Wednesday, April 23, 2014

PASCA: Ekonomi Makro Islami: Rangkuman Materi UTS




Kritik dan Koreksi Ilmu Ekonomi Islam terhadap Paham Ekonomi Neoklasikal

Istilah neoclassical economics pertama kali digunakan oleh Thorstein Veblen pada tahun 1900, dan digunakan untuk mendefinisikan beberapa aliran pemikiran ilmu ekonomi yang menjabarkan pembentukan harga, produksi, dan distribusi pendapatan melalui mekanisme permintaan dan penawaran pada suatu pasar. Ciri paham ekonomi neoklasikal sebagaimana yang diadopsi dalam ilmu ekonomi di fakultas ekonomi pada umumnya adalah berdasarkan tiga asumsi dasar bahwa: (1) pelaku ekonomi secara rasional memilih pilihan yang memberikan hasil yang paling tinggi nilai ekonominya, (2) tujuan konsumen melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan kepuasan dan tujuan perusahaan melakukan kegiatan ekonomi adalah untuk memaksimalkan keuntungan, (3) pelaku ekonomi bertindak secara independen dalam menentukan pilihan berdasarkan informasi yang lengkap dan relevan.
Tujuan kegiatan ekonomi sebagaimana yang disebutkan dalam paham ekonomi neoklasikal tersebut hanya mengedepankan masalah materi dan berusaha memenuhi kebutuhan materi manusia tetapi kurang mewakili dimensi spiritualisme dan etika kehidupan masyarakat atau moral dalam bahasa mereka. Ilmu ekonomi Islam di lain pihak, memiliki tujuan dengan dimensi yang lebih luas daripada keuntungan materi semata yaitu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat yang dirangkum dalam istilah falah yang merupakan dialektika antara nilai-nilai spiritualisme dan materialisme.
Asas filsafat yang melandasi ekonomi Islam sebagaimana yang disarikan dari tulisan Nurul Huda, et al, adalah: (1) Semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk menggunakan milikNya. Sehingga segala sesuatunya harus tunduk pada Allah sang pencipta dan pemilik, (2) Manusia bertugas sebagai khalifah Allah di muka bumi, oleh karena itu untuk dapat melaksanakan tugasnya maka manusia wajib melakukan tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah, (3) Beriman kepada hari kiamat merupakan asas penting dalam suatu sistem ekonomi Islam karena dengan keyakinan ini tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggungjawaban kelak oleh Allah SWT.
Pembahasan dasar dalam ilmu ekonomi neoklasikal diawali dengan asumsi atas kelangkaan sumber daya dan pengakuan atas kebebasan individu serta kepemilikan mutlak dalam hal materi. Kenyataan adanya kemiskinan dan kesenjangan pendapatan yang cukup besar juga dibahas dalam ekonomi neoklasikal, tetapi penyelesaian dan solusi yang ditawarkan adalah yang bersifat praktis dan berbeda-beda pelaksanaannya di setiap wilayah. Ekonomi Islam di lain hal memasukkan pembahasan masalah kelangkaan dan penyebaran pendapatan dalam pembahasan fundamental yang mendasari seluruh pembahasan berikutnya. Nilai-nilai prinsip yang dianut dalam ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam buku teks “Ekonomi Makro Islam: Pendekaan Teoretis” adalah: (1) Mengenai kepemilikan harta benda di tangan manusia bukan merupakan penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi dituntut untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut, masa kepemilikannya adalah selama manusia hidup di dunia, dan sumber daya alam yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. (2) Keseimbangan ekonomi terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan tidak boros, (3) Keadilan harus diterapkan dalam kehidupan ekonomi seperti proses distribusi, produksi, konsumsi, dan lain-lain.
Fungsi uang disebutkan dalam teori ekonomi berpaham neoklasikal terdiri dari 3 hal yaitu: (1) medium of exchange yaitu alat tukar yang dapat diterima sebagai alat pembayaran, (2) unit of account yaitu uang sebagai ukuran harga, dan (3) store of value yaitu uang sebagai media penyimpan nilai. Akan tetapi sebagaimana yang dijelaskan oleh Adiwarman Karim terdapat kerancuan dalam fungsi uang yang diakui dengan fungsi uang yang sebenarnya terjadi dibawah sistem ekonomi makro yang berlandaskan pada paham ekonomi neoklasikal yaitu adanya konsep time value of money yang pada akhirnya menciptakan fungsi uang sebagai media penyimpan nilai menjadi melemah. Ekonomi Islam mengkritisi konsep tersebut dengan konsep economic value of time. Perbedaan antara keduanya ada pada konsep pertama menganggap uang bernilai dengan dirinya sendiri dan hanya dengan berjalannya waktu nilai uang akan meningkat, sedangkan pada konsep kedua uang tidak memiliki nilai jika berdiri sendiri tetapi akan dapat menghasilkan pertambahan jika digunakan dalam kegiatan ekonomi dalam suatu periode waktu.


Indikator untuk Menghitung Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh suatu perekonomian dalam periode tertentu yang dihitung berdasarkan nilai pasar, tujuan penghitungan pendapatan nasional adalah untuk mengukur tingkat kemakmuran suatu Negara yang berfokus pada ukuran kesejahteraan ekonomi. Terdapat banyak indikator yang dapat digunakan untuk menghitung pendapatan nasional seperti yang dijelaskan oleh Libby Rittenberg dan Timothy Tregarthen dengan penjelasan sebagai berikut:
*GDP is the sum of final goods and services produced for consumption (C), private investment (I),
government purchases (G), and net exports (Xn). Thus GDP = C + I + G + Xn.
*GDP + net factor earnings from abroad = gross national product (GNP)
*GNP − depreciation (consumption of fixed capital) = net national product (NNP)
*NNP − statistical discrepancy = national income (NI)
*NI − income earned but not received [e.g., taxes on production and imports, social security payroll taxes, corporate profit taxes, and retained earnings] + transfer payments and other income received but not earned in the production of GNP = personal income (PI)
*PI − personal income taxes = disposable personal income (DPI)
Pendekatan yang digunakan dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu: (1) pendekatan produksi (production) dengan perhitungan GDP yaitu Gross Domestic Product yang diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto dari semua sektor produksi dimana di Indonesia terdiri dari 11 sektor industri, (2) pendekatan pendapatan (income) dengan perhitungan GNP yaitu Gross National Product yang dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi yaitu konsumsi rumah tangga, investasi perusahaan, pengeluaran pemerintah, dan pengeluaran ekspor impor, (3) pendekatan pengeluaran (expenditure) dengan perhitungan NNP yaitu Net National Product yang merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu.
Kritik utama atas ketiga pendekatan itu adalah bahwa nilai yang dihasilkan tidak dapat menggambarkan kemakmuran suatu Negara secara riil yang termasuk kesejahteraan masyarakatnya secara umum. Karena bisa jadi tingkat kemakmurannya tinggi secara ekonomi untuk suatu periode tertentu tetapi kondisi riil masyarakatnya tidak sejahtera secara hakiki dan menyimpan masalah-masalah lain yang dapat menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan menghasilkan permasalahan ekonomi di periode berikutnya. Uraian permasalahan yang tidak tercakup dalam penghitungan yang ada dijelaskan dalam bagian berikutnya.
Nurul Huda et al menjabarkan lebih lanjut mengenai kritik dan solusi atas keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan suatu Negara adalah sebagai berikut: (1) GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar, tetapi GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output per kapita padahal inilah yang dapat menjelaskan seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitung dalam GNP, sedangkan produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri tidak tercakup dalam GNP padahal hal ini sangat mempengaruhi kesejahteraan individu. Produk barang mewah yang disamakan bobotnya dengan kebutuhan pokok juga membuat bias pengukuran GNP, seharusnya kebutuhan pokok mendapat bobot yang lebih berat. (2) GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat (leisure time), padahal ini sangat besar pengaruhnya dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin banyak menginginkan waktu istirahat. (3) Kejadian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP, padahal kejadian tersebut jelas mengurangi kesejahteraan. (4) Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan merusak lingkungan. (5) Pendapatan nasional harus dapat mengukur produksi di sektor pedesaan. Contohnya peningkatan produksi pertanian di tingkat rakyat pedesaan umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-produk pangan di tingkat konsumen suburban dan peningkatan pendapatan para pedagang perantara. Padahal inti masalah distribusi pendapatan ada pada sektor tersebut yang didalamnya bergantung nafkah rakyat dalam jumlah besar. (6) Pendapatan nasional harus dapat mengukur kesejahteraan ekonomi Islam yaitu untuk mengekspresikan kebutuhan dasar akan barang dan jasa sebagai persentase total konsumsi karena kemampuan untuk menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan, air bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya dapat menjadi ukuran tingkat kesejahteraan. (7) Nilai santunan antar saudara dan sedekah juga dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk menggambarkan bekerjanya sistem keamanan sosial. Cara yang lebih mudah adalah dengan mengestimasi nilai zakat, yaitu memasukkan pendapatan dalam penghitungan pendapatan nasional menggunakaan GNP.


Perbedaan Pemanfaatan Zakat dan Pajak yang Digunakan dalam Sejarah Pemerintahan Islam

Pembahasan pemanfaatan pajak merupakan salah satu bagian dalam pembahasan kebijakan fiskal yang dikelola oleh pemerintah suatu Negara. Oleh karena itu, perlu melihat definisi kebijakan fiskal dalam buku teks Principles of Macroeconomics “Fiscal policy—the use of government expenditures and taxes to influence the level of economic activity—is the government counterpart to monetary policy. Like monetary policy, it can be used in an effort to close a recessionary or an inflationary gap.” Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dilaksanakan pemerintah dengan cara meningkatkan atau menurunkan pendapatan dalam bidang anggaran dan belanja negara dengan maksud untuk mempengaruhi jalannya perekonomian. Adapun sumber terbesar untuk anggaran dan belanja Negara dalam ekonomi makro umumnya berasal dari penerimaan Negara di bidang pajak, sementara sektor usaha milik Negara kebanyakan dikelola untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat sehingga tidak menghasilkan penerimaan yang signifikan bagi Negara.
Di Indonesia, pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) serta Pajak Bumi Bangunan (PBB) sektor Perkebunan, Kehutanan dan Pertambangan Migas (PBB sektor P3). Sedangkan PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB sektor P2) dan BPHTB menjadi wewenang Pemda. Pemanfaatan pajak yang dihimpun oleh Dirjen Pajak adalah wewenang DPR/DPRD dan Kementerian-Kementerian Negara/Lembaga yang terkait. Alokasinya dimanfaatkan untuk membiayai 14 (empat belas) bidang kegiatan pembangunan nasional, yaitu bidang-bidang: Fasilitas dan Infrastruktur, Dana Alokasi Umum, Pemilihan Umum, Penegakan Hukum, Subsidi Pangan, Subsidi BBM, Pelayanan Kesehatan, Pertahanan dan Keamanan (Hankam), Pendidikan, Kelestarian Lingkungan Hidup, Penanggulangan Bencana, Kelestarian Budaya, Transportasi Massal dan Penyediaan Biaya Listrik terjangkau.
Saat ini di Indonesia, zakat belum merupakan salah satu komponen sumber penerimaan Negara yang diperhitungkan langsung sebagai pengurang beban/hutang Pajak dan menunjukkan bahwa posisi Zakat dan Pajak adalah saling menggantikan namun tidak sepenuhnya. Tetapi telah menempatkan Zakat hanya sebagai pengurang penghasilan neto wajib pajak yang berdampak pada berkurangnya nilai beban Pajak yang masih harus dibayar. Persyaratan lengkap untuk prosedur ini sebagaimana dikutip dari tulisan Erikson Wijaya sebagai berikut.
“Adapun syarat Zakat agar dapat dibiayakan (diperhitungkan sebagai pengurang) menurut Pasal 9 UU Nomor 36 Tahun 2008 adalah dibayarkan kepada Badan Amil Zakat (BAZ)atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. Di Indonesia ada BAZ Nasional. Itu kenapa zakat fitrah tidak dapat memenuhi kriteria ini, lain hal dengan Zakat maal yang oleh perusahaan atau orang pribadi sering diserahkan ke BAZ atau LAZ. Sementara zakat fitrah diserahkan hanya atas nama individu dan kepada lembaga amil zakat yang sifatnya lokal atau langsung ke Mustahiq (orang yang berhak menerima zakat).”
Sejarah ekonomi makro Islami dalam buku Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis menyebutkan bahwa sumber penerimaan pada masa Rasulullah dapat digolongkan menjadi tiga golongan besar yaitu: (1) dari kaum muslim terdiri atas zakat, ushr, zakat fitrah, wakaf, amwal fadhla, nawaib, shadaqah seperti qurban dan kafarat, (2) dari kaum non muslim terdiri dari jizyah, kharaj, dan ushr, (3) dan dari sumber lain misalnya ghanimah, fay, uang tebusan, hadiah dari pemimpin dan Negara lain, pinjaman dari kaum muslimin dan non muslim.
Lebih lanjut buku tersebut juga menjelaskan tentang pemanfaatan zakat dan pajak dalam sejarah pemerintahan Islam yang sumber penerimaannya dari instrumen-instrumen yang telah disebutkan. Instrumen ghanimah yaitu harta rampasan perang yang disebut juga sebagai khums pemanfaatannya adalah (1) seperlima bagian diperuntukkan bagi Allah, Rasul dan kerabatnya, golongan yatim, golongan miskin, dan ibnu sabil, (2) sisanya yaitu sebesar 4/5 adalah milik para pejuang yang berhak atas rampasan perang tersebut. Setelah Rasulullah wafat maka saham beliau dikeluarkan dari pembagian ghanimah.
Jizyah yang merupakan pajak yang dibayarkan oleh orang non muslim laki-laki yang telah baligh dan berakal untuk jaminan perlindungan jiwa, properti, ibadah, bebas dari nilai-nilai, dan tidak wajib militer merupakan hak Allah dan diberikan kepada kaum Muslimin dengan tujuan utama kebersamaan dalam menanggung beban Negara serta dorongan bagi kaum kafir agar masuk Islam. Kharaj adalah pajak tanah yang diwajibkan atas tanah pertanian di Negara-negara Islam yang baru berdiri dan jumlahnya tetap yaitu setengah dari hasil produksi dan diberikan oleh Allah kepada kaum muslimin karena kemenangan atas musuh-musuh mereka.
Zakat dan ushr adalah pendapatan utama bagi Negara semasa Rasulullah hidup. Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang yaitu diwajibkan pada komoditas perdagangan baik yang diekspor maupun diimpor dalam sebuah Negara Islam. Ushr juga dipungut terhadap pedagang kafir dzimmi yang melewati perbatasan yang disebabkan adanya perjanjian perdamaian. Adapun tanpa perjanjian maka memungut cukai diharamkan oleh Rasulullah. Pemanfaatan zakat disebutkan dengan jelas dalam Quran surat At-Taubah ayat 60 (QS 9: 60) yaitu untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Pengumpulan dan pengeluaran dana zakat dipandang untuk mencapai sasaran distribusi pendapatan yang lebih merata.
Amwal fadhla adalah harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa ahli waris atau yang meninggalkan negerinya. Instrumen lain yaitu nawaib adalah pajak yang dibebankan pada kaum muslimin yang kaya untuk menutupi pengeluaran Negara selama masa darurat.
Belanja pemerintah pada masa Rasulullah terbagi menjadi: (1) hal-hal pokok meliputi biaya pertahanan Negara, penyaluran zakat, dan ushr untuk yang berhak menerimanya, pembayaran gaji pegawai pemerintah, pembayaran utang Negara serta bantuan untuk musafir. (2) hal-hal sekunder diperuntukkan bagi bantuan orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan dan utusan suku, hadiah untuk pemerintah lain, atau pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.
Pada masa khalifah Umar bin Khatab dapat disimpulkan pengelompokan pemanfaatan zakat dan pajak sebagai pembentuk pendapatan Negara dalam 4 bagian: (1) zakat dan ushr untuk pendistribusian lokal dan jika berlebih disimpan, (2) khums dan sadaqah digunakan untuk fakir miskin dan kesejahteraan, (3) kharaj, fay, jizyah, ushr, sewa tetap digunakan untuk dana pensiun dan dana pinjaman (allowance), (4) pendapatan dari semua sumber digunakan untuk pekerja, pemelihara anak terlantar dan dana sosial.
Adiwarman Karim membuat pernyataan bahwa pengeluaran Negara yang lebih banyak adalah untuk kemaslahatan umat pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin dengan kesimpulan sebagai berikut: (1) Primer penggunaannya untuk: biaya pertahanan seperti persenjataan, unta, dan persediaan, penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan Al-Quran termasuk para pemungut zakat, pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negaa lainnya, pembayaran upah para sukarelawan, pembayaran utang Negara, bantuan untuk musafir. (2) Sekunder penggunaannya untuk: bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah, hiburan untuk para delegasi keagamaan, hiburan untuk para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka, hadiah untuk pemerintah Negara lain, pembayaran untuk pembebasan kaum muslim yang menjadi budak, pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum muslimin, pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin, pembayaran tunjangan untuk orang miskin, tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah, persediaan darurat.
Untuk memberikan kesimpulan bagi pembahasan ini maka perlu ditinjau tulisan Muhammad Syafii Antonio sebagai berikut: kedudukan zakat dalam perekonomian Indonesia yaitu belum menjadi sumber pendapatan resmi Negara mengingat Indonesia bukanlah Negara Islam, sedangkan kedudukan zakat dalam ekonomi Islam berdasarkan pendapat Abu Ubaid yaitu zakat merupakan institusi khusus keuangan publik yang potensial untuk mengatasi pengeluaran publik bagi kaum Muslim bahkan untuk kaum non-Muslim jika pendapatan negara dari sumber selain pajak tidak mampu memenuhi kebutuhan pulik secara umum.


Konsep dan Peran Baitul Maal dalam Mengelola Kebijakan Fiskal dan Moneter

Kedudukan lembaga Baitul Maal dalam ekonomi Islam serupa dengan kedudukan national treasury pada perekonomian saat ini. National treasury adalah suatu departemen dalam pemerintahan yang berwenang atas pengumpulan, pengelolaan, dan pengeluaran Negara sebagaimana yang didefinisikan dalam kamus Thesaurus untuk kata treasury yang terkait pemerintahan yaitu “the government department responsible for collecting and managing and spending public revenues”. Pemerintah menggunakan kebijakan fiskal dan kebijakan moneter secara bersamaan untuk mempengaruhi tingkat aktivitas ekonomi yaitu menggunakan kebijakan fiskal yang berupa pengelolaan belanja Negara, transfer payments, dan pajak di satu sisi dan diimbangi dengan kebijakan moneter yang dikeluarkan oleh bank sentral di sisi lain. Keduanya berfungsi secara bersamaan untuk menjaga stabilitas ekonomi di suatu Negara.
Sejarah baitul maal dalam buku tulisan Nurul Huda et al adalah Rasulullah yang pertama kali menyerahkan pengelolaan sumber penerimaan Negara dan sumber pengeluaran Negara pada baitul maal. Pada masa Abu Bakar, dilakukan pengembangan pembangunan baitul maal dan penanggung jawab baitul maal adalah Abu Ubaida. Kemudian Umar bin Khatab melakukan reorganisasi baitul maal dengan mendirikan Diwan Islam yang pertama dan disebut sebagai al-divan yaitu sebuah kantor yang ditujukan untuk membayar tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pensium dan tunjangan-tunjangan lain.
Adiwarman Karim dalam Ekonomi Makro Islam menyebutkan bahwa dalam pemerintahan Islam, kebijakan fiskal telah dikenal sejak zaman Rasulullah hingga zaman pertengahan. Pada zaman Rasulullah dan para sahabat, Baitul Maal adalah lembaga pengelolaan keuangan Negara. Kebijakan fiskal di Baitul Maal memberikan dampak positif terhadap tingkat investasi, penawaran agregat, dan secara tidak langsung memberikan dampak pada tingkat inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Ciri kebijakan fiskal Baitul Maal di zaman Rasulullah dan para sahabat adalah sebagai berikut: (1) Sangat jarang terjadi defisit anggaran (2) sistem pajak proporsional, (3) besarnya rate kharaj ditentukan berdasarkan produktivitas lahan, bukan berdasarkan zona, (4) berlakunya regressive rate untuk zakat peternakan, (5) perhitungan zakat perdagangan berdasarkan besarnya keuntungan, bukan atas harga jual, (6) porsi besar untuk pembangunan infrastruktur, (7) manajemen yang baik akan memberikan hasil yang baik, (8) jaringan kerja antara baitul maal pusat dengan daerah. Baitul maal juga mengatur pengeluaran dalam rangka mengembangkan ekonomi serta untuk meningkatkan partisipasi kerja dan produksi yaitu dengan: (1) mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi tanpa dibiayai oleh baitul maal, dan (2) mengeluarkan dana baitul maal untuk kebijakan dan tindakan aksi yang dilakukan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin.
Instrumen kebijakan fiskal yang dikeluarkan oleh Rasulullah antara lain meningkatkan pendapatan nasional dan partisipasi kerja dengan mempersaudarakan dan mendorong terjalinnya kerjasama antara kaum muhajirin dengan anshar, membagikan tanah dan perumahan untuk kaum muhajirin, membagikan 80% harta rampasan perang yang meningkatkan aggregate demand. Adapun peran baitul maal dalam kebijakan fiskal ini adalah dalam pemungutan pajak dan pengaturan anggaran dengan menganut asas anggaran berimbang (balance budget) yaitu semua penerimaan habis digunakan untuk pengeluaran negara (government expenditure). Salah satu penyebab terjadinya peredaran uang yang terlalu tinggi (inflasi) adalah terjadinya defisit anggaran yang ditutup dengan pinjaman. Karena itu dengan penerapan balance budget, inflasi dapat ditekan sedemikian rupa karena pemerintah tidak perlu banyak mencetak uang.

Referensi
·         Buku Teks:
-          Adiwarman A. Karim, (2007), Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
-          Jaribah Al-Haritsi, (2006), Fikih Ekonomi Umar bin Al-Khathab. Jakarta: Khalifa, Pustaka Al-Kautsar Group.
-          Libby Rittenberg, Timothy Tregarthen, Principles of Macroeconomics. California, USA: Flat World Knowledge, Inc.
-          Nurul Huda, Handi Risza Idris, Mustafa Edwin Nasution, Ranti Wiliasih, (2008), Ekonomi Makro Islam: Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana, Prenada Media Group.
·         Jurnal
-          Marie Finnegan, Department of Economics, University of Limerick, Limerick, Ireland, (1995), The moral dimensions of neoclassical economics: a critique. International Journal of Social Economics Volume: 22 Issue: 6 1995.
·         Website
-          Erikson Wijaya, (2012), Tinjauan Singkat Pajak dan Zakat. Artikel dalam website resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia http://www.pajak.go.id/content/article/tinjauan-singkat-pajak-dan-zakat
-          Muhammad SYafii Antonio dan Zakiyah Dwi Poetry, Efectivity of Zakat in Indonesian Regulatory; Overview on Abu Ubaid Perspective. Disarikan dari www.syafiiantonio.com yang dimuat dalam http://andalusia.or.id/www/index.php?page=content&&ide=26
-          Wiyoso Hadi, (2013), Berjamaah Mengawasi Manfaat Penggunaan Uang Pajak. Artikel dalam website resmi Direktorat Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia http://www.pajak.go.id/content/article/berjamaah-mengawasi-manfaat-penggunaan-uang-pajak

No comments: