Saturday, March 26, 2016

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (3) Manajemen Islami Harta Kekayaan

Dr. Muhammad bin Ahmad Ash-Shalih. Manajemen Islami Harta Kekayaan. (At-Takaful Al-Ijtima’I fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah wa Dauruhu fi Himayati Al-Mal Al-‘Am wa Al-Khash). Solo: Era Intermedia (2001)

Tiada Kata Boros dalam Kebaikan dan Ketaatan-75

Jika tujuan pembelanjaan (infak) –baik umum atau khusus- untuk mencari ridha Allah SWT, memenuhi kebutuhan kaum Muslimin, dan menyelesaikan situasi yang datang dengan tiba-tiba, maka tidak ada batasan tertinggi. Jika ada orang yang bersedia dengan dua per tiga dari hartanya, maka sedekah itu sah dan benar, dan ia tidak dituntut dengan kewajiban-kewajiban yang menyulitkannya. Jika ia bersedekah dengan harta tersebut untuk kepentingan para mujahid di jalan Allah atau untuk orang-orang yang terkena musibah, maka ini adalah perbuatan baik yang pantas mendapat pujian dan berhak mendapat ridha dari Allah SWT. Sebagaimana dilakukan oleh Utsman ra dalam Perang Tabuk. Pada masa itu adalah masa kesulitan (paceklik). Jika kondisinya berbeda, maka akan dibahas berikut ini.

Petunjuk Pembelanjaan Harta Kekayaan-77

Kita telah mengetahui bagaimana membelanjakan harta kekayaan dalam kebaikan, baik perorangan atau jamaah, itu tidak mungkin dikatakan sebagai tindakan yang tidak benar. Sekarang tinggal pembelanjaan harta kekayaan yang tidak masuk dalam kategori di atas, seperti: rekreasi, pemilikan mobil, pembelian istana pribadi, memberi belanja kepada keluarga, dan kepentingan-kepentingan lain seorang Muslim dalam membelanjakan hartanya. Perlu kami jelaskan bahwa kami tidak berbicara tentang pembelanjaan harta kekayaan untuk kebutuhan yang berlawanan dengan syariat, seperti: pembelian ladang peternakan babi, perdagangan minuman keras, dan perjudian, karena perkara-perkara ini tidak masuk dalam kebutuhan seorang Muslim.

Larangan Berlaku Boros-78

Pertama kali yang harus disikapi oleh seorang Muslim adalah hendaknya ia tidak berlaku boros dalam membelanjakan hartanya demi kepentingan pribadinya.
Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa segala yang baik itu dihalalkan dan kita diperbolehkan menikmatinya dengan syarat tidak melanggar aturan-aturan syariat. Al-Qur’an juga menjelaskan bahwa semua itu adalah karunia dari Allah SWT kepada hamba-hambaNya. Hendaknya setiap hamba menaati setiap ketentuanNya. Allah SWT berfirman WS Al-A’raf: 31-32 “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. Katakanlah: "Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezeki yang baik?" Katakanlah: "Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.”
Allah juga menjelaskan bahwa di antara sifat ‘Ibadur-Rahman adalah tidak berlebihan dalam membelanjakan hartanya. Allah berfirman, “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” QS Al-Furqan: 67
Asy-Syathibi berkata, “Allah menjadikan banyak hal yang mudah untuk diambil manfaatnya sesuai dengan kemaslahatan, dan selama tidak merusak urusan dunia dan agama, yaitu dengan berlaku tidak berlebihan. Dilihat dari sisi inilah semua itu menjadi nikmat dan baik.

Mata Pencaharian yang Baik-79

Islam telah menjelaskan bahwa sesuatu yang halal dan baik adalah yang diterima di sisi Allah. Jadi tidak diperbolehkan bagi seorang Muslim menjual minuman keras lalu memberikan hasil jualnya kepada keluarga dan kerabatnya. Lebih tidak diperbolehkan lagi jika hasil penjualan tersebut disedekahkan pada jalur-jalur kebaikan.
Selain itu, Islam juga mengharamkan perdagangan barang-barang yang diharamkan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi, dan patung. (HR Bukhari, 5/329 dan Muslim, 1581)
Setiap keuntungan yang diambil darinya adalah haram. Rasulullah bersabda, “Allah itu baik, tidak menerima kecuali yang baik.” (HR Muslim, 1015 dan Tirmidzi, 2992).
Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (QS Al-Baqarah: 267).

Penghamburan Harta Kekayaan-81

Jika Islam telah melarang berlaku boros, maka Islam juga telah menetapkan balasan bagi orang yang menghamburkan harta kekayaan, yaitu dengan mencegahnya dari membelanjakan harta tersebut. Inilah yang disebut hajr. Menurut para fuqaha, hajr adalah mencegah seseorang dari bertindak secara utuh oleh sebab-sebab tertentu. Di antara sebab-sebab itu adalah kecilnya usia sehingga harta itu tidak musnah karena kecurangan, tipu muslihat, dan tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Allah berfirman, “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. Barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu).” (QS An-Nisa’: 6).

As-Safah (Bodoh)-82
Yaitu menggunakan harta kekayaan bukan pada kemaslahatan. Aturan ini diberlakukan oleh syariat Islam untuk memelihara harta kekayaan yang merupakan penopang hidup dan memelihara hak ahli waris. Allah berfirman “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik.” (QS An-Nisa: 5)
…Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur… (QS Al-Baqarah: 282)

No comments: