Sunday, June 15, 2014

PASCA: Maqashid Syariah: Rangkuman materi UAS



1. maksud maqasid syariah dan sejarah ringkas perkembangan ilmu ini dari masa ke masa.

PENGERTIAN

Maqashid syariah = tujuan Allah dalam menentukan syariat.
Maqashid syariah dalam muamalat adalah tujuan dari disyariatkannya suatu hukum muamalat, dalam menetapkan kaidah2 muamalat. Tujuan utama Allah mengharamkan riba yaitu untuk menghilangkan kezaliman. Maka jika ada kegiatan selain riba tetapi menimbulkan kezaliman maka bisa diharamkan juga. Contoh ayat pembagian waris, setelah dijelaskan pembagiannya kemudian dijelaskan tujuannya dalam menetapkan hukum2 syariah terutama dalam muamalat. Diperintahkannya sesuatu pasti ada tujuan.
Tujuan atau hikmah dari Allah menetapkan suatu hukum muamalah, tujuan Allah ditemukan dari dalil, bukan dari logika manusia. Hal ini karena yang menetapkan syariat adalah Allah dan Allah lah yang mengetahui tujuanNya menurunkan suatu hukum. Seperti halnya tujuan seseorang melakukan sesuatu hanya orang tersebutlah yang mengetahui yang sebenarnya, sedangkan orang lain hanya dapat menduga atau mengira2 dan tidak dapat mengetahui yang pasti tanpa dijelaskan oleh orang tersebut, seperti dalil dalam menentukan tujuan hukum syariah muamalat dari ayat Quran maupun hadits.
Allah memiliki tujuan dalam menciptakan manusia untuk beribadah kepadaNya, tetapi tujuan ini tidak tercapai karena tidak semua manusia beribadah, ada hikmah dibalik kenyataan ini. Tujuan tidak selalu tercapai.
Perintah terdiri dari yang sifatnya kauniy dan syar’iy yaitu kauniy perintah Allah yang pasti terjadi seperti “kun fayakun” sedangkan yang bersifat syar’iy tidak selalu tercapai.
Contoh tujuan diperintahkan ibadah adalah agar manusia tidak kesusahan (menderita).
Tujuan yang ditetapkan Allah berbeda dengan tujuan yang dimaksudkan manusia, seperti halnya Allah mendengar dan manusia mendengar tetapi keduanya tidak sama.

Maqashid, Hikmah, ‘Illat
Antara hikmah dengan maqashid tidak ada bedanya, maqashid dengan hikmah sama.
‘Illat dengan maqashid ada perbedaannya.
Contoh: dalam perjalanan boleh mengqadha shalat dan mempersingkatnya menjadi 2 rakaat dengan tujuan untuk memberi keringanan, tetapi tidak dihilangkan sama sekali karena jika dihilangkan sama sekali akan memberatkan bagi jiwanya.
‘Illat kalau ada, maka ada hukum, jika tidak ada ‘illat maka tidak ada hukum. Contoh hukum potong tangan jika mencuri, illatnya adalah mencuri maka jika ada illatnya ada hukumnya dan jika tidak ada illatnya maka tidak ada hukumnya. Sedangkan hikmah tidak selalu ada dalam penetapan hukum. Contoh adanya hikmah pelarangan riba tetapi ada riba yang tidak zalim pada saat tertentu yaitu meminjam untuk modal bagi peminjam menguntungkan karena mendapat modal sedangkan bagi yang meminjamkan menguntungkan karena mendapat kelebihan.
‘Illat adalah sebab Allah mensyariatkan hukum, persyaratan suatu hukum.

Tidak semua syariat tujuannya dijelaskan oleh Allah.
Sehingga adanya ta’abbudi (sami’na wa atha’na) yaitu berserah pada Allah karena tidak semua syariat dapat dilogikakan atau tidak dapat dinalar.

Fungsi mempelajari maqashid syariah, terutama dalam hal muamalat: yaitu sebagai bagian dari ushul fiqh yaitu bab qiyas dan masalih mursalah.
Tujuan syariat, tujuan Allah menetapkan hukum2nya: bagaimana mengetahui tujuan suatu hukum.

Pengertian tentang maqashid syariah sebagai sebuah disiplin ilmu belum pernah dijelaskan oleh ulama-ulama sebelumnya. Bahkan imam Syatibi yang telah membahas panjang lebar tentang maqashid syariah pun tidak menjelaskan apa itu yang disebut dengan maqashid syariah.
Ada dua cara yang bisa digunakan untuk mengetahui makna maqashid syariah. Yang pertama dari sisi unsur bangunannya (ma’na idlafiy), yang kedua dari sisi kedudukannya yang telah menjadi sebuah disiplin ilmu (ma’na maqashid syariah ‘alaman wa laqaban) .
1. Makna Idlafiy Maqashid Syariah
Maqashid Syariah terdiri dari dua kata; maqashid dan syariah. Secara etimologi, maqashid berasal dari akar kata qasada yang artinya menuju, bermaksud, atau seimbang. Sementara syariah dalam bahasa menunjuk pada jalan yang jelas menuju sumber air, atau sumber airnya sendiri, atau agama .

Dua kata ini jika digabung maka bisa menghasilkan makna maksud agama, atau hal-hal yang menjadi maksud dan tujuan dalam agama.
2. Makna Maqashid Syariah ‘Alaman atau Laqaban
Boleh jadi sebagai sebab tidak adanya ulama-ulama sebelum ini yang menjelaskan makna maqashid syariah secara gamblang adalah karena maqashid syariah belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri. Atau ia memang tidak perlu dijelaskan karena sudah jelas maknanya bagi kalangan tertentu seperti yang diungkapkan oleh Syatibi.

Imam al Ghazali ketika membahas tentang maqashid menyinggung; “wa maqshudu al syar’i min al khalqi khamsatun wa hiya an yahfadha lahum dinahum wa nafsahum, wa ‘aqlahum wa naslahum wa malahum”, tujuan Allah SWT dalam syariatnya bagi makhluk adalah untuk menjaga agama mereka, jiwa mereka, akal, keturunan, dan harta mereka. Apa yang disampaikan al Ghazali ini memang tidak sejelas apa yang disampaikan ulama-ulama ketika ilmu maqashid syariah sudah mulai berjalan ke arah menjadi disiplin ilmu yang independen.
Dalam kitabnya Maqashid al Syariah al Islamiyah, Ibnu ‘Asyur mengatakan: maqashid umum syariah adalah makna-makna dan hikmah-hikmah yang dicatatkan/diperlihatkan oleh Allah SWT dalam semua atau sebagian besar syariatnya, juga masuk dalam wilayah ini sifat-sifat syariah atau tujuan umumnya.
Sementara ‘Allal al Fasi mendifinisikan maqashid syariah adalah tujuan syariah dan rahasia yang diletakkan oleh Allah SWT pada setiap hukum-hukumnya . Dan al Raisuni menyatakan bahwa maqashid syariah adalah tujuan-tujuan yang diletakkan oleh syariah untuk diwujudkan demi kemaslahatan hamba.
a. Sejarah Perkembangan Maqashid Syariah
Seperti halnya tabiat perkembangan ilmu-ilmu lain yang melewati beberapa fase mulai dari pembentukan hingga mencapai kematangannya, ilmu Maqashid Syariah pun tidak lepas dari sunnah ini. Ia tidak lahir secara tiba-tiba di dunia dan menjadi sebuah ilmu seperti saat ini, tetapi ia juga melewati fase-fase seperti di atas.
Untuk lebih memudahkan dalam melihat fase perkembangan ini, maka ada dua fase dalam perkembangan ini: fase pra kodifikasi, dan fase kodifikasi.
1. Fase Pra Kodifikasi
Maqashid syariah sebenarnya sudah ada sejak nash al Qur’an diturunkan dan hadits disabdakan oleh Nabi. Karena maqashid syariah pada dasarnya tidak pernah meninggalkan nash, tapi ia selalu menyertainya. Seperti yang tercermin dalam ayat “wa ma arsalnaka illa rahmatan lil’alamin”, bahwa Allah SWT menurunkan syariatNya tidak lain adalah untuk kemaslahatan makhlukNya.

Oleh karena itu, setelah Nabi saw. wafat dan wahyu terputus, sementara persoalan hidup terus berkembang, dan masalah-masalah baru yang tidak pernah terjadi pada masa Nabi menuntut penyelesaian hukum, maka para sahabat mencoba mencari sandarannya pada ayat-ayat al Qur’an maupun hadits.
Jika mereka tidak menemukan nash yang sesuai dengan masalah tadi pada al Qur’an maupun hadits, maka mereka akan berijtihad mencari hikmah-hikmah dan alasan dibalik ayat maupun hadits yang menerangkan tentang suatu hukum, jika mereka menemukannya maka mereka akan menggunakan alasan dan hikmah tersebut untuk menghukumi persolan baru tadi.
Pada umumnya, para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam menghukumi suatu persoalan baru yang muncul, karena mereka sehari-hari telah bergaul dengan Rasulullah saw. Mereka mengetahui peristiwa-peristiwa yang menjadi sebab diturunkannya sebuah ayat, mereka melihat bagaimana Nabi saw. menjalankan sesuatu atau meninggalkannya dalam situasi dan kondisi yang berlainan.
Mereka mengerti alasan kenapa Nabi saw. lebih mengutamakan sesuatu dari pada yang lain dan seterusnya, yang hal ini semua pada akhirnya mengkristal dan melekat dalam diri mereka hingga kemudian membentuk rasa dan mempertajam intuisi serta cara berpikir mereka seuai dengan maqashid syariah.
Diantara peristiwa-peristiwa baru yang muncul ketika masa sahabat dan tidak terjadi pada saat Nabi saw masih hidup antara lain; sebuah kisah tentang sahabat Umar ra. yang mendengar bahwa sahabat Hudzaifah telah menikah dengan seorang perempuan yahudi, kemudian sahabat Umar ra meminta sahabat Hudzaifah untuk menceraikannya.
Karena sahabat Hudzaifah mengetahui bahwa pernikahan dengan ahli kitab diperbolehkan, maka iapun bertanya kepada sahabat Umar ra, a haramun hiya? (apakah perempuan itu haram bagi saya?). Sahabat Umar ra. kemudian menjawab: tidak. Tapi saya kuatir ketika sahabat-sahabat lain melihat kamu menikahi perempuan yahudi tersebut, mereka akan mengikutimu, karena pada umumya perempuan-perempuan yahudi lebih cantik parasnya, maka hal ini bisa menjadi fitnah bagi perempuan-perempuan muslim, serta menyebabkan munculnya free sex dan pergaulan bebas dalam masyarakat karena banyaknya perempuan muslim yang tidak laku.
Contoh lain; kesepakatan para sahabat untuk melarang Abu Bakar ra bekerja dan berdagang untuk mencari nafkah bagi keluarganya ketika ia menjabat sebagai khalifah. Mereka bersepakat untuk mencukupi kebutuhan hidup Khalifah serta keluarganya dari uang negara, demi kemaslahatan rakyat sehingga ia tidak sibuk memikirkan urusannya sendiri dan menterlantarkan kepentingan rakyatnya.
Contoh lain lagi, suatu waktu, Umar ra menjumpai orang yang menjual dagangannya di pasar dengan harga yang jauh lebih rendah dari harga umum. Maka ia kemudian mengancam orang tersebut dengan mengatakan; terserah kamu mau memilih, apakah barang daganganmu kamu naikkan seperti harga umum di pasar ini, atau kamu pergi membawa barang daganganmu dari pasar ini . Hal ini dilakukan Umar ra karena untuk menjaga stabilitas harga dan kemaslahatan umum.
Dan masih banyak lagi contoh lain seperti pembukuan al Qur’an, pembuatan mata uang dan sebagainya, yang mencerminkan kelekatan para sahabat dengan maqashid syariah.
Begitu pula ketika masa tabi’in, mereka bergerak dan melangkah pada jalan yang telah dilalui oleh guru-gurunya yaitu para sahabat. Sehingga corak yang terlihat dalam penggunaan maqashid syariah untuk menyelesaikan masalah-masalah baru pada masa ini masih sama dengan masa sebelumnya.

Misalnya tentang masalah tas’ir (penetapan harga untuk menjadi patokan umum) ketika harga kebutuhan-kebutuhan naik. Rasulullah saw. sendiri enggan menetapkan harga meskipun waktu itu harga-harga naik, dengan memberi isyarat bahwa tas’ir mengandung unsur tidak rela dan pemaksaan terhadap orang untuk menjual harganya.
Namun, Sa’id bin al Musayyab, Rabi’ah bin Abdul Rahman dan lain-lain mengeluarkan fatwa boleh tas’ir dengan alasan kemaslahatan umum, serta menjelaskan alasan keengganan Rasul untuk tas’ir adalah tidak adanya tuntutan yang medesak waktu itu, karena naiknya harga-harga di masa Nabi lebih dipicu oleh perubahan kondisi alam, yaitu kemarau panjang yang terjadi waktu itu. Sementara pada masa tabi’in, kenaikan harga dipicu oleh merebaknya penimbunan barang, kerakusan para pedagang, serta melemahnya kecenderungan beragama, sehingga hal ini menuntut penetapan harga umum untuk menjaga keseimbangan dan menghindari praktek penimbunan.
Masih banyak contoh yang lain yang dilakukan oleh para tabiin. Sayangnya, pemahaman yang dimiliki para tabi’in dalam menggunakan maqashid syariah tidak dibarengi dengan kesadaran mereka untuk membukukan ilmu ini sehingga menjadi khazanah umat berikutnya agar mudah dipelajari.
2. Fase Kodifikasi
Menurut al Raisuni; barangkali orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al Hakim al Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqasiduha.

Tapi jika kita menelusuri karangan-karangan yang sudah memuat tentang maqashid syari’ah, maka kita akan menemukannya jauh sebelum al Tirmidzi. Karena Imam Malik (w. 179 H) dalam Muwattha’nya sudah menuliskan riwayat yang menunjuk pada kasus penggunaan maqashid pada masa sahabat.
Kemudian setelah, itu diikuti oleh Imam Syafi’i (w. 204 H) dalam karyanya yang sangat populer al Risalah, dimana ia telah menyinggung pembahasan mengenai ta’lil ahkam (pencarian alasan pada sebuah hukum), sebagian maqashid kulliyyah seperti hifzhu al nafs dan hifzhu al mal, yang merupakan cikal bakal bagi tema-tema ilmu maqashid.
Setelah Imam Syafi’i, muncul al Hakim al Tirmidzi, disusul Abu Bakar Muhammad al Qaffal al Kabir (w. 365H) dalam kitabnya Mahasinu al Syariah, yang mencoba membahas alasan-alasan dan hikmah hukum supaya lebih mudah dipahami dan diterima oleh manusia. Kemudian datang setelahnya al Syaikh al Shaduq (w. 381H) dengan kitabnya Ilalu al Syarai’ wa al Ahkam, yang mengumpulkan riwayat-riwayat tentang ta’lilu al ahkam dari ulama-ulama Syiah, dan al ‘Amiri (w. 381H) dalam kitabnya al I’lam bi Manaqibi al Islam, meskipun kitab ini membahas tentang perbandingan agama, namun ia menyinggung tentang Dlaruriyyat al Khams (lima hal pokok yang dijaga dalam agama, yaitu; menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta) yang merupakan tema pokok dalam ilmu maqashid syariah.
Setelah itu datang Imam Haramain (w. 478H) dalam kitabnya al Burhan yang menyinggung tentang dlaruriyyat, tahsiniyat dan hajiyat, yang juga menjadi tema pokok dalam Ilmu Maqashid. Kemudian datang Imam Ghazali (w. 505H) yang membahas beberapa metode untuk mengetahui maqashid, dan menawarkan cara untuk menjaga maqashid syariah dari dua sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya) dan al ‘adam ( menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya).
Kemudian imam al Razi (w. 606H), lalu imam al Amidi (w. 631H), dan ‘Izzuddin bin ‘Abd al Salam (w. 660H), kemudian al Qarafi (w. 684H), al Thufi (w. 716H), Ibnu al Taimiyyah (w. 728H), Ibnu al Qayyim al Jauziyyah (w. 751H), baru setelah itu disusul oleh imam al Syatibi.
Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa dalam ilmu maqashid syariah, imam Syatibi melanjutkan apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya. Namun apa yang dilakukan oleh imam Syatibi bisa menarik perhatian banyak pihak karena ia mengumpulkan persoalan-persoalan yang tercecer dan dibahas sepotong-sepotong oleh orang-orang sebelumnya menjadi sebuah pembahasan tersendiri dalam kitabnya al Muwafaqat dimana ia mengkhususkan pembahasan mengenai maqashid ini satu juz (yaitu juz dua) dari empat juz isi kitabnya.

Ia juga mengembangkan dan memperluas apa yang telah dibahas oleh ulama-ulama sebelumnya mengenai maqashid ini, juga menyusunnya secara urut dan sistematis seperti sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri, sehingga lebih mudah untuk dipelajari.
Hal inilah yang menjadi kontribusi signifikan imam Syatibi dalam ilmu maqashid syariah, sehingga amal yang dilakukannya menyadarkan banyak pihak tentang pentingnya maqashid ini, serta memberi inspirasi banyak orang untuk membahas maqashid syariah ini lebih jauh, hingga Ibnu ‘Asyur (w. 1393H) pada akhirnya mempromosikan maqashid syariah ini sebagai sebuah disiplin ilmu yang berdiri sendiri.

2. Maqasid Syariah tidak ditetapkan begitu saja dengan menggunakan logika. Akan tetapi ada metoda yang digunakan oleh para ulama ilmu ushul fiqh. Metoda yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan sebuah maqasid:

CARA MENGETAHUI MAQASHID

Mengetahui Maqashid / hikmah dari Nash: adanya kata2 yang menunjukkan alasan
1. kata min ajli = karena itu. Contoh QS AlMaidah: 32 “Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel…”
2. kata kai = supaya. Contoh QS Al Hasyr: 7 “…supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”
3. kata idzan = kalau begitu. Contoh hadits “falaa idzan” tentang riba bai’ yaitu nabi ditanya tentang menukar kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda ‘apakah kurma basah itu akan berkurang apabila kering?’ Mereka menjawab ‘iya’. Beliau bersabda ‘kalau begitu maka tidak boleh’. Tidak boleh karena hikmahnya kurma basah dengan kurma kering berbeda ukuran tetapi jenisnya sama maka tidak boleh ditukarkan, jika basah dengan basah ditukar juga tidak boleh karena belum tentu ukurannya sama ketika kering. Disini tidak dibolehkan karena ukurannya akan menjadi berbeda.
4. kata inna = anna = sesungguhnya. Contoh atsar Abdullah bin Rawahah: wahai umat yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci, akan tetapi kebencianku tidak akan mengantarkanku untuk menzalimi kalian. Adapun harta yang kalian tawarkan adalah risywah, harta haram dan kami tidak memakan harta haram. Penjelasan: dikatakan kepada yahudi ketika akan memberikan sogokan pada beliau untuk mengurangi pajak yang ditarik. Karena yahudi khawatir beliau lebih benci pada mereka maka akan dinaikkan pajaknya. Alasan tidak mengambil harta tersebut adalah karena harta tersebut harta haram.
5. kata ba’ yang menunjukkan alasan, tidak semua ba’ yang menunjukkan alasan tetapi dilihat konteksnya yang menunjukkan alasan saja. Contoh QS An Nisa: 160-161. Allah mengharamkan makanan yang dulunya halal dikarenakan kaum yahudi melakukan hal2 seperti yang disebutkan dalam ayat tsb.
6. kata “li” yang berarti untuk atau karena. Contoh QS 51: 56 wamaa khalaqtuljinna wal insa illa liya’buduuni li = untuk.
7. kata hatta = hingga, sampai. Contoh hadits Nabi melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya hingga ia menerimanya. Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas kenapa dilarang, menjawab karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan. Hal ini tidak dibolehkan karena termasuk riba fadhl jika menjual barang yang belum ada maka sama dengan menukarkan uang dengan uang dengan nilai yang tidak sama.
8. kata la’alla = semoga = agar. Contoh: yaa ayyuhalladziina aamanu…la’allakum tattaquun. Contoh QS Ali Imran: 130 “la’allakum tuflihuun” agar beruntung. Kata2 la’alla yang menunjukkan arti tujuan.
9. menyebutkan persyaratan dalam konteks kalimat conditional: bila … maka / niscaya … yaitu ada kata idza = bila, seandainya, dll. Contoh hadits Allah mengharamkan bai’ inah yaitu untuk menghindarkan dari kehinaan.
10.

Cara-cara  untuk mengetahui maqashid syariah:
I.Nash (kata yang menunjukkan alasan), seperti: 
1.      Kata : (مِنْ أَجْلِ): berarti: karena itu. Dalam contoh firman Allah
{مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا } [المائدة: 32]
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya".
2.      Kata: (كَيْ) berarti: supaya. Dalam contoh firman Allah
{مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ } [الحشر: 7]
"Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu"
3.      Kata: (إِذَنْ)  berarti: kalau begitu. Dalam contoh sabda Nabi:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسْأَلُ عَنِ الرُّطَبِ بِالتَّمْرِ، فَقَالَ: «يَنْقُصُ إِذَا يَبِسَ» قَالُوا: نَعَمْ، قَالَ: فَلا إِذَنْ
Nabi ditanya tentang menukar kurma basah dengan kurma kering, beliau bersabda, "Apakah kurma basah itu akan berkurang apabila kering? Mereka menjawab, Iya. Beliau bersabda,"Kalau begitu maka tidak boleh".
4.      Kata (إنّ) berarti:  sesungguhnya, dalam contoh Atsar Abdullah bin Rawahah.
Setelah Abdullah bin Rawahah sampai di Khaibar, para Yahudi mengumpulkan perhiasan, lalu mereka menyerahkan perhiasan tersebut kepada Abdullah seraya berkata, "Ini untukmu dan mohon kurangi pajak kami".
Abdullah bin Rawahah berkata,
ياَ مَعْشَرَ يَهُودَ، وَاللهِ إِنَّكُمْ لَمِنْ أَبْغَضِ خَلْقِ اللهِ إِلَيَّ وَمَا ذَاكَ بِحَامِلِيَّ عَلَى أَنْ أَحِيفَ عَلَيْكُمْ فَأَمَّا مَا عَرَّضْتُمْ مِنَ الرِّشْوَةِ فَإِنَّهَا سُحْتٌ وَإِنَّا لاَ نَأْكُلُهَا
"wahai umat yahudi, demi Allah, sesungguhnya kalian adalah makhluk Allah yang paling aku benci, akan tetapi kebencianku tidak akan mengantarkanku untuk menzalimi kalian (dengan menaikkan taksiran pajak melebehi ketentuan syariat)! Adapun harta yang kalian tawarkan adalah risywah, harta haram dan kami tidak memakan harta haram".
5.      Kata (باء) berarti: dengan sebab itu. Dalam contoh firman Allah.
{فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ} [النساء: 160، 161]
"Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil".
6.      Kata (لِ) berarti: untuk, karena. Dalam contoh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam bahwa beliau menawar unta milik shahabatnya Jabir radhiyallahu anhu dengan murah. Lalu Jabir menjualnya dengan syarat dia masih dibolehkan menungganginya sampai tiba di Madinah. Sesampainya di Madinah Nabi membayar lunas dan mengembalikan untanya (hibah) seraya bersabda,
«أَتُرَانِي مَاكَسْتُكَ لِآخُذَ جَمَلَكَ، خُذْ جَمَلَكَ، وَدَرَاهِمَكَ فَهُوَ لَكَ»
Apakah engkau mengira aku menawar untamu untuk memilikinya. Ambillah unta dan uangnya mmenjadi milikmu! (HR. Muslim).
7.      Kata (حَتَّى) yang berarti: hingga, sampai. Dalam contoh sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam
أَنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ «نَهَى أَنْ يَبِيعَ الرَّجُلُ طَعَامًا حَتَّى يَسْتَوْفِيَهُ» قُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ: كَيْفَ ذَاكَ؟ قَالَ: ذَاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, "Melarang seseorang menjual bahan makanan yang telah dibelinya hingga ia menerimanya". Seseorang bertanya kepada Ibnu Abbas, "Kenapa dilarang? Ibnu Abbas menjawab, "Karena dirham ditukar dengan dirham sedangkan bahan makanan ditangguhkan". (HR. Bukhari).
8.      Kata (لعلَّ) yang berarti semoga, dalam contoh firman Allah:
{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ} [آل عمران: 130]
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan".
9.      Menyebutkan persyaratan dalam konteks kalimat (conditional), seperti sabda Nabi.
«إِذَا تَبَايَعْتُمْ بِالْعِينَةِ، وَأَخَذْتُمْ أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَرَضِيتُمْ بِالزَّرْعِ، وَتَرَكْتُمُ الْجِهَادَ، سَلَّطَ الله عَلَيْكُمْ ذُلًّا لَا يَنْزِعُهُ حَتَّى تَرْجِعُوا إِلَى دِينِكُمْ»
"Bila kalian melakukan transaksi ribawi, tunduk dengan harta kekayaan (hewan ternak), mengagungkan tanaman dan meninggalkan jihad niscaya Allah timpakan kepada kalian kehinaan yang tidak akan dijauhkan dari kalian hingga kalian kembali kepada syariat Allah (dalam seluruh aspek kehidupan kalian)". (HR. Abu Daud, dishahihkan oleh Al-Albani).
10.  Kata (      (فاءyang berarti: maka.
Seperti para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan transaksi jual-beli buah kurma di pohon sebelum layak di panen. Saat buah akan dipanen dan pembeli ingin menyerahkan uang, sering terjadi panen gagal terkena hama, sehingga buahnya tidak layak dijual. Tidak jarang terjadi sengketa; pembeli tidak mau membayar uang dan penjual mendesak pembeli menyerahkan uangnya berdasarkan transaksi yang telah dilakukan sebelumnya. Karena banyaknya sengketa maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
«فَإِمَّا لاَ، فَلاَ تَتَبَايَعُوا حَتَّى يَبْدُوَ صَلاَحُ الثَّمَرِ»
"Jika kalian tidak meninggalkan jual-beli buah di pohonnya, maka janganlah menjualnya sebelum buah cukup tua". (HR. Bukhari).
11.  Hukum yang dijelaskan Nabi setelah terjadinya sebuah kasus, seperti
Sa'ad bin Abi Waqqash radhiyallahu 'anhu meriwayatkan bahwa para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang memiliki tanah pertanian menyewakan tanahnya kepada para penggarap dengan imbalan hasil panen tanaman yang berada dekat  aliran air. Hal ini sering menimbulkan sengketa karena hasil panen yang di dekat aliran air tentu lebih bagus. Lalu mereka menemui Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminta keputusan tentang persengketaan tersebut. Maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang menyewakan tanah dengan cara tersebut seraya bersabda,
«أَكْرُوا بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ»
"Sewakanlah tanah dengan imbalan (uang) emas atau (uang) perak! (HR. Ahmad dan Nasa'i. Derajat hadis ini dinyatakan hasan oleh Al-Albani).
12.  Jawaban dari pertanyaan yang diajukan. Seperti dalam firman Allah.
{يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا} [البقرة: 219]
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya".

3. Sering didengar orang yang berdalil dengan maqashid dalam muamalat kontemporer. Apakah maqashid dapat digunakan sebagai dalil? Berikut penjelasannya:

Setelah mengetahui maqasid adalah untuk mengetahui hikmahnya, kemudian tujuannya adalah menggunakannya untuk mengambil keputusan untuk kasus2 yang tidak ada dalam nash, sebagai bentuk lain dari qiyas.
Fungsi yang paling utama mengetahui maqasid: apakah dapat digunakan untuk menetapkan kasus2 yang lain: penggunaan maqasid sebagai dalil.
Maqashid syariah adalah maslahah yaitu tujuan diturunkannya syariat adalah untuk kebaikan.
Contoh penelitian2 tentang dampak kesehatan dari berwudhu, sujud, dari syariah penyembelihan. Contoh di ekonomi adalah adanya inflasi yang disebabkan oleh riba / sistem bunga.

Langkah pertama adalah mencari maqasidnya dulu, lalu diputuskan apakah dapat diterapkan pada kasus lain atau tidak. Bila maqashid telah didapatkan dari mengumpulkan nusyuz2 syar’i yang berupa dalil, maka maksud tersebut adalah dalil. Contoh: riba diharamkan, hikmahnya agar tidak menganiaya dan tidak dianiaya (kezaliman) dari nash Al Baqarah ayat 279. Bila ditemukan muamalat lain yang ada unsur kezalimannya maka tidak boleh juga.
Kemudian ada kasus adanya riba yang tidak ada unsur kezhaliman karena nilainya disamakan dengan nilai tanah pada saat meminjam dan dikembalikan sesuai dengan nilai tanah pada saat mengembalikan, hal ini tidak menzalimi bagi yang meminjamkan dana.
Oleh karena itu sebagian ulama membolehkan mengambil kelebihan pada pinjaman yang timbul dikarenakan inflasi lebih dari 70%. Hal ini berdasarkan hadits dari ukuran sepertiga. Jika inflasi dibawah 30% maka tidak dibayar lebih. Jika inflasi antara 30-70% ada perbedaan pendapat antara tidak dibayar lebih, atau dibayar sesuai inflasi, atau kekurangannya dibagi dua antara peminjam dengan yang meminjam.
Jika diatas 70% dibolehkan karena jika tidak disesuaikan maka akan menzalimi yang mempunyai uang.

Maqashid syariah dapat dijadikan dalil apabila (Bagaimana maqashid syariah dapat dijadikan dalil)
1. Bila maqashid diambil dari dalil Quran dan hadits. Contoh: membolehkan riba pada saat inflasi lebih dari 70% dari nash laa tazhlimuuna wa laa tuzhlamuun.
2. Bila maqashid diambil dari ijma’ seperti: dalam muamalah harus ada keadilan / maqashid untuk muamalah adalah adanya keadilan, atau terealisasinya keadilan dalam akad muamalat. Bila tidak ada keadilan maka muamalat itu tidak dibolehkan. IMBT tidak dibolehkan oleh OKI, tetapi yang dibolehkan adalah IMBT tetapi saat masih dalam masa sewa maka penyewa tidak menanggung risiko kecuali yang disebabkan kelalaian penyewa, juga ketika tidak mampu membayar cicilan ketika hampir habis masa sewa maka rumah diambil padahal harga sewa lebih mahal dari harga pasar maka penyewa juga dizalimi.
3. Bila maqashid diambil dari masalik illat. Illat merupakan metode qiyas, maka maksud yang diambil dari metode illat bisa dijadikan dalil karena qiyas merupakan dalil.
4. Diantara cara mengetahui maqashid adalah dari masalih mursalah: jangan jatuhkan diri dalam kehancuran. Jika tidak ada itu maka menjadi kehancuran, maka harus dilakukan hal tersebut agar tidak terjadi kehancuran.

Tingkatan maqashid syariah:
1. Darurat / maqashid: dapat menghilangkan satu atau lebih dari hal yang 5.
Contoh kasus: jika sakit hingga dapat hilang nyawa dan yang ada hanya pinjaman riba maka boleh diambil karena darurat diambil dari dalil “jangan jatuhkan diri dalam kebinasaan”.
Yang dimaksud dengan kondisi darurat adalah jika kondisinya dapat menghilangkan nyawa dan tidak ada alternatif lain.
2. Al haajah / maslahat yaitu kebutuhan.
Bedanya darurat dengan haajah, haajah bila tidak dilakukan maka tidak ada yang hilang dari kelima hal tersebut tetapi akan memberatkan / menyulitkan. Haajah ini tidak dapat menghalalkan riba. Contoh bila haajahnya adalah jika tidak berobat tidak akan menghilangkan nyawa tetapi hanya sakit saja maka tidak menjadi boleh mengambil pinjaman dengan riba. Contoh lain adalah bila tidak punya rumah dan menyulitkan tetapi hanya ada kpr dengan riba maka tidak boleh.
Adanya haajah dapat membolehkan beberapa akad seperti: akad salam (uang tunai didepan, barang belakangan) dimana barang belum dimiliki oleh penjual yang pada dasarnya tidak dibolehkan tetapi karena ada kebutuhan maka dibolehkan. Contoh lain yang menjadi boleh adalah ijarah, qiradh atau akad mudharabah mengandung gharar besar tetapi dibolehkan karena ada haajah. Haajah hanya dapat membolehkan gharar dan tidak dapat membolehkan riba kecuali riba jual beli yaitu jual beli muzabanah menukarkan kurma kering dengan kurma basah, contohnya yang boleh yaitu orang miskin yang ingin makan kurma basah dan menukarkan dengan kurma kering yang dimilikinya. Haajah membolehkan yang haram bukan karena zatnya seperti ketidakbolehan wanita keluar tanpa mahram tetapi bila ada haajah maka jadi boleh.
3. Tahsiniyah: tidak membolehkan yang haram.

Petunjuk Tujuan-tujuan syariah
Pada Transaksi Kontemporer

Seringkali kita dapati ulama’ kontemporer menggunakan maqashid syariah sebagai dalil atas perkara-perkara yang turun pada transaksi kontemporer
Maka apa status kebenaran menggunakan dalil dengannya, karenanya telah didengar bahwa maqashid adalah termasuk dalil, tidak disepakati secara umum dan tidak pula diperselisihkan
Berkata Guru kita Asy-Syatsari: “hal ini dimungkinkan untuk menjawab permasalahan tersebut diantara metode mengetahui maqashid”

Kita katakan sesungguhnya metode mengetahui maqashid bisa dengan mengkaji nash-nash syariah, dan nash-nash syariah adalah dalil, maka disini kita hukumi bahwa maqashid syariah adalah dalil.
Contohnya : Maqshad dari pengharaman riba adalah adanya kedzoliman karena firman Allah Ta’ala : “Wahai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah apa yang tersisa dari riba apabila kalian beriman (287) Apabila kalian tidak melakukannya maka bersiaplah untuk mendapatkan peperangan dari Allah dan rasul-Nya dan apabila kalian taubat maka bagi kalian pokok harta kalian (agar) kalian tidak dizolimi dan tidak mendzolimi”

Kita berangkat dari sini akan kebolehan mengambil kelebihan pada pinjaman yang timbul dikarenakan inflasi hingga harga mata uang mencapai lebih dari 70% untuk menghilangkan kedzoliman dari orang yang meminjamkan
Diperbolehkan mengambil tambahan apabila terjadi inflasi yg menyebabkan turunnya nilai mata uang hingga > 70%.

Dan juga diketahui maqashid diantaranya dari ijma’. Dan ijma’ merupakan dalil dari dalil yang disyariatkan.
Sebagaimana maqshad keadilan dalam mu’amalat.
Dari sini, dapat kita hukumi akad Ijarah Muntahiyah Bit Tamlik (IMBT) dengan keharaman, padanya terdapat ketidakadilan, dikarenakan didzolimi penyewa pada kebanyakan kondisi.
Mencari daluil maqhasid dng cara ijma’. Cthnya keadilan dlm bermuamalah. Seperti IMBT yg dilarang mujtahid. Menimbulkan kezaliman bg penyewa.

Terkadang diketahui juga maqashid dari masalik illat, dan ia termasuk metode qiyas. Dan qiyas adalah dalil.
Mencari maqhasif dari illah / qiyas.

Dan diantara metode mengetahui maqashid adalah diamnya syariat atas satu hukum dengan adanya kebutuhan dan pencegahan akan pelanggaran.
Dan ini termasuk maslahat mursalah, dan ini adalah dalil diantara dalil-dalil syariah.


4. Seseorang yang membaca hadis-hadis Nabi dari kitab-kitab hadis muktabar dalam bab Muamalat dan menguasai metoda penetapan maqashid syariah akan menemukan maqashid yang begitu luas. Berikut 3 maqashid syar'i dari hadis beserta metoda penetapannya dari kitab hadits Shahih Bukhari.


2. Hadits Bukhari no 2212
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul 'Aziz bin 'Abdullah Al Uwaisiy telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Bilal dari Tsaur bin Zaid dari Abu Al Ghaits dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang mengambil harta manusia (berhutang) disertai maksud akan membayarnya maka Allah akan membayarkannya untuknya, sebaliknya siapa yang mengambilnya dengan maksud merusaknya (merugikannya) maka Allah akan merusak orang itu".

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dari adanya kalimat persyaratan (conditional) untuk tindakan berhutang.

Persyaratannya adalah apakah disertai dengan niat untuk mengembalikannya, jika kondisi tersebut dipenuhi maka akan dimudahkan jalannya sedangkan jika tidak maka akan menjadi kerugian bagi yang berhutang tersebut. Maksud dari hukum keharusan adanya niat untuk mengembalikan hutang adalah bahwa akan selalu ada jalan bagi orang yang memiliki niat mengembalikan hutang dan akan menjadi lebih sulit bila niat itu memang tidak ada dari awal.

5. Hadits Bukhari no 2216
Telah menceritakan kepada kami Muslim telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Abdul Malik dari Rib'iy dari Hudzaifah radliallahu 'anhu berkata, aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Ada seorang yang mati lalu ia ditanya, dan menjawab; Aku pernah berjual beli dengan banyak orang, aku menagih orang-orang yang dalam kelonggaran saja, dan meringankan siapa yang sedang kesulitan". Maka orang itu diampuni dosanya". Berkata, Abu Mas'ud aku mendengar dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dengan dua cara yaitu adanya kata fa dalam kalimat fa ghufira lahu dan adanya jawaban atas pertanyaan atau hukum yang dijelaskan setelah terjadinya sebuah kasus.
Kata-kata lain yang menjadi tanda-tanda maqashid syariah ada beberapa ditemukan dalam hadits ini seperti li tetapi tidak menunjukkan tujuan melainkan hanya bagian dari cerita.

Maksud dari hadits ini adalah jika memiliki piutang pada orang yang tidak mampu maka sebaiknya diputihkan saja yaitu diikhlaskan untuk tidak dikembalikan dan tidak ditagih kepada orang tersebut adapun jika orang yang berhutang adalah seseorang yang mampu maka boleh ditagih kepadanya. Perilaku memutihkan hutang orang yang tidak mampu dianggap baik dan disukai oleh Rasulullah oleh karena itu beliau mengatakan bahwa dosanya dapat diampuni dikarenakan orang tersebut melakukan perbuatan baik tersebut.

17. Hadits Bukhari no 2230
Telah menceritakan kepada kami Abu Nu'aim telah menceritakan kepada kami Sufyan dari 'Abdullah bin Dinar berkata, aku mendengar 'Abdullah bin 'Umar radliallahu 'anhuma berkata; Ada seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Aku tertipu dalam berjual beli". Maka Beliau bersabda: "Jika kamu berjual beli katakanlah tidak boleh ada (penipuan dalam jual beli) ". Kemudian orang itu mengatakannya.

Maqashid syariah dalam hadits ini dapat diketahui dari adanya penetapan hukum yang dijelaskan Rasulullah setelah terjadinya sebuah kasus. Dalam hal ini kasus yang dimaksud adalah seseorang yang tertipu dalam kegiatan jual beli. Kemudian Rasulullah menjelaskan bahwa dalam jual beli tidak boleh ada penipuan.




No comments: