Saturday, July 2, 2016

PASCA: tafsir QS At-Takatsur (102): 8

“Kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu ).

Tafsir Depag & UII: dalam ayat ini Allah SWT, lebih memperkuat lagi celaan-Nya terhadap mereka, bahwa sesungguhnya mereka akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan-kenikmatan yang mereka megah-megahkan di dunia, apa yang kamu perbuat dengan nikmat-nikmat itu. Apakah kamu telah menunaikan hak Allah daripadanya, atau apakah kamu menjaga batas-batas hukum Allah yang telah ditentukan dalam bersenang-senang dengan nikmat tersebut.Jika kamu tidak melakukannya, ketahuilah bahwa nikmat-nikmat itu adalah puncak kecelakaan di hari akhirat.Telah diriwayatkan bahwa Umar ra. Bertanya kepada Nabi Muhammad SAW: “Nikmat apakah yang ditanyakan kepada kami, Ya Rasulullah, padahal kami telah diusir dari kampung halaman kami dan harta kami?”. Nabi SAW menjawab: “Naungan-naungan rumah, pohon-pohon, gubuk-gubuk yang melindungi kamu dari udara panas dan dingin dan air yang sejuk di hari yang panas .” Dan telah diriwayatkan pula dari Nabi Muhammad SAW, beliau berkata: “Barangsiapa yang bangun pagi dalam keadaan aman sentausa dalam keluarganya, sehat walafiat badannya serta mempunyai bekal hidup untuk harinya, maka seolah-olah dunia dengan segala kekayaannya telah diserahkan kepadanya.

Tafsir al-Mishbah :
“Kemudian, pasti kamu akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im.”
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dan memperingatkan mereka yang bersaing secara tidak sehat memperbanyak kenikmatan duniawi, ayat di atas memperingatkan bahwa kenikmatan apapun bentuknya pasti akan dimintakan pertanggungjawaban. Atau setelah ayat yang lalu menggambarkan ancaman yang menanti mereka karena hanya memperhatikan kenikmatan duniawi, ayat di atas mengingatkan mereka bahwa sikap tersebut akan mereka pertanggungjawabkan dan kelak mereka akan ditanyai tentang sikap mereka menyangkut kenikmatan ukhrawi. Apapun hubungannya, ayat di atas bagaikan menyatakan: Kemudian, Aku bersumpah bahwa pasti kamu semua wahai manusia akan ditanyai pada hari itu tentang an-na’im yakni aneka kenikmatan duniawi yang kamu raih, atau kenikmatan ukhrawi yang kamu abaikan.
Kata la tus’alunna terambil dari kata sa’ala yang digandengkan dengan huruf lam yang berfungsi sebagai isyarat adanya sumpah dan nun yang digunakan untuk menunjukkan kepastian serta penekanan. Sedang kata sa’ala dapat berarti meminta, baik materi maupun informasi.Yang dimaksud bukan permintaan materi, bukan juga informasi dalam pengertian yang sebenarnya, tetapi pertanggungjawaban.Kata tersebut berbentuk pasif dalam arti bahwa pelaku yang meminta pertanggungjawaban itu tidak disebutkan.Ini untuk mengarahkan perhatian pendengar kepada pertanggungjawaban itu – tanpa mempersoalkan siapa pun yang melakukannya.
Kata an-na’im biasa diterjemahkan kenikmatan. Sementara ulama menyebut beberapa riwayat yang menjelaskan maksud kata ini, seperti angin sepoi, air sejuk, alas kaki, sampai kepada al-Qur’an dan kehadiran Rasul SAW. Sahabat Nabi SA, Anas Ibn Malik ra menyatakan bahwa ketika turunnya ayat di atas seorang yang sangat miskin berdiri di hadapan Nabi SAW sambil berkata: “Apakah ada suatu nikmat yang kumiliki?” Nabi menjawab: “Ya, naungan, rumput dan air yang sejuk” (kesemuanya adalah nikmat yang engkau peroleh).
Jika kita menelusuri penggunaan al-Qur’an tentang kata-kata yang seakar dengan kata na’im, ditemukan bentuk-bentuk ni’mah, na’mah, na’maa’, an’um. Tentu saja maknanya tidak sama. Kata na’mah (dengan fathah pada huruf nuun) yang digunakan al-Qur’an dalam dua ayat (QS ad-Dukhan (44): 27 dan al-Muzammil (73): 11) dan keduanya dalam konteks pembicaraan tentang orang-orang kafir yang memperoleh limpahan anugerah atau nikmat material yang mereka tidak syukuri. Sedang kata ni’mah (dengan kasrah pada huruf nun) yang terulang sebanyak 34 kali, pada umumnya digunakan untuk menggambarkan anugerah Allah kepada hamba-hamba-Nya yang sadar atau diharapkan dapat sadar, baik nikmat tersebut bersifat material maupun spiritual. Bahkan sementara ulama membatasinya dalam bidang spiritual keagamaan. Atau paling tidak, pada umumnya kata ni’mah dalam al-Qur’an digunakan dalam arti petunjuk keagamaan (perhatikan QS al-Ma’idah (5): 3 dan QS adh-Dhuha (93): 11.
Kata na’im terulang dalam al-Qur’an sebanyak 17 kali, 8 di antaranya dengan redaksi jannaat an-na’im (surga-surga yang penuh kenikmatan), 3 dengan redaksi jannatu na’im (surga yang penuh kenikmatan) dalam bentuk tunggal dan 6 sisanya digandengkan dengan berbagai kata tetapi seluruhnya digunakan dalam konteks kenikmatan surgawi di akhirat kelak (lihat misalnya QS al-Infithaar (82): 13-14 atau QS al-Insaan (76): 20. Atas dasar itu rasanya kurang tepat memahami kata na’im pada ayat yang ditafsirkan ini dalam arti kenikmatan yang diperoleh manusia di dunia – baik besar maupun kecil. Kata na’im di sini agaknya lebih tepat dipahami pula dalam konteks kenikmatan ukhrawi sehingga ayat terakhir surah ini memperingatkan kepada mereka yang bersaing secara tidak sehat dalam rangka memperoleh dan memperbanyak harta benda, anak, pengikut dan kedudukan – memperingatkan mereka – bahwa kelak mereka akan diminta untuk mempertanggungjawabkan sikap mereka terhadap kenikmatan ukhrawi, mereka akan ditanyai: Bagaimana sikap kamu di dunia menyangkut kenikmatan-kenikmatan ukhrawi? Apakah kamu percaya atau tidak?” Yang percaya tentu tidak akan bersaing memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan duniawi yang kecil itu bila dibandingkan dengan kenikmatan ukhrawi. Yang percaya tentu akan berlomba memperebutkan dan memperbanyak kenikmatan ukhrawi.
Seseorang yang menyadari bahwa ada kenikmatan yang melebihi kenikmatan duniawi tentu tidak akan mengarahkan seluruh pandangan dan usahanya semata-mata hanya kepada kenikmatan duniawi yang sifatnya sementara itu, bahkan seseorang yang menyadari betapa besar kenikmatan ukhrawi itu akan bersedia mengorbankan kenikmatan duniawi yang dimiliki dan dirasakannya demi memperoleh kenikmatan ukhrawi itu. Demikian awal ayat surah ini berbicara tentang perlombaan menumpuk kenikmatan duniawi, dan akhirnya memperingatkan mereka tentang tanggung jawab kepemilikan harta itu bahkan mengingatkan mereka tentang kenikmatan ukhrawi yang tiada taranya.Demikian, Maha Benar Allah dalam segala firmannya.Wa Allaah A’lam.

Sources:
- Al Qur’an dan Tafsirnya: Jilid X Juz 28-29-30. Naskah asli Milik Departemen Agama Republik Indonesia dengan perbaikan. Cetak Ulang oleh Universitas Islam Indonesia (1995). Penulis: Tim Tashih Departemen Agama & Universitas Islam Indonesia. Pelaksana cetak Ulang: PT Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, Indonesia. Hlm 795.
- M. Quraish Shihab. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Volume 15. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hlm 490-492

Keterangan:
Abu Nizhan, 2011. Al-Qur’an Tematis: Panduan Praktis Memahami Ayat-Ayat Al-Qur’an. Penerbit Mizan, Bandung, Indonesia. Hlm 236. Hal-hal yang Ditanyakan Ketika Dihisab:
Perihal Kekafiran dan Kemusyrikan, Apa saja yang dikerjakan di dunia (QS 15: 92-93), Nikmat yang telah diberikan, Ditanya tentang Panca Indera

No comments: