslim manusiawi begitu pula sebaliknya. Maka, humanis dalam Islam didasari oleh ketuhanan dan sebaliknya muslim bertwhīd yang baik mestinya menjadi pribadi yang dikatakan ‘humanis’. Berbeda dengan worldview Barat, bahwa menjadi humanis tidak perlu menjadi religius, seorang ateispun dapat menjadi humanis. Dalam konsep Islam, pribadi seperti ini bukan orang baik.

Bagi Prof. al-Attas, kebebasan sesungguhnya adalah bertindak sesuai dengan yang dituntut oleh hakikat sebenarnya dari dirinya. Yaitu kembali kembali kepada kecenderungan alami, sebagai hamba yang khudu’ (patuh). Khudu’ ini adalah konsekuensi tauhid. Menurut Imam al-Thahawi, tujuan tawhīd adalah menjalankan keimanan dengan hukum-hukum syari’at (Abdul Ghaniy al-Ganimiy al-Maidaniy al-Hanafi al-Dimasyqi,Syarh al-‘Aqidah al-Tahāwiyah, hal. 47).

Dalam pandangan Islam, kebebasan manusia itu kebebasan diri ruhani, yaitu pengembalian diri kepada hakikat yang sebenarnya yang pernah mengikat janji kepada Allah SWT. Kebebasan adalah bentuk penghambaan yang murni kepada Allah SWT secara sempurna. (Syed Muhammad Naquib al-Attas,Risalah Untuk Kaum Muslimin, hal. 82, dan Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, hal.63-64).

Dengan demikian, konsep tawhīd dalam Islam itu adalah manusiawi, tidak ’membunuh’ manusia dalam keterpenjaraan, tidak pula ’mematikan’ Tuhan. Konsep tawhid mengajarkan doktrin-doktrin memperlakukan secara baik kepada manusia, seperti disebut di atas. Menjadi manusia humanis tidak perlu dengan mereduksi konsep ketuhanan. Adapun kepercayaan bahwa Tuhan telah ‘mati’, mereduksi sifat ketuhanan. Secara otomatis konsep sifat Hayah, Qudrah dan Iradah Allah SWT dikosongkan. Padahal para ulama’ sepakat bahwa segala kejadian di alam tidak lepas dari sifat tersebut. Fakhruddin al-Razi menegaskan, ilmu Allah itu menyangkut Kulliyyat dan Juz’iyyat, tidak hanya Kulliyyat (Fakhruddin al-Razi, Lubabul Isyarat wa Tanbihit Tahqiq Dr. Ahmad Hijazi al-Saqa, hal. 6). Syekh Nawawī al-Bantanī menafsirkan kekuasaan-Nya yang juz’iyyāt itu maksudnya, bahwa Allah SWT merespon doa dan permintaan hamba-Nya setiap harinya dan setiap saatnya Dia memberi ampunan, memberi jalan kemudaan setiap kesulitan manusia (Muhammad bin ‘Umar Nawawi al-Jawi,Marah Labid Likasyfi Ma’na al-Qur’ān al-Majīd Jilid II,hal. 477).

Pemahaman seperti ini menafikan pemikiran kesatuan agama-agama atau kesatuan tuhan-tuhan yang dipromosikan dengan paham bernama pluralism. Imam Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya Mafatih al-Ghaib mengatakan bahwa golongan Yahudi dan Nasrani telah gagal memenuhi tiga tuntutan tauhid yang disebutkan dalam al-Qur’an Surat Ali Imran ayat 64. Pertama, tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah dan tidak menuhankan Nabi Isa. Kedua, tidak menyekutukan Allah dan ketiga, tidak mentaati para rahib dan pendeta mereka dalam penghalalan dan pengharaman tanpa disyariatkan oleh Allah Swt. Jadi, tauhid jelas berlawanan dengan paham pluralisme. Tauhid adalah inti risalah semua Nabi dan Rasul.

Karena itu, paradigma paham pluralisme adalah rancu. Bagaimana mungkin Islam yang mempercayai Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan disejajarkan keimanannya dengan Kristen yang meyakini tiga Tuhan. Dan di saat yang sama Islam mengkafirkan orang yang meyakini Tuhan itu tiga (QS al-Maidah 72 dan 73). Apakah dapat disamakan Kristen yang menyembah Yesus sebagai Tuhan dengan Islam yang mengkafirkan orang yang menuhankan Yesus?

http://inpasonline.com/konsep-tauhid-dan-kajian-perspektif-worldview-islam/

Monday, November 4, 2019

Paradigma

Multiparadigma itu terdiri:
1. Positivist paradigm
2. Interpretivist paradigm
3. Critical paradigm
4. Postmodernist paradigm
5. Religionist paradigm
6. Spiritualist paradigm
7. Divine paradigm

Berurutan dr yg paling jauh (no. 1)dr Tuhan sampai yg paling dekat dengan Tuhan (no. 7)

Yg mendikhotomikan positivist dg multiparadigma berarti ybs gk paham. Positivist bagian dr multiparadigma

Untuk konstruksi akuntansi syariah minimal kita pake posmodernis (sy sebut jg paradigma muallaf, krn paradigma ini membuka diri u menerima agama)

Tp lebih bagus lg klo pake paradigma religionis yg brngkt dr alquran dan hadis/sunnah u konstruksi akuntansi syariah

Lebih bagus lg kalo kita pake paradigma spiritualis yg menggunakan ruh suci kita (kecerdasan spiritual) u mendapatkan inspirasi dr Allah untuk membangun akuntansi syariah

Puncaknya adalah paradigma ilahi, di sini [kecerdasan] manusia gk ada, yg ada hanya [kecerdasan] Allah saja. Ini puncak tauhid

Utk konstruksi ilmu sebaiknya kita pake satu paradigma saja [bukan semua paradigma dipake sekaligus]

Kalo mo milih salah satu paradigma, mk pilihlah yg lebih dekat sm Allah