Wednesday, December 30, 2015

Agar Anak Pandai Mengelola Uang

Panduan Praktis untuk Mengajar Anak Menabung, Membelanjakan, dan Menginvestasikan Uangnya dengan Benar

Paul W. Lermitte & Jennifer Merritt

1. Kontrak Uang Saku
Mulai usia 5-6 tahun

Prinsip Uang Saku
1) Berjanjilah kepada anak anda: mulai kapan akan diberikan uang saku
2) Minta anak anda berjanji kepada anda: sebagian untuk ditabung, sebagian untuk digunakan, jika habis tidak boleh minta tambah dengan cuma-cuma
3) Bersikap konsisten dan tegas
4) Jangan mengaitkan uang saku dengan tugas atau prestasi / pencapaian, uang saku diberikan karena ia bagian dari keluarga dan untuk mengajari anak dasar pengelolaan uang yang baik
5) Jadikan tabungan sebagai bagian kontrak uang saku

Berikan uang saku pada hari senin atau minggu malam, menabung misalnya sebesar 25%, belikan celengan dan dompet, menuliskan uang saku yang diberikan setiap minggu

2. Membayar dengan Uang Saku atau Ditraktir

Prinsip Kunci Mentraktir
1) Bedakan antara uang saku dan traktiran, traktir untuk: hadiah dan secara spontan, usahakan tidak menjanjikan traktiran sebelum menyelesaikan pekerjaan yang diberikan
2) Bedakan antara traktiran dan pengeluaran keluarga reguler yang merupakan tanggung jawab orang tua
3) Mentraktir untuk memberikan contoh nilai-nilai positif
4) Mentraktir untuk mendorong pilihan gaya hidup positif: traktir tidak hanya makanan atau mainan tapi bisa hal lain
5) Jangan mencoba menciptakan keseimbangan sempurna di antara saudara

3. Tertawa Sepanjang Jalan Menuju Bank

Prinsip Kunci Perbankan
1) Jadikan menabung secara teratur sebagai kebiasaan seumur hidup: bank dapat membantu jika digunakan dengan benar
2) Biarkan anak melakukannya
3) Jangan menolak buku tabungan: untuk melihat mutasi
4) Tolak kartu ATM: anak kecil belum siap memahami uang elektronik
5) Tentukan batas maksimum uang belanja harian
6) Hindari biaya bank yang menakutkan: tabungan khusus anak2 yang biaya administrasinya kecil
7) Jangan terlalu mempermasalahkan bunga

4. Membelanjakan Lebih Banyak Uang

Prinsip Kunci Berbelanja
1) Rencanakan pembelian besar jauh2 hari
2) Lakukan penelitian
3) Pertimbangkan harga dan kualitas
4) Beri anak anda kelonggaran sebanyak satu bulan: boleh menyimpan uang di dompet
5) Rencanakan liburan jauh-jauh hari
6) Ajarkan cara memberikan tip sebagai imbalan pelayanan yang baik

5. Kasus Jendela yang Pecah

Untuk mengajari anak menghormati milik mereka sendiri dan milik orang lain
Kebijakan konsekuensi yang konsisten jika anak melanggar aturan kepemilikan
Mengajari appropriate behavior

Prinsip Kunci Hak Kepemilikan
1) Beri anak kelonggaran: jangan kaku, tidak menghukum tetapi memberikan pengertian dan konsekuensi
2) Bersikap bijaksana
3) Ajarkan sikap bertanggungjawab: merawat hak milik
4) Buat anak membayar kesalahan yang kedua kali jika merusak atau menghilangkan
5) Jangan menahan uang saku sebagai hukuman
6) Bahas konsekuensi dengan anak jika melanggar aturan kepemilikan
7) Mulai dengan kamar tidur anak
8) Ajarkan aturan emas: persamaan antara apa yang dilakukannya dengan barang orang lain dengan barang miliknya
9) Minta anak melakukan inventaris pribadi

6. Anugrah Memberi

Prinsip Kunci Memberi:
1) Sumbangkan sekian persen penghasilan untuk amal
2) Berikan sumbangan secara teratur
3) Berikan sumbangan kepada badan amal setempat
4) Libatkan anak secara fisik
5) Bantu mereka memberikan hadiah
6) Bantu mereka memilih organisasi yang sesuai
7) Sumbangkan pakaian dan mainan yang tak terpakai

7. Serba Serbi Kredit
Untuk membantu memahami kredit, mengembangkan kebiasaan meminjam dan melunasi yang baik, memberi pengalaman menangani masalah kredit

1) Jadikan meminjam sebagai pengalaman yang positif
2) Pinjaman harus dibayar tepat waktu dan lunas
3) Tentukan batas pinjaman sebesar dua bulan uang saku
4) Kenakan kredit berjangka waktu dua bulan
5) Buat rencana pembayaran yang jelas
6) Jangan mengenakan bunga pada pinjaman keluarga
7) Tidak boleh ada angsuran yang terlewati
8) Biarkan melakukan kesalahan
9) Izinkan mereka meminjam hanya dari anda

8. Sisi Debit Uang
Menggunakan kartu debit yang benar, mempertahankan kebiasaan menabung walaupun menggunakan kartu debit, membuat pilihan konsumen yang matang meski saat ada uang

Prinsip kunci:
1) AJari anak cara menggunakan kartu kredit yang bertanggungjawab
2) Tentukan batas penggunaan kartu debit
3) gunakan mekanisme pengendalian: membatasi jumlah penarikan harian dan jumlah pembelian
4) Pilih jenis kartu yang tepat
5) Jangan menggunakan deposito langsung: tetap berikan uang tunai
6) Gunakan rekening tabungan jangka pendek saja
7) Simpan sedikit uang di dompet mereka
8) Perbaiki keamanan dengan kartu debit: membatasi jumlah penarikan, merahasiakan penyimpanan kartu dan pin, tidak memamerkan uang, berhati2 di atm

9. Membangun Gunung Uang

Pilihan baik dalam membelanjakan uang, dasar penganggaran, tabungan jangka panjang

Prinsip kunci:
1) Ajari anak dasar penganggaran: dan pengelolaan cashflow
2) Bantu anak menentukan tujuan keuangan
3) Ajari anak seni memilih
4) Pilah uang ke dalam kategori2 jangka pendek (buku, cemilan, dl) , menengah (liburan, mainan, pakaian) , panjang (mobil, kuliah, liburan impian)
5) Bahas konsep gunung uang: reksadana, saham, dll
6) Minta saran ahli: ikut konsultasi dengan finance advisor

10. Bola Kristal Investasi
menabung jangka panjang, reksadana, rekening investasi

11. Memilih Saham
cara kerja bursa saham, memilih saham yang tepat, perbedaan spekulasi dengan investasi jangka panjang

12. Masa Depan yang Sangat Cerah
menabung untuk pendidikan tinggi, jenis program tabungan, pentingnya pendidikan tinggi

13. Pembangun Bisnis Anak
mengembangkan semangat wirausaha, mengajari konsep dasar bisnis, pengalaman menjalankan bisnis sederhana menggunakan apa yang senang dilakukannya

14. Kesepakatan Keluarga
metode keluarga untuk menentukan keputusan penting, membangun kepercayaan diri, bekerja dalam tim, mimpikan masa depan besar, pengharapan realistis,

15. Ekonomi Terpisah
Jika bercerai dan untuk membandingkan gaya pengelolaan uang yang berlainan

16. Membuat Pilihan Mandiri
memahami risiko dan konsekuensi pilihan

17. Kegilaan Pemasaran
iklan dan marketing memengaruhi keputusan pembelian, batasi pembelian barang bermerek, menjelaskan harga "keren" dan faktor keamanannya, jangan window shopping, ajarkan kebiasaan konsumen cerdas, ajari penipuan pemasaran,

18. In atau tidak In
mengenali bahaya mengimbangi anak2 keren, meningkatkan kepercayaan diri tanpa membelanjakan uang, apakah ingin membeli karena diri sendiri atau karena ikut2an

19. Formula Sasaran Seumur Hidup
dorong untuk bermimpi, memilih masa depan sendiri, hadapkan pada banyak pilihan, dukung bakat dan hasrat unik, pantau kemajuan dan rayakan keberhasilan, berikan peluang dan batasan, penentuan sasaran, keterampilan untuk menentukan sasaran.

Sunday, December 20, 2015

Seminar “Parents as Teachers” oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari

Seminar “Parents as Teachers” oleh Ihsan Baihaqi Ibnu Bukhari
Depok, 20 Desember 2016

Soleh: bermanfaat.
Kenapa belajar parenting: karena perintah Allah. Belajar tidak menunggu ada masalah.
Lemah kemauan : anak yang ketika besar tidak mau bekerja terbentuk dari kecilnya, yang ketika kecil selalu diberikan keinginannya tanpa mempedulikan keadaan, contoh: orang tua pekerjaan kasar tetapi gaya anak besar.
Harus belajar karena zaman sudah berubah, zaman dulu lebih aman: tv belum banyak, online social media belum ada, internet blm ada. Orangtua dulu tidak punya kompetitor sebagai pendidik, kredibilitas orang tua dan guru di mata anak tidak ada saingannya, tidak ada pembanding, sehingga anak mudah setuju dengan pendapat orangtuanya dan jika anak tidak setuju pun tidak berani mengungkapkan ketidaksetujuannya. Anak sekarang lebih kritis dan berani mengungkapkan pendapatnya. Lingkungan dapat mengambil anak jika pengaruhnya lebih besar.
Acara tv zaman ini dapat merusak pikiran dan jiwa, bahkan acara berita juga tidak lepas memberikan pengaruh buruk dan dapat membuat hati resah, pesimis, dst bahkan bagi orang dewasa, apalagi untuk anak-anak. Contoh: berita-berita tentang kejadian buruk yang terjadi pada orang lain. Tapi jika masih ada yang baik dari acara tv bisa diambil yang baiknya saja.
Teladan dalam Islam salah satu unsur wajib, tapi bukan satu2nya. Contohnya: anak ustadz yang terjerat narkoba, orang tua pekerja kasar yang hidup prihatin anaknya hidup banyak gaya, anak nabi Nuh yang durhaka. Teladan saja tidak cukup. Jika tidak memiliki ilmu parenting maka kemungkinan untuk tidak menikmati dan tidak bahagia menjadi orang tua menjadi lebih besar. Contoh: ketika baru punya gadget baru yang belum terbiasa maka menjadi stress dalam mengoperasikannya, tidak punya skill yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya. Permasalahannya bukan pada emosi, tetapi karena tidak punya skill dan tidak bisa mempengaruhi anak. Anak yang melakukan kesalahan kemudian orangtuanya terlalu banyak ngomel, dari pembicaraannya melakukan labeling jelek kepada anak, hasilnya anak jadi resisten dan benci kepada orangtuanya, malah senang melakukan apa yang dilarang. Anak usia tk dan sd permasalahan orangtuanya lebih banyak lelah fisik saja, ketika usia remaja permasalahannya sudah menguras emosi.
Point penting: mencari ilmu parenting.
Cara menyuruh anak adalah sedikit bicara banyak bertindak, diberikan pengertian atas konsekuensi di awal, setelah sudah kejadian tidak ada omongan (omelan) lagi.
Point penting: konsekuensi dijelaskan diawal.
Buku kuning karangan Ihsan itu berisi sop yang dibuat selama 3 tahun dan berasal dari hasil observasi.
Banyak ayah yang tidak mau diajak belajar ilmu parenting karena menganggap dirinya sudah mengerjakan kewajiban mencari nafkah dan urusan anak adalah urusan ibunya. Yang seperti ini dikiaskan dengan kewajiban dalam rukun islam, jadi jika sudah membayar zakat maka tidak wajib lagi puasa, sholat, dll.
Ayah sering dianggap lebih sabar dari ibu terhadap anak karena intensitas interaksinya lebih sedikit dari ibu, terutama full-time mother. Contoh: coba ayah mengurus anak 7 hari 7 malam tanpa bantuan ibu samasekali dan tanpa bantuan asisten rumah tangga. Jadi diharapkan pengertian ayah untuk memberikan asisten dan jika tidak mampu maka ayah yang menjadi asisten ibu. Contoh ayah yang tidak pengertian: ibunya ke majlis ta’lim membawa 3 orang anaknya yang masih balita, ayahnya pergi mancing.
“Setiap anak ada dalam keadaan fitrah”, Fitrah yang dimaksud adalah menyukai kebaikan jadi tidak kosong (netral) seperti teori tabula rasa. Oleh karena itu istilah yang digunakan adalah tumbuh kembang anak, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan kebaikan, bukan menciptakan kebaikan. Rujukan ayat lainnya adalah ketika dalam alam Rahim ada perjanjian calon manusia dengan Allah (QS Al-A’raf). Awalnya anak adalah anugrah, maka berikutnya adalah peran nurture (pengasuhan) dari orangtuanya “fa abawahu”.
Orang tua menginginkan anak untuk menjadi: soleh, lebih spesifiknya lagi adalah: jujur, kreatif, patuh, disiplin.
1. Jujur
Anak pada dasarnya sangat jujur, dan pernah karena kejujurannya yang polos hingga perkataannya membuat malu orangtua dihadapan orang lain.
2. Kreatif
Contoh anak balita bangun tidur tidak ada yang nganggur, diam saja selama jangka waktu yang lama karena bingung ingin melakukan apa. Catatan: jika anak mulai bingung ingin melakukan apa, tidak tau apa yang diinginkannya dan banyak bosan, dapat menjadi tanda-tanda lampu kuning bahwa pengasuhannya ada yang salah. Manfaat gadget lebih sedikit daripada bermain bebas, kreativitasnya bisa mati dan tidak bisa lagi bermain bebas. Catatan: perlu lebih banyak “main diluar” untuk menumbuhkembangkan kreatifitas anak.
3. Patuh
Anak yang diurus dengan cara yang baik akan menjadi anak yang patuh, jika anak tidak patuh berarti tidak diurus, atau cara mengurusnya salah. Contoh: anak yang sudah dinasihati orang tua tetapi masih melakukan kenakalan karena bosan dengan nasihat orangtuanya. Oleh karena itu nasihat saja tidak cukup tetapi harus dibentuk fikrohnya, yaitu akal dan pikiran.
4. Disiplin
Bayi paling disiplin, melakukan sesuatu pada waktunya. Maka jika ada anak yang tidak disiplin itu adalah kesalahan pengasuhan. Catatan: anak malas bangun pagi karena orangtuanya malas bangun pagi.
Point penting yang harus dilakukan: mengajak anak berbicara dari hati ke hati, melakukan komunikasi dua arah secara berkala, diajak bicara yaitu bertukar pikiran, bukan hanya dinasihati dengan komunikasi satu arah.
Goal yang diinginkan adalah anak menjadi nyaman (betah) untuk duduk bersama dengan orangtuanya. Anak yang tidak betah duduk bersama orangtuanya bisa jadi dikarenakan: terus menerus dinasihati, dibanding-bandingkan, diceramahi, dst. Memberikan nasihat kepada anak adalah wajib bagi orang tua, tetapi jika caranya salah malah akan menghancurkan. Hal ini juga bisa diterapkan dalam komunikasi antar suami istri, tidak ada yang suka mendengarkan “ceramah”. Jika cara menyampaikan nasihatnya salah walaupun isi nasihatnya benar, maka orang tidak bisa menerima dengan baik.
Solusi cara menyampaikan nasihat dengan baik adalah dengan cara “perlakuan dan perkataan penuh cinta dari orangtua warisan terindah untuk anak kita”.
Terlalu banyak nasihat tidak dapat ditampung, tumpah, menjadi sia-sia. Semakin besar anak semakin banyak seharusnya diajak berbicara dua arah, bukan melakukan komunikasi satu arah (nasihat) saja. Anak yang sering diajak berbicara punya daya tahan mental yang lebih baik terhadap pengaruh-pengaruh buruk. Anak yang sering curhat kepada orangtuanya berarti ia memiliki kepercayaan kepada orangtuanya dan orangtua akan menjadi referensi utama. Anak yang introvert atau extrovert diluar rumah, keduanya harus tidak bisa diam dirumah, sering ngomong.
Point penting yang tidak boleh dilakukan: omelan panjang.
Tentang batasan: batasan perlu dilakukan, tetapi tidak boleh mengekang, semua boleh dilakukan tetapi ada batasannya. Contoh: boleh melakukan suatu hal jika sudah selesai melakukan hal lain, atau jika sudah sampai pada waktu tertentu. Orang yang bahagia adalah yang banyak ngomong, jika tidak bisa ngomong menjadi stress.
Tentang pengaruh gadget (internet, smartphone) tidak boleh diberikan secara bebas pada anak-anak yang belum dewasa karena itu adalah jendela dunia, jika diberikan secara bebas tanpa pengawasan maka berarti melepaskan anak tanpa pengawasan ke dunia, seperti: naik pesawat sendiri, naik mobil sendiri, dst. Sama logikanya dengan SIM hanya diberikan pada umur tertentu yang dianggap sudah dewasa, karena tanggung jawab membawa kendaraan hanya mampu ditanggung oleh orang yang sudah dewasa. Anak jangan terlalu banyak diberikan kemudahan, dan tidak perlu juga diberikan kesusahan, karena jika anak tidak dikekang maka akan menemukan kesusahan sendiri.
Point penting yang harus dilakukan: tidak memberikan terlalu banyak kemudahan dan tidak mengekang. Berikan anak ruang untuk melakukan kreatifitas, jangan terlalu peduli dengan rumah yang berantakan, atau dan anak yang kotor. Biarkan melakukan hal-hal yang diinginkan tapi tetap diawasi agar tidak celaka, yang dilarang bukan menggunakan pisau tapi yang dilarang adalah berdarah.
Point penting yang tidak boleh dilakukan: membohongi anak, tidak boleh memberikan keinginan anak yang diminta dengan tangisan dan ancaman dari anak. Orang tua harus tega dan tegas, tetapi tidak boleh kasar.
Anak yang bermasalah adalah karena orangtua kurang perhatian, perhatian yang dimaksud dapat dilakukan dengan komunikasi dua arah seperti yang dijelaskan sebelumnya, bukan dengan memberikan barang-barang materi yang diinginkan oleh anak. Pengaruh-pengaruh lain seperti teman dan pergaulan tidak akan dapat merusak anak jika orangtuanya sudah mendidik dengan baik.
Tidak bisa menyalahkan internet, tv, lingkungan, makhluk halus atas masalah yang terjadi pada anak.
Jika dalam komunikasi dua arah dengan anak menghadapi pendapatnya yang tidak kita setujui, tidak boleh langsung disalahkan.
Poin penting yang harus dilakukan: sediakan waktu untuk anak. Tidak ada metode apapun yang dapat berhasil jika tidak diberikan waktu. Hitung jumlah waktu yang fokus diberikan untuk anak, perhatian penuh pada anak. Dapat dilakukan dengan melakukan aktivitas-aktivitas bersama tetapi dengan fokus pada anak. Bedakan mengawasi dengan memperhatikan. Contoh mengawasi yaitu menyuapi anak, membiarkan anak main tanpa diperhatikan. Sampai usia sd seharusnya anak ditemani, bukan disuruh. Anak harus diberikan waktu yang mencukupi untuk diperhatikan. Menyediakan waktu untuk anak, bukan bersama anak, dan menjadi orangtua yang berkualitas dengan mementingkan praktek bukan sekedar teori.
Memberikan barang-barang materi pada anak perlu dibatasi, tetapi memberikan waktu adalah kewajiban. Lebih baik mendidik anak untuk menjadi mandiri, contohnya: biarkan anak belajar bekerja untuk mendapatkan keinginannya.
Program abah Ihsan: 1821: keluarga kumpul, connect to family. Waktunya tidak terikat dan dapat disesuaikan dengan kondisi, yang penting cukup 3 jam dalam sehari.
Pengaruh orangtua pada anak hingga umur 12 tahun sebesar 100%, 12-15 tahun sebesar 60%, 15-18 tahun sebesar 40%, dan 10% pada umur 18 tahun keatas.

Catatan tambahan: seminar isinya lebih banyak membangkitkan emosi dan menjelaskan kesalahan-kesalahan yang sering dilakukan orang tua, solusi belum banyak dipaparkan, dan dirujuk untuk mencari solusi lebih lanjut dari buku2 karangan Abah Ihsan. Porsi besar dari seminar digunakan untuk menjelaskan kondisi kesalahan-kesalahan parenting dengan cara dan gaya yang lucu dan mudah dipahami masyarakat umum.
Catatan tambahan kedua: pembicara yang sukses bukan yang menguasai segala hal tetapi menguasai beberapa hal dan mampu melakukan delivery yang baik di depan publik sehingga beberapa hal yang dikuasainya itu dapat ditransfer seluruhnya kepada peserta.




Saturday, October 31, 2015

PASCA: Penelitian Terdahulu: Accounting Literacy and Poverty Eradication

Accounting Literacy and Poverty Eradication; Preliminary Case studies in Egypt and Indonesia Authors: Murniati Mukhlisin1 & Luqyan Tamanni2 Paper presented at Thematic Workshop on Financial Literacy, Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam, 25-26 February 2015/5-6 Jamadil Awal 1436H Abstract This study seeks to design a system of accounting records that families and clients of microfinance can utilize to help them make sound economic decisions and in communicating with other agencies. Using ethnography approach through secondary sources, this research aims at analysing poverty eradication models that have been implemented in both countries to understand how to develop accounting literacy that can be applied by clients and families in order to address rural poverty. By having a system of accounting records product that can be easily understood by the families and clients will help them to better manage their finances and consequently improve their life. This aspect has not been addressed in previous studies. Accounting language and records education helps individuals in controlling and directing their activities during the available fund for elevation to target the most urgent areas needed for intervention. It helps improving their business skills and would install confidence and build the self-esteem necessary to secure permanent improvement. Hence the aim is to design detail accounting and management records and budgets contents focus for supervising and instructing individuals on the best course of action. Key words: Poverty, Accounting Literacy, Egypt, Indonesia

PASCA: Penelitian Terdahulu: Consumerism in World History

Peter N. Stearns (2001). Consumerism in World History: The Global Transformation of Desire . Menjelaskan sejarah definisi konsumerisme: (1) consumerist movement dan (2) gaya hidup materialisme. Membahas konsumerisme sebagai suatu fenomena internasional dan sebagai suatu fenomena sejarah, dengan menjelaskan tentang : (1) kehidupan masyarakat sebelum konsumerisme dan bagaimana perubahan terjadi, (2) asal-usul konsumerisme modern di masyarakat barat, (3) sejauh mana konsumerisme mempengaruhi dan melemahkan kebudayaan tradisional lokal, (4) konsumerisme di Rusia, Asia Timur, Afrika dan dunia Islam di Timur Tengah, (5) isu-isu kontemporer dan evaluasi konsumerisme. “This ground-breaking study is the first of its kind to deal with consumerism both as an international and historical phenomenon.” the book presents: • human societies before consumerism and how they have changed • the origins of modern consumerism in Western society • the extent to which consumerism undercuts traditional regional cultures • consumerism in Russia, East Asia, Africa and the Islamic Middle East • contemporary issues and evaluations of consumerism. CONCLUSIONS The combination of three components – manipulation, fulfillment of social and personal needs, and habituation – serves as consumerism’s incubator and ongoing support. Shopping may offer some intrinsic pleasures, but there are reasons for its growing role in human life. Three question marks, particularly, apply to consumerism’s prospects during the early twenty-first century. Religious fervor can of course coexist with consumerism, but there are inevitable tensions. Will religion provide an alternative to consumer interests, and if so where, and to what extent? The second issue involves the new surge of protest against multinational corporations and global trade policies. Where will this lead? The third issue, related to both the others, involves the growing economic gap that has opened, worldwide, between the relatively affluent and the increasingly poor. The gap has widened steadily during the past two decades. Where will the growing inequality trend lead? Will it generate new forms of protest, or will it simply to continue to create a divide, within societies as well as internationally, between those who can and those who cannot significantly participate in modern history’s new toys? First, is consumerism making the world too homogeneous, at undue cost to regional identities and expressions? Second, will the spread of consumerism usher in other historical changes, and of what magnitude? And third, wherever it has hit or will alight, is consumerism a good thing, in terms of human values? We have seen that consumerism can affect more than buying habits and personal and family life.

PASCA: Penelitian Terdahulu: Financial Literacy

Volpe, Ronald P., Haiyang Chen, Sheen Liu (2006). An Analysis of the Importance of Personal Finance Topics and the Level of Knowledge Possessed by Working Adults. Financial Services Review 15: Academy of Financial Services . This study attempts to identify the important questions in personal financial literacy and the deficiencies in employees’ knowledge in those areas. Surveying benefit administrators at 212 U.S. companies, we found that the participants rate retirement planning and personal finance basics as two important topics where there are deficiencies in employees’ knowledge. We also observed deficiencies in other areas such as investments and estate planning. In contrast, employees are relatively well informed about company benefits. The results suggest that educational programs should focus on improving employees’ knowledge in areas where deficiencies exist. © 2006 Academy of Financial Services. All rights reserved. http://citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/download?doi=10.1.1.392.598&rep=rep1&type=pdf

PASCA: Penelitian Terdahulu: Personal Finance Education

Peng, Tzu-Chin Martina, Suzanne Bartholomae, Jonathan J. Fox, Garrett Cravener (2007). The Impact of Personal Finance Education Delivered in High School and College Courses. Springer Science + Business Media, LLC . This study investigates the impact of personal finance education delivered in high school and college. Outcomes of interest were investment knowledge and household savings rates measured years after the financial education was delivered. A web-based survey with questions about participation in financial education, financial experiences, income and inheritances, and demographic characteristics was administered to 1039 alumni from a large Midwestern university. Participation in a college level personal finance course was associated with higher levels of investment knowledge. Experience with financial instruments appeared to explain more of the variance in both investment knowledge and savings rates. No significant relationship between taking a high school course and investment knowledge was found. Financial experiences were found to be positively associated with savings rates. http://link.springer.com/article/10.1007/s10834-007-9058-7#page-2

PASCA: Teknik Penarikan Contoh (Sampling Technique)

NON PROBABILITY SAMPLING (PENARIKAN CONTOH TIDAK BERPELUANG) Convenience Sampling Merupakan teknik sampling yang diambil berdasarkan yang menyenangkan saja, atau berdasarkan faktor spontanitas. Dengan kata lain, siapa saja yang secara tidak sengaja bertemu dengan peneliti dan responden yang ditemui sesuai dengan karakteristik responden yang dibutuhkan maka bisa saja orang tersebut dapat dijadikan sample. Penarikan contoh dengan metode convenience sampling merupakan metode yang paling menyenangkan dan yang paling ekonomis. Biaya yang diperlukan dengan menggunakan metode ini sangat rendah. Penggunaan metode ini sangat luas dalam praktiknya. Keunggulan teknik ini adalah tidak memerlukan daftar populasi. Sementara itu, kelemahan metode ini terletak pada keragamannya, disamping bias pengukurannya yang tidak dapat dihitung atau dikontrol. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat dihitung atau dikontrol. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat dilakukannya proyeksi data. Dalam hal ini, kegiatan memproyeksi data dengan metode convenience tidak tepat. Judgement Sampling (Purposive Sampling) Adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan berdasarkan karakteristik yang ditetapkan terhadap elemen populasi target yang disesuaikan dengan tujuan atau masalah penelitian. Biaya yang diperlukan dengan menggunakan metode penarikan contoh dengan metode judgement sampling ini tidak besar dan juga tidak kecil (sedang). Metode ini cukup luas juga digunakan dalam prakteknya. Keunggulan metode ini adalah berguna untuk peramalan-peramalan tertentu. Disamping itu, sampel digaransikan terhadap tujuan tertentu. Sementara itu, kelemahan metode ini adalah jika terjadi bias pada keyakinan peneliti bahwa sampelnya baik, akan membuat sampel yang terambil tidak mewakili populasi. Kelemahan lainnya adalah tidak dapat dilakukannya proyeksi data. Dalam hal ini, kegiatan memproyeksi data dengan metode judgement sampling tidak tepat. Tanjung, Hendri dan Abrista Devi (2013). Metode Penelitian Ekonomi Islam. Jakarta: Gramata Publishing.

Saturday, October 10, 2015

PASCA: Research Methods (Carrie Williams): Content Analysis Study

Leedy dan Ormrod (2001) mendefinisikan metode ini sebagai "pengujian secara mendetil dan sistematis atas konten sebuah bagian dari suatu material dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola, tema, atau prasangka" (p.155). Content analysis meninjau berbagai bentuk komunikasi manusia seperti buku, surat kabar, dan film serta bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan tujuan untuk mengidentifikasi pola, tema, atau prasangka. Metode ini dirancang untuk mengidentifikasi karakteristik spesifik dari konten dalam suatu komunikasi manusia. Peneliti memeriksa pola, tema, atau prasangka berbentuk verbal, visual, maupun behavioral. Prosedur proses untuk studi content analysis dirancang untuk mencapai tujuan analisa tertinggi, termasuk mengidentifikasi isi material untuk dipelajari dan mendefinisikan karakteristik atau qualities untuk diperiksa (Leedy & Ormrod, 2001). Pengumpulan data merupakan proses yang terdiri dari dua langkah. Langkah pertama, peneliti harus menganalisa material dan meletakkannya dalam sebuah tabel frekuensi penyebutan setiap karakteristik atau kualitas. Langkah kedua, peneliti melakukan analisa statistik sehingga data dilaporkan dalam format kuantitatif. Laporan penelitian terdiri dari 5 bagian: penjelasan dari dari bahan-bahan yang dipelajari, karakteristik dan kualitas yang dipelajari, deskripsi metodologi, analisa statistik yang menunjukkan tabel frekuensi, dan menggambarkan kesimpulan tentang pola, tema, dan prasangka yang ditemukan dalam komunikasi manusia dan kumpulan data.

Friday, October 9, 2015

PASCA: Research Methods (Carrie Williams): Grounded Theory Study

Creswell (2003) mendefinisikan penelitian grounded theory sebagai "peneliti berusaha mengambil teori general dan abstrak dari sebuah proses, tindakan, atau interaksi berdasarkan pandangan partisipan dalam sebuah penelitian" (p.14). Leedy dan Ormrod (2001) mengklarifikasikan lebih lanjut bahwa penelitian grounded theory dimulai dengan data yang dikembangkan menjadi sebuah teori. Istilah "grounded" menyediakan konteks metode ini, dan penelitian mengharuskan bahwa teori harus dihasilkan dari data yang dikumpulkan di lapangan, bukan dari literatur penelitian (Leedy & Ormrod, 2001). Grounded Theory kebanyakan telah digunakan pada disiplin ilmu sosiologi karena metode ini menganalisa tindakan dan reaksi masyarakat (actions and interactions). Penelitian grounded theory adalah proses pengumpulan data, analisa data, dan mengulangi prosesnya, dalam suatu format yang disebut metode constant comparative. Data dapat diperoleh dari beberapa sumber seperti wawancara dengan partisipan atau saksi mata, meninjau ulang rekaman video dan suara, serta observasi lapangan. Creswell (1998) sependapat dengan Leedy dan Ormrod (2001) bahwa format standar mengenai cara menganalisa data dalam penelitian grounded research terdiri dari: open coding, axial coding, selective coding, dan mengembangkan sebuah teori. Laporan grounded theory menggabungkan 5 aspek: menggambarkan pertanyaan penelitian, review literatur, menggambarkan metodologi, analisa data menjelaskan teori, dan mendiskusikan makna. *Catatan: sedikit mirip dengan thematic analysis

PASCA: Research Methods (Carrie Williams)

Research Quantitative Research Approach Quantitative Research Methodology Methods to Conduct Quantitative Research Qualitative Research Approach Qualitative Research Methodology Case Study Researchers explores in depth a program, an event, an activity, a process, or one or more individuals, required to have a defined time frame. Ethnography Study Studies an entire group that shares a common culture. The focus is on everyday behaviors to identify norms, beliefs, social structures, and other factors. Grounded Theory Study Researchers attempts to derive a general, abstract theory of a process, action, or interaction grounded in the views of participants in a study Phenomenological Study To understand an experience from the participants' point of view Content Analysis Study A detailed and systematic examination of the contents of a particular body of materials for the purpose of identifying patterns, themes, or biases Mixed Methods Approach Researchers incorporate methods of collecting or analyzing data from the quantitative and qualitative research approaches in a single research study. Researchers collect or analyze not only numerical data, which is customary for quantitative research, but also narrative data, which is the norm for qualitative research in order to address the research questions. *tanya: langkah2 metodologi content analysis study dan grounded theory study

Saturday, September 26, 2015

Pasca: Qualitative Research in Psychology: Using thematic analysis in psychology

Qualitative Research in Psychology: Using thematic analysis in psychology Virginia Braun & Victoria Clarke Published online: 21 Jul 2008. http://www.tandfonline.com/loi/uqrp20 To cite this article: Virginia Braun & Victoria Clarke (2006) Using thematic analysis in psychology, Qualitative Research in Psychology, 3:2, 77-101 To link to this article: http://dx.doi.org/10.1191/1478088706qp063oa Key words: epistemology; flexibility; patterns; qualitative psychology; thematic analysis What is thematic analysis? Thematic analysis is a method for identifying, analysing and reporting patterns (themes) within data. It minimally organizes and describes your data set in (rich) detail. However, frequently if goes further than this, and interprets various aspects of the research topic (Boyatzis, 1998). A number of decisions What counts as a theme? A rich description of the data set, or a detailed account of one particular aspect Inductive versus theoretical thematic analysis Semantic or latent themes Epistemology: essentialist/ realist versus constructionist thematic analysis The many questions of qualitative research Doing thematic analysis: a step-by-step guide Phases: 1. Familiarizing yourself with your data: transcription of verbal data: transcribing data (if necessary), reading and re-reading the data, noting down initial ideas. 2. Generating initial codes: coding interesting features of the data in a systematic fashion across the entire data set, collating data relevant to each code. 3. Searching for themes: collating codes into potential themes, gathering all data relevant to each potential theme. 4. Reviewing themes: checking if the themes work in relation to the coded extracts (Level 1) and the entire data set (Level 2), generating a thematic “map” of the analysis 5. Defining and naming themes: ongoing analysis to refine the specifics of each theme, and the overall story the analysis tells, generating clear definitions and names for each theme. 6. Producing the report: the final opportunity for analysis. Selection of vivid, compelling extract examples, final analysis of selected extracts, relating back of the analysis to the research question and literature, producing a scholarly report of the analysis. Pinning down what interpretative analysis actually entails Potential pitfalls to avoid when doing thematic analysis What makes good thematic analysis? So what does thematic analysis offer psychologists? Notes

Tuesday, August 18, 2015

Pasca: Metodologi Penelitian Kualitatif

Prof. Dr. H. M. Burhan Bungin, S.Sos., M.Si. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta, Indonesia: Kencana, Prenada Media Group. DESAIN PENELITIAN KUALITATIF: A. SUBSTANSI DESAIN PENELITIAN Format desain penelitian kualitatif secara teoretis berbeda dengan format penelitian kualitatif, namun perbedaannya terletak pada kesulitan di dalam membuat desain penelitian kualitatif itu sendiri karena umumnya penelitian kualitatif yang tidak berpola. Kesulitan membuat desain penelitian kualitatif disebabkan antara lain: (1) desain penelitian kualitatif itu adalah peneliti sendiri, sehingga penelitilah yang paham pola penelitian yang akan dilakukan, (2) masalah penelitian kualitatif yang amat beragam dan kasuistik sehingga sulit membuat kesamaan desain penelitian yang bersifat umum, karena itu cenderung desain penelitian kualitatif bersifat kasuistik, (3) ragam ilmu sosial yang variannya bermacam-macam sehingga memiliki tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda pula terhadap metode penelitian kualitatif. INFORMAN DAN METODE PENGUMPULAN DATA KUALITATIF MENENTUKAN INFORMAN DENGAN PROSEDUR PURPOSIF Adalah salah satu strategi menentukan informan yang paling umum di dalam penelitian kualitatif, yaitu menentukan kelompok peserta yang menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan masalah penelitian tertentu, misalnya; penderita HIV, mahasiswa, pegawai, ibu rumah tangga, dokter, dan dosen. Contoh dari penggunaan prosedur purposif ini adalah antara lain dengan menggunakan key person. Ukuran besaran individu key person atau informan, yang mungkin atau tidak mungkin ditunjuk sudah ditetapkan sebelum pengumpulan data, tergantung pada sumber daya dan waktu yang tersedia, serta tujuan penelitian. Dengan kata lain besaran key person yang digunakan sebagai informan disesuaikan dengan struktur sosial saat pengumpulan data dilakukan. Kunci dasar penggunaan prosedur ini adalah penguasaan informasi dari informan dan secara logika bahwa tokoh-tokoh kunci di dalam proses sosial selalu langsung menguasai informasi yang terjadi di dalam proses sosial itu. Ukuran sampel purposif sering kali ditentukan atas dasar teori kejenuhan (titik dalam pengumpulan data saat data baru tidak lagi membawa wawasan tambahan untuk pertanyaan penelitian). Namun informan berikutnya akan ditentukan bersamaan dengan perkembangan review dan analisis hasil penelitian saat pengumpulan data berlangsung. METODE WAWANCARA MENDALAM Wawancara mendalam secara umum adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, di mana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan.

Thursday, July 16, 2015

Tadabbur ayat-ayat Quran tentang personal finance di detik-detik terakhir Ramadhan 1436 H

Landasan hukum dalam Al-Qur’an tentang kewajiban untuk mengelola harta dengan baik dapat ditemukan dalam HR. at-Tirmidzi no. 2416, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir, jilid 10, hal 8, no. 9772 dan Hadits ini telah dihasankan oleh Syaikh Albani dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no. 946 “Tidak akan bergeser kedua kaki anak Adam di hari kiamat dari sisi RabbNya, hingga dia ditanya tentang lima perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan, tentang masa mudanya untuk apa ia gunakan, tentang hartanya dari mana ia dapatkan, dan dalam hal apa (hartanya tersebut) ia belanjakan serta apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu yang dimilikinya”. Al-Asyaqar menjelaskan bahwa dalam rangka membelanjakan harta secara Islami , maka ada beberapa syarat yang harus terpenuhi dalam diri pembelanja dan ketentuan dalam membelanjakan harta. Syarat untuk pembelanja adalah: iman kepada Allah SWT dan ikhlas karena Allah SWT, diperoleh dengan usaha yang disyariatkan dan baik, tidak membanggakan dan menyebut-nyebut harta yang diinfakkan kepada orang lain, dialokasikan pada tempat-tempat yang disyariatkan, tidak bersikap aniaya dan zalim kepada orang lain, serta menyadari dan mensyukuri nikmat kekayaan adalah dari Allah SWT. Sedangkan ketentuan mengalokasikan dana atau berinfak adalah: memulai dengan skala prioritas yaitu dimulai dari diri sendiri kemudian keluarga dan kerabat yang paling dekat, jika ada kelebihan dari kebutuhan tersebut boleh berinfak kepada orang lain, menyegerakan melakukannya sebelum kematian menjemput, berinfak dari harta yang dicintai, dan sederhana. Yang dimaksud sederhana adalah kondisi pertengahan dan keseimbangan, yaitu menghindari: (1) sikap boros, mubadzir dan berlebihan, serta menghindari (2) sikap bakhil dan kikir, berdasarkan dalil yang terdapat dalam Al-Qur’an surat Al-Furqan (25) ayat 67, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian”. Pengelolaan harta dalam Islam bersikap pertengahan, adil, dan seimbang yaitu mengalokasikan infak pada tempatnya yang proporsional dan baik sehingga sistem masyarakat akan terbangun dan berjalan serta tidak terhenti. Pemborosan merupakan penghancuran dan pembinasaan terhadap harta benda sehingga tidak dapat dijaga dan dilestarikan, sedangkan kikir berakibat pada penahanan harta sehingga tidak tersalurkan pada orang-orang yang berhak. Definisi pemborosan (israf) adalah pembelanjaan dan penggunaan sesuatu melebihi kelayakannya yaitu membelanjakan harta pada tempat-tempat yang disyariatkan namun melebihi standar yang dibutuhkan. Definisi tabdzir adalah membelanjakan dan mempergunakan sesuatu pada tempat dan kondisi yang tidak semestinya yaitu dapat diartikan pada hal-hal yang haram. Dalil yang melarang pemborosan atau israf dan kewajiban bersikap sederhana dan adil terdapat pada Al-Qur’an surat Al-A’raaf (7) ayat 31 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” Definisi bakhil adalah menahan diri dari harta sendiri yaitu menahan hak-hak yang wajib ditunaikan dan bersikap kikir dalam infak-infak yang sunnah. Definisi kikir (taqtir) adalah bagian dari sikap bakhil tetapi terlalu menyempitkan dan hemat atas nafkah keluarga hingga menyebabkan kelaparan. Dalil pelarangan sikap bakhil terdapat dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 180 “Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karunia-Nya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” Dalil-dalil berikut menjelaskan tentang skala prioritas yang harus diikuti dalam mengalokasikan harta yang dimiliki yaitu dari dirinya sendiri, kemudian keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya, dan kemudian bagi orang-orang lain yang membutuhkan dalam masyarakat (Al-Asyaqar, 2006): - QS Al-Baqarah (2): 219: “…Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: "Yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berpikir.” Ayat ini menunjukkan bahwa manusia diperintahkan untuk mengontrol harta bendanya yang dapat memenuhi kebutuhannya dan tanggungannya, dan bila masih tersisa melebihi batas kecukupan maka boleh diinfakkan. - HR Ahmad yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. berkata, “Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah kalian!” seseorang berkata “aku punya satu dinar”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas dirimu sendiri”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas istrimu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “bersedekahlah atas anakmu dengannya”. Dia berkata lagi “aku masih punya satu dinar lagi”. Rasulullah SAW bersabda “kamu lebih tahu (dimana kamu menginfakkannya).” Hadits ini menunjukkan bahwa manusia harus menjamin terlebih dahulu kecukupan dirinya dan tanggungannya baru boleh bersedekah setelah itu dari kelebihannya.

Saturday, June 27, 2015

Consumer Behavior: Materialism and Consumerism

Consumer Behavior: Buying, Having, and Being 10th Edition Michael R. Solomon. 2013. Essex, England: Pearson Education Limited. Chapter 4 Motivation and Global Values Page 142 Motivation refers to the processes that lead people to behave as they do. It occurs when a need is aroused that the consumer wishes to satisfy. The need creates a state of tension that drives the consumer to attempt to reduce or eliminate it. This need may be utilitarian (i.e., a desire to achieve some functional or practical benefit, as when a person loads up on green vegetables for nutritional reasons) or it may be hedonic (i.e., an experiential need, involving emotional responses or fantasies, as when Basil longs for a juicy steak). The desired end state is the consumer’s goal. Page 144-145 Needs versus Wants The specific way we choose to satisfy a need depends on our unique history, learning experiences, and cultural environment. Two classmates may feel their stomachs rumble during a lunchtime lecture. If neither person has eaten since the night before, the strength of their respective needs (hunger) would be about the same. However, the ways each person goes about satisfying this need might be quite different. The first person may be a vegetarian like Paula, who fantasizes about gulping down a big handful of trail mix, whereas the second person may be a meat hound like Basil who gets turned on by the prospect of a greasy cheeseburger and fries. What Do We Need? We are born with a need for certain elements necessary to maintain life, such as food, water, air, and shelter. These are biogenic needs. We have many other needs, however, that are not innate. We acquire psychogenic needs as we become members of a specific culture. These include the needs for status, power, and affiliation. Psychogenic needs reflect the priorities of a culture, and their effect on behavior will vary from environment to environment. For example, a U.S. consumer devotes a good chunk of his income to products that permit him to displays his individuality, whereas his Japanese counterpart may work equally hard to ensure that he does not stand out from his group. We can also be motivated to satisfy either utilitarian or hedonic needs. When we focus on a utilitarian need, we emphasize the objective, tangible attributes of products, such as miles per gallon in a car; the amount of fat, calories, and protein in a cheeseburger; or the durability of a pair of blue jeans. Hedonic needs are subjective and experiential; here we might look to a product to meet our needs for excitement, self-confidence, or fantasy—perhaps to escape the mundane or routine aspects of life. Many items satisfy our hedonic needs (there’s even a popular resort called Hedonism). Luxury brands in particular thrive when they offer the promise of pleasure to the user—how badly do you “need” that Armani suit or Tiffany brooch? Of course, we can also be motivated to purchase a product because it provides both types of benefits. For example, a woman (perhaps a politically incorrect one) might buy a mink coat because of the luxurious image it portrays and because it also happens to keep her warm through the long, cold winter. Indeed, recent research on novel consumption experiences indicates that even when we choose to unusual things (like eating bacon ice cream or staying in a freezing ice hotel), we may do so because we have what the authors term a productivity orientation. This refers to a continual striving to use time constructively: Trying new things is a way to check them off our “bucket list” of experiences we want to achieve before moving on to others. Page 170-171 Materialism: “He Who Dies with the Most Toys Wins” Our possessions play a central role in our lives, and our desire to accumulate them shapes our value systems. Materialism refers to the importance people attach to worldly possessions. We sometimes take the bounty of products and services for granted, until we remember how recent this abundance is. For example, in 1950, two of five American homes did not have a telephone, and in 1940, half of all households still did not possess complete indoor plumbing. During World War II, members of “cargo cults” in the South Pacific literally worshiped cargo salvaged from crashed aircraft or washed ashore from ships. They believe that their ancestors piloted the ships and planes passing near their islands, so they tried to attract them to their villages. They went so far as to construct fake planes from straw to lure the real ones. We may not worship products to that extent, but many of us certainly work hard to attain our vision of the good life, which abounds in material comforts. Most young people can’t imagine a life without cell phones, MP3 players, and other creature comforts. In fact, we can think of marketing as a system that provides certain standards of living to consumers. To some extent, then, the standards of living we expect and desire influence our lifestyles, either by personal experience or as a result of the affluent characters we see on TV and in movies. Materialists Materialistic values tend to emphasize the well-being of the individual versus the group, which may conflict with family or religious values. That conflict may help to explain why people with highly material values tend to be less happy. Furthermore, materialism is highest among early adolescents (12 to 13 years old) in comparison to children or late adolescents—perhaps it’s no coincidence that this is the age group that also has the lowest level of self-esteem. Materialists are more likely to value possessions for their status and appearance-related meanings, whereas those who do not emphasize this value tend to prize products that connect them to other people or that provide them with pleasure when they use them. As a result, high materialists prefer expensive products that they publicly consume. A study that compared specific items that low versus high materialists value found that people low on the materialism value cherished items such as a mother’s wedding gown, picture albums, a rocking chair from childhood, or a garden, whereas those who scored high preferred things such as jewelry, china, or a vacation home. Materialistic people appear to link more of their self-identity to products (more on this in Chapter 5). One study found that when people who score high on this value fear the prospect of dying, they form even stronger connections to brands. Another study reported that consumers who are “love-smitten” with their possessions tend to use these relationships to compensate for loneliness and a lack of affiliation with social networks. Materialism and Economic Conditions One byproduct of the Great Recession has been to force many consumers to reconsider the value of their possessions. As one woman observed, “The idea that you need to go bigger to be happy is false. I really believe that the acquisition of material goods doesn’t bring about happiness.” This doesn’t necessarily mean that people will stop buying—but perhaps, at least for a while, they will do so more carefully. In the words of one industry analyst, “We’re moving from a conspicuous consumption—which is ‘buy without regard’—to a calculated consumption.” In 2010, American consumers on average saved more than 6 percent of their income—before the recession the rate was 1 to 2 percent. Ironically, bad economic conditions may make at least some people happier. Research on the relationship between consumption and happiness tends to show that people are happier when they spend money on experiences instead of material objects, when they relish what they plan to buy long before they buy it, and when they stop trying to outdo their neighbors. One study reported that the only consumption category that was positively related to happiness involved leisure: vacations, entertainment, sports and equipment like golf clubs and fishing poles. This finding is consistent with changes in buying patterns, which show that consumers have tended to choose experiences over objects during the last couple of years. For example, they may choose to entertain themselves at home rather than going out, or even to forgo a trip to Disney World for a “stay-cation” in the backyard. Another factor is just how much of a “buzz” we get from the stuff we buy. The research evidence points to the idea that consumers get more “bang for their buck” when they buy a bunch of smaller things over time, rather than blowing it all on one big purchase. This is due to what psychologists call hedonic adaptation; it basically means that to maintain a fairly stable level of happiness, we tent to become used to changes, big or small, wonderful or terrible. That means that over time the rush from a major purchase will dissipate and we’re back to where we started (emotionally speaking). So, the next time you get a bonus or find an envelope stuffed with cash on the street, take a series of long weekends instead of splurging on that three-week trip to Maui.

Friday, June 12, 2015

PASCA: tips penulisan tesis ekonomi Islam

Berdasarkan pengalaman pribadi, dalam penelitian ini yang menghabiskan waktu paling banyak adalah "kegalauan" dalam menentukan tema, metodologi penelitian yang memenuhi syarat tulisan ilmiah, serta "memilih" pembimbing yang tepat. Kegalauan pertama yaitu mencari tema yang menarik untuk diteliti, yang diusahakan tema tersebut merupakan passion peneliti, atau bidang studi yang ingin didalami oleh peneliti. Dalam menjawab kegalauan ini, selain melakukan eksplorasi atas pemikiran pribadi dan pengalaman pribadi (eksplorasi atas past, present, future condition) penulis juga sampai harus melakukan tes bakat natural menggunakan teknik analisa sidik jari dari trademark STIFIN. Kemudian diarahkan sesuai dengan minat dan bakat tersebut. Kegalauan kedua adalah mencari metodologi penelitian yang memungkinkan untuk dilakukan oleh peneliti tetapi memenuhi standar penulisan ilmiah, yang sangat berkaitan erat dengan pembimbing karena membutuhkan banyak diskusi. Sampai disini penulis merasakan jika tema sudah didapatkan kemudian mulai mengetik proposal tesis dari bab 3 metodologi penelitian, karena jika dimulai dari bab 1 dan bab 2 kemudian ketika di bab 3 tidak menemukan metodologi yang tepat maka bab 1 dan 2 akan berubah total sehingga penulis merasakan bolak balik membongkar ulang isi bab 1 dan 2 yang jika dihitung total timeline dilakukan sejak semester 2 (maret 2014) dalam matakuliah metodologi penelitian hingga bulan ini (juni 2015)

Tuesday, April 21, 2015

MATANG DAHULU, MASUK SD KEMUDIAN

School of Parenting MATANG DAHULU, MASUK SD KEMUDIAN Ada fenomena menarik belakangan ini. Beberapa orangtua berusaha memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar (SD) sedini mungkin. Bahkan, ada orangtua yang ingin memasukkan anaknya yang masih berusia 4,5 tahun hanya karena si orangtua khawatir, anaknya “ketuaan” saat masuk SD. Mereka juga merasa anaknya sudah siap masuk sekolah dasar, karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Coba, kurang apa lagi? Ini jelas berbeda dari Lia Boediman, M.S..C.P., Psy, D., psikolog yang menghabiskan 22 tahun waktunya di Amerika dan baru kembali ke tanah air. Meski anaknya (5,5) sudah siap masuk sekolah dasar, tapi Lia malah menundanya. Semua itu sudah dipertimbangkan dengan matang, termasuk membicarakan dengan anaknya. Ternyata, anaknya pun setali tiga uang, ia masih ingin bersekolah di TK B dan belum mau masuk SD. Anaknya pun tak masalah bila nanti teman-teman sekelasnya di TK berusia lebih muda dari dirinya. Juga tak mengapa bila teman-teman seangkatannya di TK sudah berseragam merah putih alias duduk di kelas 1 sekolah dasar. “Kalau usianya masih segitu, biarlah jika dia masih mau di TK B. Mungkin kalau usianya sudah 6 tahunan, pertimbangan saya, lain lagi. Bukankah untuk melanjutkan ke pendidikan dasar, minimal anak harus berusia 7 tahun? Jadi, meski anak saya sudah siap, biarlah dia dimatangkan lagi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan juga kemandiriannya. Dengan begitu, ia siap belajar dan tidak kapok karena tidak dapat menyesuaikan diri di sekolah. Saya ingin menanamkan pada anak, sekolah adalah tempat yang menyenangkan. Begitu juga dengan belajar, learning is fun and interesting. Dengan begitu, ketika di SD mereka akan mempunyai regulasi diri, tanggung jawab akan belajar, dan ketertarikan akan sekolah,” ungkap pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini. PASTIKAN ANAK MATANG Menurut Lia, sebelum memasuki jenjang SD, anak sebaiknya memiliki beberapa aspek kematangan bersekolah, meliputi aspek kognitif, bahasa, motorik, sosial-emosional, dan kemandirian. Jadi kemampuan anak menulis, membaca, dan berhitung saja tidak cukup. Itulah mengapa, untuk mengetahui kesiapan anak bersekolah, banyak SD yang mengharuskan para calon peserta didiknya melakukan tes kematangan sekolah. Selain untuk kelancaran proses belajar mengajar, tes kematangan sekolah juga diperlukan untuk kebaikan anak itu sendiri. Bayangkan, secara aspek kognitif anak sudah matang, tapi dari sisi kemandirian, emosi dan aspek lainnya belum matang, sehingga akan menyulitkan dirinya dan juga pihak sekolah. IQ-nya boleh tinggi, tapi di kelas dia belum bisa melakukan toilet learning sendiri. Apakah gurunya yang harus membantu anak melakukan toilet learning? Itu jika satu anak, bagaimana bila dalam satu kelas ada beberapa anak dengan kondisi sama. Repot, kan? Tidak hanya itu. Ia juga mudah tantrum atau menangis. Meski secara kognitif ia siap, namun ketidakmatangan emosi ini akan menghambatnya saat bersosialisasi; anak akan dijauhi, tidak disukai teman-teman di sekolahnya. Bukan tidak mungkin nantinya anak menjadi malas atau mogok sekolah. Bahaya, kan? Bila anak masuk ke sekolah yang menyeimbangkan aspek kognitif dan aspek lainnya, maka anak bisa saja mengejar ketertinggalan tersebut. Tapi bagaimana bila anak bersekolah di sekolah yang menekankan pada aspek kognitif semata? Di satu sisi kognitif anak akan semakin tinggi, tapi di sisi lain aspek yang kurang matang akan menjadi kurang terstimulasi. Akibatnya, aspek-aspek yang kurang matang akan semakin sulit berkembang, tertinggal jauh dari teman-teman lainnya yang sudah matang. Inilah yang akan menjadi masalah di kemudian hari, dimana di usia sekolah dasar anak harus terus-menerus disuruh belajar, lalu saat ujian orangtuanya stress karena sibuk belajar, menanya-nanya soal, membacakan, dan sebagainya. Nantinya, anak tidak bisa menjalin relasi sosial yang baik dengan orang lain, masih banyak dibantu, dan sulit untuk menjadi sukses. “Ini yang tidak diinginkan, sehingga uji kematangan sebelum bersekolah perlu dilakukan.” Jadi tidak mentang-mentang bisa calistung, si kecil yang berusia 4 tahunan lantas bisa masuk sekolah dasar, ya, Bu-Pak. KEMATANGAN MERUPAKAN PROSES Kematangan anak untuk bersekolah merupakan proses yang terkait dengan aspek perkembangan anak secara keseluruhan dan proses ini dimulai sejak bayi. Kematangan anak harus dibina dari hal-hal kecil dan sederhana. Misalnya, anak diberi kesempatan untuk mandiri, bisa bersosialisasi, dan sebagainya. Kenalkan dan ajarkan kemampuan tersebut di rumah sesuai dengan tahapan usia perkembangannya. Jadi, kematangan bersekolah ini tidak dinilai atau dilihat saat anak mau masuk sekolah dasar saja. Tahun depan anak mau masuk SD, lalu kematangannya dinilai 6 bulan sebelumnya. Tidak demikian. Tes-tes kematangan sekolah yang diberlakukan di beberapa SD, pada intinya untuk melihat gambaran mengenai kekurangan dan kelebihan anak tersebut. Sekolah-sekolah biasanya akan menerima anak dengan menyeleksinya sesuai standar tertentu. Padahal, untuk mengetahui kematangan bersekolah anak dibutuhkan tenaga psikolog anak professional. Maka itu, orangtua disarankan membawa anaknya ke psikolog anak professional, meski tidak dipungkiri beberapa sekolah sudah melibatkan psikolog anak professional dalam tes itu. Informasi kematangan bersekolah anak ini diperoleh psikolog dengan cara mewawancarai orangtua si anak mengenai perkembangannya, mendapatkan informasi dari guru TK sebelumnya, dan juga melakukan observasi pada anak langsung dengan bertanya, berinteraksi dengan bermain, dan mengobservasi lainnya. Dengan begitu dapat diketahui seperti apa perkembangan diri si anak. Selain itu, dilakukan pula tes intelegensi untuk mengetahui kemampuan kognitif anak. Lewat serangkaian proses itu dapat diperoleh rekomendasi, apakah anak sudah matang untuk melanjutkan ke jenjang SD atau tidak. SETIAP ANAK BERBEDA Kematangan setiap anak tentunya berbeda-beda. Selain dipengaruhi usia, juga oleh temperamen, cara belajar anak selama ini, tahap perkembangannya, serta faktor lingkungan yang mendukungnya. Umumnya, pada anak-anak normal, di usia 6-7 tahun anak sudah matang alias siap untuk bersekolah. Kecuali pada anak-anak yang mempunyai masalah dengan perkembangannya, seperti ada hambatan kognitif, bahasa, dan sebagainya, tentunya di usia 7 tahun belum bisa masuk SD karena ada masalah tersebut. Memang, di usia 6-7 tahun itu boleh jadi ada beberapa aspek anak yang mungkin saja belum matang, tapi yang harus diingat, kematangan anak untuk bersekolah tidak dilihat dari satu aspek saja, tapi secara keseluruhan. Apalagi dalam setiap aspek, misalnya, aspek bahasa terdiri atas beberapa komponen, begitupun aspek motorik, dan sebagainya, masing-masing ada komponennya. Jadi, bisa saja anak secara aspek kognitifnya sudah matang, namun secara sosial masih pemalu. Bukan berarti anak belum matang untuk masuk SD. Kekurangan anak atau kurang siapnya anak secara sosial tersebut masih bisa diupayakan, di-support untuk lebih matang dalam aspek tersebut. Maka itu, pemilihan sekolah pun menjadi penting. Pilihlah sekolah yang menyeimbangkan semua aspek perkembangan anak. Tidak hanya kognitif, tapi juga aspek lainnya, sehingga semua aspek anak dapat terasah secara optimal. KERJA SAMA ORANGTUA-SEKOLAH Mengingat sistem pendidikan di tanah air yang cenderung kurang memberikan kematangan pada aspek lain selain kognitif, maka diperlukan kerja sama antara orangtua dan pihak sekolah (SD). Orangtua harus berperan aktif dengan cara mengenal baik anaknya, mengetahui bagaimana tahapan perkembangannya, mengetahui kekurangan dan kelebihan anaknya, sehingga orangtua tahu apa yang dapat dilakukannya atas kekurangan yang dimiliki agar menjadi lebih baik serta dapat memaksimalkan potensi dan kemampuan yang dimiliki. Contoh, orangtua melihat anak masih kurang mandiri, maka orangtua dapat memberikan kesempatan pada anak untuk melakukan hal-hal sederhana sendiri. Contoh lain, aspek sosial anak tampak masih kurang, maka anak sering-sering diajak berinteraksi dengan temannya atau orang lain. Pihak sekolah dasar juga seharusnya bisa melihat beban-beban yang diberikan kepada muridnya agar seimbang pada setiap aspek perkembangan. Menyediakan fasilitas untuk mendukung aspek-aspek perkembangan anak, misal, menyediakan ruang bermain seperti playground atau lapangan basket untuk mengasah kemampuan motorik anak. Memberikan pembelajaran yang disesuaikan dengan gaya belajar anak, menciptakan lingkungan pembelajaran yang menyenangkan lewat bermain terutama pada usia-usia SD awal. Guru sekolah dasar juga sebaiknya mengetahui tahapan perkembangan di usia sekolah, sehingga dapat mengembangkan kemampuan anak secara keseluruhan. INDIKATOR KEMATANGAN BERSEKOLAH 1. Aspek FISIK · Motorik Kasar - Bisa duduk tegap. - Berjalan lurus dan bervariasi. - Berlari. - Melompat. - Melempar. - Memanjat. - Naik turun tangga. - Mengombinasi gerakan seperti lompat, jongkok, tegak dan berguling. · Motorik Halus - Dapat memegang pensil dengan baik. - Menggambar orang atau sesuatu dengan lebih rapi tidak berantakan. - Bisa makan sendiri. - Menulis angka. - Mewarnai. - Menggunting. - Menyusun lego. 2. Aspek BAHASA - Memperkenalkan diri, nama, alamat, dan keluarga dengan jelas. - Bercerita mengenai keadaan di rumah, sekolah, permainan, dan lain-lain. - Menjawab pertanyaan. - Menyanyikan lagu. - Menyebutkan seluruh anggota badan. - Menirukan huruf, suku kata, dan kata. 3. Aspek KOGNITIF - Menerangkan mengenai sesuatu, misalnya kegunaan suatu benda. - Mengenal warna. - Mengetahui angka atau bilangan. - Membedakan bentuk. - Dapat mengelompokkan benda/sesuatu. - Memahami konsep penjumlahan dan pengurangan. - Membaca tanda-tanda umum seperti di jalan. - Dapat berpikir lebih fleksibel dan sebab akibat. - Rasa keingintahuan yang besar dan mencari tahu jawabannya. 4. Aspek SOSIAL-EMOSIONAL - Bisa bermain secara interakstif dengan temannya. - Berperilaku sesuai norma yang ada di lingkungannya. - Menghargai adanya perbedaan maupun pendapat orang lain. - Tidak lagi terlalu bergantung/lengket pada orangtuanya. - Dapat menolong orang lain/temannya. - Menunjukkan rasa setia kawan deengan temannya. - Bisa beradaptasi di lingkungan baru seperti teman atau guru. - Bila diberi tahu sesuatu bisa mengerti. - Dapat berkonsentrasi maksimal 15-20 menit. - Bisa menunggu atau menahan keinginannya. - Dapat patuh pada aturan dan tuntutan lingkungan. 5. Aspek KEMANDIRIAN - Sudah bisa makan sendiri. - Pakai baju sendiri. - Menyikat gigi sendiri. - Toilet learning. - Mulai dapat teratur pada rutinitas, seperti bangun tidur. sumber: http://www.kancilku.com/Ind//index.php…

Saturday, March 7, 2015

PASCA: Kepemilikan dan Distribusi Harta dalam Islam (2)

Tujuan utama distribusi: mencukupi kebutuhan hidup. Muamalah dan ekonomi Islam: muamalah adalah ilmu yang mengatur hubungan antar manusia, jika mengikuti definisi ini maka ekonomi Islam merupakan bagian dari muamalah. Muamalah dan ekonomi Islam: apakah sama atau berbeda, dan apa alasannya. *Imam Zarkasyi Worldview of Wealth and Distribution Theory Wealth = kesejahteraan. Maal / al amwaal dalam bahasa Arab (kitab Abu Ubaid) diterjemahkan sebagai the book of finance, buku tentang harta, yang sebenarnya tidak hanya berbicara tentang harta tetapi lebih mirip dengan buku Adam Smith “the wealth of nation” yang berbicara juga tentang sistem macroeconomics, mengelola ekonomi suatu Negara. Jika seseorang telah mencukupi kebutuhan hidupnya maka ia memiliki kewajiban untuk mendistribusikan hartanya kepada orang lain, mentransfer / sharing kesejahteraannya pada orang lain. Hal ini yang dipelajari dalam ekonomi Islam, yaitu tanggung jawab untuk mendistribusikan harta jika telah mencukupi kebutuhan sendiri. Ekonomi konvensional tidak membicarakan hal ini maka terjadilah krisis ekonomi dalam scope besar seperti Negara ataupun kecil seperti kemiskinan individu (poverty). Jika semua orang memiliki jumlah kekayaan yang sama maka kehidupan tidak berjalan dan tidak dinamis oleh karena itu kaya dan miskin adalah sunnatullah dimana yang kaya akan membutuhkan yang miskin dan yang miskin membutuhkan yang kaya maka terjadilah distribusi. Secara prinsip, krisis ekonomi terjadi karena tidak adanya distribusi dimana variabel2 penyebabnya banyak seperti adanya kredit macet, bunga terlalu besar, dsb. Prinsip ekonomi Islam adalah mengalir, sehingga ia tidak mengendap dan membusuk yang dianalogikan seperti air mengalir maka ia bersih. Uang harus berputar dan tidak boleh mengendap terlalu lama dan terlalu besar di sebuah tempat, seperti yang disebutkan dalam QS At-Taubah tentang zakat “supaya harta tidak berputar di suatu golongan saja”. Jika mekanisme distribusi berjalan dengan baik maka kesejahteraan semua orang akan terpenuhi seperti yang terjadi di zaman Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Sistem ekonomi adalah yang menghubungkan antara manusia dengan manusia lain baik sebagai individu sampai sebagai Negara. Ekonomi Islam memiliki sistem distribusi yang jelas, yang wajib yaitu zakat dan yang tidak wajib seperti shodaqoh, dll. Distribusi pada dasarnya membicarakan tentang wealth / kesejahteraan yaitu tercukupinya secara balance kebutuhan baik materi maupun immateri, jika memungkinkan malah kebutuhan immaterinya yang dicukupi lebih baik karena jika kebutuhan immateri terpenuhi dengan baik maka kebutuhan materi dapat dicukupi. Financial management for personal: how to manage our lifestyle. Yang membuat seseorang cukup kebutuhan hidupnya atau tidak adalah dirinya sendiri. Lifestyle yang menentukan kesejahteraan seseorang. Wealth distribution makro seharusnya tidak membahas meningkatkan pendapatan saja sedangkan di sisi lain tingkat kriminalitasnya juga meningkat dan meningkatkan social costnya sehingga hasilnya zero. Jika social costnya dapat ditekan maka dapat meningkatkan pendapatan secara otomatis. Definisi kesejahteraan dan kemiskinannya perlu diperbaiki. Do we have to share? Jika berlebih harus dibagi untuk menjaga keseimbangan ekonomi. Setelah keseimbangan ekonomi, distribusi kemudian memiliki tujuan untuk mencapai keadilan. Prinsip2 distribusi dalam Islam: (1) Tauhid, fungsi sebagai manusia yaitu sebagai khalifah memiliki tugas untuk memakmurkan dunia melalui pengelolaan dan distribusi. Diberikan alat untuk menjalankan tugas distribusi menggunakan zakat, wakaf, dsb. Diberi kekayaan oleh Allah tidak hanya untuk dinikmati oleh diri sendiri, tetapi memiliki tanggung jawab untuk mendistribusikan. Hal ini tidak ada dalam sistem ekonomi konvensional karena tidak memiliki kewajiban untuk melakukan distribusi dan menganggap harta adalah hasil usahanya sendiri. Dalam sistem kapitalisme, pemilik modal menganggap distribusi harta kepada pekerja adalah dari gaji yang diberikan sesuai dengan pekerjaan yang dilakukan tanpa mempedulikan kebutuhan pribadi dan keluarga. Sistem kapitalis mengedepankan private ownership, sosialis mengedepankan collective ownership, sedangkan Islam menyeimbangkan antara private dan collective ownership. Sistem distribusi dalam Islam: 1. Prinsip2 distribusi: tauhid 2. Alat2 distribusi 3. Mekanisme distribusi Wealth - Source: lawful and unlawful - Ownership: full and partial - Exchange: selling, debt, rent / lease - Sharing: zakat, philanthropy Dosen: Dr. Bayu Taufiq

PASCA: Kepemilikan dan Distribusi Harta dalam Islam (1)

Catatan 1 1. Konsep Distribusi dalam Perspektif Islam dan Konvensional 2. Konsep Hak Milik dalam Islam, Hak Milik Individu, Sosial, dan Negara 3. Bunga dalam Pandangan Ekonomi Islam 4. Konsep Bagi Hasil dan Margin Keuntungan dalam Pandangan Ekonomi Islam 5. upah 6. ju’alah 7. Jaminan Sosial 8. Hibah, Qardhul Hasan 9. Waqaf 10. Shodaqoh (Zakat, Infaq) 11. Wasiat, Waris 12. keadilan distribusi Pak dede: 1,2,3,10,11,12 Konsep Hak Milik dalam Islam Hak secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti milik, Secara terminologi: - kaidah syariah yang berkaitan dengan perorangan dan harta benda - ada dua konsep yaitu: hak ‘aini kewenangan terhadap barang, hak syakhsi sebagai kewajiban bagi pihak lain, contohnya: hak kepada orang lain, hak kepada Allah, hak kepada Allah dan manusia Rukun hak: 1.shohibul haqq yaitu pemilik hak, dalam Islam terdiri dari: Allah, manusia, badan hukum 2.mahallul haqq yaitu objek hak Macam-macam hak dikategorikan berdasarkan: pemilik hak, Kategori hak berdasarkan kepemilikannya: 1.Hak Allah yaitu untuk kemaslahatan baik individu maupun masyarakat, contohnya: ibadah mahdhah seperti sholat, puasa, zakat dan hukum asalnya tidak bisa digantikan dan tidak dapat dimaafkan seperti potong tangan dalam kasus pencurian merupakan hak Allah. Sedangkan hak manusia bisa digantikan oleh orang lain. 2.Hak manusia: untuk melindungi kemaslahatan terhadap pribadi manusia, hukum asalnya dapat diubah dan dapat diteruskan pada ahli waris. 3.Hak berserikat antara hak Allah dan hak manusia. Contohnya dalam kasus pencurian terdapat pelanggaran terhadap dua hak yaitu kepada Allah ada hak potong tangan dan pada manusia ada hak untuk mengganti dan dapat digantikan oleh orang lain pelaksanaannya atas nama orang yang melakukan. Kategori hak berdasarkan objeknya: 1.Haqq maali: terkait harta benda 2.Haqq ghair maali terdiri dari: a. haqq syakhsi dimana terdapat pihak yang mempunyai kewajiban dan ada pihak yang mempunyai hak , contohnya: janji (wa’ad) yang dilakukan oleh satu pihak dan akad yang dilakukan oleh 2 pihak, akad juga dapat muncul karena adanya syara’ seperti hak dan kewajiban antara anak dengan orang tua. Konsekuensi akad juga ada yang tidak mengikat, mengikat 1 pihak, dan mengikat 2 pihak. Contohnya akad wakalah jika murni tabarru’ maka tidak mengikat tetapi ketika ada ujrah atas wakalah itu maka mengikat. Suatu akad dapat terdiri dari akad primer dan sekunder, dan biasanya pada produk lembaga keuangan kebanyakan akad tabarru merupakan akad sekunder dan akad primernya adalah akad tijari. b. haqq ‘aini Kedudukan akad dari segi: kerelaan terbagi dua yaitu (1) syakliyah yang dipenuhi kerelaannya melalui penyerahan barang (qabdh) seperti qardh, rahn, wadiah, dan (2) ridha’iy yang dipenuhi kerelaannya melalui tulisan dan ucapan seperti wakalah, hiwalah, kafalah. Contoh akad rahn akad primer dianggap ijarah dan sekundernya adalah qardh karena dengan begitu boleh mengambil keuntungan darinya. Contoh akad hiwalah dapat terjadi walaupun pelaksanaan penyerahan hutangnya tidak terjadi saat itu. Kedudukan akad dari segi: mengikat atau tidaknya: (1) tidak mengikat, (2) mengikat satu pihak, (3) mengikat semua pihak Kedudukan akad dari segi primer atau sekunder. Kedudukan akad dari segi tanggung jawabnya: (1) amanah (2) dhamanah. Contohnya wadiah amanah dan wadiah dhamanah, jika menitipkan uang di bank dengan wadiah amanah maka tidak boleh digunakan oleh bank sedangkan wadiah dhamanah maka boleh digunakan oleh bank Catatan 2 Musyarakah dalam kepemilikan harta, maka tidak boleh menjual tanpa persetujuan pihak lain kecuali yg menjadi porsi kita boleh dijual jika bentuk hartanya memungkinkan. Contoh halangan melindungi hak orang lain seperti jika memiliki harta tetapi masih memiliki hutang maka bisa saja harta ditahan oleh hakim sehingga tidak dapat digunakan oleh orang yang memiliki harta tersebut. Dosen: Dr. Dede Abdul Fatah

Tuesday, January 13, 2015

sholat

گيف تجعل أبنائك يصلون من أنفسھم ☝ بدون خصام أو تذكير 🐝 Bagaimana Membuat Anak2  Anda Sholat dengan Kesadaran Mereka Sendiri Tanpa Berdebat  dan Tanpa Perlu Diingatkan? 🐝 أولادك لا يصلون أو أتعبوك من أجل أن يصلوا ؟ تعالوا لتروا كيف تغيرونهم بإذن الله تعالى Anak2 anda tidak mau sholat? atau mereka sampai membuat anda capek saat mengingatkan untuk sholat? Mari qt lihat bagaimana qt bisa merubah ini semua ~ biidznillah عن إحدى الأخوات : تقول اقول لكم قصة وقعت معي انا Seorang sahabat berkisah: "Aku akan menceritakan satu kisah yg terjadi padaku" كانت بنتي بالخامس ابتدائي Saat itu, anak perempuanku duduk di kelas 5 SD و الصلاة ثقيلة عليها.. لدرجة اني قلت لها يوما قومي صلي وراقبتها فوجدتها أخذت السجادة ورمتها على الأرض وجاءتني سألتها هل صليت قالت نعم.. صدقوني بدون شعور صفعت وجھا أعرف أني أخطأت.. ولكن الموقف ضايقني وبكيت وخاصمتها ولمتها وخوفتها من الله ولم ينفع معها كل هذا الكلام .. Sholat baginya adalah hal yg sangat berat...sampai2 suatu hari aku berkata kepadanya: "Bangun!! Sholat!!", dan aku mengawasinya.. Aku melihatnya mengambil sajadah, kemudian melemparkannya ke lantai...Kemudian ia mendatangiku... Aku bertanya kepadanya: "Apakah kamu sudah sholat?" Ia menjawab: " Sudah" Kemudian aku MENAMPARNYA  Aku tahu aku salah  Tetapi kondisinya mmg benar2 sulit... Aku menangis.. Aku benar2 marah padanya, aku rendahkan dia dan aku menakut2inya akan siksa Allah... Tapi....ternyata semua kata2ku itu tidak ada manfaatnya... لكن في يوم من الأيام ... قالت لي إحدى الصديقات قصة.. منقولة ..وهي : Suatu hari, seorang sahabatku bercerita suatu kisah... انها زارت قريبة لها عادية (ليست كثيرة التدين)، لكن عندما حضرت الصلاة قام أولادها يصلون بدون أن تناديهم Suatu ketika ia berkunjung kerumah seorang kerabat dekatnya (seorang yg biasa2 saja dari segi agama) , tapi ketika datang waktu sholat, semua anak2nya langsung bersegera melaksanakan sholat tanpa diperintah.... تقول .. قلت لها : كيف يصلي أولادك من أنفسهم بدون خصام وتذكير ؟ !!! Ia berkata: Aku berkata padanya "Bagaimana anak2mu bisa sholat dg kesadaran mereka tanpa berdebat dan tanpa perlu diingatkan? قالت والله ليس عندي شي اقوله لك الا اني قبل أن أتزوج ادعو الله بهذا الدعاء وإلى يومنا هذا ادعو به Ia menjawab: Demi Allah, aku hanya ingin mengatakan padamu bahwa sejak jauh sebelum aku menikah aku selalu memanjatkan DO'A ini...dan sampai saat ini pun aku masih tetap bedo'a dg DO'A tersebut انا بعد نصيحتها هذه لزمت هذا الدعاء .. في سجودي وقبل التسليم وفي الوتر .. وفي كل اوقات الاجابه Setelah aku mendengarkan nasehatnya, aku selalu tanpa henti berdoa dg do'a ini.. Dalam sujudku... Saat sebelum salam... Ketika witir... Dan disetiap waktu2 mustajab... والله يا اخواتي.. ان بنتي هذه الآن بالثانوي.. من اول مابدأت الدعاء وهي التي توقظنا للصلاة وتذكرنا بها واخوانها كلهم ولله الحمد حريصون على الصلاة !! Demi Allah wahai saudara2ku... Anakku  saat ini telah duduk dibangku SMA.. Sejak aku memulai berdoa dg doa itu, anakku lah yg rajin membangunkan kami dan mengingatkan kami untuk sholat... Dan adik2nya, Alhamdulillah..mereka semua selalu menjaga sholat!!! حتى امي زارتني ونامت عندي ولفت انتباهها ان بنتي تستيقظ وتدور علينا توقظنا للصلاة !! Sampai2...saat ibuku berkunjung dan menginap dirumah kami, ia tercengang  melihat anak perempuanku bangun pagi, kemudian membangunkan kami satu persatu untuk sholat... أعرف .. أنكم الآن متشوقون لتعرفوا هذا الدعاء .. الدعاء موجود في سورة ابراهيم Aku tahu anda semua penasaran ingin mengetahui doa apakah itu? Yaaa..doa ini ada di QS. ibrahim... والدعاء هو ...❕ ( رَبِّ اجْعَلْنِي مُقِيمَ الصَّلاَةِ وَمِن ذُرِّيَّتِي رَبَّنَا وَتَقَبَّلْ دُعَاء ) (إبراهيم ، 40) Doa ini adalah... "Ya Robbku, jadikanlah aku dan anak cucuku orang yg tetap melaksanakan sholat... Ya Robb kami, perkenankanlah doaku" فالدعاء الدعاء الدعاء وكما تعلمون الدعاء سلاح المؤمن Yaa...Doa...Doa...dan Doa... Sebagaimana anda semua tahu bahwa doa adalah senjata seorang mukmin  إرسلوها للكل حتى تعم الفائدة  Kirimkan tulisan ini agar lebih banyak orang yg mengambil manfaat...  إذا أعجبك الموضوع فلا تقل شكـراً قل :(رحم الله من نقلها لي ونقلها عني وجعلها بميزان حسناتكم Jika anda terkesan dg tulisan ini, jangan katakan Syukron... Tapi katakan: "Semoga Allah merahmati orang yang bersedia men-share (tulisan ini), kemudian menjadikannya pemberat bagi timbangan kebaikannya" اقرأ هذا الدعاء لأبنائك و سيبقون بحفظ الله .... ورعايته Baca selalu doa ini untuk anak2mu, biidznillah mereka akan selalu berada dalam penjagaa

Terkait kata jangan atau tidak

Ia tidak memukul teman bukan karena mengerti bahwa memukul itu terlarang dalam agama, tetapi karena lebih memilih berdamai. Ia tidak sombong bukan karena kesombongan itu dosa, melainkan hanya karena menganggap rendah hati itu lebih aman baginya. Dan kelak, ia tidak berzina bukan karena takut adzab Alloh, tetapi karena menganggap bahwa menahan nafsu itu pilihan yang dianjurkan orangtuanya. Nas alulloha salaman wal afiyah. Anak-anak hasil didikan tanpa “jangan” berisiko tidak punya “sense of syariah” dan keterikatan hukum. Mereka akan sangat tidak peduli melihat kemaksiatan bertebaran, tidak perhatian lagi dengan amar ma’ruf nahi mungkar, tidak ada lagi minat untuk mendakwahi manusia yang dalam kondisi bersalah, karena dalam hatinya berkata “itu pilihan mereka, saya tidak demikian”. Mereka bungkam melihat penistaan agama karena otaknya berbunyi “mereka memang begitu, yang penting saya tidak melakukannya”. Itulah sebenar-benar paham liberal, yang ‘humanis’, toleran, dan menghargai pilihan-pilihan. Jadi, bila kita yakini dan praktikkan teori parenting barat itu, maka sesungguhnya kita bersiap anak-anak kita tumbuh menjadi generasi liberal. Haruskah kita simpan saja Al-Qur’an di lemari paling dalam, dan kita lebih memilih teori2 yahudi? Astagfirulloh! [Rujukan: Al-Qur’an, Akh Budi, Akh Yazid (Abu Hanin Komentar gurunda ustadz Fauzil Adhim: Terkait kata jangan atau tidak, dalam agama sudah sangat jelas bahwa kata jangan maupun tidak justru tak dapat dilepaskan. Syahadat diawali kata tidak. Nasehat Luqman menggunakan kata yang sama dengan makna jangan. Ada ribuan kata bermakna tidak/jangan dalam Al-Qur’an. Tapi jika kita cuma mengetik bahasa Endonesiyah “jangan” di Al-Qur’an for android, ketemunya cuma sekitar 360 Saya pernah membahas ini di buku Saat Berharga untuk Anak Kita. Di luar itu, jika kita seorang guru, salah satu hal penting untuk keberhasilan kelas adalah manajemen kelas. Dan urutan pertama dalam manajemen kelas adalah Aturan & Prosedur yang isi pokoknya Larangan dan Perintah. (Hasil diskusi via WA) http://tarbiahmoeslim.wordpress.com/2014/10/26/jadikan-al-quran-dan-as-sunnah-sebagai-pedoman-jangan-psycholog/ silahkan di share semoga bermanfaat untuk.semua . Maaf bila ada yg tdk setuju, iTu saya copas krn bagus..

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita

Qaulan Sadiidaa untuk Anak Kita Oleh: Salim A. Fillah Remaja. Pernah saya menelusur, adakah kata itu dalam peristilahan agama kita? Ternyata jawabnya tidak. Kita selama ini menggunakan istilah ‘remaja’ untuk menandai suatu masa dalam perkembangan manusia. Di sana terjadi guncangan, pencarian jatidiri, dan peralihan dari kanak-kanak menjadi dewasa. Terhadap masa-masa itu, orang memberi permakluman atas berbagai perilaku sang remaja. Kata kita, “Wajar lah masih remaja!” Jika tak berkait dengan taklif agama, mungkin permakluman itu tak jadi perkara. Masalahnya, bukankah ‘aqil dan baligh menandai batas sempurna antara seorang anak yang belum ditulis ‘amal dosanya dengan orang dewasa yang punya tanggungjawab terhadap perintah dan larangan, juga wajib, mubah, dan haram? Batas itu tidak memberi waktu peralihan, apalagi berlama-lama dengan manisnya istilah remaja. Begitu penanda baligh muncul, maka dia bertanggungjawab penuh atas segala perbuatannya; ‘amal shalihnya berpahala, ‘amal salahnya berdosa. Isma’il ‘alaihissalaam, adalah sebuah gambaran bagi kita tentang sosok generasi pelanjut yang berbakti, shalih, taat kepada Allah dan memenuhi tanggungjawab penuh sebagai seorang yang dewasa sejak balighnya. Masa remaja dalam artian terguncang, mencoba itu-ini mencari jati diri, dan masa peralihan yang perlu banyak permakluman tak pernah dialaminya. Ia teguh, kokoh, dan terbentuk karakternya sejak mula. Mengapa? Agaknya Allah telah bukakan rahasia itu dalam firmanNya: Dan hendaklah takut orang-orang yang meninggalkan teturunan di belakang mereka dalam keadaan lemah yang senantiasa mereka khawatiri. Maka dari itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengatakan perkataan yang lurus benar. (QSnAn Nisaa’ 9) Ya. Salah satu pinta yang sering diulang Ibrahim dalam doa-doanya adalah mohon agar diberi lisan yang shidiq. Dan lisan shidiq itulah yang agaknya ia pergunakan juga untuk membesarkan putera-puteranya sehingga mereka menjadi anak-anak yang tangguh, kokoh jiwanya, mulia wataknya, dan mampu melakukan hal-hal besar bagi ummat dan agama. Nah, mari sejenak kita renungkan tiap kata yang keluar dari lisan dan didengar oleh anak-anak kita. Sudahkah ia memenuhi syarat sebagai qaulan sadiidaa, kata-kata yang lurus benar, sebagaimana diamanatkan oleh ayat kesembilan Surat An Nisaa’? Ataukah selama ini dalam membesarkan mereka kita hanya berprinsip “asal tidak menangis”. Padahal baik agama, ilmu jiwa, juga ilmu perilaku menegaskan bahwa menangis itu penting. Kali ini, izinkan saya secara acak memungut contoh misal pola asuh yang perlu kita tataulang redaksionalnya. Misalnya ketika anak tak mau ditinggal pergi ayah atau ibunya, padahal si orangtua harus menghadiri acara yang tidak memungkinkan untuk mengajak sang putera. Jika kitalah sang orangtua, apa yang kita lakukan untuk membuat rencana keberangkatan kita berhasil tanpa menyakiti dan mengecewakan buah hati kita? Saya melihat, kebanyakan kita terjebak prinsip “asal tidak menangis” tadi dalam hal ini. Kita menyangka tidak menangis berarti buah hati kita “tidak apa-apa”, “tidak keberatan”, dan “nanti juga lupa.” Betulkah demikian? Agar anak tak menangis saat ditinggal pergi, biasanya anak diselimur, dilenabuaikan oleh pembantu, nenek, atau bibinya dengan diajak melihat –umpamanya- ayam, “Yuk, kita lihat ayam yuk.. Tu ayamnya lagi mau makan tu!” Ya, anak pun tertarik, ikut menonton sang ayam. Lalu diam-diam kita pergi meninggalkannya. Si kecil memang tidak menangis. Dia diam dan seolah suka-suka saja. Tapi di dalam jiwanya, ia telah menyimpan sebuah pelajaran, “Ooh.. Aku ditipu. Dikhianati. Aku ingin ikut Ibu tapi malah disuruh lihat ayam, agar bisa ditinggal pergi diam-diam. Kalau begitu, menipu dan mengkhianati itu tidak apa-apa. Nanti kalau sudah besar aku yang akan melakukannya!” Betapa, meskipun dia menangis, alangkah lebih baiknya kita berpamitan baik-baik padanya. Kita bisa mencium keningnya penuh kasih, mendoakan keberkahan di telinganya, dan berjanji akan segera pulang setelah urusan selesai insyaallah. Meski menangis, anak kita akan belajar bahwa kita pamit baik-baik, mendoakannya, tetap menyayanginya, dan akan segera pulang untuknya. Meski menangis, dia telah mendengar qaulan sadiida, dan kelak semoga ini menjadi pilar kekokohan akhlaqnya. Di waktu lain, anak yang kita sayangi ini terjatuh. Apa yang kita katakan padanya saat jatuhnya? Ada beberapa alternatif. Kita bisa saja mengatakan, “Tuh kan, sudah dibilangin jangan lari-lari! Jatuh bener kan?!” Apa manfaatnya? Membuat kita sebagai orangtua merasa tercuci tangan dari salah dan alpa. Lalu sang anak akan tumbuh sebagai pribadi yang selalu menyalahkan dirinya sepanjang hidupnya. Atau bisa saja kita katakan, “Aduh, batunya nakal yah! Iih, batunya jahat deh, bikin adek jatuh ya Sayang?” Dan bisa saja anak kita kelak tumbuh sebagai orang yang pandai menyusun alasan kegagalan dengan mempersalahkan pihak lain. Di kelas sepuluh SMA, saat kita tanya, “Mengapa nilai Matematikamu cuma 6 Mas?” Dia tangkas menjawab, “Habis gurunya killer sih Ma. Lagian, kalau ngajar nggak jelas gitu.” Atau bisa saja kita katakan, “Sini Sayang! Nggak apa-apa! Nggak sakit kok! Duh, anak Mama nggak usah nangis! Nggak apa-apa! Tu, cuma kayak gitu, nggak sakit kan?” Sebenarnya maksudnya mungkin bagus: agar anak jadi tangguh, tidak cengeng. Tapi sadarkah bahwa bisa saja anak kita sebenarnya merasakan sakit yang luar biasa? Dan kata-kata kita, telah membuatnya mengambil pelajaran; jika melihat penderitaan, katakan saja “Ah, cuma kayak gitu! Belum seberapa! Nggak apa-apa!” Celakanya, bagaimana jika kalimat ini kelak dia arahkan pada kita, orangtunya, di saat umur kita sudah uzur dan kita sakit-sakitan? “Nggak apa-apa Bu, cuma kayak gitu. Jangan nangis ah, sudah tua, malu kan?” Akankah kita ‘kutuk’ dia sebagai anak durhaka, padahal dia hanya meneladani kita yang dulu mendurhakainya saat kecil? Ah.. Qaulan sadiida. Ternyata tak mudah. Seperti saat kita mengatakan untuk menyemangati anak-anak kita, “Anak shalih masuk surga.. Anak nakal masuk neraka..” Betulkah? Ada dalilnya kah? Padahal semua anak jika tertakdir meninggal pasti akan menjadi penghuni surga. Juga kata-kata kita saat tak menyukai keusilan –baca; kreativitas-nya semisal bermain dengan gelas dan piring yang mudah pecah. Kita kadang mengucapkan, “Hayo.. Allah nggak suka lho Nak! Allah nggak suka!” Sejujurnya, siapa yang tak menyukainya? Allah kah? Atau kita, karena diri ini tak ingin repot saja. Alangkah lancang kita mengatasnamakan Allah! Dan alangkah lancang kita mengenalkan pada anak kita satu sifat yang tak sepantasnya untuk Allah yakni, “Yang Maha Tidak Suka!” Karena dengan kalimat kita itu, dia merasa, Allah ini kok sedikit-sedikit tidak suka, ini nggak boleh, itu nggak benar. Alangkah agungnya qaulan sadiida. Dengan qaulan sadiida, sedikit perbedaan bisa membuat segalanya jauh lebih cerah. Inilah kisah tentang dua anak penyuka minum susu. Anak yang satu, sering dibangunkan dari tidur malas-malasannya oleh sang ibu dengan kalimat, “Nak, cepat bangun! Nanti kalau bangun Ibu bikinkan susu deh!” Saat si anak bangun dan mengucek matanya, dia berteriak, “Mana susunya!” Dari kejauhan terdengar adukan sendok pada gelas. “Iya. Sabar sebentaar!” Dan sang ibupun tergopoh-gopoh membawakan segelas susu untuk si anak yang cemberut berat. Sementara ibu dari anak yang satunya lagi mengambil urutan kerja berbeda. Sang ibu mengatakan begini, “Nak, bangun Nak. Di meja belajar sudah Ibu siapkan susu untukmu!” Si anakpun bangun, tersenyum, dan mengucap terimakasih pada sang ibu. Ibu pertama dan kedua sama capeknya; sama-sama harus membuat susu, sama-sama harus berjuang membangunkan sang putera. Tapi anak yang awal tumbuh sebagai si suka pamrih yang digerakkan dengan janji, dan takkan tergerak oleh hal yang jika dihitung-hitung tak bermanfaat nyata baginya. Anak kedua tumbuh menjadi sosok ikhlas penuh etos. Dia belajar pada ibunya yang tulus; tak suka berjanji, tapi selalu sudah menyediakan segelas susu ketika membangunkannya. Ya Allah, kami tahu, rumahtangga Islami adalah langkah kedua dan pilar utama dari da’wah yang kami citakan untuk mengubah wajah bumi. Ya Allah maka jangan Kau biarkan kami tertipu oleh kekerdilan jiwa kami, hingga menganggap kecil urusan ini. Ya Allah maka bukakanlah kemudahan bagi kami untuk menata da’wah ini dari pribadi kami, keluarga kami, masyarakat kami, negeri kami, hingga kami menjadi guru semesta sejati. Ya Allah, karuniakan pada kami lisan yang shidiq, seperti lisan Ibrahim. Karuniakan pada kami anak-anak shalih yang kokoh imannya dan mulia akhlaqnya, seperti Isma’il. Meski kami jauh dari mereka, tapi izinkan kami belajar untuk mengucapkan qaulan sadiida, huruf demi huruf, kata demi kata. Aamiin. Sepenuh cinta. [sumber: salimfillah.com]