Sunday, June 15, 2014

PASCA: Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam: Rangkuman Materi UAS



EPISTEMOLOGI EKONOMI ISLAM

Epistemologi : theory of knowledge
Apa yang dapat diketahui? Bagaimana mengetahuinya? Darimana diperoleh? Bagaimana validitas pengetahuan a piori dengan a posteriori?

Epistemologi ekonomi Islam:
Darimana sumbernya? Sumber ini mempengaruhi bangunan ilmu
Bagaimana cara mengetahuinya? Apakah pengetahuan ini berhubungan dengan ekonomi Islam? Bagaimana proses mendapatkan pengetahuan tersebut? Keshahihan / validitas: a priori dengan a posteriori.

Perbedaan a priori dengan a posteriori
A priori=pengetahuan yang ada sebelum bertemu dengan pengalaman, hipotesa, teori tanpa praktek
A posteriori=setelah mendapat pengalaman
Dibutuhkan karena cara pandang terhadap pengetahuan akan berbeda sebelum dengan setelah ada experience.

Dalam Islam sangat memungkinkan adanya perubahan pengetahuan a priori dengan a posteriori, jika sumbernya salah dipahami atau salah mengambil sumber.
Ilmu ekonomi mempelajari perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Epistemologi ekonomi Islam = hakikat ilmu, esensi, makna sesungguhnya dari ekonomi Islam
Ekonomi Islam dengan konvensional berbeda dasar = kodrat / nature / karakter dasar dan scope pengetahuan / ruang lingkup
Epistemologi ekonomi Islam: esensi, karakter dasar, ruang lingkup -> originalitas
Dalam ekonomi Islam, ilmu manajemen, bisnis, dll merupakan cabang dari ilmu ekonomi sedangkan dalam konvensional merupakan ilmu tersendiri karena perbedaan epistemologinya.
Originalitas ekonomi Islam: contoh ketika menggantikan bunga dengan bagi hasil dalam kurva LM, kurva equilibrium antara money demand dengan money supply. Tidak relevan menggantinya begitu saja dan dianggap tidak original.
Selama ekonomi Islam belum dapat menjawab pertanyaan epistemologi ini maka akan terus dianggap sebagai penjiplak.
Sedangkan ilmu ekonomi di fakultas ekonomi yang ada di Indonesia semuanya mempelajari ekonomi neoklasikal.
Dalam pandangan yang sekuler sumber ilmu adalah akal dan panca indera, yang diawali karena kegagalan peradaban yang mengikuti agama pada masa dark ages di Eropa. Orang yang memiliki pemikiran berbeda dengan doktrin gereja saat itu dihukum mati, ketika rasionalitas manusia terus berkembang maka agama ditinggalkan. Barat maju ketika mereka meninggalkan agama tetapi umat Islam terpuruk ketika mereka meninggalkan agama.
Dasar pembentukan ilmu ekonomi yaitu intellect: proses reasoning = nalar akal dan panca indera, tetapi nalar manusia berbeda2. Contoh: bunga menambah harta jika dipinjamkan, sehingga dikembangkan oleh ekonomi neoklasikal.
Proses reasoningnya bisa berbeda, untuk menjembataninya mereka membuat kriteria yang harus bersifat objektif. Contoh: garis kemiskinan disusun dari 2 standar: makanan dan non makanan. Garis kemiskinan bukan makanan dari komoditas yang dibuat monetary valuenya. Nilai 293rb per orang per bulan, dibawah itu adalah miskin. Tetapi sedikit diatasnya tidak termasuk miskin padahal nilainya masih sangat kecil tetapi hal ini dianggap yang objektif.
Ketika membahas tentang index kebahagiaan, GDP, dll berdasarkan reasoning yang mendapat validitas dari teori objektifitas. Objektifitas akan divalidasi. Dari hal inilah ilmu ekonomi berkembang, sehingga tidak selalu sama dan berkembang banyak mazhab2 dalam ilmu ekonomi.
Contoh reasoning dengan teori objektivitas: kesejahteraan ekonomi dicapai ketika efisiensi tercapai, minimum wasteful resources. Tetapi efisiensi berkaitan dengan size, siapa pemain yang ada dibalik pasar who is the player. Sehingga perdagangan bebas di satu sisi menciptakan efisiensi tetapi di sisi lain hanya pemain besar yang dapat bertahan dan terjadi take over atau pengambilalihan pasar dari produsen kecil kepada produsen besar. Objektivitas: siapa yang menjadi target dan apa kepentingannya.
Yang disebut objektif oleh ekonomi konvensional adalah: efisiensi, dll.
Sehingga perdebatannya terjadi di level epistemologi.
Kriteria objektif di ekonomi konvensional: observasi empiris + metodologi yang benar & bebas nilai: normative statement harus lewat proses verifikasi = kebenaran empiris, tidak ada kebenaran yang mutlak, berubah sesuai waktu tempat budaya -> relativism.
Contoh: ketika riba dilarang maka harus diverifikasi dulu.
Teori ekonomi berubah dengan munculnya mazhab2 dan saling menyalahkan mazhab lain.

Kebenaran mutlak vs relatif

Sofisme di zaman Yunani Kuno menciptakan skeptisisme dan relativisme: benar menurut A belum tentu benar menurut B -> memunculkan istilah ekonomi mainstream vs heterodoks dan menciptakan mazhab2.
Objektifitas adalah rasionalisasi dari subjektifitas.
Sejarah ekonomi mazhab2: classical -> keynes -> neo classical -> new Keynesian
Cara mengetahui ada 2 aliran:
1. Rasionalisme: dari rasio dan logis menghasilkan pengetahuan logis.
2. Empirisme: dari pengalaman menghasilkan pengetahuan empiris.
Contoh logis: makanan enak pantas untuk dibisniskan, contoh empiris: melihat titik keramaian, pesaing, harga, dll.
Kadang pengetahuan empiris menciptakan hasil yang berbeda dengan pengetahuan logis. Contohnya logikanya jika mengenakan bunga harta bertambah, tetapi telah dibuktikan secara empiris bunga menyebabkan pertumbuhan ekonomi turun.
Kadangkala juga pengetahuan empiris hasilnya tidak logis. Terjadi perbedaan antara rasionalisme dengan empirisme.
Dua metodologi pengetahuan yang berbeda ini kemudian digabung menjadi: scientific method.
Penggabungan rasionalisme dengan empirisme menghasilkan pengetahuan yang ilmiah.
Pengetahuan ilmiah: logis dan empiris, logis dan bisa dibuktikan secara empiris.
Pengetahuan filsafat: logis tetapi tidak empiris. Contoh: takdir, jika sesuatu telah ditentukan (umur, rezeki, jodoh) untuk apa berusaha.
Ilmu ekonomi konvensional dibangun atas hal seperti itu sehingga wajar tidak ada pembahasan tentang halal dan haram.
Contoh cara berpikir logis tentang ilmu ekonomi yang mempelajari human behavior, manusia yang diamati adalah homo economicus yang didasarkan pada self-interest: tindakan ekonomi yang dilakukan agar menguntungkan pribadinya. Konsekuensinya menjadi dasar pembentukan teori2 seperti budget line dan indifference curve, maximum utility, maksimalisasi profit oleh perusahaan. Filsafat ekonomi sudah tidak dibahas lagi di fakultas2 ekonomi padahal ini merupakan landasan cara berpikir.
Semua ilmu harus punya philosophical foundation yang kuat / epistemological foundation: termasuk meyakini bebas nilai adalah sebuah nilai.
Rasionalisme + empirisme = scientific method -> positivisme
Segala logika harus ada ukurannya, contoh pengukuran indikator2 ekonomi.

Mainstream ekonomi: ilmu ekonomi konvensional harus berlandaskan filosofis logis, teori ilmiah berdasarkan paham positivisme, dan dapat diukur sebagai empirical evidence.
Sumber ilmu lainnya yang lebih rendah daripada akal dan panca indera adalah intuisi: paham intuisionisme yaitu nalar, wisdom.

Dari proses2 tadi, definisi pengetahuan menurut perspektif barat yaitu pengetahuan terbagi 2 yaitu science dan knowledge. Science (ilmu pengetahuan) untuk ilmu empiris dan knowledge (pengetahuan) untuk yang non fisik. Sehingga agama masuk kepada kategori knowledge, bukan science. Letak knowledge ada di bawah science karena sudah melewati proses empiris, proses metode ilmiah.
Knowledge tidak perlu diketahui semuanya, jika tidak tahu tidak rugi.
Teori2 dalam ilmu ekonomi konvensional akan disebut science ketika telah melewati prosedur ilmiah yang disebut positive statement. Sedangkan normative statement adalah yang belum melewati prosedur ilmiah. Dengan tingkatan: statement -> knowledge -> science.

EPISTEMOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM

Istilah ekonomi Islam dengan syariah dipersamakan di Indonesia dikarenakan hal politik.
Sumber pengetahuan ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional.
Yaitu:
1. Sumber tertinggi yang kebenarannya bersifat absolut dan mutlak: Quran dan Sunnah.
2. Akal dan panca indera: membangun logika dan mencari bukti empiris terhadap kebenaran Quran dan Sunnah: sumber kedua ini hanya mendukung sumber pertama dan tidak dapat mengalahkan sumber pertama. Mendekatkan realitas dengan idealitas ajaran Islam, sehingga ajarannya tidak dapat dirubah.
3. Intuisi (bashirah) didapatkan dengan menghidupkan hati, membangun intuisi. Ahmad Tafsir mengatakan ada ilumionasionisme yaitu ilham sebagai sumber pengetahuan tambahan yang diberikan pada manusia yang hatinya bersih tunduk patuh pada Allah berdasarkan teori kasyf.

Contoh membayar zakat secara logika sederhana mengurangi harta tetapi Quran mengatakan bertambah bahkan berlipat, kemudian logikanya dikembangkan dan ditemukan logika ekonomi makro yang dapat menemukan kebenaran bahwa zakat mendorong pertumbuhan ekonomi. Sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa berbagi mensejahterakan.
Proses simultaneous antara sumber kebenaran absolute dengan sumber logika empiris, setiap permasalahan ada solusi yang dibuka baginya.

Pendapat ulama:
- An Nasafi: saluran sumber ilmu adalah indera, akal, intuisi melalui informasi yang benar dengan sumber tertinggi wahyu.
- Al Ghazali: indera, intuisi dan akal tidak bertentangan dengan wahyu.

Definisi ilmu pengetahuan:
Definisi beragam / limitless (Wan Daud dan Al Attas) tetapi esensinya ilmu adalah yang datang dari Allah dan diperoleh oleh jiwa yang aktif dan kreatif (deskripsi oleh Al Attas).
Semua hal datang dari Allah, hanya bagaimana menginterpretasikannya agar semakin dekat dengan Allah. Hasil ilmuwan akan berbeda apakah mendekati Allah atau menjauhiNya berdasarkan basis keimanan atau bukan.

Dalam Islam tidak ada dikotomi ilmu antara yang ilmiah dan tidak ilmiah.
Pembagian ilmu berdasarkan ulama2 Al Ghazali, Ibnu Taimiyah, dll terbagi dua yaitu yang berdasarkan wahyu dan yang tampak. Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi terbagi menjadi fardhu ‘ain dan fardhu kifayah.

Tools of analysis seperti index dan indikator2 ekonomi yang digunakan ilmu konvensional ada yang dapat diterima ada yang tidak dapat diterima dalam ekonomi Islam tergantung apakah sesuai dengan landasan epistemologinya sehingga boleh saja dipakai jika tidak bertentangan dengan syariat Islam.


USHUL FIQH DAN METODOLOGI ILMU EKONOMI ISLAM

Diantara metode untuk memahami 2 sumber utama ekonomi Islami, Quran dan Sunnah, adalah memahami fiqh, dan cara untuk memahami fiqh adalah melalui ushul fiqh.

SYARIAH
Syari’ = main road, jalan utama, jalan raya ; atThariq = jalan2 kecil
Syariah = jalan untuk mengairi suatu tempat = jalan untuk mendapatkan bimbingan di dunia = manhajul hayah = sistem hidup = menginterpretasikan Quran dan Sunnah
Produk interpretasi = fiqh

FIQH
Memahami = understanding
Hasil usaha manusia dan produk akal dengan proses berpikir, banyak terjadi perbedaan2 dan untuk meminimalisir kesalahan maka ditetapkan aturan, prosedur, dan criteria tertentu yang termuat dalam Ushul Fiqh. Perbedaan masih dapat diterima selama prosesnya sesuai dengan aturan prosedur dan criteria tertentu.
Karena ada 3 penyakit kronis agama: pemimpin yang buruk, ulama yang buruk, mujtahid yang bodoh: jika tidak punya kapasitas yang cukup tidak boleh sembarangan mengambil kesimpulan hukum.
Ushul fiqh = ilmu yang membahas: dalil2 fiqh global, metodologi penggunaannya, kondisi orang2 yang menggunakannya.


URGENSI USHUL FIQH

Urgensi Ushul fiqh dalam pembangunan Ilmu Ekonomi Islam
1. Pemikiran rasional dan filosofis tentang ketentuan2 fiqh muamalah dan fatwa2
2. Pendekatan metodologis dan sistematis dalam menjawab persoalan ekonomi
3. Berorientasi pada kemaslahatan dalam ilmu ekonomi Islam

Ushul fiqh dapat membantu membangun filosofi dan memahami metodologi.
Logika yang hanya berlandaskan akal tanpa adanya rujukan tertentu akan berbeda dan sangat beragam hasilnya. Hal yang logis menurut satu manusia bisa jadi tidak logis bagi manusia lainnya. Rasionalitas dalam hal ini terkait dengan sumber rujukan utama: Quran dan Sunnah yaitu membangun rasionalitas wahyu, sedangkan ushul fiqh membantu membangun pemahaman yang rasional.
Tujuan pembahasan produksi dalam ekonomi adalah profit maximization profit=TR-TC, meminimalkan cost untuk memaksimalkan profit tanpa memperdulikan dampak terhadap lingkungan dan manusia. Persamaan tersebut menjadi lebih dari sekedar persamaan matematika melainkan memuat latar belakang filosofis yang dalam prakteknya kemudian menjadi target keuangan dalam perusahaan2.
Ushul fiqh juga membawa pendekatan yang sistematis dalam menjawab persoalan ekonomi, contohnya melarang suatu hal tetapi dengan menyediakan solusi alternative sehingga tidak menyebabkan masalah yang lebih besar.

Ijtihad dalam Ilmu Ekonomi Islam
Ijtihad = interpretasi syariah = intellectual assertion.
Dahulu ijtihad dilakukan secara individual karena ulama menguasai ilmu secara komprehensif sedangkan saat ini ijtihad dilakukan secara berkelompok karena sulit untuk menemukan individu yang menguasai semua hal dan semakin tinggi pendidikan seseorang semakin spesifik spesialisasi keahliannya. Oleh karena itu saat ini hasil ijtihad kolektif lebih dapat diterima dibanding ijtihad individu kecuali individunya adalah yang istimewa.
Model Ijtihad: memilih, modifikasi, membuat yang baru
1. memilih pendapat dari pendapat2 yang telah ada
2. memodifikasi pendapat yang telah ada
3. membuat pendapat baru

Orientasi pada kemaslahatan
Contohnya mengaplikasikan metode ushul fiqh pada praktek ekonomi dan keuangan syariah: ijma’, qiyas, istihsan, maslahah mursalah, sadd az zarai, istishab, al urf. Contoh qiyas pada masalah zakat profesi: tidak boleh ada qiyas pada ibadah, sedangkan zakat dikenakan pada harta, harta didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dianggap berharga untuk manusia dan konsep harta terus berkembang. Pendekatannya dibagi dua yaitu tafsili dan ijmali, pendekatan tafsili terlalu sempit dan harta yang dikumpulkan tidak signifikan maka tujuan zakat tidak dapat tercapai dan tidak dapat tercapai keadilan. Ekonomi yang dominan zaman Rasul adalah pertanian sedangkan saat ini ekonomi yang dominan adalah jasa sehingga boleh diqiyaskan zakat pada pendapatan hasil jasa.
Dalam teori moneter Islam sistem uang ada 3 yaitu gold monetary system, gold-backed monetary system, asset-backed monetary system. Dalam ekonomi syariah, semua transaksi didasari pada sektor riil, asset-backed akan meminimalisir transaksi yang tidak attached dengan asset. Sedangkan di konvensional uang dapat menghasilkan uang tanpa attachment sektor riil. Contoh kasus pinjaman uang dari bca untuk ditempatkan di bank century karena bunga depositonya lebih besar. Pada sistem keuangan syariah harus dikaitkan dengan barang dan jasa sehingga pergerakan di pasar uang seimbang dengan pergerakan di pasar barang. Saat ini yang paling menguntungkan bagi Indonesia diantara ketiga sistem tersebut adalah asset-backed monetary system, karena penguasaan emas oleh Negara masih minim.
Pendekatan metodologi ekonomi Islam terbagi 2:
1. all-or-nothing approach yaitu menolak semua premis ekonomi konvensional, kelebihannya adalah idealis tetapi terkadang kurang applicable.
2. step-by-step approach yaitu menginject Islamic value dan mengeluarkan yang tidak sesuai dengan Islam, kelemahannya prakteknya terlalu liberal dan terlihat sama saja dengan konvensional.
Ilmu ekonomi Islam dinamis oleh karena itu prosesnya tidak berhenti, dan dapat menciptakan banyak mazhab tetapi tetap berlandaskan pada ekonomi Islam, seperti banyaknya mazhab dalam ekonomi kapitalis tetapi intinya tetap capital.


MAQASHID SYARIAH

Maqashid = objectives = tujuan syariat, hikmah dibalik syariat = esensi disyariatkannya sesuatu
Contoh logika zakat, logika riba: bunga versus murabahah, sistem bunga tidak menyeimbangkan pergerakan sektor riil dengan sektor keuangan sehingga dapat menyebabkan depresi ekonomi atau hyper inflation, sedangkan sistem yang terkait sektor riil akan menyeimbangkan peningkatan sektor keuangan dengan sektor riil.
Ilmu syariah = “a science of the shariah” = maqashid.
Suatu produk atau kebijakan harus ditinjau tidak hanya dari boleh atau tidaknya tetapi juga harus dilihat perspektif makronya apakah menimbulkan maslahah.

Di awal Islam belum perlu pembahasan maqashid karena pelajaran Islam langsung dari tangan pertama hingga kepada tabiut tabiin yaitu 3 generasi pertama yang disebut sebagai generasi terbaik. Kemudian di masa2 berikutnya diperlukan revitalisasi ilmu Islam melalui konsep maqashid.
Imam Haramain Juwaini mengklasifikasi maqashid syariah menjadi dharuriyah, hajjiyah, tahsiniyah.
Yang terkenal dengan konsep awal maqashid syariah adalah Imam Al Ghazali dan Imam Asy Syatibi dengan lima elemen yang harus diproteksi dalam maqashid syariah.
Berikutnya dikembangkan protection terhadap 6 elemen termasuk kehormatan.
Konsep maqashid syariah adalah konsep yang sangat dinamis karena dimulai dengan memahami alasan syariah diturunkan tetapi kemudian berkembang menjadi pembahasan tentang proteksi 6 elemen tersebut, konsepnya tergantung kondisi dan kebutuhan zaman.
Ibnu Taimiyah membuat list, daftar kebutuhan.
Kamali dan Qardhawi membuat higher maqashid syariah.
Maqashid syariah menurut Hashim Kamali adalah: 1) edukasi individu, melatih individu meraih takwa, 2) keadilan, 3) kemaslahatan. Sebagian ulama menyatakan maslahah=maqashid.
Dalam ekonomi syariah ketiga elemen ini harus ada.

Pendekatan konseptualisasi maqashid syariah:
1. Textualist approach: teks eksplisit dan normatif. Jika tidak ada pada teks maka tidak ada.
2. Text rationalist approach: analisis rasionalitas dan tujuan dari teks.
Contoh pendekatan pertama yaitu pengharaman babi bukan karena adanya cacing pita. Contoh pendekatan kedua yaitu istiqra / inductive approach.

Aplikasi Maqashid Syariah
- teori konsumsi
- teori produksi
- teori pembentukan harga
- pasar tenaga kerja
- pasar barang dan jasa
- dll

Pembentukan Harga
Nama Allah yang disebut dalam hadits tetapi tidak dalam asmaul husna: The Price Setter Al Musa’ir dalam hadits permintaan menurunkan harga pada Rasulullah yang ditolak dengan menyebutkan bahwa Allah Al Musa’ir.
Abu Yusuf yang menolak intervensi harga.
Sedangkan Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun membolehkan.
Perbedaan ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi apakah penyebabnya kondisi normal atau karena adanya distorsi market. Jika ada distorsi pasar maka intervensi harga diperlukan, jika pasar normal maka intervensi harga akan menzalimi salah satu atau banyak pihak.

Pasar Tenaga Kerja
Nabi Musa yang bekerja pada Nabi Syuaib selama 8 tahun dan 10 tahun karena Nabi Syuaib melihat kebaikan akhlaknya dan membayarnya dengan menikahkan pada anaknya. Pada hal itu terdapat pelajaran bahwa transaksinya harus jelas waktunya, akadnya, dan ada saling ridho.


METODOLOGI EKONOMI ISLAM

Pendekatan metodologi ilmu ekonomi Islam

Secara umum, isu penting tentang suatu cabang ilmu adalah tentang metodologi. Karena metodologi ini sangat mempengaruhi validitas ilmu tersebut, apakah dapat dianggap layak atau tidak secara akademis.
Tantangan terbesar juga dalam pembahasan metodologi, maka dianggap perlu diadakan standarisasi metodologi tersebut, contoh: ushul iqtishad, syarat Islamisasi ekonomi.

Perkembangan: masa sahabat segalanya dilaksanakan berdasarkan pengetahuan empiris saat hidup bersama dengan Rasulullah dan mempraktekkannya, generasi berikutnya lah yang mulai berusaha merumuskan formulasi dan membukukan keilmuan tersebut.
Hubungan metodologi ilmu dengan ilmu identik dengan ushul fiqh dengan fiqh.
Perkembangan ilmu saat ini adalah trend dikotomi ilmu yang mengkotak2kan segala jenis ilmu dan kehidupan dunia juga penuh dengan dikotomi.

Metodologinya ada 2:
1. Inductive reasoning = thariqah mutakallimin, ushul assyafiiyah
dari fakta khusus ditarik generalisasi: mengamati lalu menyimpulkan: dari hasil observasi empiris kemudian diambil generalisasi sebagai kesimpulannya
2. Deductive reasoning = thariqah fuqaha, ushul hanafiyah
dari dalil umum ditarik kesimpulan untuk kejadian khusus: menjudge kejadian khusus berdasarkan prinsip umum yang dimiliki, dimana prinsip tersebut tidak dapat berubah: setiap yang spesifik dilihat apa persamaannya dengan prinsip umum
Bagaimana menempatkan inductive dan deductive yang tepat dalam ilmu ekonomi Islam.

Dalam ilmu ekonomi konvensional yang digunakan adalah inductive reasoning, sedangkan deductive reasoning adalah hasil dari inductive tersebut.
Contoh: kurva Phillips yang menggambarkan hubungan antara inflasi dengan unemployment rates yang berbanding terbalik. Hal ini didapatkan dari pengamatan atas fenomena yang terjadi di masyarakat yang ekonominya paling berkembang saat itu yaitu Inggris. Hasil dari proses ini menjadi teori general yang harus dibuktikan melalui deductive reasoning. Posisi deductive pasti berada di bawah inductive. Ilmu ekonomi konvensional dibangun atas metodologi inductive reasoning dan berdasarkan prinsip logis empiris yaitu sesuai nalar dan dapat dibuktikan. Inductive reasoning lebih superior dalam ilmu ekonomi konvensional, sedangkan deductive reasoning lebih superior hanya dalam pembahasan hukum.

Dalam ekonomi Islam, posisi inductive tidak dapat dikatakan lebih superior dari deductive tetapi harus dicari dimana penempatan yang tepat untuk deductive dan inductive reasoningnya. Tetapi dalam proses inductive maupun deductive tidak boleh bertentangan dengan nash.
Jika menggunakan realitas sebagai parameter kebenaran akan menimbulkan masalah, parameter kebenaran adalah wahyu, realitas adalah parameter untuk menentukan level masyarakat tersebut. Dalam memahami wahyu juga dibutuhkan ilmu oleh karena itu ilmu dan wahyu merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dimana yang satu tidak akan lengkap tanpa yang lainnya.
Dalam Islam, kedua reasoning dibutuhkan tetapi harus ditempatkan secara pas.
Contohnya yaitu dimulai dari deductive reasoning, mengambil prinsip general kemudian dibuktikan secara empiris melalui perhitungan matematis.

*Pembagian ilmu menurut Yusuf Qardhawi yaitu: (1) ilmu fardhu ‘ain dengan (2) ilmu fardhu kifayah. Ilmu ekonomi Islam saat ini diciptakan dari ilmu ekonomi konvensional yang difilter dan diinject dengan muatan2 Islam.

Metodologi adalah ilmu tentang metode, metode adalah cara. Metodologi komprehensif dari a sampai z, rangkaian dari mulai proses awal hingga akhir.
Tujuan ilmu ekonomi perlu diketahui dengan jelas, karena metodologinya akan sangat dipengaruhi oleh tujuan tersebut.
Tujuan ilmu ekonomi konvensional berhenti pada kebutuhan ekonomi di dunia, sehingga cukup sampai kepuasan terpenuhi melalui utility atau profit. Tetapi ilmu ekonomi Islam memiliki tujuan yang lebih jauh yaitu sampai kehidupan ukhrawi karena Islam mengajarkan bahwa manusia melalui 4 alam: ruh, rahim, dunia, akhirat. Sehingga tujuan akhirnya adalah visi akhirat yang seharusnya terefleksikan dalam ilmu-ilmu ekonomi Islam. Contoh indicator ekonomi yang tidak berhenti pada indikator2 duniawi, contoh pertumbuhan profit ditambah dengan social approach yang berlanjut pada indicator ukhrawi seperti pertumbuhan zakat.
Perbedaan antara ekonomi non muslim dengan muslim yaitu seharusnya yang muslim sampai pada falah di ukhrawi ketika yang lainnya hanya sampai falah di dunia, walaupun worldly falah merupakan letak rahmatan lil alamin. Contoh indicator falah dalam bank syariah yaitu menjalankan transaksi2 yang tidak dilarang, jika dapat dinaikkan levelnya dengan cara selain menjalankan transaksi tersebut juga membina pelaku lebih dari sekedar bisnis.

Model ekonomi Islam yang dibangun tidak lepas dari value, teori yang ada ruh nilai2nya. Ilmu attach dengan orangnya, dan mempengaruhi bagaimana ilmu dibangun dan disebarkan. Oleh karena itu permasalahannya ada pada orang yang terasah baik dalam ilmu2 fardhu ‘ain maupun ilmu fardhu kifayahnya, dan tidak hanya kuat di salah satu ilmu dan didikan saja.
Identifikasi perbedaan ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional sulit bagi orang awam karena adanya irisan bagian yang sama antara ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.
Step-by-step approach lebih dominan disbanding dengan all-or-nothing approach dalam menciptakan ilmu ekonomi Islam. Cara dalam step-by-step approach dapat dilakukan (1) dengan meleburkan nilai2 Islam dengan ilmu ekonomi, atau (2) dengan memasukkan nilai2 Islam dalam ekonomi atau (3) mendekatkan kajian keIslaman pada ekonomi.
Yang terjadi saat ini adalah kombinasi antara dua disiplin ilmu ekonomi dengan nilai ilmu2 Islam, dikarenakan masa ini adalah masa dikotomi dimana seseorang dianggap makin ahli jika makin spesifik bidang ilmunya. Yaitu orang2 yang mempelajari ilmu ekonomi diajari ilmu Islam, dan orang2 yang mempelajari ilmu Islam diajari ilmu ekonomi. Proses ini belum ideal tetapi yang terbaik untuk dilakukan saat ini (untuk kondisi darurat).

Model al Faruqi untuk mem-blend kedua ilmu tersebut:
Identifikasi masalah -> tugasnya apa saja -> metodologinya bagaimana -> menciptakan rencana kerja
Islamisasi adalah suatu istilah yang prosesnya panjang dimana kelemahan umat saat ini adalah pendidikan dan kualitas SDM serta kelemahan visi.
Terjadinya dikotomi menjadikan tugas kita adalah untuk memadukan pendidikan yang telah terdikotomi dengan pendidikan Islam.

Beberapa masalah yang ditemukan dalam pembahasan metodologi dalam Islamisasi ilmu ekonomi.
(1) Ijtihad: terlalu ketat atau terlalu memudahkan, sehingga terlihat seperti copy paste ekonomi konvensional.
(2) Wahyu dengan akal dibenturkan sehingga terlihat seperti dua hal yang saling berbeda dan terjadi konflik.
(3) Bagaimana membedakan antara pemikiran (thought) dengan action, dimana keduanya saling berhubungan.
(4) Antara budaya dengan agama menimbulkan masalah dualisme.

Rencana Kerja Islamisasi Ilmu (al Faruqi) terdiri dari 12 tahap: (Muqorrobin, 2013)
- Menguasai ilmu modern
- Menguasai ilmu Islam
* Dapat memahami realita ekonomi yang terjadi saat ini dan dapat menjawabnya dengan solusi Islam
- Mengambil intisari ajaran Islam yang relevan dengan ilmu yang sedang diIslamisasikan tersebut
- Melakukan critical assessment terhadap ilmu Islam dengan ilmu modernnya. Mengambil pembahasan Islamic legacy yang relevan dengan langkah dalam menghadapi masalah saat ini. Contohnya yaitu Islamic public policy yang membahas regulasi dengan pertimbangan pertama cost and benefitnya.
- Survey masalah2 besar yang dihadapi umat / masyarakat
- Survey masalah yang dihadapi manusia
* Ekonomi Islam adalah sesuatu dari langit yang turun ke bumi karena tujuannya adalah untuk memecahkan masalah yang dihadapi manusia di bumi.
- Analisis dan sintesis kreatif. Contoh inclusive banking yaitu membuka akses bank kepada banyak orang. Kreatifitas ini akan membuat sistem keuangan Islam yang sangat berbeda dari sistem keuangan yang berkuasa saat ini.
- Menciptakan ilmu dalam framework Islam: out of the box, tidak sama dari yang sudah ada tetapi dapat menjawab masalah yang ada.
- pengetahuan Islam
* Menciptakan laboratorium ekonomi Islam baik di level mikro maupun makro


Dosen: Irfan Syauqi Beik, PhD

Tugas di email paling lambat tgl 14 Juni : Aksiologi Ekonomi Islam (analisis apa aksiologi dan bagaimana kaitannya dg ekonomi islam), 5-10 halaman.

Tugas Filsafat dan Pemikiran Ekonomi Islam

 Aksiologi dalam Ekonomi Islam

I.        Pendahuluan

Memahami Aksiologi

                Aksiologi adalah salah satu cabang diantara 3 cabang ilmu filsafat yang paling sering digunakan untuk menjelaskan suatu ilmu pengetahuan, sedangkan kedua cabang lainnya adalah ontologi dan epistemologi. Secara singkat, penjelasan tentang ketiga cabang tersebut adalah sebagai berikut. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan yang menjadi objek filsafat, di dalamnya banyak dibicarakan mengenai hakikat sesuatu (existence, being), mengenai manusia, alam dan pencipta, dan lainnya. Epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai sumber pengetahuan (sources of knowledge) dan sifat pengetahuan (nature of knowledge). Bagian ketiga, yaitu aksiologi adalah merupakan tindakan nyata atau hasil dari kedua aspek sebelumnya. Jadi, aksiologi bersifat pragmatis dan praktis terkait dengan fungsi atau manfaat (benefit) suatu pengetahuan ilmiah bagi kehidupan manusia.
Definisi aksiologi secara singkat adalah the science of values (ilmu tentang nilai-nilai) atau theory of values (teori tentang nilai-nilai) yang mempelajari judgements about values. Asal kata aksiologi adalah dari bahasa Yunani yaitu axios dan logos, dimana axios berarti nilai (worth) sedangkan logos adalah teori (science). Pada bagian berikutnya akan dijelaskan isi kutipan dari jurnal ilmiah Samuel L. Hart yang berjudul Axiology: Theory of Values yang akan memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang aksiologi.
Aksiologi sebagai ilmu adalah sebuah disiplin baru yang baru diperkenalkan istilahnya pada abad ke 20 oleh Paul Lapie dalam bukunya Logique de la Volonte (1902) dan E. Von Hartmann dalam karyanya Grundriss der Axiology (1908) berdasarkan The Dictionary of Philosophy, yang diedit oleh Dagobert D.T. Runes, Philosophical Library. Subjek yang menjadi pembahasan utama dalam aksiologi telah ada sejak manusia mulai merenungkan tentang kondisi hidupnya, struktur realitas, tatanan alam, dan kedudukan manusia di dalamnya. Pencarian nilai-nilai atas objek dan peristiwa yang menimbulkan kondisi yang kondusif bagi kelangsungan hidup dan peningkatan kualitas hidup membawa manusia pada pencarian pengetahuan tentang realitas. Pada dasarnya, manusia sangat tertarik pada bagaimana caranya objek dan peristiwa yang terjadi dapat mempengaruhi pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan lainnya, baik yang mendukung maupun yang menjadi hambatan bagi pemenuhan kebutuhan-kebutuhannya, bagaimana cara memelihara hal-hal yang baik dalam kehidupan serta menghapus hal-hal yang menyulitkan kehidupan.
Sejarah filsafat menunjukkan bahwa manusia sangat dekat dengan nilai-nilai, terbukti dari kepedulian manusia dalam membedakan hal-hal yang dianggap baik dan buruk, benar dan salah, indah dan buruk. Pilihan yang didasarkan pada nilai-nilai tertentu juga merupakan bagian penting dalam kehidupan manusia, termasuk kebenaran dan validitas terhadap nilai-nilai yang dianutnya. Konsep nilai mempengaruhi kehidupan manusia di segala bidang seperti pilihan dalam menyukai satu hal lebih dari hal lainnya, perhatian pada peristiwa yang terjadi dari waktu ke waktu, memuji suatu perilaku dan mengutuk perilaku lainnya, menyukai dan membenci, dan lain sebagainya. Manusia mempercayai bahwa apa yang dilakukannya adalah yang dianggap terbaik olehnya.

Memahami Ekonomi Islam

Ilmu ekonomi adalah ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam memilih dan menciptakan kemakmuran. Kata "ekonomi" sendiri berasal dari kata Yunani οκος (oikos) yang berarti "keluarga, rumah tangga" dan νόμος (nomos), atau "peraturan, aturan, hukum," dan secara garis besar diartikan sebagai "aturan rumah tangga" atau "manajemen rumah tangga." Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah orang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja.
Penjelasan untuk dapat memahami ekonomi Islam berikut diambil dari buku Asas-asas Ekonomi Islam yang dibuat oleh M. Sholahuddin, S.E., M.Si. Ekonomi Islam didefinisikan oleh Umer Chapra (1996) sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan dengan ajaran Islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan ketidakseimbangan makro dan ekologis. Sedangkan Mannan (1986) mendefinisikan ekonomi Islam sebagai ilmu yang mempelajari masalah-masalah ekonomi masyarakat dalam perspektif nilai-nilai Islam.
Menurut Jati (2004), terdapat dua bagian besar dalam ekonomi yang harus dipisahkan, yaitu ilmu ekonomi dan sistem ekonomi. Kesimpulan ini diambil dari adanya dua realitas yang tidak sama. Ilmu ekonomi terdiri dari dua hal: (1) pengaturan urusan masyarakat dari segi pemenuhan harta kekayaan dan kegiatan untuk memperbanyak jumlah barang dan jasa serta bagaimana strategi untuk menjaga pengadaannya yang dibahas dalam produksi, (2) sama sekali tidak dipengaruhi oleh banyak dan sedikitnya harta kekayaan, tetapi hanya berhubungan dengan mekanisme pendistribusiannya. Sistem ekonomi adalah merupakan salah satu aspek pengaturan kehidupan manusia dalam bermasyarakat dan bernegara khususnya yang berkaitan dengan bagaimana mengelola mekanisme pendistribusian harta kekayaan.
Menurut An-Nabhani (1990), ekonomi sebagai suatu kajian studi bersifat universal, tidak terkait dengan sebuah ideologi tertentu dan dapat dikembangkan dan diadopsi dari mana pun selama tidak bertentangan dengan sistem ekonomi yang diatur Islam. Landasan untuk pendapat ini diambil dari hadits Rasulullah yang berarti “kalian lebih tahu tentang urusan dunia kalian” dengan maksud kebolehan untuk mengembangkan kemampuan produksi baik dari sisi kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu pakar ekonomi Islam tidak perlu membuang semua teori yang telah berhasil dikembangkan, melainkan hanya perlu melakukan internalisasi nilai-nilai Islam dalam rangka turut mengembangkan keberadaan dari ilmu ekonomi.

II.      Pembahasan

Aspek Aksiologis dalam Ekonomi Islam

Setelah memahami aksiologi dan ekonomi Islam, selanjutnya dapat disimpulkan bahwa bentuk aksiologi dalam ekonomi Islam telah terangkum dalam beberapa definisi ekonomi Islam yang disebutkan pada bagian sebelumnya yaitu adalah adanya nilai-nilai Islam dalam ilmu ekonomi. Dimana nilai-nilai Islam tersebutlah yang menentukan apa yang dianggap baik dan buruk dalam perilaku ekonomi, bagaimana seharusnya kondisi ideal yang tercapai apabila nilai-nilai Islam telah diterapkan secara baik dalam kegiatan ekonomi.
Pendekatan aksiologis diperlukan untuk melihat fungsi dan kegunaan ilmu ekonomi Islam dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapi manusia dalam kehidupan sehari-hari. Secara aksiologis, memang perlu diakui bahwa pembahasan ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam cenderung memiliki fungsi yang sama yaitu bertujuan membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Lewat berbagai macam alat yang tersedia, kesamaan-kesamaan pada sebagian kaidah kedua ilmu ekonomi tersebut dalam mengatasi persoalan ekonomi, memang merupakan sebuah kecenderungan umum dalam aktifitas ekonomi yang sifatnya sunnatullah.
Salah satu paradigma ekonomi yang memperoleh apresiasi secara luas dalam beberapa dasawarsa belakangan ini adalah paradigma Islam. Paradigma ini muncul sebagai alat untuk menerobos sains (ilmu ekonomi) positivistik. Jika positivisme hanya mengenal realitas materi, maka paradigma Islam mengenal realitas materi dan realitas lain (the others) yang melampaui materialisme yaitu realitas spiritual.
Realitas yang ada menunjukkan bahwa aspek aksiologis ilmu ekonomi konvensional dapat saja bertentangan dengan aspek aksiologis fiqh muamalah karena sesuatu yang sah dalam transaksi bisnis belum tentu sah dalam pandangan fiqh muamalah yang menjadi landasan ekonomi Islam. Sebagai contoh, modus transaksi kontemporer melalui perantaraan internet tanpa memperlihatkan barang yang dijadikan objek maupun tanpa kehadiran penjual dan pembeli dianggap sah dalam ilmu ekonomi sejauh kedua belah pihak sama-sama menyetujui kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya. Fiqh muamalah dengan sejumlah teorinya belum tentu menerima transaksi tersebut. Sedikitnya terdapat dua kejanggalan dalam transaksi jenis ini. Pertama tidak diperlihatkannya barang yang diperjualbelikan, dan kedua tidak adanya aqad jual beli yang wajib diucapkan secara jelas oleh masing-masing pihak.

Fiqh Muamalah sebagai Aspek Aksiologis Ekonomi Islam: Kasus Pengharaman Riba

Pelarangan riba dalam ekonomi Islam berdasarkan landasan wahyu yang berasal dari ayat-ayat Quran dan hadits Rasulullah. Ayat-ayat Quran yang melarang riba terdapat dalam 4 ayat yang turun secara bertahap yaitu: QS Ar-Rum (30): 39, QS. An-Nisa (4): 160-161, QS. Ali Imran (3): 130, QS. Al-Baqarah (2): 278-279. Pada tahap pertama ayat tersebut mematahkan paradigma manusia bahwa riba bisa melipat-gandakan harta. Tahap kedua merupakan pemberitahuan bahwa riba juga diharamkan untuk umat terdahulu. Tahap ketiga menggambarkan bahwa riba akan membuahkan kezaliman yang berlipat ganda. Tahap keempat adalah pengharaman segala macam dan bentuk riba.
1.       Terjemah QS Ar-Rum (30): 39 “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).”
2.       Terjemah An-Nisa (4): 160-161 “Maka disebabkan kedzaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.”
3.       Terjemah QS. Ali Imran (3): 130 “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.”
4.       Terjemah QS. Al-Baqarah (2): 278-279 “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.”
Hadits Rasulullah kemudian menjelaskan apa yang dimaksud dengan riba dengan menyebutkan barang-barang yang termasuk barang ribawi “Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir (gandum yang lebih rendah kualitasnya) dengan sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, pertukarannya harus semisal dan semisal, sama dan sama, tangan dan tangan. Maka jika terjadi perbedaan pada barang-barang ini lakukanlah jual beli semau kalian selama dilakukan antara tangan dan tangan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu, dan lafaz ini milik Muslim]. Terdapat beberapa hadits yang menjelaskan riba lebih lanjut lagi.
Kemudian para ahli ekonomi Islam mengambil kesimpulan mengenai riba sebagai berikut. Menurut bahasa, riba memiliki beberapa pengertian yaitu: bertambah, tambahan, berkembang, berbunga, berlebihan, menggelembung, tumbuh, membesar. Sedangkan menurut istilah, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Definisi lain menyatakan bahwa yang dimaksud dengan riba adalah penambahan-penambahan yang diisyaratkan oleh orang yang memiliki harta kepada orang yang meminjam hartanya. Secara umum, riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.
Kemudian dalam praktek ekonomi modern, perlu dibedakan antara riba yang dilarang dengan cara-cara pengembangan harta yang diperbolehkan yaitu membedakan antara investasi dengan membungakan uang, membedakan utang uang dengan utang barang, serta membedakan bunga dengan bagi hasil. Pembedaan ini akan menghasilkan instrument perbankan yang tidak dilarang oleh fiqh muamalah tetapi dapat mengembangkan harta dan menguntungkan bagi seluruh pihak yang terlibat dalam transaksi. Diantaranya adalah produk perbankan syariah di sisi financing yang berlandaskan pada akad mudharabah dan murabahah, pembagian hasil dengan sistem revenue sharing pada produk perbankan syariah di sisi funding.
Pada pembahasan ekonomi makro kemudian juga terdapat pembahasan tentang instrument fiskal dan moneter yang tidak terdapat unsur riba didalamnya dan dibuktikan secara perhitungan matematis bahwa akan menghasilkan sistem ekonomi makro yang stabil. Produk dalam pembahasan ekonomi makro adalah instrument zakat sebagai alat untuk meningkatkan konsumsi agregat, penghilangan sistem bunga dari sistem perbankan secara keseluruhan, pembiayaan yang seluruhnya berdasarkan bagi hasil, dan pasar uang yang bebas dari spekulasi. Hasil akhir yang telah dibuktikan secara teoritis adalah tercapainya stabilitas makro yang tercermin pada rendahnya tingkat inflasi dikarenakan tercapainya hubungan antara pergerakan di sektor keuangan dengan pergerakan di sektor riil.

III.    Kesimpulan

-          Aksiologi adalah salah satu cabang ilmu filsafat yang mempelajari teori tentang nilai-nilai.
-          Ekonomi Islam adalah ilmu ekonomi yang berlandaskan pada ajaran dan nilai-nilai Islam.
-          Aspek aksiologis dalam ekonomi Islam telah disebutkan dalam definisi ilmu ekonomi Islam itu sendiri.
-          Fiqh muamalah adalah aspek aksiologis dari ekonomi Islam.
-          Aspek aksiologis dalam ilmu ekonomi Islam akan menghasilkan teori-teori ekonomi yang akan membawa kepada kondisi ideal dari sebuah sistem ekonomi yang dapat menyejahterakan alam dan para penghuninya sesuai dengan konsep Islam sebagai “rahmatan lil alamin”.
-          Contohnya: pengetahuan tentang pelarangan riba dalam fiqh muamalah menghasilkan teori-teori yang dapat membuktikan kerugian sistem riba baik dalam pembahasan ekonomi mikro maupun ekonomi makro.

PASCA: Maqashid Syariah: Rangkuman materi UAS



1. maksud maqasid syariah dan sejarah ringkas perkembangan ilmu ini dari masa ke masa.

PENGERTIAN

Maqashid syariah = tujuan Allah dalam menentukan syariat.
Maqashid syariah dalam muamalat adalah tujuan dari disyariatkannya suatu hukum muamalat, dalam menetapkan kaidah2 muamalat. Tujuan utama Allah mengharamkan riba yaitu untuk menghilangkan kezaliman. Maka jika ada kegiatan selain riba tetapi menimbulkan kezaliman maka bisa diharamkan juga. Contoh ayat pembagian waris, setelah dijelaskan pembagiannya kemudian dijelaskan tujuannya dalam menetapkan hukum2 syariah terutama dalam muamalat. Diperintahkannya sesuatu pasti ada tujuan.
Tujuan atau hikmah dari Allah menetapkan suatu hukum muamalah, tujuan Allah ditemukan dari dalil, bukan dari logika manusia. Hal ini karena yang menetapkan syariat adalah Allah dan Allah lah yang mengetahui tujuanNya menurunkan suatu hukum. Seperti halnya tujuan seseorang melakukan sesuatu hanya orang tersebutlah yang mengetahui yang sebenarnya, sedangkan orang lain hanya dapat menduga atau mengira2 dan tidak dapat mengetahui yang pasti tanpa dijelaskan oleh orang tersebut, seperti dalil dalam menentukan tujuan hukum syariah muamalat dari ayat Quran maupun hadits.
Allah memiliki tujuan dalam menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya, tetapi tujuan ini tidak tercapai karena tidak semua manusia beribadah, ada hikmah dibalik kenyataan ini. Tujuan tidak selalu tercapai.
Perintah terdiri dari yang sifatnya kauniy dan syar’iy yaitu kauniy perintah Allah yang pasti terjadi seperti “kun fayakun” sedangkan yang bersifat syar’iy tidak selalu tercapai.
Contoh tujuan diperintahkan ibadah adalah agar manusia tidak kesusahan (menderita).
Tujuan yang ditetapkan Allah berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan manusia, seperti halnya Allah mendengar dan manusia mendengar tetapi keduanya tidak sama.

Maqashid, Hikmah, ‘Illat
Antara hikmah dengan maqashid tidak ada bedanya, maqashid dengan hikmah sama.
‘Illat dengan maqashid ada perbedaannya.
Contoh: dalam perjalanan boleh mengqadha shalat dan mempersingkatnya menjadi 2 rakaat dengan tujuan untuk memberi keringanan, tetapi tidak dihilangkan sama sekali karena jika dihilangkan sama sekali akan memberatkan bagi jiwanya.
‘Illat kalau ada, maka ada hukum, jika tidak ada ‘illat maka tidak ada hukum. Contoh hukum potong tangan jika mencuri, illatnya adalah mencuri maka jika ada illatnya ada hukumnya dan jika tidak ada illatnya maka tidak ada hukumnya. Sedangkan hikmah tidak selalu ada dalam penetapan hukum. Contoh adanya hikmah pelarangan riba tetapi ada riba yang tidak zalim pada saat tertentu yaitu meminjam untuk modal bagi peminjam menguntungkan karena mendapat modal sedangkan bagi yang meminjamkan menguntungkan karena mendapat kelebihan.
‘Illat adalah sebab Allah mensyariatkan hukum, persyaratan suatu hukum.

Tidak semua syariat tujuannya dijelaskan oleh Allah.
Sehingga adanya ta’abbudi (sami’na wa atha’na) yaitu berserah pada Allah karena tidak semua syariat dapat dilogikakan atau tidak dapat dinalar.

Fungsi mempelajari maqashid syariah, terutama dalam hal muamalat: yaitu sebagai bagian dari ushul fiqh yaitu bab qiyas dan masalih mursalah.
Tujuan syariat, tujuan Allah menetapkan hukum2nya: bagaimana mengetahui tujuan suatu hukum.

Pengertian tentang maqashid syariah sebagai sebuah disiplin ilmu belum pernah dijelaskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Bahkan imam Syatibi yang telah membahas panjang lebar tentang maqashid syariah pun tidak menjelaskan apa itu yang disebut dengan maqashid syariah.
Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengetahui makna maqashid syariah. Yang pertama dari sisi unsur bangunannya (ma’na idlafiy), yang kedua dari sisi kedudukannya yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu (ma’na maqashid syariah ‘alaman wa laqaban) .
1. Makna Idlafiy Maqashid Syariah
Maqashid Syariah terdiri dari dua kata; maqashid dan syariah. Secara etimologi, maqashid berasal dari akar kata qasada yang artinya menuju, bermaksud, atau seimbang. Sementara syariah dalam bahasa menunjuk pada jalan yang jelas menuju sumber air, atau sumber airnya sendiri, atau agama .

Dua kata ini jika digabung maka bisa menghasilkan makna maksud agama, atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama.
2. Makna Maqashid Syariah ‘Alaman atau Laqaban
Boleh jadi sebagai sebab tidak adanya ulama-ulama sebelum ini yang menjelaskan makna maqashid syariah secara gamblang adalah karena maqashid syariah belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Atau ia memang tidak perlu dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu seperti yang diungkapkan oleh Syatibi.

Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah SWT dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur mengatakan: maqashid umum syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syariatnya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya.
Sementara ‘Allal al Fasi mendifinisikan maqashid syariah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukumnya . Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba.
a. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas.
Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.
1. Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.

Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits.
Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi saw. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan.
Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Diantara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya.
Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya.
Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.

Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.
Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang medesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan.
Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.
2. Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha.

Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid.
Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya.

Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

2. Maqasid Syariah tidak ditetapkan begitu saja dengan menggunakan logika. Akan tetapi ada metoda yang digunakan oleh para ulama ilmu ushul fiqh. Metoda yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan sebuah maqasid:

CARA MENGETAHUI MAQASHID

Mengetahui Maqashid / hikmah dari Nash: adanya kata2 yang menunjukkan alasan
1. kata min ajli = karena itu. Contoh QS AlMaidah: 32 “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel…”
2. kata kai = supaya. Contoh QS Al Hasyr: 7 “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
3. kata idzan = kalau begitu. Contoh hadits “falaa idzan” tentang riba bai’ yaitu nabi ditanya tentang menukar kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda ‘apakah kurma basah itu akan berkurang apabila kering?’ Mereka menjawab ‘iya’. Beliau bersabda ‘kalau begitu maka tidak boleh’. Tidak boleh karena hikmahnya kurma basah dengan kurma kering berbeda ukuran tetapi jenisnya sama maka tidak boleh ditukarkan, jika basah dengan basah ditukar juga tidak boleh karena belum tentu ukurannya sama ketika kering. Disini tidak dibolehkan karena ukurannya akan menjadi berbeda.
4. kata inna = anna = sesungguhnya. Contoh atsar Abdullah bin Rawahah: wahai umat yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci, akan tetapi kebencianku tidak akan mengantarkanku untuk menzalimi kalian. Adapun harta yang kalian tawarkan adalah risywah, harta haram dan kami tidak memakan harta haram. Penjelasan: dikatakan kepada yahudi ketika akan memberikan sogokan pada beliau untuk mengurangi pajak yang ditarik. Karena yahudi khawatir beliau lebih benci pada mereka maka akan dinaikkan pajaknya. Alasan tidak mengambil harta tersebut adalah karena harta tersebut harta haram.
5. kata ba’ yang menunjukkan alasan, tidak semua ba’ yang menunjukkan alasan tetapi dilihat konteksnya yang menunjukkan alasan saja. Contoh QS An Nisa: 160-161. Allah mengharamkan makanan yang dulunya halal dikarenakan kaum yahudi melakukan hal2 seperti yang disebutkan dalam ayat tsb.
6. kata “li” yang berarti untuk atau karena. Contoh QS 51: 56 wamaa khalaqtuljinna wal insa illa liya’buduuni li = untuk.
7. kata hatta = hingga, sampai. Contoh hadits Nabi melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya hingga ia menerimanya. Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas kenapa dilarang, menjawab karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan. Hal ini tidak dibolehkan karena termasuk riba fadhl jika menjual barang yang belum ada maka sama dengan menukarkan uang dengan uang dengan nilai yang tidak sama.
8. kata la’alla = semoga = agar. Contoh: yaa ayyuhalladziina aamanu…la’allakum tattaquun. Contoh QS Ali Imran: 130 “la’allakum tuflihuun” agar beruntung. Kata2 la’alla yang menunjukkan arti tujuan.
9. menyebutkan persyaratan dalam konteks kalimat conditional: bila … maka / niscaya … yaitu ada kata idza = bila, seandainya, dll. Contoh hadits Allah mengharamkan bai’ inah yaitu untuk menghindarkan dari kehinaan.
10.

Cara-cara  untuk mengetahui maqashid syariah:
I.Nash (kata yang menunjukkan alasan), seperti: 
1.      Kata : (مِنْ أَجْلِ): berarti: karena itu. Dalam contoh firman Allah
{مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا } [المائدة: 32]
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya".
2.      Kata: (كَيْ) berarti: supaya. Dalam contoh firman Allah
{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ } [الحشر: 7]
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu"
3.      Kata: (إِذَنْ)  berarti: kalau begitu. Dalam contoh sabda Nabi:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ، فَقَالَ: «يَنْقُصُ إِذَا يَبِسَ» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَلا إِذَنْ
Nabi ditanya tentang menukar kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda, "Apakah kurma basah itu akan berkurang apabila kering? Mereka menjawab, Iya. Beliau bersabda,"Kalau begitu maka tidak boleh".
4.      Kata (إنّ) berarti:  sesungguhnya, dalam contoh Atsar Abdullah bin Rawahah.
Setelah Abdullah bin Rawahah sampai di Khaibar, para Yahudi mengumpulkan perhiasan, lalu mereka menyerahkan perhiasan tersebut kepada Abdullah seraya berkata, "Ini untukmu dan mohon kurangi pajak kami".
Abdullah bin Rawahah berkata,
ياَ مَعْشَرَ يَهُودَ، وَاللهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِيَّ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَّضْتُمْ مِنَ الرِّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لاَ نَأْكُلُهَا
"wahai umat yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci, akan tetapi kebencianku tidak akan mengantarkanku untuk menzalimi kalian (dengan menaikkan taksiran pajak melebehi ketentuan syariat)! Adapun harta yang kalian tawarkan adalah risywah, harta haram dan kami tidak memakan harta haram".
5.      Kata (باء) berarti: dengan sebab itu. Dalam contoh firman Allah.
{فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ} [النساء: 160، 161]
"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil".
6.      Kata (لِ) berarti: untuk, karena. Dalam contoh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau menawar unta milik shahabatnya Jabir radhiyallahu anhu dengan murah. Lalu Jabir menjualnya dengan syarat dia masih dibolehkan menungganginya sampai tiba di Madinah. Sesampainya di Madinah Nabi membayar lunas dan mengembalikan untanya (hibah) seraya bersabda,
«أَتُرَانِي مَاكَسْتُكَ لِآخُذَ جَمَلَكَ، خُذْ جَمَلَكَ، وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ»
Apakah engkau mengira aku menawar untamu untuk memilikinya. Ambillah unta dan uangnya mmenjadi milikmu! (HR. Muslim).
7.      Kata (حَتَّى) yang berarti: hingga, sampai. Dalam contoh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam
أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya hingga ia menerimanya". Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, "Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, "Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan". (HR. Bukhari).
8.      Kata (لعلَّ) yang berarti semoga, dalam contoh firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران: 130]
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan".
9.      Menyebutkan persyaratan dalam konteks kalimat (conditional), seperti sabda Nabi.
«إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
"Bila kalian melakukan transaksi ribawi, tunduk dengan harta kekayaan (hewan ternak), mengagungkan tanaman dan meninggalkan jihad niscaya Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dijauhkan dari kalian hingga kalian kembali kepada syariat Allah (dalam seluruh aspek kehidupan kalian)". (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
10.  Kata (      (فاءyang berarti: maka.
Seperti para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan transaksi jual-beli buah kurma di pohon sebelum layak di panen. Saat buah akan dipanen dan pembeli ingin menyerahkan uang, sering terjadi panen gagal terkena hama, sehingga buahnya tidak layak dijual. Tidak jarang terjadi sengketa; pembeli tidak mau membayar uang dan penjual mendesak pembeli menyerahkan uangnya berdasarkan transaksi yang telah dilakukan sebelumnya. Karena banyaknya sengketa maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«فَإِمَّا لاَ، فَلاَ تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُ الثَّمَرِ»
"Jika kalian tidak meninggalkan jual-beli buah di pohonnya, maka janganlah menjualnya sebelum buah cukup tua". (HR. Bukhari).
11.  Hukum yang dijelaskan Nabi setelah terjadinya sebuah kasus, seperti
Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang memiliki tanah pertanian menyewakan tanahnya kepada para penggarap dengan imbalan hasil panen tanaman yang berada dekat  aliran air. Hal ini sering menimbulkan sengketa karena hasil panen yang di dekat aliran air tentu lebih bagus. Lalu mereka menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta keputusan tentang persengketaan tersebut. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menyewakan tanah dengan cara tersebut seraya bersabda,
«أَكْرُوا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ»
"Sewakanlah tanah dengan imbalan (uang) emas atau (uang) perak! (HR. Ahmad dan Nasa'i. Derajat hadis ini dinyatakan hasan oleh Al-Albani).
12.  Jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Seperti dalam firman Allah.
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا} [البقرة: 219]
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

3. Sering didengar orang yang berdalil dengan maqashid dalam muamalat kontemporer. Apakah maqashid dapat digunakan sebagai dalil? Berikut penjelasannya:

Setelah mengetahui maqasid adalah untuk mengetahui hikmahnya, kemudian tujuannya adalah menggunakannya untuk mengambil keputusan untuk kasus2 yang tidak ada dalam nash, sebagai bentuk lain dari qiyas.
Fungsi yang paling utama mengetahui maqasid: apakah dapat digunakan untuk menetapkan kasus2 yang lain: penggunaan maqasid sebagai dalil.
Maqashid syariah adalah maslahah yaitu tujuan diturunkannya syariat adalah untuk kebaikan.
Contoh penelitian2 tentang dampak kesehatan dari berwudhu, sujud, dari syariah penyembelihan. Contoh di ekonomi adalah adanya inflasi yang disebabkan oleh riba / sistem bunga.

Langkah pertama adalah mencari maqasidnya dulu, lalu diputuskan apakah dapat diterapkan pada kasus lain atau tidak. Bila maqashid telah didapatkan dari mengumpulkan nusyuz2 syar’i yang berupa dalil, maka maksud tersebut adalah dalil. Contoh: riba diharamkan, hikmahnya agar tidak menganiaya dan tidak dianiaya (kezaliman) dari nash Al Baqarah ayat 279. Bila ditemukan muamalat lain yang ada unsur kezalimannya maka tidak boleh juga.
Kemudian ada kasus adanya riba yang tidak ada unsur kezhaliman karena nilainya disamakan dengan nilai tanah pada saat meminjam dan dikembalikan sesuai dengan nilai tanah pada saat mengembalikan, hal ini tidak menzalimi bagi yang meminjamkan dana.
Oleh karena itu sebagian ulama membolehkan mengambil kelebihan pada pinjaman yang timbul dikarenakan inflasi lebih dari 70%. Hal ini berdasarkan hadits dari ukuran sepertiga. Jika inflasi dibawah 30% maka tidak dibayar lebih. Jika inflasi antara 30-70% ada perbedaan pendapat antara tidak dibayar lebih, atau dibayar sesuai inflasi, atau kekurangannya dibagi dua antara peminjam dengan yang meminjam.
Jika diatas 70% dibolehkan karena jika tidak disesuaikan maka akan menzalimi yang mempunyai uang.

Maqashid syariah dapat dijadikan dalil apabila (Bagaimana maqashid syariah dapat dijadikan dalil)
1. Bila maqashid diambil dari dalil Quran dan hadits. Contoh: membolehkan riba pada saat inflasi lebih dari 70% dari nash laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun.
2. Bila maqashid diambil dari ijma’ seperti: dalam muamalah harus ada keadilan / maqashid untuk muamalah adalah adanya keadilan, atau terealisasinya keadilan dalam akad muamalat. Bila tidak ada keadilan maka muamalat itu tidak dibolehkan. IMBT tidak dibolehkan oleh OKI, tetapi yang dibolehkan adalah IMBT tetapi saat masih dalam masa sewa maka penyewa tidak menanggung risiko kecuali yang disebabkan kelalaian penyewa, juga ketika tidak mampu membayar cicilan ketika hampir habis masa sewa maka rumah diambil padahal harga sewa lebih mahal dari harga pasar maka penyewa juga dizalimi.
3. Bila maqashid diambil dari masalik illat. Illat merupakan metode qiyas, maka maksud yang diambil dari metode illat bisa dijadikan dalil karena qiyas merupakan dalil.
4. Diantara cara mengetahui maqashid adalah dari masalih mursalah: jangan jatuhkan diri dalam kehancuran. Jika tidak ada itu maka menjadi kehancuran, maka harus dilakukan hal tersebut agar tidak terjadi kehancuran.

Tingkatan maqashid syariah:
1. Darurat / maqashid: dapat menghilangkan satu atau lebih dari hal yang 5.
Contoh kasus: jika sakit hingga dapat hilang nyawa dan yang ada hanya pinjaman riba maka boleh diambil karena darurat diambil dari dalil “jangan jatuhkan diri dalam kebinasaan”.
Yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah jika kondisinya dapat menghilangkan nyawa dan tidak ada alternatif lain.
2. Al haajah / maslahat yaitu kebutuhan.
Bedanya darurat dengan haajah, haajah bila tidak dilakukan maka tidak ada yang hilang dari kelima hal tersebut tetapi akan memberatkan / menyulitkan. Haajah ini tidak dapat menghalalkan riba. Contoh bila haajahnya adalah jika tidak berobat tidak akan menghilangkan nyawa tetapi hanya sakit saja maka tidak menjadi boleh mengambil pinjaman dengan riba. Contoh lain adalah bila tidak punya rumah dan menyulitkan tetapi hanya ada kpr dengan riba maka tidak boleh.
Adanya haajah dapat membolehkan beberapa akad seperti: akad salam (uang tunai didepan, barang belakangan) dimana barang belum dimiliki oleh penjual yang pada dasarnya tidak dibolehkan tetapi karena ada kebutuhan maka dibolehkan. Contoh lain yang menjadi boleh adalah ijarah, qiradh atau akad mudharabah mengandung gharar besar tetapi dibolehkan karena ada haajah. Haajah hanya dapat membolehkan gharar dan tidak dapat membolehkan riba kecuali riba jual beli yaitu jual beli muzabanah menukarkan kurma kering dengan kurma basah, contohnya yang boleh yaitu orang miskin yang ingin makan kurma basah dan menukarkan dengan kurma kering yang dimilikinya. Haajah membolehkan yang haram bukan karena zatnya seperti ketidakbolehan wanita keluar tanpa mahram tetapi bila ada haajah maka jadi boleh.
3. Tahsiniyah: tidak membolehkan yang haram.

Petunjuk Tujuan-tujuan syariah
Pada Transaksi Kontemporer

Seringkali kita dapati ulama’ kontemporer menggunakan maqashid syariah sebagai dalil atas perkara-perkara yang turun pada transaksi kontemporer
Maka apa status kebenaran menggunakan dalil dengannya, karenanya telah didengar bahwa maqashid adalah termasuk dalil, tidak disepakati secara umum dan tidak pula diperselisihkan
Berkata Guru kita Asy-Syatsari: “hal ini dimungkinkan untuk menjawab permasalahan tersebut diantara metode mengetahui maqashid”

Kita katakan sesungguhnya metode mengetahui maqashid bisa dengan mengkaji nash-nash syariah, dan nash-nash syariah adalah dalil, maka disini kita hukumi bahwa maqashid syariah adalah dalil.
Contohnya : Maqshad dari pengharaman riba adalah adanya kedzoliman karena firman Allah Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba apabila kalian beriman (287) Apabila kalian tidak melakukannya maka bersiaplah untuk mendapatkan peperangan dari Allah dan rasul-Nya dan apabila kalian taubat maka bagi kalian pokok harta kalian (agar) kalian tidak dizolimi dan tidak mendzolimi”

Kita berangkat dari sini akan kebolehan mengambil kelebihan pada pinjaman yang timbul dikarenakan inflasi hingga harga mata uang mencapai lebih dari 70% untuk menghilangkan kedzoliman dari orang yang meminjamkan
Diperbolehkan mengambil tambahan apabila terjadi inflasi yg menyebabkan turunnya nilai mata uang hingga > 70%.

Dan juga diketahui maqashid diantaranya dari ijma’. Dan ijma’ merupakan dalil dari dalil yang disyariatkan.
Sebagaimana maqshad keadilan dalam mu’amalat.
Dari sini, dapat kita hukumi akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) dengan keharaman, padanya terdapat ketidakadilan, dikarenakan didzolimi penyewa pada kebanyakan kondisi.
Mencari daluil maqhasid dng cara ijma’. Cthnya keadilan dlm bermuamalah. Seperti IMBT yg dilarang mujtahid. Menimbulkan kezaliman bg penyewa.

Terkadang diketahui juga maqashid dari masalik illat, dan ia termasuk metode qiyas. Dan qiyas adalah dalil.
Mencari maqhasif dari illah / qiyas.

Dan diantara metode mengetahui maqashid adalah diamnya syariat atas satu hukum dengan adanya kebutuhan dan pencegahan akan pelanggaran.
Dan ini termasuk maslahat mursalah, dan ini adalah dalil diantara dalil-dalil syariah.


4. Seseorang yang membaca hadis-hadis Nabi dari kitab-kitab hadis muktabar dalam bab Muamalat dan menguasai metoda penetapan maqashid syariah akan menemukan maqashid yang begitu luas. Berikut 3 maqashid syar'i dari hadis beserta metoda penetapannya dari kitab hadits Shahih Bukhari.


2. Hadits Bukhari no 2212
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Al Uwaisiy telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid dari Abu Al Ghaits dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu".

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dari adanya kalimat persyaratan (conditional) untuk tindakan berhutang.

Persyaratannya adalah apakah disertai dengan niat untuk mengembalikannya, jika kondisi tersebut dipenuhi maka akan dimudahkan jalannya sedangkan jika tidak maka akan menjadi kerugian bagi yang berhutang tersebut. Maksud dari hukum keharusan adanya niat untuk mengembalikan hutang adalah bahwa akan selalu ada jalan bagi orang yang memiliki niat mengembalikan hutang dan akan menjadi lebih sulit bila niat itu memang tidak ada dari awal.

5. Hadits Bukhari no 2216
Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Abdul Malik dari Rib'iy dari Hudzaifah radliallahu 'anhu berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada seorang yang mati lalu ia ditanya, dan menjawab; Aku pernah berjual beli dengan banyak orang, aku menagih orang-orang yang dalam kelonggaran saja, dan meringankan siapa yang sedang kesulitan". Maka orang itu diampuni dosanya". Berkata, Abu Mas'ud aku mendengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dengan dua cara yaitu adanya kata fa dalam kalimat fa ghufira lahu dan adanya jawaban atas pertanyaan atau hukum yang dijelaskan setelah terjadinya sebuah kasus.
Kata-kata lain yang menjadi tanda-tanda maqashid syariah ada beberapa ditemukan dalam hadits ini seperti li tetapi tidak menunjukkan tujuan melainkan hanya bagian dari cerita.

Maksud dari hadits ini adalah jika memiliki piutang pada orang yang tidak mampu maka sebaiknya diputihkan saja yaitu diikhlaskan untuk tidak dikembalikan dan tidak ditagih kepada orang tersebut adapun jika orang yang berhutang adalah seseorang yang mampu maka boleh ditagih kepadanya. Perilaku memutihkan hutang orang yang tidak mampu dianggap baik dan disukai oleh Rasulullah oleh karena itu beliau mengatakan bahwa dosanya dapat diampuni dikarenakan orang tersebut melakukan perbuatan baik tersebut.

17. Hadits Bukhari no 2230
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Abdullah bin Dinar berkata, aku mendengar 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku tertipu dalam berjual beli". Maka Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah tidak boleh ada (penipuan dalam jual beli) ". Kemudian orang itu mengatakannya.

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dari adanya penetapan hukum yang dijelaskan Rasulullah setelah terjadinya sebuah kasus. Dalam hal ini kasus yang dimaksud adalah seseorang yang tertipu dalam kegiatan jual beli. Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa dalam jual beli tidak boleh ada penipuan.