Monday, June 11, 2018

Consumerism in Personal Finance: An Islamic Wealth Management Approach

I dedicated a whole new blog for the details of my work from 2015-2018 please come and visit it in


https://islamicpersonalfinance-konsumerisme.blogspot.com/


The summarizing paper has been published in Jurnal Iqtishad UIN
http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/iqtishad/article/view/5518


The paper has also been presented in ICIEFA Tazkia 2018
http://iciefa.tazkia.ac.id/


ABSTRACT

Farisah Amanda, 2016, Analysis of Consumerism in Personal Finance and Solution Model Based on Concepts of Financial Planning and Islamic Wealth Management. Thesis, Magister of Shariah Economic, Tazkia Postgraduate Program. Supervisor: I. Dr. Achmad Firdaus, M.Si., II. Bayu Taufiq Possumah, Ph.D.

Consumerism as an excessive materialism and a waste of resources has become an international phenomenon. Consumerism is not followed by a sufficient personal finance education. In other hand, Islam as a comprehensive religion should be able to provide a solution to the problem of consumerism in Muslims’ personal finance. This study analizes consumerism phenomenon from the perspective of personal finance and create a solution model based on financial planning and Islamic wealth management concepts. Research design used is descriptive qualitative with three analysis methods: content analysis, document analysis, and thematic analysis. Research shows that the factors causing consumerism are: (1) external: advertisement, supply availability, access to consumer credit, promotion in social media, macroeconomics conditions, the lack of personal finance education, (2) internal: low level of financial literacy causing incapability to manage personal finance, not using Islamic principles as a basis in managing personal finance. Negative impacts of consumerism on personal finance are: (1) imbalance: spending more than income causing negative balance in personal financial report, (2) debt trap: dependence on debt for consumption can scrape into personal assets, (3) not enough fund for long term financial needs such as education and retirement preparation, (4) no allocation for productive and charity purposes. Personal financial planning can contribute to the effort of eliminating negative impacts of consumerism on personal finance. The percentage set as a maximum limit for consumption ranged from 40%, 75%, 87,5%, and 90% out of total personal income. Concepts of Islamic wealth management used as a solution of consumerism in personal finance are: (1) basic concepts: concept of wealth, concept of rizqi, concept of blessing, standard of sufficiency and wealth, (2) principles of consumption in Islam: halal and good, moderation, balance, (3) wealth management in Islam to avoid consumerism: hierarchy of consumption, differentiate between needs and wants, modest lifestyle, prohibition of luxurious and redundant lifestyle, avoid debts, priorities in consumption and maqashid sharia, concepts of zakat and shodaqoh.

JEL Classification: D1, Z1, Z12, Z13, I31
Keywords: Consumerism, Personal Finance, Financial Planning, Islamic Wealth Management


ABSTRAKSI

Farisah Amanda, 2016, Analisis Konsumerisme dalam Keuangan Personal dan Model Solusi Berdasarkan Konsep Perencanaan Keuangan dan Manajemen Harta Islam. Tesis, Magister Ekonomi Syariah, Program Pascasarjana Tazkia. Pembimbing: I. Dr. Achmad Firdaus, M.Si., II. Bayu Taufiq Possumah, Ph.D.

Konsumerisme sebagai kondisi materialisme yang berlebih-lebihan dan pembuangan sumber daya telah menjadi suatu fenomena internasional. Konsumerisme tidak diimbangi dengan pendidikan dan edukasi keuangan personal yang memadai. Di sisi lain, Islam sebagai agama yang komprehensif seharusnya dapat menawarkan solusi bagi permasalahan konsumerisme dalam keuangan personal seorang muslim. Penelitian ini menganalisis fenomena konsumerisme dari sudut pandang keuangan personal dan membuat model solusi yang berasal dari konsep perencanaan keuangan dan manajemen harta Islam. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif yang menggunakan tiga macam metodologi analisa data yaitu analisis isi, analisis dokumen, dan analisis tematik. Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor penyebab konsumerisme pada masyarakat terdiri dari: (1) eksternal: iklan, ketersediaan penawaran, ketersediaan akses pada kredit konsumsi, promosi media sosial, kondisi ekonomi makro, kurangnya pendidikan keuangan personal, (2) internal: tingkat literasi keuangan yang rendah menyebabkan ketidakmampuan mengelola keuangan personal, tidak menggunakan prinsip Islam sebagai dasar mengelola keuangan personal. Dampak negatif konsumerisme pada keuangan personal adalah: (1) ketidakseimbangan: pengeluaran lebih besar daripada pemasukan menyebabkan saldo negatif dalam neraca laporan keuangan personal, (2) jebakan hutang: ketergantungan berhutang untuk konsumsi dapat mengurangi aset personal, (3) tidak ada dana untuk keperluan jangka panjang seperti pendidikan dan persiapan pensiun, (4) tidak ada alokasi untuk tujuan produktif dan tujuan sosial. Perencanaan keuangan personal dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam usaha untuk menghilangkan dampak negatif konsumerisme pada keuangan personal. Persentasi batas maksimal untuk konsumsi dalam alokasi pendapatan personal bervariasi antara 40%, 75%, 87,5%, dan 90% dari keseluruhan pendapatan. Konsep manajemen harta Islami yang digunakan sebagai solusi permasalahan konsumerisme dalam keuangan personal adalah sebagai berikut: (1) konsep dasar: konsep harta, konsep rezeki, konsep keberkahan, serta standar kecukupan dan kekayaan, (2) prinsip konsumsi dalam ekonomi Islam: halal dan baik, moderat atau pertengahan, keseimbangan, (3) konsep manajemen harta Islami yang dapat membantu mengeliminir dampak negatif konsumerisme adalah: hirarki konsumsi, kebutuhan dan keinginan, gaya hidup sederhana, larangan bermewah-mewahan dan mubazir yaitu larangan menyia-nyiakan dan tidak memanfaatkan harta, menghindari hutang piutang, skala prioritas konsumsi dan maqashid syariah, konsep zakat dan sedekah.
Klasifikasi JEL: D1 , Z1 , Z12 , Z13 , I31
Kata Kunci: Konsumerisme, Keuangan Personal, Perencanaan Keuangan, Manajemen Harta Islam

Friday, June 1, 2018

Menumbuhkan Kecintaan, Mengenalkan Syariat, Keajaiban Sains

ARTIKEL 1

FB Harry Santosa

Makna Adab bagi Anak Usia Dini

Balita atau usia dini itu memang belum saatnya harus beradab dalam arti tertib dan disiplin. Adab di usia dini itu gairah melakukan kebaikan, bukan sempurna melakukan kebaikan. Banyak orangtua atau guru, ingin anak anaknya segera beradab sejak dini, tanpa tahu makna adab, walhasil kelak menjumpai anaknya malah tak beradab ketika besar.

Misalnya Adab pada Ilmu di usia dini berbeda dengan adab pada ilmu di usia setelahnya. Di usia dini, adab pada ilmu bukanlah duduk diam tertib santun mendengarkan guru, tetapi adalah gairah dan cinta pada buku, gairah pada kisah kisah tokoh ilmuwan, gairah keseruan bermain di alam terbuka dengan menyentuh, meraba, berlarian bereksplorasi dstnya.

Sholat adalah adab kpd Allah, bahkan baru diperintah ketika usia 7 tahun, bukan sejak dini. Apakah Allah lalai mengadabkan anak usia dini? Subhanallah, Allah Maha Tahu bahwa fitrah anak usia dini belum saatnya diperintah dengan formal. Adab pada usia dini bukan tertib dan disiplin, tetapi gairah kecintaan untuk melakukan kebaikan walau tak sempurna.

Begitupula dengan Berpuasa atau shaum, bagi anak usia dini, shoum itu bukan harus puasa sehari penuh, tetapi jadikan keseruan Ramadhan dalam aktifitas keseharian, misalnya gairah ketika bangun sahur bersama dengan makanan kesukaan di tenda di halaman rumah, antusias ketika jalan bersama ayah ke masjid sambil bernasyid walau sampai masjid ia main atau tertidur, semangat ketika masak bareng bunda menu berbuka puasa yg unik, keseruan ketika berbuka bersama dan bertarawih dstnya.

Begitupula "Berzakat" apakah kita mewajibkan anak usia dini tertib berzakat? Tentu tidak bukan, tetapi gairah berkunjung ke panti asuhan dan berbagi hadiah pada anak yatim, membagikan ta'jil kepada orang lewat, mengantarkan makanan ke tetangga, dstnya.

Jadi ayah bunda, turunkan ekspektasi, jangan artikan adab sebagai disiplin formal dan etika untuk anak usia dini, jangan tergesa mengadabkan shg harus sempurna dan tertib, jangan gunakan ukuran orang dewasa, nanti anak malah membenci adab sepanjang hidupnya.

Shabar saja utk membuatnya cinta pd kebaikan, teladankan saja adab itu pada ananda usia dini hingga berbinar matanya, hingga asik bahagia gesturnya.... kelak kau kan menyaksikan betapa ananda akan bergairah untuk beradab sepanjang hidupnya

Salam Pendidikan Peradaban

#fitrahbasededucation
#pendidikanberbasisfitrah

https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10216012758501908


ARTIKEL 2

Kecil-Kecil Berpuasa

Generasi salaf adalah generasi teladan. Muslim maupun muslimahnya, orang dewasa maupun anak kecilnya, dalam perkara ibadah maupun muamalah.

Di antara bentuk keteladanan generasi salaf adalah melatih anak kecil yang belum mukallaf untuk turut beribadah bersama kaum muslimin. Salah satu ibadah tersebut adalah puasa.

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz; dia berkata, “Rasulullah mengutus untuk mengumumkan pada pagi hari asyura’ di wilayah kaum Anshar yang berada di sekitar kota Madinah.

من كان أصبح صائما فليتمّ صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتمّ بقية يومه

‘Barang siapa yang pagi hari ini berpuasa, hendaklah menyelesaikannya. Barang siapa yang tidak berpuasa (sudah sarapan), hendaknya menahan (makan dan minum) sampai selesai.’

Setelah adanya pengumuman itu, kami berpuasa dan mengajak anak-anak untuk melaksanakan puasa. Kami juga mengajak mereka ke masjid dan memberikan mereka mainan dari kulit (wol). Jika mereka menangis karena lapar, kami menyodorkan mainan sampai waktu berbuka puasa tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Selengkapnya di https://muslimah.or.id/5692-kecil-kecil-sudah-berpuasa-tips-melatih-anak-kecil-berpuasa.html


DISKUSI (SINGKAT)

Tampaknya, kedua artikel diatas sedikit "bertentangan"... walau tentu saja sebenarnya antara keduanya bisa dikompromikan. Tapi saya sedang tidak ingin membahas bagaimana mengkompromikan kedua artikel itu, saya sedang ingin membahas mengapa saya lebih condong kepada artikel 1 daripada artikel 2. Dengan sedikit membuka aib, saya harus membuat pernyataan bahwa saya adalah "korban" pemaksaan syariat sebelum penumbuhan cinta dituntaskan. Di masa kecil saya lebih dahulu diharuskan belajar tentang syariat sebelum kecintaan terhadap agama tumbuh. Hasilnya, sampai saat ini bisa jadi saya tahu hukum2 syariat ini itu tetapi untuk menerapkannya dalam kehidupan pribadi suliiit sekali. Kalau di komunitas jiwa sehat Indonesia mungkin saya ini dianggap punya gangguan mental emosional, dan bisa jadi memang benar karena: Jika orang lain marah kemudian mengucap istighfar katanya akan mengurangi kemarahannya, tapi buat saya? jika saya sedang marah dan ada yang (menyuruh) mengucap istighfar, saya malah tambah marah! (imagine that!)

Ketika saya mulai dewasa dan sudah tidak "dipaksa" mempelajari agama, saya baru mencari apa yang membuat saya stay a muslim and maybe start to love Islam. Sampai akhirnya saya menemukan buku keajaiban ilmiah dalam Quran (dulu buku seperti ini masih jarang sekali ada).

Di Ramadan 1439 H (m. 2018 AD) ini, saya suka sekali membaca ayat2 sains, dan bagaimana ayat2 tersebut bisa mendeskripsikan detil2 sains yang belum ditemukan -hasn't been discovered by modern science- pada tahun m. 632 AD (anno domini, 632 years after Jesus born). Dan bagaimana ayat2 sains yang saat ini (present) kebanyakan sudah dibuktikan kebenarannya menggunakan metodologi ilmiah oleh para ilmuwan, disandingkan dengan ayat2 prediksi masa depan (future) tentang kejadian2 setelah manusia meninggalkan dunia ini. Well, mudah2an setelah ini saya mendapat sedikit lebih banyak energi dan kemudahan untuk menerapkan lebih banyak ilmu yang sudah saya pelajari secara teori ke dalam praktek (aamiin yaa rabbal 'aalamiin).

Aaand... contact me if you want to know how to compromise -mengkompromikan kedua artikel tersebut diatas- I might have the mood to have a chat about it.