Kritik dan Koreksi Ilmu Ekonomi Islam terhadap
Paham Ekonomi Neoklasikal
Istilah neoclassical economics pertama
kali digunakan oleh Thorstein Veblen pada tahun 1900, dan digunakan untuk
mendefinisikan beberapa aliran pemikiran ilmu ekonomi yang menjabarkan
pembentukan harga, produksi, dan distribusi pendapatan melalui mekanisme
permintaan dan penawaran pada suatu pasar. Ciri paham ekonomi neoklasikal
sebagaimana yang diadopsi dalam ilmu ekonomi di fakultas ekonomi pada umumnya
adalah berdasarkan tiga asumsi dasar bahwa: (1) pelaku ekonomi secara rasional
memilih pilihan yang memberikan hasil yang paling tinggi nilai ekonominya, (2)
tujuan konsumen melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan kepuasan dan
tujuan perusahaan melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan
keuntungan, (3) pelaku ekonomi bertindak secara independen dalam menentukan
pilihan berdasarkan informasi yang lengkap dan relevan.
Tujuan kegiatan ekonomi sebagaimana yang
disebutkan dalam paham ekonomi neoklasikal tersebut hanya mengedepankan masalah
materi dan berusaha memenuhi kebutuhan materi manusia tetapi kurang mewakili
dimensi spiritualisme dan etika kehidupan masyarakat atau moral dalam bahasa
mereka. Ilmu ekonomi Islam di lain pihak, memiliki tujuan dengan dimensi yang
lebih luas daripada keuntungan materi semata yaitu bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan manusia di dunia dan akhirat yang dirangkum dalam istilah falah yang
merupakan dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan materialisme.
Asas filsafat yang melandasi ekonomi
Islam sebagaimana yang disarikan dari tulisan Nurul Huda, et al, adalah: (1)
Semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT, manusia
hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk menggunakan milikNya.
Sehingga segala sesuatunya harus tunduk pada Allah sang pencipta dan pemilik,
(2) Manusia bertugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, oleh karena itu untuk
dapat melaksanakan tugasnya maka manusia wajib melakukan tolong menolong dan
saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk
beribadah kepada Allah, (3) Beriman kepada hari kiamat merupakan asas penting
dalam suatu sistem ekonomi Islam karena dengan keyakinan ini tingkah laku
ekonomi manusia akan dapat terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya
akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah SWT.
Pembahasan dasar dalam ilmu ekonomi
neoklasikal diawali dengan asumsi atas kelangkaan sumber daya dan pengakuan
atas kebebasan individu serta kepemilikan mutlak dalam hal materi. Kenyataan
adanya kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang cukup besar juga dibahas
dalam ekonomi neoklasikal, tetapi penyelesaian dan solusi yang ditawarkan
adalah yang bersifat praktis dan berbeda-beda pelaksanaannya di setiap wilayah.
Ekonomi Islam di lain hal memasukkan pembahasan masalah kelangkaan dan
penyebaran pendapatan dalam pembahasan fundamental yang mendasari seluruh pembahasan
berikutnya. Nilai-nilai prinsip yang dianut dalam ekonomi Islam sebagaimana
disebutkan dalam buku teks “Ekonomi Makro Islam: Pendekaan Teoretis” adalah:
(1) Mengenai kepemilikan harta benda di tangan manusia bukan merupakan
penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi dituntut untuk
memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut, masa kepemilikannya adalah selama
manusia hidup di dunia, dan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang
banyak harus menjadi milik umum. (2) Keseimbangan ekonomi terwujud dalam
kesederhanaan, hemat dan tidak boros, (3) Keadilan harus diterapkan dalam
kehidupan ekonomi seperti proses distribusi, produksi, konsumsi, dan lain-lain.
Fungsi uang disebutkan dalam teori
ekonomi berpaham neoklasikal terdiri dari 3 hal yaitu: (1) medium of exchange
yaitu alat tukar yang dapat diterima sebagai alat pembayaran, (2) unit of
account yaitu uang sebagai ukuran harga, dan (3) store of value yaitu uang
sebagai media penyimpan nilai. Akan tetapi sebagaimana yang dijelaskan oleh
Adiwarman Karim terdapat kerancuan dalam fungsi uang yang diakui dengan fungsi
uang yang sebenarnya terjadi dibawah sistem ekonomi makro yang berlandaskan
pada paham ekonomi neoklasikal yaitu adanya konsep time value of money yang
pada akhirnya menciptakan fungsi uang sebagai media penyimpan nilai menjadi
melemah. Ekonomi Islam mengkritisi konsep tersebut dengan konsep economic value
of time. Perbedaan antara keduanya ada pada konsep pertama menganggap uang
bernilai dengan dirinya sendiri dan hanya dengan berjalannya waktu nilai uang
akan meningkat, sedangkan pada konsep kedua uang tidak memiliki nilai jika
berdiri sendiri tetapi akan dapat menghasilkan pertambahan jika digunakan dalam
kegiatan ekonomi dalam suatu periode waktu.
Indikator untuk Menghitung Pendapatan
Nasional
Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah nilai barang dan
jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam periode tertentu yang
dihitung berdasarkan nilai pasar, tujuan penghitungan pendapatan nasional adalah
untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu Negara yang berfokus pada ukuran
kesejahteraan ekonomi. Terdapat banyak indikator yang dapat digunakan untuk
menghitung pendapatan nasional seperti yang dijelaskan oleh Libby Rittenberg
dan Timothy Tregarthen dengan penjelasan sebagai berikut:
*GDP is the sum of final goods and services
produced for consumption (C), private investment (I),
government purchases (G), and net exports
(Xn). Thus GDP = C + I + G + Xn.
*GDP + net factor earnings from abroad =
gross national product (GNP)
*GNP − depreciation (consumption of fixed
capital) = net national product (NNP)
*NNP − statistical discrepancy = national
income (NI)
*NI − income earned but not received [e.g.,
taxes on production and imports, social security payroll taxes, corporate
profit taxes, and retained earnings] + transfer payments and other income
received but not earned in the production of GNP = personal income (PI)
*PI − personal income taxes = disposable
personal income (DPI)
Pendekatan yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu:
(1) pendekatan produksi (production) dengan perhitungan GDP yaitu Gross
Domestic Product yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari
semua sektor produksi dimana di Indonesia terdiri dari 11 sektor industri, (2)
pendekatan pendapatan (income) dengan perhitungan GNP yaitu Gross National
Product yang dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi
yaitu konsumsi rumah tangga, investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan
pengeluaran ekspor impor, (3) pendekatan pengeluaran (expenditure) dengan
perhitungan NNP yaitu Net National Product yang merupakan GNP dikurangi
penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu.
Kritik utama atas ketiga pendekatan itu adalah bahwa nilai yang
dihasilkan tidak dapat menggambarkan kemakmuran suatu Negara secara riil yang
termasuk kesejahteraan masyarakatnya secara umum. Karena bisa jadi tingkat
kemakmurannya tinggi secara ekonomi untuk suatu periode tertentu tetapi kondisi
riil masyarakatnya tidak sejahtera secara hakiki dan menyimpan masalah-masalah
lain yang dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan
menghasilkan permasalahan ekonomi di periode berikutnya. Uraian permasalahan
yang tidak tercakup dalam penghitungan yang ada dijelaskan dalam bagian
berikutnya.
Nurul Huda et al menjabarkan lebih lanjut mengenai kritik dan solusi
atas keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan
suatu Negara adalah sebagai berikut: (1) GNP dikatakan dapat mengukur kinerja
kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, tetapi GNP tidak dapat menjelaskan
komposisi dan distribusi nyata dari output per kapita padahal inilah yang dapat
menjelaskan seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Umumnya
hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP, sedangkan produk yang
dihasilkan dan dikonsumsi sendiri tidak tercakup dalam GNP padahal hal ini
sangat mempengaruhi kesejahteraan individu. Produk barang mewah yang disamakan
bobotnya dengan kebutuhan pokok juga membuat bias pengukuran GNP, seharusnya
kebutuhan pokok mendapat bobot yang lebih berat. (2) GNP juga tidak menghitung
nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya
dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin banyak menginginkan
waktu istirahat. (3) Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam
GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan. (4) Masalah
polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang
dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan
merusak lingkungan. (5) Pendapatan nasional harus dapat mengukur produksi di
sektor pedesaan. Contohnya peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat
pedesaan umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di
tingkat konsumen suburban dan peningkatan pendapatan para pedagang perantara.
Padahal inti masalah distribusi pendapatan ada pada sektor tersebut yang
didalamnya bergantung nafkah rakyat dalam jumlah besar. (6) Pendapatan nasional
harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi Islam yaitu untuk mengekspresikan
kebutuhan dasar akan barang dan jasa sebagai persentase total konsumsi karena
kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan,
kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya dapat
menjadi ukuran tingkat kesejahteraan. (7) Nilai santunan antar saudara dan
sedekah juga dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk menggambarkan
bekerjanya sistem keamanan sosial. Cara yang lebih mudah adalah dengan
mengestimasi nilai zakat, yaitu memasukkan pendapatan dalam penghitungan
pendapatan nasional menggunakaan GNP.
Perbedaan Pemanfaatan Zakat dan Pajak yang
Digunakan dalam Sejarah Pemerintahan Islam
Pembahasan pemanfaatan pajak merupakan salah satu bagian dalam
pembahasan kebijakan fiskal yang dikelola oleh pemerintah suatu Negara. Oleh
karena itu, perlu melihat definisi kebijakan fiskal dalam buku teks Principles
of Macroeconomics “Fiscal policy—the use
of government expenditures and taxes to influence the level of economic
activity—is the government counterpart to monetary policy. Like monetary
policy, it can be used in an effort to close a recessionary or an inflationary
gap.” Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dengan
cara meningkatkan atau menurunkan pendapatan dalam bidang anggaran dan belanja
negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Adapun sumber terbesar
untuk anggaran dan belanja Negara dalam ekonomi makro umumnya berasal dari
penerimaan Negara di bidang pajak, sementara sektor usaha milik Negara kebanyakan
dikelola untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak menghasilkan
penerimaan yang signifikan bagi Negara.
Di Indonesia, pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak
Kementrian Keuangan Republik Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak
Bumi Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Migas (PBB
sektor P3). Sedangkan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB sektor P2) dan
BPHTB menjadi wewenang Pemda. Pemanfaatan pajak yang dihimpun oleh Dirjen Pajak
adalah wewenang DPR/DPRD dan Kementerian-Kementerian Negara/Lembaga yang
terkait. Alokasinya dimanfaatkan untuk membiayai 14 (empat belas) bidang
kegiatan pembangunan nasional, yaitu bidang-bidang: Fasilitas dan
Infrastruktur, Dana Alokasi Umum, Pemilihan Umum, Penegakan Hukum, Subsidi
Pangan, Subsidi BBM, Pelayanan Kesehatan, Pertahanan dan Keamanan (Hankam),
Pendidikan, Kelestarian Lingkungan Hidup, Penanggulangan Bencana, Kelestarian
Budaya, Transportasi Massal dan Penyediaan Biaya Listrik terjangkau.
Saat ini di Indonesia, zakat belum merupakan salah satu komponen sumber
penerimaan Negara yang diperhitungkan langsung sebagai pengurang beban/hutang
Pajak dan menunjukkan bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah saling menggantikan
namun tidak sepenuhnya. Tetapi telah menempatkan Zakat hanya sebagai pengurang
penghasilan neto wajib pajak yang berdampak pada berkurangnya nilai beban Pajak
yang masih harus dibayar. Persyaratan lengkap untuk prosedur ini sebagaimana
dikutip dari tulisan Erikson Wijaya sebagai berikut.
“Adapun syarat Zakat agar dapat dibiayakan
(diperhitungkan sebagai pengurang) menurut Pasal 9 UU Nomor 36 Tahun 2008
adalah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ)atau Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Di Indonesia ada BAZ Nasional. Itu
kenapa zakat fitrah tidak dapat memenuhi kriteria ini, lain hal dengan Zakat
maal yang oleh perusahaan atau orang pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ.
Sementara zakat fitrah diserahkan hanya atas nama individu dan kepada lembaga
amil zakat yang sifatnya lokal atau langsung ke Mustahiq (orang yang berhak
menerima zakat).”
Sejarah ekonomi makro Islami dalam buku Ekonomi Makro Islam: Pendekatan
Teoretis menyebutkan bahwa sumber penerimaan pada masa Rasulullah dapat
digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu: (1) dari kaum muslim terdiri
atas zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, amwal fadhla, nawaib, shadaqah seperti
qurban dan kafarat, (2) dari kaum non muslim terdiri dari jizyah, kharaj, dan
ushr, (3) dan dari sumber lain misalnya ghanimah, fay, uang tebusan, hadiah
dari pemimpin dan Negara lain, pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim.
Lebih lanjut buku tersebut juga menjelaskan tentang pemanfaatan zakat
dan pajak dalam sejarah pemerintahan Islam yang sumber penerimaannya dari instrumen-instrumen
yang telah disebutkan. Instrumen ghanimah yaitu harta rampasan perang yang
disebut juga sebagai khums pemanfaatannya adalah (1) seperlima bagian
diperuntukkan bagi Allah, Rasul dan kerabatnya, golongan yatim, golongan
miskin, dan ibnu sabil, (2) sisanya yaitu sebesar 4/5 adalah milik para pejuang
yang berhak atas rampasan perang tersebut. Setelah Rasulullah wafat maka saham
beliau dikeluarkan dari pembagian ghanimah.
Jizyah yang merupakan pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim laki-laki
yang telah baligh dan berakal untuk jaminan perlindungan jiwa, properti,
ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer merupakan hak Allah dan
diberikan kepada kaum Muslimin dengan tujuan utama kebersamaan dalam menanggung
beban Negara serta dorongan bagi kaum kafir agar masuk Islam. Kharaj adalah
pajak tanah yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara Islam yang
baru berdiri dan jumlahnya tetap yaitu setengah dari hasil produksi dan
diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin karena kemenangan atas musuh-musuh
mereka.
Zakat dan ushr adalah pendapatan utama bagi Negara semasa Rasulullah
hidup. Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yaitu
diwajibkan pada komoditas perdagangan baik yang diekspor maupun diimpor dalam
sebuah Negara Islam. Ushr juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang
melewati perbatasan yang disebabkan adanya perjanjian perdamaian. Adapun tanpa
perjanjian maka memungut cukai diharamkan oleh Rasulullah. Pemanfaatan zakat
disebutkan dengan jelas dalam Quran surat At-Taubah ayat 60 (QS 9: 60) yaitu
untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para
muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan.
Pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dipandang untuk mencapai sasaran
distribusi pendapatan yang lebih merata.
Amwal fadhla adalah harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli
waris atau yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain yaitu nawaib adalah
pajak yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya untuk menutupi pengeluaran Negara
selama masa darurat.
Belanja pemerintah pada masa Rasulullah terbagi menjadi: (1) hal-hal
pokok meliputi biaya pertahanan Negara, penyaluran zakat, dan ushr untuk yang
berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang Negara
serta bantuan untuk musafir. (2) hal-hal sekunder diperuntukkan bagi bantuan
orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan dan
utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang
meninggal dalam keadaan miskin.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab dapat disimpulkan pengelompokan pemanfaatan
zakat dan pajak sebagai pembentuk pendapatan Negara dalam 4 bagian: (1) zakat
dan ushr untuk pendistribusian lokal dan jika berlebih disimpan, (2) khums dan
sadaqah digunakan untuk fakir miskin dan kesejahteraan, (3) kharaj, fay,
jizyah, ushr, sewa tetap digunakan untuk dana pensiun dan dana pinjaman
(allowance), (4) pendapatan dari semua sumber digunakan untuk pekerja,
pemelihara anak terlantar dan dana sosial.
Adiwarman Karim membuat pernyataan bahwa pengeluaran Negara yang lebih
banyak adalah untuk kemaslahatan umat pada masa Rasulullah dan Khulafaur
Rasyidin dengan kesimpulan sebagai berikut: (1) Primer penggunaannya untuk: biaya
pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan, penyaluran zakat dan
ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Quran termasuk para
pemungut zakat, pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan
pejabat negaa lainnya, pembayaran upah para sukarelawan, pembayaran utang Negara,
bantuan untuk musafir. (2) Sekunder penggunaannya untuk: bantuan untuk orang
yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan, hiburan
untuk para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka, hadiah untuk
pemerintah Negara lain, pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi
budak, pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh
pasukan kaum muslimin, pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan
miskin, pembayaran tunjangan untuk orang miskin, tunjangan untuk sanak saudara
Rasulullah, persediaan darurat.
Untuk memberikan kesimpulan bagi pembahasan ini maka perlu ditinjau
tulisan Muhammad Syafii Antonio sebagai berikut: kedudukan zakat dalam
perekonomian Indonesia yaitu belum menjadi sumber pendapatan resmi Negara mengingat
Indonesia bukanlah Negara Islam, sedangkan kedudukan zakat dalam ekonomi Islam
berdasarkan pendapat Abu Ubaid yaitu zakat merupakan institusi khusus keuangan
publik yang potensial untuk mengatasi pengeluaran publik bagi kaum Muslim
bahkan untuk kaum non-Muslim jika pendapatan negara dari sumber selain pajak
tidak mampu memenuhi kebutuhan pulik secara umum.
Konsep dan Peran Baitul Maal dalam
Mengelola Kebijakan Fiskal dan Moneter
Kedudukan lembaga Baitul Maal dalam ekonomi Islam serupa dengan
kedudukan national treasury pada perekonomian saat ini. National treasury
adalah suatu departemen dalam pemerintahan yang berwenang atas pengumpulan,
pengelolaan, dan pengeluaran Negara sebagaimana yang didefinisikan dalam kamus
Thesaurus untuk kata treasury yang terkait pemerintahan yaitu “the government department responsible for
collecting and managing and spending public revenues”. Pemerintah
menggunakan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara bersamaan untuk
mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi yaitu menggunakan kebijakan fiskal yang
berupa pengelolaan belanja Negara, transfer payments, dan pajak di satu sisi
dan diimbangi dengan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral di
sisi lain. Keduanya berfungsi secara bersamaan untuk menjaga stabilitas ekonomi
di suatu Negara.
Sejarah baitul maal dalam buku tulisan Nurul Huda et al adalah Rasulullah
yang pertama kali menyerahkan pengelolaan sumber penerimaan Negara dan sumber
pengeluaran Negara pada baitul maal. Pada masa Abu Bakar, dilakukan
pengembangan pembangunan baitul maal dan penanggung jawab baitul maal adalah
Abu Ubaida. Kemudian Umar bin Khatab melakukan reorganisasi baitul maal dengan
mendirikan Diwan Islam yang pertama dan disebut sebagai al-divan yaitu sebuah
kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan
pensium dan tunjangan-tunjangan lain.
Adiwarman Karim dalam Ekonomi Makro Islam menyebutkan bahwa dalam
pemerintahan Islam, kebijakan fiskal telah dikenal sejak zaman Rasulullah
hingga zaman pertengahan. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat, Baitul Maal
adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara. Kebijakan fiskal di Baitul Maal
memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat, dan
secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Ciri kebijakan fiskal Baitul Maal di zaman Rasulullah dan para sahabat
adalah sebagai berikut: (1) Sangat jarang terjadi defisit anggaran (2) sistem
pajak proporsional, (3) besarnya rate kharaj ditentukan berdasarkan
produktivitas lahan, bukan berdasarkan zona, (4) berlakunya regressive rate
untuk zakat peternakan, (5) perhitungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya
keuntungan, bukan atas harga jual, (6) porsi besar untuk pembangunan
infrastruktur, (7) manajemen yang baik akan memberikan hasil yang baik, (8)
jaringan kerja antara baitul maal pusat dengan daerah. Baitul maal juga
mengatur pengeluaran dalam rangka mengembangkan ekonomi serta untuk
meningkatkan partisipasi kerja dan produksi yaitu dengan: (1) mendorong
masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh baitul maal, dan (2)
mengeluarkan dana baitul maal untuk kebijakan dan tindakan aksi yang dilakukan
Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Instrumen kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Rasulullah antara lain
meningkatkan pendapatan nasional dan partisipasi kerja dengan mempersaudarakan dan
mendorong terjalinnya kerjasama antara kaum muhajirin dengan anshar, membagikan
tanah dan perumahan untuk kaum muhajirin, membagikan 80% harta rampasan perang
yang meningkatkan aggregate demand. Adapun peran baitul maal dalam kebijakan
fiskal ini adalah dalam pemungutan pajak dan pengaturan anggaran dengan
menganut asas anggaran berimbang (balance budget) yaitu semua penerimaan habis
digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Salah satu
penyebab terjadinya peredaran uang yang terlalu tinggi (inflasi) adalah
terjadinya defisit anggaran yang ditutup dengan pinjaman. Karena itu dengan
penerapan balance budget, inflasi dapat ditekan sedemikian rupa karena
pemerintah tidak perlu banyak mencetak uang.
Referensi
·
Buku Teks:
-
Adiwarman A. Karim, (2007), Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
-
Jaribah Al-Haritsi, (2006), Fikih Ekonomi Umar
bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa, Pustaka Al-Kautsar Group.
-
Libby Rittenberg, Timothy Tregarthen, Principles of Macroeconomics.
California, USA: Flat World Knowledge, Inc.
-
Nurul Huda, Handi Risza Idris, Mustafa Edwin
Nasution, Ranti Wiliasih, (2008), Ekonomi
Makro Islam: Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
·
Jurnal
-
Marie Finnegan, Department of Economics,
University of Limerick, Limerick, Ireland, (1995), The moral dimensions of neoclassical economics: a critique. International
Journal of Social Economics Volume: 22 Issue: 6 1995.
·
Website