Saturday, March 26, 2016

Resume Buku tentang Konsumsi Islami (1) Ekonomi Islam (Unibraw)

Arif Hoetoro (2007). Ekonomi Islam: Pengantar Analisis Kesejarahan dan Metodologi. Malang: Badan Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya.

Rasionalitas Ekonomi: Homo Economicus VS Homo Islamicus (224-243)

Homo economicus adalah model dasar perilaku ekonomi manusia, dan telah diposisikan dalam kapitalisme sebagai entitas ekonomi yang mengokohkan individualitas dan eksploitasi apa saja yang dianggap penting dari motif-motif dasar manusia, hasrat dan self-interest, untuk dapat memproduksi standar kehidupan yang lebih tinggi. Lima asumsi dasar ekonomi, terutama asumsi-asumsi neoklasik:
1. Manusia pada dasarnya bersifat mementingkan diri sendiri (selfish) dan bertindak secara rasional.
2. Kemajuan material adalah tujuan yang utama.
3. Setiap orang cenderung untuk memaksimalkan kesejahteraan materialnya.
4. Manusia mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk menentukan apa yang baik bagi dirinya.
5. Nilai guna (utility) setiap orang adalah independen dari nilai guna orang lain.
Yang paling relevan adalah self-interest, rasionalitas, dan kemajuan material serta bagaimana manusia memaksimalkan kesejahteraan materialnya itu. (227-228

Homo Islamicus mengacu kepada perilaku individu yang dibimbing oleh nilai-nilai Islam. (235)

Self-interest: dasar pijak yang membedakan pengertian self-interest antara ekonomi modern dan ekonomi Islam adalah adanya asumsi sifat altruistic manusia. Islam sangat memperhatikan kesejahteraan individual maupun masyarakat seraya menegaskan bahwa setiap orang haruslah berperilaku altruis dan menyesuaikan semua tindakan ekonominya berdasarkan kepada norma-norma agama.
Istilah nafs digunakan untuk memaknai self-interest, terdiri dari 3 tingkatan dimana 2 tingkatan pertama mirip dengan konsep self-interest pada ekonomi konvensional. (236)
1. Al-Nafs al-Ammarah
QS 12:53
Konsep nafs ammarah dalam aktivitas ekonomi diartikan sebagai motif ekonomi yang sangat condong kepada pemerolehan kesenangan dan pemuasan nilai guna (utility) yang bersifat kebendaan. Pada tahap ini seseorang baru sampai pada kesadaran semu (hasrat-hasrat hewani) dan menyangka bahwa hukum-hukum normatif bukan merupakan sunnatullah yang mendasari kesadaran pribadi dalam melakukan berbagai macam kegiatan ekonomi. (237)
2. Al-Nafs al-Lawwamah
QS 75:2
Nafs ini dikatakan sebagai jiwa yang menyesali karena kendati pun telah mencapai tingkat yang lebih mulia namun belum sempurna. Karena itu kesadaran untuk berbuat kebaikan seringkali juga diikuti oleh perbuatan buruk sehingga jiwanya selalu dalam keadaan resah dan menyesali. Self-interest sebagaimana pengertian ekonomi konvensional tampaknya yang paling tinggi baru mencapai tingkatan kedua sebab kendati telah muncul kesadaran intuitif seperti empati, pengenalan diri, dan usaha kreatif untuk menyeimbangkan kepentingan diri dengan kepentingan sosial, namun masih didominasi oleh kesadaran material.(238)
3. Al-Nafs al-Muthmainnah
QS Al Fajr: 27-28
Dalam konteks ekonomi, tingkatan ini dapat dimaknai sebagai self-interest yang telah mencapai kesadaran tauhid sehingga memperoleh tingkat kesempurnaan diri. Pada tahap ini tindakan-tindakan ekonomi tidak dimaksudkan untuk pemuasan kesenangan dunia namun diarahkan kepada pencapaian falah, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat. Sehingga setiap pemuasan self-interest tidak lagi didominasi oleh logika-logika ekonomi pragmatis tetapi diiringi pula dengan cara-cara pencapaian, tujuan dan pemanfaatan yang sesuai dengan ketentuan syariah.(239)
Derajat positivisasi nilai-nilai normatif Islam dalam ranah ekonomi akan menentukan tingkatan nafs dalam kepentingan diri homo Islamicus. Semakin tinggi kesadaran seseorang untuk menyesuaikan orientasi ekonominya dengan nilai-nilai normatif agama maka derajat self-interestnya akan semakin tinggi pula. Berbeda dengan pemahaman homo economicus, kepentingan diri disini mengakomodasi motif ekonomi manusia agar memperoleh kepuasan yang sempurna, yaitu kebahagiaan memperoleh falah.(240)

Rasionalitas homo Islamicus, atau rasionalitas Islam dalam perilaku ekonomi tidak hanya didasarkan kepada pemuasan nilai guna atau ukuran-ukuran material lainnya, tetapi mempertimbangkan pula aspek-aspek berikut:
1. Respek terhadap pilihan-pilihan logis ekonomi dan faktor-faktor eksternal seperti tindakan altruis dan harmoni sosial. (241)
2. Memasukkan dimensi waktu yang melampaui horizon duniawi sehingga segala kegiatan ekonomi berorientasi dunia dan akhirat.
3. Memenuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh syariat Islam.
4. Usaha-usaha untuk mencapai falah, yakni kebahagiaan dunia dan akhirat.
Rasionalitas itu sesungguhnya merupakan perwujudan dimensi jihad dalam ekonomi. Motif-motif utama yang mendorong homo Islamicus melakukan kegiatan ekonomi adalah kebenaran bukan kebahagiaan atau nilai guna. Hal ini dikarenakan meskipun kebahagiaan itu sendiri dapat dikonfirmasikan kepada kebenaran, namun hanyalah merupakan efek bukan sebab. Kebenaran bahwa Allah adalah Yang Maha Absolut, selain-Nya adalah relatif, dan semua yang relatif disandarkan kepada Yang Absolut itu dengan mengintegrasikan segenap aspek kehidupan memusat dalam kesucian.(242)
Realitas unik dalam rasionalitas homo Islamicus adalah bahwa segenap tindakan ekonomi tidak hanya menuruti hasrat-hasrat alamiah manusia tetapi harus didasarkan kepada kebenaran dan kebajikan. Jalan untuk mencapai rasionalitas ini tidak lain adalah mensubordinasikan motif, pikiran, orientasi, kehendak dan perilaku ekonomi kepada aturan dan moralitas yang ditentukan oleh syariat Islam.(243)

Pemodelan Ekonomi Islam

Keseimbangan Konsumsi

No comments: