Saturday, March 26, 2016

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (5) Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik

Ikhwan Abidin Basri, MA yang menulis Menguak Pemikiran Ekonomi Ulama Klasik (2007).

Teori Konsumsi Menurut Imam As Syaibani
Ajaran Islam datang untuk mengubah gaya hidup (lifestyle) yang berlebihan, flamboyant, arogan, dan pamer menjadi sebuah gaya hidup yang sederhana, bersahaja dan zuhud. Gaya hidup yang ditawarkan oleh Islam ini tidak memungkinkan pelakunya mengekspolitasi sumber-sumber daya alam secara berlebihan dan mubazir.
Imam Muhammad bin Al Hasan Assyaibani membagi kebutuhan pokok fisik menjadi empat seraya menulis “Kemudian Allah menciptakan anak cucu Adam dengan suatu ciptaan di mana tubuh (fisik) mereka tidak akan dapat hidup kecuali dengan empat perkara yaitu makanan, minuman, pakaian dan tempat tinggal (rumah)”
Hirarki Konsumsi Menurut Imam As Syaibani
Secara global Imam Assyaibani nelihat tiga tingkatan dalam konsumsi. Dua tingkatan yang pertama memiliki rentang wilayah bawah dan atas. Artinya, pada tingkatan tersebut dimulai dari tingkat bawah kemudian naik ke atas.
Tingkatan konsumsi yang pertama adalah Al-Mutadanni. Tahapan ini dimulai dengan tingkat konsumsi sama dengan nol. Artinya tidak melakukan konsumsi apa-apa. Gaya hidup dengan kecenderungan konsumsi nol adalah bunuh diri dan haram hukumnya dalam Islam. Di samping itu Rasulullah juga bersabda bahwa sesungguhnya diri kita memiliki hak yang harus kita penuhi yaitu dengan memberinya makan dan minum agar dapat hidup dan menjalankan kewajiban ibadah. Diawali dengan kosumsi sama dengan nol , tahapan ini meningkat ke atas mencapai level sedikit di atas di mana konsumsi dilakukan hanya sebatas mengganjal perut dengan kadar yang memungkinkan orang melakukan ibadah dan ketaatan. Menurut beliau tahapan ini hukumnya fardhu ‘ain karena dengan memenuhi hak jasmani ini, individu dapat menjalankan ibadah meskipun dalam keadaan yang lemah. Karena itu maka individu masih dituntut untuk meningkatkan nutrisinya melebihi kadar sada arramq dengan menambahkan menu yang lebih tinggi lagi sehingga tingkat kesehatan dan kekuatan jasmaninya terjaga dengan baik. Namun wilayah konsumsi yang brada di atas level sad arramq bersifat sunnah, bukan fardhu ‘ain.
Tingkatan kedua dalam kategorisasi Imam Assyaibani adalah kecukupan (kifayah). Tahapan ini dimulai dari batas teratas tingkatan pertama dan berakhir pada derajat sarof. Dalam hal ini ada satu hal yang sangat menarik yaitu Imam Assyaibani secara tegas menentukan batas bawah dengan istilah yang diambil dari Alqur’an yaitu taqtir (kikir) batas bawah dan Sarof (berlebihan) pada batas atas. Keseluruhan wilayah tingkatan kedua ini hukumnya mubah. Sekalipun demikian, beliau sendiri cenderung mengutamakan pemenuhan tuntutan konsumsi pada batas bawah dari tingkatan kifayah. Inilah gaya hidup sederhana yang dicontohkan oleh para Nabi dan orang-orang sholeh. Dengan pola konsumsi seperti ini dapat dilihat bahwa fungsi konsumsi dalam model Imam Assyaibani merupakan bagian kecil dari keseluruhan pendapatan. Pola konsumsi ini juga sangat berbeda dari pola konvensional baik model Keynesian maupun lainnya seperti permanent income hypnothesis yang memperlihatkan porsi besar konsumsi dalam permintaan agregat.
Tingkatan konsumsi ketiga menurut Imam Assyaibani adalah Israf (berlebih-lebihan). Tingkatan ini dimulai dari ujung atas dari tingkatan kedua. Keseluruhan wilayah ini tidak diperbolehkan bagi hamba yang beriman dan yang menyerahkan dirinya kepada Allah. Pada masa itu gaya hidup berlebih-lebihan tampak dalam pola makan dan berpakaian. Karena itulah beliau menyoroti keduanya dengan sorotaan tajam. Sorotan ini merupakan kritikan beliau terhadap perilaku sebagian masyarakat yang dinilai telah menyimpang dari pola konsumsi yang Islami.
Gaya Hidup Sederhana Menurut Imam As Syaibani
Dalam menggambarkan fenomena Sarof (berlebih-lebihan dalam konsumsi) beliau menulis :
“Karena dengan makan berlebih-lebihan itu hanyalah untuk memenuhi manfaat dirinya sendiri padahal tidak ada gunanya sama sekali makan melebihi kenyang, justru malah berbahaya. Orang yang berbuat demikian seperti orang yang membuang makanan ke tempat sampah bahkan lebih buruk dari itu. Di samping itu, orang yang makan melebihi hajatnya pada hakekatnya ia telah menahan hak orang lain di dalamnya. Sekiranya ia berikan kelebihannya itu untuk orang laindengan gratis atau dengan imbalan, niscaya orang yang lapar akan dapat mengisi perutnya. Karena itu dengan menahannya, ia telah melanggar hak orang lain.”
Dengan demikian makan dan berpakaian berlebihan tidaklah dipandang hanya pada batas pribadi saja. Ia adalah aksi pribadi yang berdampak ekonomi dan sosial. Berdampak ekonomi karena mengakibatkan sumber daya mengalami mis-alokasi sehingga sebagian masyarakat mampu menikmatinya secara berlebihan dan tak terbatas, namun sebagian lainnya tidak kebagian sama sekali. Hal ini berhubungan dengan pemerataan dan distribusi pendapatan. Kedua, dalam sebuah perekonomian Islam, keharmonisan hubungan antar individu harus dipertahankan dengan cara di luar mekanisme pasar yang normal, misalnya dengan mendorong ZISWAF. Faktor-faktor redistribusi inilah yang sebenarnya hilang dari sistem kapitalisme, namun sangat dianjurkan dalam Islam.
Falsafah dan Urgensi Ekonomi Islam Menurut Imam Al Ghazali
Tujuan hidup seorang muslim adalah untuk menggapai keridhoan Allah dan mencapai keselamatan di akhirat. Sedangkan salah satu sarana dan media untuk mencapai tujuan tersebut adalah harta yang halal dan kegiatan ekonomi. Hakekat hubungan ini adalah hubungan antara sarana dan tujuan. (hlm 113)
Dalam pandangan Al Ghazali metode yang paling tepat untuk mencapai tujuan adalah menggunakan wasilah ini (harta dan semua kegiatan ekonomi) secukupnya saja (al-qodr al-kafi). Ini berarti bahwa dalam rangka melakukan aktivitas ekonomi untuk memakmurkan dunia manusia harus membatasi wasilahnya hanya pada batas-batas dhoruriyat saja. Penekanan ini terjadi karena dominasi sufisme dalam diri al Ghazali. (hlm 114)
Beliau hendak menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang amat erat antara ilmu (dan tentunya pendidikan secara umum) dengan masyarakat, dunia usaha, industri dan keterampilan dalam rangka mewujudkan suatu keseimbangan (equilibrium) global multidimensional. Hal ini penting untuk menegakkan kewibawaan umat dan mengendalikan arah peradaban supaya tidak melenceng ke arah materialisme seperti yang terjadi dalam falsafah kehidupan Barat modern. Ilmu-ilmu yang dikembangkan di barat dilandasi oleh falsafah materialisme anti Tuhan sehingga tidak membawa kepada keimanan, malahan mengajak kepada kekufuran dan atheisme. (hlm 116-117)
TEORI KONSUMSI (hlm 117-123)
Hakekat Konsumsi
Kebutuhan dan Keinginan
Tingkatan Konsumsi


Allamah Al Maqrizi
Inflasi dan Strata Sosial Masyarakat Mesir (hlm 166-168): pelajaran dari hiperinflasi di Mesir dan pembagian yang terkena dampak inflasi terburuk dan yang tidak merasakan dampak inflasi padahal pada hakikatnya purchasing power mereka menurun karena inflasi meningkat, tetapi karena memang nominalnya banyak tidak terlalu terasa.
Konsumerisme yang dimaksudkan dalam penelitian ini, yaitu jika mengkonsumsi melebihi kebutuhan dan banyak mengkonsumsi barang mewah menyebabkan harta beredar di kalangan tertentu saja (kalangan menengah keatas) dan meningkatkan inflasi dan pada akhirnya semua kalangan terkena dampaknya.

No comments: