Saturday, March 26, 2016

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (8) Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam

Mustafa Edwin Nasution, M.Sc., MAEP, Ph.D., Ir. Budi Setyanto, M.Si., Nurul Huda, SE., MM., M.Si., Muhammad Arief Mufraeni, Lc., M.Si., Bey Sapta Utama, SE., M.Si. menulis Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (2010). Buku ini merupakan buku teks ekonomi Islam.

Perilaku konsumsi Islami berdasarkan tuntunan Al-Qur’an dan Hadits perlu didasarkan atas rasionalitas yang disempurnakan yang mengintegrasikan keyakinan kepada kebenaran yang melampaui rasionalitas manusia yang sangat terbatas ini.(60)
Akibat dari rasionalitas konsumsi yang lebih mendukung individualisme dan self interest, maka keseimbangan umum tidak dapat dicapai. Yang terjadi adalah munculnya berbagai ketimpangan dalam berbagai persoalan sosioekonomi. Untuk itu perlu menginjeksikan nilai-nilai (values) dalam sektor konsumsi sehingga tidak membahayakan bagi keselamatan manusia itu sendiri.(61)
Konsep an-nafs al-muthmainah. Jiwa yang tenang ini tentu saja tidak berarti jiwa yang mengabaikan tuntutan aspek material dari kehidupan. Tentu saja ia tetap memerlukan semua pemenuhan kebutuhan fisiologis jasmani termasuk juga kenyamanan-kenyamanan (comforts). Pemuasan kebutuhan harus dibarengi dengan adanya kekuatan moral, ketiadaan tekanan batin (tension) dan adanya keharmonisan hubungan antar sesama manusia dalam sebuah masyarakat. Disinilah perlu diinjeksikan sikap hidup peduli kepada nasib orang lain (al-iitsar). Sikap ini tentu akan meniadakan berbagai varian dari pola konsumsi materialistis seperti conspicuous consumption. Konsumsi model ini secara agama tidak mendapatkan dasar pijakan dan secara ekonomi berbahaya karena hanya menguras devisa negara dan secara sosial merenggangkan keharmonisan hidup bermasyarakat.

Konsep Maslahah dalam Perilaku Konsumen Islami
Maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini.(62) Semua aktivitas yang memiliki maslahah bagi umat manusia, disebut “needs” atau kebutuhan. Dan semua kebutuhan ini harus dipenuhi.
Mencukupi kebutuhan –dan bukan memenuhi kepuasan / keinginan- adalah tujuan dari aktivitas ekonomi
Mencukupi kebutuhan –dan bukan memenuhi kepuasan / keinginan- adalah tujuan dari aktivitas ekonomi
Mencukupi kebutuhan –dan bukan memenuhi kepuasan / keinginan- adalah tujuan dari aktivitas ekonomi Islami, dan usaha pencapaian tujuan itu adalah salah satu kewajiban dalam beragama.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
- Maslahah bersifat subjektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakin bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
- Maslahah orang per orang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal dimana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
- Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
Maslahah terbagi 2: 1) yang menyangkut kehidupan dunia dan akhirat, dan 2) yang menyangkut kehidupan akhirat saja.
Individu Islam memiliki 2 jenis pilihan:
1. Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah1 dan maslahah2.
2. Bagaimana memilih didalam maslahah1: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Pada tingkat pendapatan tertentu
Penjelasan tingkatan maslahah(64)
Nasihat Abu Bakar untuk tidak menghabiskan bekal untuk beberapa hari dalam satu hari saja.
Nasihat Muawiyah “pengaturan belanja yang baik itu merupakan setengah usaha, dan dia dianggap sebagai setengah mata pencaharian”. Umat Islam dalam mencari harta sampai membelanjakannya tetap berpedoman bahwa itu semua merupakan bagian dari ibadah.
Konsumsi barang impor untuk kebutuhan dan barang mewah memperburuk neraca transaksi.
Islam memperkenalkan konsep israf dan tabzir. Islam membentuk jiwa dan pribadi yang beriman, bertakwa, bersyukur, dan menerima.(65)
Pola hidup konsumtivisme tidak pantas untuk pribadi yang beriman dan bertakwa. Gaya hidup yang cocok adalah simple living (hidup sederhana) dalam pengertian yang benar secara syar’i.
Pengeluaran rumah tangga muslim lebih mengutamakan kebutuhan pokok sehingga sesuai dengan tujuan syariat. Kebutuhan pokok ada 3:
1. Primer: nafkah pokok yang dapat mewujudkan 5 tujuan syariat yaitu memelihara jiwa, akal, agama, keturunan, dan kehormatan. Tanpa kebutuhan primer kehidupan manusia tidak akan berlangsung. Meliputi kebutuhan akan makan, minum, tempat tinggal, kesehatan, rasa aman, pengetahuan, dan pernikahan.
2. Sekunder: kebutuhan manusia untuk memudahkan kehidupan, agar terhindar dari kesulitan.
3. Pelengkap: kebutuhan yang dapat menciptakan kebaikan dan kesejahteraan dalam kehidupan manusia.
Ibu rumah tangga yang umumnya merupakan manajer rumah tangga, mesti disiplin dalam menempati skala prioritas kebutuhan tadi, sesuai dengan pendapatan yang diperoleh suaminya.
Jika sudah memenuhi semua kebutuhan, Islam tetap mengharamkan pengeluaran yang berlebih-lebihan dan terkesan mewah, karena dapat mendatangkan kerusakan dan kebinasaan. QS al-Israa ayat 16. (66)
Untuk mencegah gaya hidup mewah, pembelanjaan yang tidak mendatangkan manfaat materiil maupun spiritual diharamkan. Terutama untuk barang haram dan yang mengarah pada bid’ah dan kebiasaan buruk.
Tidak pula membuat kikir. Islam mengajarkan sikap pertengahan dalam mengeluarkan harta, tidak berlebihan dan tidak pula kikir. QS Al Furqan: 67 dan QS Al Israa: 29.
Pembagian rezeki telah ditentukan batasan, kadar, dan jenisnya.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (7) Ekonomi Rumah Tangga Muslim

Syahatah (1998) menjabarkan aturan bekerja dan berusaha, aturan pembelanjaan, dan aturan menyimpan dan menabung dalam rumah tangga muslim. Poin-poin didalamnya yang relevan dengan permasalahan konsumerisme adalah sebagai berikut: seimbang antara pendapatan dan pengeluaran, membelanjakan harta untuk kebaikan, mengutamakan pengeluaran untuk hal yang primer, menghindari pembelanjaan untuk barang mewah, menghindari pembelanjaan yang tidak disyariatkan, bersikap tengah-tengah dalam pembelanjaan, menyimpan kelebihan setelah kebutuhan primer terpenuhi, menyimpan kelebihan untuk menghadapi kesulitan, hak harta generasi mendatang, tidak menimbun harta, pengembangan harta harus dilakukan dengan baik dan halal, serta melatih anak bekerja.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (6) Maqashid Syariah

Nurizal Ismail (2014). Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam. Yogyakarta: Smart WR.

Definisi Harta (mal)

Secara etimologi, harta dalam Islam dikenal dengan kata mal, yang berarti condong, kecendrungan, dan kemiringan. Kecendrungan manusia untuk mencintai harta merupakan tabiatnya seperti yang dijelaskan dalam surah al-‘Adiyat, 8: “Sesungguhnya manusia sangat cinta kepada harta”. Adapun secara terminologi beberapa ulama telah mendefinisikannya secara jelas dan lugas.
1. Menurut ulama Hanafiyyah, harta adalah sesuatu yang kecendrungan kepadanya tabiat manusia yang memungkinkan penyimpanannya untuk dipergunakan pada masa dibutuhkan.
2. Menurut ulama Malikiyyah, harta adalah sesuatu yang mengakibatkan atasnya kepemilikan, yang pemilik memisahkannya dari yang lainnya apabila mengambilnya dari tempatnya.
3. Menurut ulama Hanabilah, harta adalah sesuatu yang dibolehkan pemanfaatannya secara bebas atau di setiap keadaan apapun.
4. Menurut Jumhur ulama, harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi diantara manusia, yang dibolehkan pemanfaatannya secara syariah dalam keadaan lapang dan ada pilihan, bukan dalam keadaan sempit dan bahaya.

Dari beberapa definisi dapat diambil kesimpulan bahwa harta adalah sesuatu yang mempunyai nilai materi yang dapat dimiliki, dimanfaatkan dan disimpan menurut ketentuan-ketentuan syariah Islam. Harta yang dimaksudkan dengan dapat dimiliki adalah bahwa harta itu harus dicari oleh manusia dengan bekerja, berdagang atau memberikan jasa kepada orang lain. Sedang yang dimaksud dengan sesuatu yang dapat dimanfaatkan adalah harta yang dapat digunakan manusia untuk kehidupannya seperti untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya. Adapun yang dimaksudkan dengan dapat disimpan adalah harta yang dapat digunakan untuk kebutuhan akan datang dengan cara menyimpannya baik dalam bentuk tabungan atau investasi.

Hakikat Harta dalam Islam

Dari definisi diatas menjelaskan bahwa harta mempunyai posisi penting dalam kehidupan manusia. Untuk mendapatkannya manusia perlu bekerja dan yang selanjutnya dimanfaatkan untuk saat ini maupun untuk masa depannya. Tahapan seperti ini sudah banyak diketahui oleh kita sebagai manusia, tetapi terkadang kita terlupa apa sebenarnya hakikat harta dalam kehidupan manusia. Dalam Islam, ada beberapa poin-poin penting tentang harta yang harus benar-benar dapat dipahami maknanya secara mendalam.

1. Harta mutlak milik Allah SWT
Di dalam al-Qur’an telah banyak dijelaskan bahwa Allah SWT adalah pemilik mutlak seluruh kekayaan yang ada di langit maupun di bumi. Dijelaskan dalam Surah al-Maidah, 120: “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Selanjutnya, manusia sebagai khalifah Allah SWT diberikan hak untuk memanfaatkannya dengan penuh amanah. Menurut Rodney Wilson, basis kepemilikan harta dalam Islam adalah kepemilikan dengan amanah (ownership by trusteeship), dengan Allah SWT sebagai pemilik mutlak kekayaan dan Manusia sebagai wakil-Nya di bumi ini. Karena harta sebagai amanah, maka manusia sebagai pemegang amanah tersebut akan mempertanggungjawabkan di akhirat nanti. Dalam sebuah riwayat Abu Daud, Rasulullah bersabda: “Seseorang pada hari akhir nanti pasti akan ditanya tentang empat hal: usianya untuk apa dihabiskan, jasmaninya untuk apa dipergunakan, hartanya darimana didapatkan dan untuk apa dipergunakan, serta ilmunya untuk apa dipergunakan.”
2. Harta sebagai nikmat Allah SWT
Harta yang diberikan sebagai amanah adalah sebuah nikmat yang patut disyukuri oleh manusia. Para ulama dahulu telah banyak berbicara tentang nikmat. Nikmat menurut Imam Ghazali terbagi menjadi 2, yaitu nikmat yang mutlak dalam segala keadaan dan nikmat yang muqayyad dalam segala keadaan. Kategori pertama seperti kebahagiaan akhirat dan keimanan. Sedangkan yang kedua kebanyakan berhubungan dengan kebahagiaan harta benda. Ibnu Qayim al-Jauziyah membaginya menjadi 3 macam, yaitu: 1) nikmat yang sedang di tangan; 2) nikmat yang diharapkan datangnya; dan 3) nikmat yang tidak disadari. Nikmat yang pertama adalah nikmat yang sedang dinikmati semasa hidup seperti harta, kesehatan, kedudukan, dan sebagainya. Bentuk yang kedua seperti kenaikan pangkat dan gaji, sukses dalam ilmu, perdagangan dan usaha. Yang terakhir adalah nikmat tubuh yang diberikan kepada kita yang sampai pada saat ini masih dapat digerakkan.
Nikmat adalah sesuatu yang halal dan baik yang diberikan oleh Allah SWT, sebagaimana yang dijelaskan dalam Surah al-Baqarah, 168: “Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sungguh setan itu musuh yang nyata bagimu.” Namun ketika nikmat harta yang dianugrahkanNya tidak disyukuri oleh hambanya bahkan malah mengingkarinya, maka azab Allah sangat pedih, sebagaimana di dalam firmanNya dalam Surah Ibrahim, 14: “dan Kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. Yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) ke hadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku".
3. Harta sebagai pilar utama dakwah
Harta atau kekayaan yang dimiliki oleh manusia diharapkan dapat digunakan untuk jalan dakwah, sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, sahabat-sahabat, dan tabi’in. Di masa Rasulullah SAW, sahabatnya Abu Bakar as-Siddiq rela mengorbankan hampir semua kekayaannya untuk mempertahankan Islam dan orang-orang miskin yang pada masa itu Islam masih mendapat ancaman dari pihak-pihak yang tidak menginginkan kedatangan Islam.
4. Harta sebagai ladang amal di akhirat nanti
Dalam Islam, manusia tidak hanya hidup di dunia saja, melainkan akan menghadapi kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Namun, hal tersebut banyak dilupakan oleh sebagian manusia. Padahal kita telah diperintahkan untuk mencapai pahala akhirat dari apa yang telah dianugerahkan Allah sebagaimana firmanNya dalam Surah al-Qashash, 77: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Dari ayat ini sangat jelas bahwa segala kekayaan yang telah dianugerahkan kepada kita adalah ladang untuk mendapatkan pahala di akhirat nanti. Kekayaan atau harta yang kita dapat dan kemudian kita gunakan adalah untuk mencapai falah (kesuksesan dunia dan akhirat). Kompensasi pahala tersebut dijelaskan dalam hadits Nabi Muhammad SAW: ”Apabila anak Adam telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amalnya, kecuali tiga perkara yakni: shadaqah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya dan anak yang shaleh yang mendoakan kedua orangtuanya (HR Muslim no 1631 dari Hadits Abu Hurairah radhiallahu anhu). Ketiga perkara ini memerlukan harta untuk mendukungnya. Untuk memberikan shadaqah jariyah maka diperlukan kekayaan dengan cara bekerja. Begitu juga dengan ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh yang masuk dalam kategori pengeluaran pendidikan yang berasal dari kekayaan yang diterima oleh kita. Sungguh indah Islam menjelaskan hakikat harta yang digunakan manusia dalam rangka pemenuhan kebutuhannya dunia maupun akhirat. Jika semua mengerti secara mendalam arti dari harta tersebut niscaya keadilan di dunia dapat tercapai karena salah satu sumber permasalahan di dunia ini adalah ketimpangan kepemilikan harta yang beredar di antara manusia.

2. Perintah untuk Membelanjakan Harta

Di samping Allah SWT menganjurkan manusia untuk bekerja, Allah SWT juga memerintahkannya untuk membelanjakan kekayaan yang dimilikinya pada jalan Allah yang memberikan manfaat kepada dirinya, keluarganya dan orang lain. Islam menjelaskan secara terperinci langkah-langkah dalam membelanjakan harta. Langkah pertama dalam pembelanjaan kekayaan dengan tidak berbuat boros (mubazir) sebagaimana yang terdapat pada Surah al-Furqan, 67: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” Bahkan orang-orang yang berlaku boros diumpamakan sebagai saudaranya syaitan sebagaimana ditegaskan pada Surah al-Isra, 26-27: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Langkah kedua adalah membelanjakan hartanya untuk membantu orang-orang yang memang memerlukannya seperti orang-orang fakir dan miskin dengan memberikan sedekah, infak, zakat dan wakaf. Pada harta yang kaya itu ada hak bagi orang-orang yang miskin. Hal ini disebut dalam Surah al-Maarij, 24-25: “dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta),”. Kemudian dianjurkan pemberian tersebut dilakukan kepada kerabat-kerabat terdekat dahulu yang lebih memerlukan dan selanjutnya kepada yang lainnya sebagaimana yang disebutkan dalam Surah al-Isra, 26: “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan; dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.”
Langkah ketiga adalah melakukan persiapan-persiapan untuk masa depan karena manusia itu tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang diperolehnya esok, namun demikian mereka diwajibkan berusaha, Allah SWT dalam Surah Lukman, 34 berfirman: “Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. Dan tiada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” Melakukan penyimpanan (saving) harta adalah salah bentuk usaha pembelanjaan atau konsumsi yang akan digunakan pada masa akan datang. Nabi Yusuf as telah memerintahkan raja untuk melakukan penyimpanan (saving) untuk menghadapi masa paceklik yang sangat sulit berdasarkan mimpi sang raja mengenai 7 ekor sapi betina yang gemuk dimakan oleh 7 ekor sapi betina yang kurus dan 7 tangkai gandum yang hijau dan kering. Kisah ini berdasarkan pada Surah Yusuf, 47-48: “Yusuf berkata: "Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan.”

5.3. Prinsip-prinsip Dasar Konsumsi

Konsumsi yang sehat dan layak tidak hanya akan menjamin kelangsungan pembangunan yang akan menguntungkan generasi yang akan datang, tetapi juga mencegah kecendrungan inflasi. Islam telah mengatur aturan-aturan yang jelas mengenai konsumsi ini, yang optimal dan menghindari kerugian (mafsadah) bagi dirinya maupun orang lain. Dalam mencapai tujuan-tujuan konsumsi tersebut, perlunya pengetahuan akan prinsip-prinsip dasar konsumsi dalam Islam, yaitu:
1. Prinsip Halal
Seorang Muslim dianjurkan untuk makan hanya makanan yang halal (halal dan diijinkan) dan tidak mengambil apa yang haram (melanggar hukum dan dilarang). Al-Quran mengatakan: “Makanlah dari apa yang Allah telah berikan pada Anda sebagai makanan halal dan baik, dan bertakwalah kepada Allah di dalam Dia kamu percaya..” (Al-Maidah: 88). Pada ayat lain disebutkan tentang larangan barang haram, sebagaimana firman Allah: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya…” (Al-Maidah: 3). Prinsip halal dan haram juga berlaku untuk jenis-jenis pengeluaran selain makanan. Para pengikut Islam diharuskan untuk menghabiskan pendapatannya kepada sesuatu yang halal dan menjauhi sesuatu yang haram seperti anggur, narkotika, pelacur, perjudian, kemewahan, dll. Selain dari zatnya yang halal, maka prosesnya pun harus dilakukan dengan cara yang halal.
2. Prinsip kebersihan dan kebajikan
Dalam al-Quran banyak sekali ayat-ayat memerintahkan kepada manusia untuk melihat kepada kebersihan dan kebajikan dalam konsumsi. Firman Allah SWT: “Wahai orang-orang yang beriman! Makanlah dari rezeki yang baik yang Kami berikan kepada kamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya menyembah kepadaNya.” (Al-Baqarah: 172). Ayat ini menjelaskan dengan melakukan konsumsi dengan cara-cara yang baik merupakan suatu bentuk ketaatan kepada Allah SWT yang direalisasikan dalam syariat Islam. Sedang kata thayyibah menurut Yusuf Ali berarti hal yang baik (good thing), hal yang baik dan murni (good and pure thing) dan hal yang bersih dan murni (clean and pure thing). Karena Islam jelas memandang bahwa konsumsi terhadap sesuatu harus melihat aspek-aspek kebersihan, kebaikan dan kebajikan, sehingga dapat tercapai maslahatnya.
3. Prinsip moderat
Prinsip moderat berarti seseorang harus mengambil makanan dan minuman dengan menghindari kelebihan atau kekurangan dalam konsumsi. Dalam Surah al-a’raf, 31 berbunyi: “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Prinsip moderat ini berlaku tidak hanya pengeluaran konsumsi barang dan jasa, melainkan pengeluaran untuk charity, dan hubungan antara pengeluaran dan tabungan. Prinsip moderat ini sangat berhubungan dengan permasalahan ekonomi yaitu kelangkaan (scarcity) yang dihadapi oleh manusia. Karena itu tujuan dari prinsip moderasi adalah untuk menghindari terjadinya kelangkaan barang yang beredar di masyarakat. Penerapannya dapat direalisasikan dengan penghematan dalam konsumsi, yang bertujuan keseimbangan ekonomi. Menunaikan nafkah untuk diri sendiri dan keluarga, sosial dan kebutuhan masa akan datang.

Skala Prioritas Konsumsi dalam Tinjauan Maqashid Syariah
Dalam berkonsumsi seorang Muslim harus mempertimbangkan aspek-aspek yang membawa manfaat (maslahat) dan bukan kerugian (mafsadah). Hal ini berhubungan dengan kajian maqashid syariah yang terdiri dari dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyat. Dalam konsumsi, ketiga elemen ini merupakan skala prioritas yang harus dilakukan oleh manusia dalam konsumsi Dharuriyat merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh manusia, yaitu kebutuhan akan pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, akal dan harta. Contoh-contoh kebutuhan dharuriyat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Kebutuhan dalam menjaga agama seperti memperdalam ilmu keagamaan, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
2. Kebutuhan dalam menjaga jiwa seperti sandang, pangan, papan, eksistensi diri dan kesehatan.
3. Kebutuhan dalam menjaga keturunan seperti pengeluaran perkawinan dan keluarga.
4. Kebutuhan dalam menjaga akal seperti pengeluaran pendidikan.
5. Kebutuhan dalam menjaga harta seperti pengeluaran tabungan, investasi dan asuransi.
Sedang dalam hajiyat memberikan kemudahan-kemudahan dalam memenuhi kebutuhan manusia. Fungsi hajiyat adalah untuk menghilangkan kesempitan dan kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan dasar (dharuriyat) manusia. Contohnya, pengeluaran zakat, infak dan sedekah merupakan kebutuhan yang dapat merealisasikan aspek ritual (hifzh ad-din). Ketiga, tahsiniyat atau kamaliyat adalah segala sesuatu yang tujuan tidak untuk merealisasikan maqashid al-khamsah dan tahsiniyat melainkan untuk menjaga kehormatan dari maqashid al-khamsah itu sendiri. Pada tingkatan ini lebih difokuskan kepada etika manusia dalam berkonsumsi dengan landasan nilai-nilai Islam.
Beberapa ulama Islam dahulu telah memberikan penjelasan mengenai skala prioritas dalam konsumsi. Omar (2009) dalam tulisannya yang berjudul “Infaq Model based on Al-Shaybani’s Levels of al-Kasb”. Level pengeluaran berkesesuaian dengan konsep al-kasb nya Syaibani, yaitu: 1) Fard al-‘ayn, 2) Mandub, dan 3) Mubah. Pada tingkatan pertama, pengeluarannya mencakup kebutuhan dasar (untuk diri sendiri, anggota keluarganya dan orang tuanya), penyelesaian hutang dan tabungan. Tingkatan kedua dianjurkan untuk memenuhi kebutuhan dasar dari kerabat dekat, tetangganya dalam bentuk bantuan. Adapun yang terakhir adalah pengeluaran di luar kerabat dekat yang diwujudkan dalam zakat, infaq, sedekah dan kebajikan-kebajikan yang lainnya. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq secara umum yaitu: IQ = f ( Ifa + Imd + Imb). Maka Ifa adalah Fard al-‘ayn (kewajiban) Infaq, Imd adalah mandub (rekomendasi) infaq dan Imb adalah mubah (dibolehkan).
Ismail (2012) dalam tesisnya yang berjudul “Ibn Sina’s Economic Ideas” juga menyinggung tentang model infaq (pengeluaran) yang berasal dari pemikiran Ibnu Sina. Menurut Ibnu pengeluaran dibagi menjadi tiga. Pertama, infaq (pengeluaran) untuk manusia ittu sendiri dan keluarganya dengan tidak melakukan kekikiran, kelalaian dan pemborosan. Pengeluaran ini disebut dengan infaq ijtima’I atau ‘am.
Kedua infaq (pengeluaran) untuk pintu-pintu kebajikan (al-ma’ruf abwab), shodaqoh, dan zakat. Pengeluarannya disebut dengan infaq dini atau khas. Ketiga, al-iddikhar (tabungan) untuk kejadian-kejadian dimasa akan datang. Dari pemikirannya dihasilkan model infaq teori secara umum yaitu: IQ = f ( Ii + Id + Iid). Maka Ii adalah infaq ijtima’I, Id adalah infaq dini dan Iid adalah al-iddikhar.
Dapat disimpulkan bahwa infaq mewujudkan individu, sosial, material, dimensi spiritual, moral dan hukum dalam pengambilan keputusan dan perilaku pengeluaran individu. Tingkatan pemenuhan kebutuhan oleh Syaibani menjelaskan pentingnya skala prioritas yang didahului oleh suatu yang wajib, mandub, dan mubah. Begitu juga dengan pengeluaran model Ibnu Sina yang memprioritaskan pengeluaran diri sendiri dan kemudian dilanjutkan kepada pemenuhan pengeluaran karena agama dan tabungan masa depan. Keduanya mempunyai ide yang sama bahwa dalam melakukan konsumsi harus memperhatikan skala prioritas. Elemen-elemen pengeluaran ini selaras dengan elemen-elemen maqashid syariah yang lima, yang harus dipenuhi sebagai kebutuhan dasar dalam hidup. Kemudian juga hajiyat dan tahsiniyat yang menjadi pemeliharaan dan memperindah kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Karena itu dalam konsumsi Islam prioritas maslahat harus menjadi perhatian oleh manusia Muslim, sehingga tujuan-tujuan syariah (maqashid syariah) dapat dilaksanakan dengan baik dan benar.

Kesimpulan
Konsumsi merupakan pengeluaran yang didapat dari pendapatan yang diterima oleh seseorang. Pendapatan dapat diterima melalui banyak jalur seperti dengan pekerjaan, perdagangan atau warisan. Islam telah mengatur bagaimana seharusnya seorang muslim dalam memperoleh hartanya dan bagaimana mengeluarkannya. Hasil yang diterima dan dirasakan dari konsumsi adalah manfaat atau kegunaan dari barang dan jasa, yang dalam Islam dikenal dengan konsep maslahat (manfaat). Konsep ini berhubungan dengan konsep dasar maqashid syariah yang telah diasaskan oleh para ulama terdahulu. Beberapa pemikiran tentang yang dihasilkan oleh Syaibani dan Ibnu Sina juga menjelaskan tentang skala prioritas dalam konsumsi yang berkesesuaian dengan maqashid syariah.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (5) Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik

Ikhwan Abidin Basri, MA yang menulis Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (2007).

Teori Konsumsi Menurut Imam As Syaibani
Ajaran Islam datang untuk mengubah gaya hidup (lifestyle) yang berlebihan, flamboyant, arogan, dan pamer menjadi sebuah gaya hidup yang sederhana, bersahaja dan zuhud. Gaya hidup yang ditawarkan oleh Islam ini tidak memungkinkan pelakunya mengekspolitasi sumber-sumber daya alam secara berlebihan dan mubazir.
Imam Muhammad bin Al Hasan Assyaibani membagi kebutuhan pokok fisik menjadi empat seraya menulis “Kemudian Allah menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal (rumah)”
Hirarki Konsumsi Menurut Imam As Syaibani
Secara global Imam Assyaibani nelihat tiga tingkatan dalam konsumsi. Dua tingkatan yang pertama memiliki rentang wilayah bawah dan atas. Artinya, pada tingkatan tersebut dimulai dari tingkat bawah kemudian naik ke atas.
Tingkatan konsumsi yang pertama adalah Al-Mutadanni. Tahapan ini dimulai dengan tingkat konsumsi sama dengan nol. Artinya tidak melakukan konsumsi apa-apa. Gaya hidup dengan kecenderungan konsumsi nol adalah bunuh diri dan haram hukumnya dalam Islam. Di samping itu Rasulullah juga bersabda bahwa sesungguhnya diri kita memiliki hak yang harus kita penuhi yaitu dengan memberinya makan dan minum agar dapat hidup dan menjalankan kewajiban ibadah. Diawali dengan kosumsi sama dengan nol , tahapan ini meningkat ke atas mencapai level sedikit di atas di mana konsumsi dilakukan hanya sebatas mengganjal perut dengan kadar yang memungkinkan orang melakukan ibadah dan ketaatan. Menurut beliau tahapan ini hukumnya fardhu ‘ain karena dengan memenuhi hak jasmani ini, individu dapat menjalankan ibadah meskipun dalam keadaan yang lemah. Karena itu maka individu masih dituntut untuk meningkatkan nutrisinya melebihi kadar sada arramq dengan menambahkan menu yang lebih tinggi lagi sehingga tingkat kesehatan dan kekuatan jasmaninya terjaga dengan baik. Namun wilayah konsumsi yang brada di atas level sad arramq bersifat sunnah, bukan fardhu ‘ain.
Tingkatan kedua dalam kategorisasi Imam Assyaibani adalah kecukupan (kifayah). Tahapan ini dimulai dari batas teratas tingkatan pertama dan berakhir pada derajat sarof. Dalam hal ini ada satu hal yang sangat menarik yaitu Imam Assyaibani secara tegas menentukan batas bawah dengan istilah yang diambil dari Alqur’an yaitu taqtir (kikir) batas bawah dan Sarof (berlebihan) pada batas atas. Keseluruhan wilayah tingkatan kedua ini hukumnya mubah. Sekalipun demikian, beliau sendiri cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi pada batas bawah dari tingkatan kifayah. Inilah gaya hidup sederhana yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan pola konsumsi seperti ini dapat dilihat bahwa fungsi konsumsi dalam model Imam Assyaibani merupakan bagian kecil dari keseluruhan pendapatan. Pola konsumsi ini juga sangat berbeda dari pola konvensional baik model Keynesian maupun lainnya seperti permanent income hypnothesis yang memperlihatkan porsi besar konsumsi dalam permintaan agregat.
Tingkatan konsumsi ketiga menurut Imam Assyaibani adalah Israf (berlebih-lebihan). Tingkatan ini dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan bagi hamba yang beriman dan yang menyerahkan dirinya kepada Allah. Pada masa itu gaya hidup berlebih-lebihan tampak dalam pola makan dan berpakaian. Karena itulah beliau menyoroti keduanya dengan sorotaan tajam. Sorotan ini merupakan kritikan beliau terhadap perilaku sebagian masyarakat yang dinilai telah menyimpang dari pola konsumsi yang Islami.
Gaya Hidup Sederhana Menurut Imam As Syaibani
Dalam menggambarkan fenomena Sarof (berlebih-lebihan dalam konsumsi) beliau menulis :
“Karena dengan makan berlebih-lebihan itu hanyalah untuk memenuhi manfaat dirinya sendiri padahal tidak ada gunanya sama sekali makan melebihi kenyang, justru malah berbahaya. Orang yang berbuat demikian seperti orang yang membuang makanan ke tempat sampah bahkan lebih buruk dari itu. Di samping itu, orang yang makan melebihi hajatnya pada hakekatnya ia telah menahan hak orang lain di dalamnya. Sekiranya ia berikan kelebihannya itu untuk orang laindengan gratis atau dengan imbalan, niscaya orang yang lapar akan dapat mengisi perutnya. Karena itu dengan menahannya, ia telah melanggar hak orang lain.”
Dengan demikian makan dan berpakaian berlebihan tidaklah dipandang hanya pada batas pribadi saja. Ia adalah aksi pribadi yang berdampak ekonomi dan sosial. Berdampak ekonomi karena mengakibatkan sumber daya mengalami mis-alokasi sehingga sebagian masyarakat mampu menikmatinya secara berlebihan dan tak terbatas, namun sebagian lainnya tidak kebagian sama sekali. Hal ini berhubungan dengan pemerataan dan distribusi pendapatan. Kedua, dalam sebuah perekonomian Islam, keharmonisan hubungan antar individu harus dipertahankan dengan cara di luar mekanisme pasar yang normal, misalnya dengan mendorong ZISWAF. Faktor-faktor redistribusi inilah yang sebenarnya hilang dari sistem kapitalisme, namun sangat dianjurkan dalam Islam.
Falsafah dan Urgensi Ekonomi Islam Menurut Imam Al Ghazali
Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk menggapai keridhoan Allah dan mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan. (hlm 113)
Dalam pandangan Al Ghazali metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan adalah menggunakan wasilah ini (harta dan semua kegiatan ekonomi) secukupnya saja (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi untuk memakmurkan dunia manusia harus membatasi wasilahnya hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Penekanan ini terjadi karena dominasi sufisme dalam diri al Ghazali. (hlm 114)
Beliau hendak menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang amat erat antara ilmu (dan tentunya pendidikan secara umum) dengan masyarakat, dunia usaha, industri dan keterampilan dalam rangka mewujudkan suatu keseimbangan (equilibrium) global multidimensional. Hal ini penting untuk menegakkan kewibawaan umat dan mengendalikan arah peradaban supaya tidak melenceng ke arah materialisme seperti yang terjadi dalam falsafah kehidupan Barat modern. Ilmu-ilmu yang dikembangkan di barat dilandasi oleh falsafah materialisme anti Tuhan sehingga tidak membawa kepada keimanan, malahan mengajak kepada kekufuran dan atheisme. (hlm 116-117)
TEORI KONSUMSI (hlm 117-123)
Hakekat Konsumsi
Kebutuhan dan Keinginan
Tingkatan Konsumsi


Allamah Al Maqrizi
Inflasi dan Strata Sosial Masyarakat Mesir (hlm 166-168): pelajaran dari hiperinflasi di Mesir dan pembagian yang terkena dampak inflasi terburuk dan yang tidak merasakan dampak inflasi padahal pada hakikatnya purchasing power mereka menurun karena inflasi meningkat, tetapi karena memang nominalnya banyak tidak terlalu terasa.
Konsumerisme yang dimaksudkan dalam penelitian ini, yaitu jika mengkonsumsi melebihi kebutuhan dan banyak mengkonsumsi barang mewah menyebabkan harta beredar di kalangan tertentu saja (kalangan menengah keatas) dan meningkatkan inflasi dan pada akhirnya semua kalangan terkena dampaknya.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (4) Manajemen Harta

Prof. Dr. Sulaiman Al-Asyaqar. 2006. Manajemen Harta (Hukmul Maal, diterjemahkan oleh Abu Haikal Fadhel Muhammad). Depok, Indonesia: Bina Mitra Press.

Al-Asyaqar (2006) menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami, maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT.
Ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Ayat berikut menjelaskan tentang bagaimana alokasi pembelanjaan harta yang ideal menurut Islam.

QS Al-Furqan (25) ayat 67 “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”.
Yang dimaksud sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak.
Dalil berikut melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram.

QS Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Selain dilarang berlebihan, juga tidak dianjurkan untuk meninggalkan kebutuhan materi sepenuhnya karena hal itu merupakan hak bagi tubuh manusia yang dapat ditemukan landasannya dalam ayat berikut.

QS Al-Qashash ayat 77 “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam ayat berikut.

QS Ali Imran (3): 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat (Al-Asyaqar, 2006):
a. Ayat berikut menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan.
QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.”
b. Hadits Shahih Bukhari dan Muslim “Rasulullah SAW bersabda “Sebaik-baik sedekah adalah yang kamu keluarkan dari keadaan yang kaya, dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu.”
Hadits ini menunjukkan sebaik-baik sedekah dan infak yang utama adalah harta benda yang dikeluarkan setelah menyisihkan sejumlah harta yang cukup untuk dirinya dan keluarganya.
c. HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).”
Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.

Berdasarkan penelitian Al-Asyaqar (2006), standar kecukupan dan kekayaan diukur berdasarkan adat kebiasaan dan bukan dengan syariat atau bahasa, seseorang dianggap kaya jika ia memiliki harta benda yang melebihi dari kebutuhan dan kecukupannya. Adapun kriteria kecukupan adalah segala sesuatu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok manusia secara sempurna dan meningkatkan derajat hidupnya ke tingkat yang layak dalam kehidupan, sehingga ukuran kecukupan berbeda-beda untuk tiap zaman, tempat, dan orang. Islam bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup anggota masyarakat Islam hingga ke tingkat berkecukupan bukan hanya bertahan hidup, dengan cara bekerja dan adanya mobilisasi dana dari orang kaya kepada orang miskin yaitu orang-orang yang belum mencapai derajat hidup yang cukup dan layak. Akan tetapi, ada beberapa faktor yang dianggap dapat digunakan untuk mengukur kecukupan yaitu: makanan, pakaian, tempat tinggal, kendaraan, pelayan (pembantu), perabot rumah tangga, biaya pendidikan, buku-buku ilmiah, alat-alat kerja produksi dan modal, pelunasan hutang, biaya kesehatan dan obat-obatan, pemerdekaan diri dari perbudakan, biaya pernikahan, persenjataan bagi yang membutuhkan.
Terdapat banyak dalil-dalil nash Al-Qur’an dan Hadits yang menjelaskan tentang standar kecukupan tersebut, diantaranya yang disebutkan oleh Al-Asyaqar (2006):
a. Dalil berikut menceritakan bahwa Allah SWT menyediakan bagi Nabi Adam ‘alaihissalam segala kebutuhan pokok di surga berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal.

QS Thahaa (20): 118-119: “Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya".
b. Hadits muttafaq alaih (Shahih Bukhari dan Muslim) yang berarti “Dari Aisyah r.a. bahwa sesungguhnya Hindun binti Utbah berkata, “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang kikir, dan dia tidak memberikanku harta benda yang mencukupiku dan anak-anakku, kecuali bila aku mengambil sebagian hartanya sedangkan dia tidak mengetahuinya. Maka Rasulullah SAW bersabda “ambillah apa yang mencukupimu dan anakmu dengan makruf (baik).” Hadits ini menjelaskan tentang urgensi kehidupan yang cukup, dimana Rasulullah SAW menjelaskan tentang nafkah yang harus mencukupi yaitu jumlah yang dikenal cukup untuk ukuran adat kebiasaan.
c. HR Ahmad dan Abu Dawud “Barangsiapa yang menangani suatu tugas, sementara dia belum memiliki rumah, maka hendaklah dia mengambil rumah, atau dia belum memiliki istri, maka hendaklah dia menikah, atau dia belum memiliki pelayan, maka hendaklah dia mengambil pelayan, atau dia belum memiliki hewan tunggangan, maka hendaklah dia mengambil hewan tunggangan.” Hadits ini merupakan dalil bahwa sesungguhnya orang yang bekerja dan bertugas mengatur harta benda umat, haruslah seorang yang berkecukupan dan memiliki kebutuhan pokok kehidupan yaitu tempat tinggal, istri, pelayan, dan kendaraan.
d. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Anak Adam tidak memiliki hak selain dalam hal-hal berikut: rumah yang didiaminya, pakaian untuk menutup auratnya, roti yang kering dan air.” Hadits ini merupakan dalil pokok dalam menentukan standar kecukupan.
e. HR Ibnu Majah “Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap muslim” Jika menuntut ilmu adalah kewajiban maka segala sarana untuk menuntut ilmu merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia.
f. HR Tirmidzi “Rasulullah SAW bersabda “Barangsiapa yang bangun pagi dengan rasa aman dalam hatinya, sehat wal afiat jasmaninya, dan dia memiliki makanan untuk hari itu, maka dia seolah-olah telah menggenggam dunia seisinya.” Hadits ini menyebutkan tentang kebutuhan pokok manusia dan merupakan sebagian dari ukuran kecukupan.
g. HR Abu Dawud “Rasulullah SAW bersabda “berobatlah, karena sesungguhnya Allah SWT tidak menurunkan suatu penyakit melainkan menurunkan pula obatnya, selain satu penyakit yaitu penyakit tua.” Ketika manusia menghadapi resiko sakit dan membutuhkan obat, maka pengobatan dan terapi merupakan salah satu kebutuhan pokoknya dan bagian dari ukuran kecukupannya untuk menjaga jiwa dan kehidupannya.qs
Lebih lanjut Al-Asyaqar (2006) menjelaskan tentang maksud-maksud syariat di balik usaha meraih kekayaan yaitu: (1) pemenuhan nafsu kepemilikan karena Islam mensucikan nafsu kepemilikan dan meletakkan batasan-batasan atasnya, (2) mengayakan diri sendiri dan keluarga yang ditanggung, dengan dalil-dalil sebagai berikut: menjaga kehormatan diri, mengemban tanggung jawab, jaminan kecukupan, jihad di jalan Allah SWT, (3) ikut serta membangun masyarakat didasarkan pada dalil bahwa manusia diperintahkan memakmurkan bumi, (4) meraih pahala dan balasan dengan berinfak di jalan Allah SWT. Alokasi dana yang tidak diperbolehkan adalah terdiri dari dua poin penting yaitu untuk hal yang haram dan untuk hal yang mubah. Adapun alokasi dana untuk hal yang haram tidak diperbolehkan samasekali, baik berupa barang maupun perilaku yang haram. Sedangkan untuk hal yang mubah diperbolehkan tetapi tidak berlebihan, diantaranya adalah: makanan, minuman, pakaian, berkendaraan, pembangunan, pesta dan acara, wisata.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (3) Manajemen Islami Harta Kekayaan

Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shalih. Manajemen Islami Harta Kekayaan. (At-Takaful Al-Ijtima’I fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah wa Dauruhu fi Himayati Al-Mal Al-‘Am wa Al-Khash). Solo: Era Intermedia (2001)

Tiada Kata Boros dalam Kebaikan dan Ketaatan-75

Jika tujuan pembelanjaan (infak) –baik umum atau khusus- untuk mencari ridha Allah SWT, memenuhi kebutuhan kaum Muslimin, dan menyelesaikan situasi yang datang dengan tiba-tiba, maka tidak ada batasan tertinggi. Jika ada orang yang bersedia dengan dua per tiga dari hartanya, maka sedekah itu sah dan benar, dan ia tidak dituntut dengan kewajiban-kewajiban yang menyulitkannya. Jika ia bersedekah dengan harta tersebut untuk kepentingan para mujahid di jalan Allah atau untuk orang-orang yang terkena musibah, maka ini adalah perbuatan baik yang pantas mendapat pujian dan berhak mendapat ridha dari Allah SWT. Sebagaimana dilakukan oleh Utsman ra dalam Perang Tabuk. Pada masa itu adalah masa kesulitan (paceklik). Jika kondisinya berbeda, maka akan dibahas berikut ini.

Petunjuk Pembelanjaan Harta Kekayaan-77

Kita telah mengetahui bagaimana membelanjakan harta kekayaan dalam kebaikan, baik perorangan atau jamaah, itu tidak mungkin dikatakan sebagai tindakan yang tidak benar. Sekarang tinggal pembelanjaan harta kekayaan yang tidak masuk dalam kategori di atas, seperti: rekreasi, pemilikan mobil, pembelian istana pribadi, memberi belanja kepada keluarga, dan kepentingan-kepentingan lain seorang Muslim dalam membelanjakan hartanya. Perlu kami jelaskan bahwa kami tidak berbicara tentang pembelanjaan harta kekayaan untuk kebutuhan yang berlawanan dengan syariat, seperti: pembelian ladang peternakan babi, perdagangan minuman keras, dan perjudian, karena perkara-perkara ini tidak masuk dalam kebutuhan seorang Muslim.

Larangan Berlaku Boros-78

Pertama kali yang harus disikapi oleh seorang Muslim adalah hendaknya ia tidak berlaku boros dalam membelanjakan hartanya demi kepentingan pribadinya.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa segala yang baik itu dihalalkan dan kita diperbolehkan menikmatinya dengan syarat tidak melanggar aturan-aturan syariat. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa semua itu adalah karunia dari Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Hendaknya setiap hamba menaati setiap ketentuanNya. Allah SWT berfirman WS Al-A’raf: 31-32 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Allah juga menjelaskan bahwa di antara sifat ‘Ibadur-Rahman adalah tidak berlebihan dalam membelanjakan hartanya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS Al-Furqan: 67
Asy-Syathibi berkata, “Allah menjadikan banyak hal yang mudah untuk diambil manfaatnya sesuai dengan kemaslahatan, dan selama tidak merusak urusan dunia dan agama, yaitu dengan berlaku tidak berlebihan. Dilihat dari sisi inilah semua itu menjadi nikmat dan baik.

Mata Pencaharian yang Baik-79

Islam telah menjelaskan bahwa sesuatu yang halal dan baik adalah yang diterima di sisi Allah. Jadi tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim menjual minuman keras lalu memberikan hasil jualnya kepada keluarga dan kerabatnya. Lebih tidak diperbolehkan lagi jika hasil penjualan tersebut disedekahkan pada jalur-jalur kebaikan.
Selain itu, Islam juga mengharamkan perdagangan barang-barang yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi, dan patung. (HR Bukhari, 5/329 dan Muslim, 1581)
Setiap keuntungan yang diambil darinya adalah haram. Rasulullah bersabda, “Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim, 1015 dan Tirmidzi, 2992).
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Baqarah: 267).

Penghamburan Harta Kekayaan-81

Jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu dengan mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Allah berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS An-Nisa’: 6).

As-Safah (Bodoh)-82
Yaitu menggunakan harta kekayaan bukan pada kemaslahatan. Aturan ini diberlakukan oleh syariat Islam untuk memelihara harta kekayaan yang merupakan penopang hidup dan memelihara hak ahli waris. Allah berfirman “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS An-Nisa: 5)
…Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur… (QS Al-Baqarah: 282)

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (2) Fiqih Finansial

FIQIH FINANSIAL

Alokasi Dana (hlm 113-126)

Setelah meneliti nash-nash syariat, diketahui bahwa sesungguhnya hikmah dijelaskannya beberapa alokasi dana yang terlarang adalah sebagai berikut:
1. Merupakan tindakan yang menyimpang dari tujuan dan maksud syariat
2. Merupakan perilaku penyia-nyiaan dan penghamburan harta benda
3. Merupakan penghancuran hak umat secara keseluruhan
4. Tindakan tersebut dapat menghalangi nikmat kekayaan
5. Tindakan tersebut menyebabkan penyesalan di akhirat
Alokasi dana untuk barang dan perilaku yang haram tidak diperbolehkan diantaranya: alokasi dana untuk patung dan berhala, jual beli darah, pembelanjaan harta benda dalam hiburan dan hura-hura. Yang dimaksud dengan hiburan adalah pemuasan hawa nafsu dengan cara-cara yang haram seperti berhura-hura, bermabuk-mabukan, dan sebagainya.
Alokasi dana yang berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah, contohnya:
1. Berlebihan dalam hal makanan, minuman, dan berpakaian.
2. Berlebihan dalam hal kendaraan, contohnya berganti-ganti mobil bukan karena desakan kebutuhan, namun lebih karena ingin supaya tampak gengsi, membanggakan diri, dan dikagumi oleh orang lain.
3. Berlebihan dalam membangun, seperti membangun sebuah bangunan yang tidak bermanfaat dan tidak dibutuhkan atau membangun untuk menyombongkan diri dan memamerkannya.
4. Berlebihan dalam acara pesta seperti pesta yang diselenggarakan dengan menghambur-hamburkan banyak harta, termasuk sikap pemborosan, bid’ah, suka pamer kekayaan, membanggakan diri, mengabaikan sunnah dan keberkahan.
5. Membelanjakan harta untuk wisata secara berlebihan. Wisata pada dasarnya mubah selama: (1) memperhatikan skala prioritas seperti mendahulukan ibadah haji, utang dan kewajiban jihad, (2) tidak bercampur dengan perkara yang terlarang seperti pelacuran dan minuman keras, (3) tetap melakukan amar makruf nahi munkar selama berwisata, (4) perjalanan wisata tidak memperkuat perekonomian musuh-musuh Islam.

Manhaj Islam dalam Membelanjakan Harta (hlm 143-158)

Ketentuan membelanjakan harta: memulai dengan skala prioritas, berinfak dengan kelebihan dari kebutuhan pokok, menyegerakan berinfak sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, sederhana dalam berinfak. Adapun ketentuan yang terkait dengan permasalahan konsumerisme dijelaskan lebih lanjut yaitu sederhana dan seimbang dalam berinfak, dan menghindari israf, tabdzir, bakhil, kikir.
Sederhana adalah sebuah sikap pertengahan dan seimbang, yakni antara sikap berlebihan dan boros dan sikap bakhil dan kikir. Israf atau berlebihan adalah menggunakan sesuatu melebihi takaran yang selayaknya atau melebihi standar yang dibutuhkan. Tabdzir atau pemborosan adalah menggunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya, seperti membelanjakan harta untuk hal yang diharamkan. Bakhil adalah sikap menahan harta milik pribadi. Hakikat bakhil adalah menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunah. Taqtir atau kikir adalah mempersempit pemberian dan terlalu hemat dalam menafkahi keluarganya sehingga membuat kelaparan. Sikap berlebihan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga infak tidak dapat dijaga dan dilestarikan. Sedangkan sifat kikir itu berakibat kepada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan kepada orang-orang yang berhak atasnya. (hlm 155-156)

Larangan Membelanjakan Harta bagi Orang Kaya (al-Hajr) hlm 159


Abdullah Lam bin Ibrahim yang menulis Fiqih Finansial: (2005). Buku ini merupakan buku terjemahan dengan judul asli “Ahkamul Aghniya’ fisy Syari’ah Al-Islamiyyah wa Atsaruhu” diterbitkan oleh penerbit Darun Nafais di Amman, Yordania. Buku ini ditulis berdasarkan hasil penelitian ilmiah.

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (1) Ekonomi Islam (Unibraw)

Arif Hoetoro (2007). Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Rasionalitas Ekonomi: Homo Economicus VS Homo Islamicus (224-243)

Homo economicus adalah model dasar perilaku ekonomi manusia, dan telah diposisikan dalam kapitalisme sebagai entitas ekonomi yang mengokohkan individualitas dan eksploitasi apa saja yang dianggap penting dari motif-motif dasar manusia, hasrat dan self-interest, untuk dapat memproduksi standar kehidupan yang lebih tinggi. Lima asumsi dasar ekonomi, terutama asumsi-asumsi neoklasik:
1. Manusia pada dasarnya bersifat mementingkan diri sendiri (selfish) dan bertindak secara rasional.
2. Kemajuan material adalah tujuan yang utama.
3. Setiap orang cenderung untuk memaksimalkan kesejahteraan materialnya.
4. Manusia mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
5. Nilai guna (utility) setiap orang adalah independen dari nilai guna orang lain.
Yang paling relevan adalah self-interest, rasionalitas, dan kemajuan material serta bagaimana manusia memaksimalkan kesejahteraan materialnya itu. (227-228

Homo Islamicus mengacu kepada perilaku individu yang dibimbing oleh nilai-nilai Islam. (235)

Self-interest: dasar pijak yang membedakan pengertian self-interest antara ekonomi modern dan ekonomi Islam adalah adanya asumsi sifat altruistic manusia. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan individual maupun masyarakat seraya menegaskan bahwa setiap orang haruslah berperilaku altruis dan menyesuaikan semua tindakan ekonominya berdasarkan kepada norma-norma agama.
Istilah nafs digunakan untuk memaknai self-interest, terdiri dari 3 tingkatan dimana 2 tingkatan pertama mirip dengan konsep self-interest pada ekonomi konvensional. (236)
1. Al-Nafs al-Ammarah
QS 12:53
Konsep nafs ammarah dalam aktivitas ekonomi diartikan sebagai motif ekonomi yang sangat condong kepada pemerolehan kesenangan dan pemuasan nilai guna (utility) yang bersifat kebendaan. Pada tahap ini seseorang baru sampai pada kesadaran semu (hasrat-hasrat hewani) dan menyangka bahwa hukum-hukum normatif bukan merupakan sunnatullah yang mendasari kesadaran pribadi dalam melakukan berbagai macam kegiatan ekonomi. (237)
2. Al-Nafs al-Lawwamah
QS 75:2
Nafs ini dikatakan sebagai jiwa yang menyesali karena kendati pun telah mencapai tingkat yang lebih mulia namun belum sempurna. Karena itu kesadaran untuk berbuat kebaikan seringkali juga diikuti oleh perbuatan buruk sehingga jiwanya selalu dalam keadaan resah dan menyesali. Self-interest sebagaimana pengertian ekonomi konvensional tampaknya yang paling tinggi baru mencapai tingkatan kedua sebab kendati telah muncul kesadaran intuitif seperti empati, pengenalan diri, dan usaha kreatif untuk menyeimbangkan kepentingan diri dengan kepentingan sosial, namun masih didominasi oleh kesadaran material.(238)
3. Al-Nafs al-Muthmainnah
QS Al Fajr: 27-28
Dalam konteks ekonomi, tingkatan ini dapat dimaknai sebagai self-interest yang telah mencapai kesadaran tauhid sehingga memperoleh tingkat kesempurnaan diri. Pada tahap ini tindakan-tindakan ekonomi tidak dimaksudkan untuk pemuasan kesenangan dunia namun diarahkan kepada pencapaian falah, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga setiap pemuasan self-interest tidak lagi didominasi oleh logika-logika ekonomi pragmatis tetapi diiringi pula dengan cara-cara pencapaian, tujuan dan pemanfaatan yang sesuai dengan ketentuan syariah.(239)
Derajat positivisasi nilai-nilai normatif Islam dalam ranah ekonomi akan menentukan tingkatan nafs dalam kepentingan diri homo Islamicus. Semakin tinggi kesadaran seseorang untuk menyesuaikan orientasi ekonominya dengan nilai-nilai normatif agama maka derajat self-interestnya akan semakin tinggi pula. Berbeda dengan pemahaman homo economicus, kepentingan diri disini mengakomodasi motif ekonomi manusia agar memperoleh kepuasan yang sempurna, yaitu kebahagiaan memperoleh falah.(240)

Rasionalitas homo Islamicus, atau rasionalitas Islam dalam perilaku ekonomi tidak hanya didasarkan kepada pemuasan nilai guna atau ukuran-ukuran material lainnya, tetapi mempertimbangkan pula aspek-aspek berikut:
1. Respek terhadap pilihan-pilihan logis ekonomi dan faktor-faktor eksternal seperti tindakan altruis dan harmoni sosial. (241)
2. Memasukkan dimensi waktu yang melampaui horizon duniawi sehingga segala kegiatan ekonomi berorientasi dunia dan akhirat.
3. Memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
4. Usaha-usaha untuk mencapai falah, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasionalitas itu sesungguhnya merupakan perwujudan dimensi jihad dalam ekonomi. Motif-motif utama yang mendorong homo Islamicus melakukan kegiatan ekonomi adalah kebenaran bukan kebahagiaan atau nilai guna. Hal ini dikarenakan meskipun kebahagiaan itu sendiri dapat dikonfirmasikan kepada kebenaran, namun hanyalah merupakan efek bukan sebab. Kebenaran bahwa Allah adalah Yang Maha Absolut, selain-Nya adalah relatif, dan semua yang relatif disandarkan kepada Yang Absolut itu dengan mengintegrasikan segenap aspek kehidupan memusat dalam kesucian.(242)
Realitas unik dalam rasionalitas homo Islamicus adalah bahwa segenap tindakan ekonomi tidak hanya menuruti hasrat-hasrat alamiah manusia tetapi harus didasarkan kepada kebenaran dan kebajikan. Jalan untuk mencapai rasionalitas ini tidak lain adalah mensubordinasikan motif, pikiran, orientasi, kehendak dan perilaku ekonomi kepada aturan dan moralitas yang ditentukan oleh syariat Islam.(243)

Pemodelan Ekonomi Islam

Keseimbangan Konsumsi