RANGKUMAN MATERI UTS
Ushul Fiqh adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah,
teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum
Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.
Ushul fiqh = dalil yang bersifat
ijmali tentang cara untuk mengambil hukum dari dalil2 dan perihal tentang
mujtahid yaitu orang yang mengambil hukum dari dalil.
Definisi ushul fiqh: dalil2 yang
bersifat umum kemudian cara2 mengambil hukum dari dalil2 tersebut.
Ada 3 bagian dalam ushul fiqh:
1. dalil2 yang bersifat ijmaliy (global)
2. cara mengambil hukum dari dalil2 tersebut
3. dalalatul alfaadz yaitu maksud dari lafadz2 dalam bahasa arab yang
diketahui maknanya
Imam Syafii yang pertama membukukan
ilmu ushul fiqh, dengan menuliskan kaidah2 dalam memahami Quran dan Sunnah.
Imam Syafii merupakan ahli bahasa Arab sebelum menjadi ahli ushul fiqh.
Sejak ada fatwa, sejak saat itulah
ada ilmu ushul fiqh. Yang pertama mengeluarkan fatwa adalah Rasulullah.
Para sahabat juga sudah menyimpan
kaidah ushul fiqh dipikirannya tetapi tidak dibukukan.
Contoh kaidah ushul fiqh yang
dilakukan oleh Rasulullah:
Zakat kuda tidak ditetapkan oleh
Rasulullah, padahal zakat unta telah ada nashnya. Tetapi dapat bersedekah
dengannya, dengan diambil dari dalil Quran tentang barangsiapa yang berbuat
kebaikan sebesar dzarrah akan dicatat.
Rasulullah mengqiyaskan berciuman
dengan istri tidak membatalkan puasa sebagaimana berkumur2 tidak membatalkan
puasa.
Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga
faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
- Adanya perdebatan sengit antara
madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
- Mulai melemahnya kemampuan bahasa
Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama
Persia.
- Munculnya banyak persoalan yang
belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga
kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.
Dalil terbagi dua:
1. Adillah al muttafaq ‘alaiha adalah dalil yang disepakati : (1) Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma’, (4) Qiyas
1. Adillah al muttafaq ‘alaiha adalah dalil yang disepakati : (1) Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma’, (4) Qiyas
2. Adillah al mukhtalaf fiiha adalah dalil yang berbeda pendapat antar
para ulama apakah dapat dijadikan dalil atau tidak. Terdiri dari: (1) qaul as
shahabi, (2) al maslahah al mursalah, (3) saddu az zari ah, (4) istihsan, (5)
al ‘urf, (6) istishab, (7) syar’u man qablana
Tidak ada perselisihan tentang Al
Quran dan Sunnah merupakan dalil, sehingga ini yang merupakan dalil yang
disepakati. Qiyas sebagian mengatakan dalil sebagian mengatakan bukan, tetapi
kebanyakan menganggap dalil. Al Quran yang dapat dijadikan dalil fiqih adalah
seluruh bagiannya termasuk dari kisah2 masa sebelum Nabi Muhammad, tetapi
tergantung bagaimana cara pengambilan kesimpulannya.
Al Quran makna dan lafaznya dari Allah, adapun hadits maknanya dari Allah
dan lafaznya dari Rasulullah. Pengumpulan Quran diperintahkan oleh Abu Bakar kepada Zaid
bin Tsabit, kemudian pada masa Utsman terjadi perbedaan bacaan sehingga dibuat
tulisan ulang dan dibagi ke 4 daerah dan seluruh mushaf lain dimusnahkan. Al
Quran diturunkan bertahap, tetapi urutannya juga diwahyukan dan Rasulullah
menyampaikannya kepada sahabat.
As Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah.
Sedangkan sifat penciptaannya, seperti bentuk fisiknya, tidak dapat dijadikan
dalil hukum. Sunnah terdiri dari qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan),
dan taqririyah (persetujuan).
Ketiga jenis sunnah dapat dijadikan
dalil selama sahih, yaitu yang
memenuhi syarat:
-sanadnya bersambung kepada Rasulullah dan tidak terputus,
-sanadnya bersambung kepada Rasulullah dan tidak terputus,
-perawinya adil dan dhabit. Adil yaitu tidak pernah melakukan dosa besar, tidak selalu
melakukan dosa kecil, dan tidak rusak kehormatannya. Dhabit yaitu ingatannya
kuat baik di kepala maupun dalam tulisan.
-lafazhnya tidak ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal) yaitu tidak
bertentangan dengan hadits yang lain.
Jika perawinya tidak kuat ingatannya
maka termasuk hadits hasan.
Hadits dhaif tidak memenuhi salah
satu syarat diatas.
Hadits shahih dan hasan dapat
digunakan sebagai dalil.
Perbuatan Rasulullah ada yang wajib,
sunnah, mubah.
1.Perbuatan yang sifatnya sebagai manusia
hukumnya mubah, contoh: berjalan ke mesjid.
2.‘Adiyah / adat istiadat: yaitu
model potongan pakaiannya, hukumnya mubah. Memakai baju wajib, tetapi memakai
yang potongannya gamis adalah mubah.
3.Perbuatan yang khusus untuk
Rasulullah: tidak boleh diikuti oleh ummatnya. Contoh beristri lebih dari 4
pada waktu yang sama, berpuasa bersambung tanpa berbuka sampai 3 hari karena
jika Rasulullah melakukannya diberi kesegaran oleh Allah. Infus yang merupakan
sari makanan dan minuman membatalkan puasa, tetapi yang obat saja tidak.
4.Perbuatan untuk menjelaskan
syariat, atau perbuatan yang menjelaskan perintah yang mujmal / tidak jelas:
contohnya hadits untuk mendirikan sholat sebagaimana Rasulullah shalat “shollu
kama roaitumuni usholli”, maka pada dasarnya semua perbuatannya dalam shalat
adalah wajib ditiru. Tetapi perbuatan yang pernah ditinggalkan oleh Rasulullah
atau sahabatnya yang disetujui maka tidak wajib.
5.Perbuatan yang tidak diketahui
hukumnya maka mubah.
6.Sunnah ketetapan Rasulullah atau taqrir: perbuatan
sahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah diam saja dan tidak
mengingkarinya maka hukumnya mubah.
Ijma’: kesepakatan mujtahidin, seluruh ulama mujtahid di dunia. Jika ada
1 saja yang tidak sepakat dan org tersebut memenuhi syarat mujtahid maka tidak
dinyatakan sebagai ijma’ melainkan jumhur ulama.
Syarat2 mujtahid:
-menguasai dalil2 quran dan sunnah
-menguasai topik yang dibahas
-menguasai ilmu qiyas
-menguasai bahasa arab dengan baik
Contoh ijma’: bahwa sholat 5 adalah
wajib.
Untuk suatu kasus bisa terdapat
beberapa dalil dari sumber2 yang berbeda yaitu Quran, Sunnah, dan Ijma’.
Contoh ijma’ untuk muamalat yaitu bahwa bunga bank adalah riba.
Dalam menetapkan ijma’ membutuhkan dalil, untuk kasus bunga bank dalilnya
sebagai berikut. Riba diharamkan dalam ayat Quran dan Hadits. Riba sendiri
diartikan sebagai kelebihan apapun yang didapatkan dari pinjaman. Sedangkan
akad bank dengan nasabah adalah pinjaman, baik pinjaman dari bank maupun
pinjaman dari nasabah. Sehingga bunga bank adalah riba.
Contoh tidak boleh mengambil fee dari
akad kafalah/ penjaminan berdasarkan ijma’.
Ijma’ VS Ittifaq: Ittifaq adalah
kesepakatan imam yang 4 mengenai sesuatu kasus, tetapi belum dapat dikatakan
ijma’ dan tidak dapat menjadi dalil.
Ijma terdiri dari ijma qath’iy
(kuat/pasti/tidak ada keraguan) dan dzanniy (ada keraguan).
Jika ada pendapat yang bertentangan
dengan ijma’ para ulama sebelumnya maka tidak dianggap dalam pembahasan.
Definisi qiyas: mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya
dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena
persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Mempersamakan hukum yang belum ada
dengan yang sudah ada.
Asal= hukum yang ada dalam nash,
cabang=hukum yang belum ada, ‘illat=alasan.
Syarat Qiyas:
1. Nashnya hanya Quran dan Hadits.
1. Nashnya hanya Quran dan Hadits.
Hukum Asal yaitu harus ada dalam nash
quran dan hadits.
2. ‘Illat asalnya ada juga pada cabangnya.
Jika ‘illat asal ada pada cabangnya
maka boleh digunakan qiyas.
3. Hukumnya harus hukum syar’i yang tidak mansukh (dibatalkan)
4. Persyaratan illat:
-sifatnya harus jelas,
-harus ada standarnya,
-bisa diqiyaskan dengan yang lain,
-illat ditetapkan dengan cara
penetapan illat yang benar.
-setiap ada illat harus ada hukumnya,
bila ada hukum dan tidak ada illat maka tidak bisa dijadikan illat
Contoh syarat 1. Qiyas menukar emas dengan rupiah dengan tidak tunai,
diqiyaskan oleh DSN MUI dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang membolehkan menukar
emas perhiasan dengan dinar dengan cara tidak tunai. Kemudian emas perhiasan
diqiyaskan dengan emas, dan dinar diqiyaskan dengan rupiah (mata uang).
Qiyasnya tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalam nash, dalam nash yang
ada yaitu emas tidak boleh dicicil. Qiyas ini tidak memenuhi syarat 1.
Mengqiyaskan sesuatu dari pendapat yang bertentangan dengan ijma’.
Contoh syarat 2. Kasus uang kartal
dan emas dan perak. Emas dan perak di’illatkan sebagai alat tukar oleh ulama
Malikiyah. Tetapi oleh ulama Syafiiyah diillatkan karena zatnya sehingga tidak
bisa diqiyaskan. Emas diciptakan sebagai penyeimbang transaksi manusia,
sehingga jika belum ada kebutuhan transaksi maka emasnya juga belum ada.
Menurut Hanafiyah illat emas dan perak karena ditimbang. Dalam hal ini pendapat
yang kuat dan diambil oleh OKI adalah pendapat Malikiyah yaitu sebagai alat
tukar. Illat uang kartal berbeda dengan emas dan perak, karena nilai emas dan
perak ada pada zatnya sedangkan uang kartal nilainya ada karena adanya
pengakuan Negara, sehingga tidak dapat diqiyaskan, tetapi dihukumi sama karena
fungsinya sama.
Qaul as-shahabi adalah perkataan (dan perbuatan) para sahabat yang tidak
diriwayatkan oleh Rasulullah SAW
Shahabi menurut ahli hadits = orang yang hidup dalam masa yang sama dan
telah bertemu dengan Rasulullah dan beriman pada Islam.
Definisi shahabi menurut Imam Ushul Fiqh = seperti definisi menurut ahli
hadits ditambah dengan: lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Sehingga
kemungkinan perkataan atau perbuatannya berasal dari contoh Rasulullah tetapi
tidak cukup yakin untuk menisbahkannya kepada Nabi.
Contoh muamalah yang berasal dari Qaul
as shahabi: berdasarkan dalil Umar bin Khatab yaitu meminta dp untuk pembelian
suatu barang, kemudian dalam waktu tertentu tidak dilunasi maka menjadi milik
penjual dan jika dibeli maka dipenuhi pembayarannya. Syafiiyah menyatakan DP
tidak boleh karena mengandung gharar. Menurut Hanabilah DP boleh berdasarkan
qaul shahabat (atsar) bahwa Umar bin Khatab memerintahkan gubernur membeli
tanah dan dibayar dimuka 4000 dinar dan diketahui oleh Umar dan disetujui,
untuk imbalan barang yang ditahan karena sudah dipesan.
Contoh lainnya adalah rujuk dari hibah. Penarikan kembali barang yang
sudah diberikan kepada orang lain “orang yang mengambil kembali pemberiannya
seperti orang yang memakan muntah anjing” sehingga tidak boleh mengambil
kembali pemberian. Tetapi membatalkan janji untuk memberikan hibah sebelum
diberikan boleh berdasarkan perlakuan Abu Bakar as Shiddiq menghadiahkan panen
kurma sebanyak 3 ton dan belum diterima oleh Aisyah dan ketika mendekati wafat
dibatalkan hibahnya dan kurmanya dijadikan harta waris.
Maslahah Mursalah adalah kebaikan yang jelas tetapi tidak ada dalil
khususnya, tetapi ada dalil umum. Contoh: melanggar lampu merah tidak ada dalil khususnya
tetapi ada dalil umum untuk menjaga nyawa manusia. Jika ada dalil khususnya dan
ada maslahatnya (kebaikan) tidak termasuk maslahah mursalah, yang termasuk
adalah yang tidak ada dalil khususnya tetapi ada kebaikannya.
Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan ( yang mutlak)
sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak
mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada
dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan
hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar
pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang)
atau bila juga sebagi memberikan hukum
syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nash atau ijma’ atas dasar
memelihara kemaslahatan.
Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak
didukung syara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara' melalui dalil
yang rinci. Contoh
bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti
membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang
dan menulis buku-buku agama.
Contoh maslahah mursalah yaitu tindakan Umar bin Khattab yang tidak menjalankan hukum
potong tangan bagi pencuri yang mencuri dalam keadaan masa paceklik, tindakan
Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat adalah demi
kemaslahatan, membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya
karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng demi kemaslahatan
penumpang dan menolak bahaya.
Saddu Az Zariah adalah: menutup jalan kemungkaran, yang sebelum ditutup
masih dibolehkan.
Contohnya: menjual anggur asalnya boleh, tetapi menjualnya ke pabrik
minuman keras tidak dibolehkan karena akan dibuat menjadi bahan baku minuman
keras yang diharamkan.
Contoh lain: bai’ inah pada dasarnya dibolehkan karena merupakan jual
beli tetapi kemudian diharamkan karena menghantarkan pada riba.
Bai’ul ‘Inah adalah jual-beli dengan
cara ‘Inah, yaitu menjual barang dengan harga tunda lalu membelinya kembali
dengan harga lebih rendah namun kontan. Contoh, A berkata kepada B, “Saya jual
motor ini, kepadamu dengan harga 10.000 Rupiah dibayar tiga bulan kemudian.” B
menjawab, “Ya, saya terima.” Selanjutnya A berkata lagi kepada B, “Bagaimana
kalau motor itu saya beli dengan kontan tapi dengan harga 8.000 Rupiah saja?” B
menjawab, “Ya.” Alhasil motor kembali ke tangan A dan B mendapatkan uang 8.000
Rupiah namun harus tetap memikul hutang 10.000 Rupiah.
Istihsan dari kata hasan yaitu menganggap baik, baik menurut seseorang.
Menganggap baik sesuatu berarti membuat syariat, menurutnya baik tetapi tidak
dapat menyampaikan sesuatu dalil khusus.
Istihsan adalah berpindahnya seorang
mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi
(yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya
istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil
(alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan
hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma
atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat
diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik. Dengan
demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung
dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal
yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama.
Artinya, persoalan khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang
sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka
harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau
ketentuan yang sudah jelas.
Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak
boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika
orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah
umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11
yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.
‘Urf adalah adat istiadat. Adat istiadat boleh dijadikan dalil bila tidak
bertentangan dengan Quran dan dalil yang lain. Bila adat menyalahi nash maka tidak
dapat dijadikan dalil. Adat istiadat
dapat menjadi dalil jika tidak bertentangan dengan nash dan tidak ada
disebutkan khusus dalam nash.
Contoh ‘urf yang dapat dijadikan dalil: qabdh. Qabdh berdasarkan ‘urf
dapat dilakukan seperti: membeli bedroom set, pembeli telah membayar tetapi
tidak ada kesepakatan untuk mengantar dan ditunggu tidak diantar2 juga,
kesalahan ada di penjual karena ‘urfnya biasanya diantar walaupun belum
disebutkan untuk diantar, dalam hal ini adat yang menentukan boleh atau
tidaknya.
Contoh ‘urf yang tidak dapat
dijadikan dalil: yaitu menggadaikan sawah ketika meminjam uang dan sawahnya
digunakan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman belum dikembalikan berdasarkan
adat. Hal ini tidak dapat dijadikan dalil karena ada dalil dalam nash yang melarangnya
yaitu ayat Quran yang mengharamkan riba dan ini termasuk riba yaitu keuntungan
yang didapatkan dari pinjaman yang diberikan.
Syar’u man qablana adalah syariat nabi2 sebelum Nabi Muhammad SAW merupakan dalil, tetapi tidak
semuanya yang dapat dijadikan dalil. Contoh syariat Nabi Sulaiman memiliki 100
istri, tidak dapat dijadikan dalil karena telah dibatalkan dalam Quran yaitu
menikahi istri hanya boleh 2 3 4 sehingga dalil 100 istri sudah dibatalkan. Dalil yang boleh dipakai adalah yang belum
dibatalkan oleh syariat Islam. Tetapi tidak dapat pula membaca Injil dan
Taurat yang ada sekarang untuk mencari hukum karena kemurniannya sudah tidak
dijamin dan tidak meyakinkan riwayat mutawatirnya. Hanya Quran yang dijamin
kemurniannya dijaga oleh Allah, dan juga ada keterangan dalam Quran bahwa kitab
lain telah dirubah oleh umatnya sendiri.
Syar’u man qablana yang boleh dijadikan dalil adalah yang tidak
dinasakhkan oleh Quran dan Sunnah dan dapat diyakinkan keasliannya. Keasliannya dapat diketahui yaitu
yang dijelaskan dalam Quran dan yang dijelaskan dalam hadits yang shahih.
Contoh syar’u man qablana dalam muamalah yaitu untuk kafalah / dhaman
yaitu dalam kisah nabi Yusuf “siapa yang membawa tanda emas dari raja maka
boleh membawa makanan dan dijamin oleh nabi Yusuf”.
Meminjam uang atau menjual barang
secara tidak tunai dan tidak menuliskannya dibolehkan karena walaupun dalam
Quran menganjurkan untuk menulis tetapi dalam hadits dikisahkan nabi terdahulu
melakukannya tanpa saksi kecuali saksi Allah sehingga boleh tanpa ditulis dan
tanpa disaksikan manusia tetapi disaksikan oleh Allah.
Contoh: nabi Syuaib sebagai bapak 2
orang gadis ingin menikahkan anaknya kepada nabi Musa jika bekerja untuknya
selama 8 atau 10 tahun. Hal ini merupakan dalil ijarah yang merupakan bagian
dari syar’u man qablana dan juga dalil untuk menjadi mahar menikahkan anaknya
yang dibayar secara tidak tunai.
Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai
terdapat yang merubahnya.
Contoh istishab dalam muamalat yaitu
jika ada pengadilan yang meminta membayar hutang tetapi orang tersebut mengakui
tidak berhutang maka dimenangkan tidak mempunyai hutang karena manusia pada
dasarnya tidak memiliki hutang, kemudian jika dia mengakui pernah berhutang 9
juta maka menjadi berhutang, dan jika yang memberikan hutang mengatakan 10 juta
maka yang dimenangkan adalah yang 10 juta karena lebih kuat.
Maka pada kasus tersebut hukum
asalnya manusia sejak lahir tidak berhutang, dan dicari dalil berikutnya yang
merubah keadaan asal.
Contoh kasus bank
garansi yaitu pada dasarnya hukum muamalah adalah boleh, kemudian dicari apakah
ada dalil yang merubahnya yaitu yang menyatakan tidak bolehnya riba jika bank
garansinya akan diambil dari pinjaman bank maka feenya berakhir pada riba.
Hukum asalnya boleh tetapi karena ada ribanya maka ada larangan riba menjadi
haram.
Contoh kasus jual beli
online, hukum asalnya muamalah adalah boleh, jika tidak ada ghararnya atau
ghararnya dapat diminimalisir dengan menjelaskan spesifikasi barang, maka jika
tidak ada gharar tidak ada pula madharat.
Definisi perintah untuk mengerjakan / AMR yaitu tholabul fi’l yaitu
tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang
lebih rendah derajatnya, dengan kata2 dalam Quran atau hadits.
Cara mengetahui kalimat menunjukkan
perintah yaitu:
Cara mengetahui kalimat amr:
1. Ada fiil amr, contoh: aqimusshalah wa atuzzakah.
2. Diawali dengan lam, contoh liyunfiq.
3. Bentuknya mashdar, sumber kata kerja yang akan menjadi kata benda.
Contoh: fadharbarriqob.
4. Isim fiil amar.
Beberapa hukum tentang fiil amar:
- Perintah yang mutlak menjadikan yang diperintahkannya menjadi wajib. Contoh: faktubuuhu, jika berhutang maka tulislah. Pada dasarnya wajib menulis transaksi yang tidak tunai atau berhutang dan jika tidak dilakukan berdosa, tetapi ada dalil hadits yang menjadikannya tidak wajib yaitu cerita tentang nabi yang berhutang kepada yahudi dan tidak ada saksi dan tidak ditulis. Tidak menjadi wajib lagi karena ada dalil yang mengeluarkannya dari hukum asalnya.
- Perintah yang mutlak menjadikan yang diperintahkannya menjadi wajib. Contoh: faktubuuhu, jika berhutang maka tulislah. Pada dasarnya wajib menulis transaksi yang tidak tunai atau berhutang dan jika tidak dilakukan berdosa, tetapi ada dalil hadits yang menjadikannya tidak wajib yaitu cerita tentang nabi yang berhutang kepada yahudi dan tidak ada saksi dan tidak ditulis. Tidak menjadi wajib lagi karena ada dalil yang mengeluarkannya dari hukum asalnya.
- Setiap perintah harus dilakukan sesegera mungkin. Contoh: orang
yang mampu tetapi menunda membayarnya maka berdosa.
- Setiap perintah cukup dilakukan sekali dan tidak dilakukan berulang2
kecuali ada dalil harus berulang2.
- Perintah setelah larangan tidak berarti wajib. Contoh: QS bila
selesai dari ihram maka berburulah, berburu tidak wajib. Contoh QS dilarang
mendekati istri bila haid, dan jika selesai gaulilah. Ini tidak wajib karena
sebelum perintah ada larangan. Contoh hadits “dulu aku melarang menyimpan
daging qurban lebih dari 3 hari, sekarang simpanlah” menyimpannya tidak wajib
tetapi boleh karena sebelum perintah ada larangan. Sebaiknya qurban dibagi 3
yaitu disimpan untuk keluarga, dibagikan untuk yang membutuhkan, dan dibagikan
untuk yang tidak membutuhkan sebagai hadiah.
Lawan kata perintah, adalah kata larangan (nahy). Nahy adalah tuntutan
untuk meninggalkan perbuatan, dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang
lebih rendah derajatnya.
Bentuk2 yang menandakan larangan:
1. Huruf laa yang menunjukkan larangan, ada lam, fiil mudhari dimulai
dengan ta, nunnya hilang atau kata sukun, contoh: laa ta’kulu arriba, laa tabi’
2. Yang tidak menggunakan kata laa, tetapi dari kandungan makna
keseluruhan mengartikan larangan. Ada yang berbentuk ancaman. Contoh
ancaman dengan siksa: Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba,
yang menulisnya, dan yang menyaksikannya. Melaknat adalah menjauhkan dari
rahmat Allah. Tidak mengandung kata laa tetapi bermakna melarang. Sifat2 lain
yang disebutkan yaitu munafiq, kufur, yaitu yang pelakunya disifatkan dengan
kata2 tersebut maka berarti perbuatannya dilarang.
Pada dasarnya seluruh kalimat
perintah hukumnya wajib, tetapi ada yang dikecualikan yaitu: (1) perintah yang
didahului oleh larangan, maksudnya membatalkan larangan dan kembali ke hukum
asalnya yaitu mubah. Yang dikecualikan lainnya yang hukumnya tidak wajib adalah
(2) ketika ada qarinah / dalil lain yang menunjukkan hukumnya tidak wajib.
Contoh: istasyhidu syahidaini min rijalikum berarti jika berakad untuk
transaksi yang tidak tunai pada dasarnya wajib mencari saksi, tetapi menjadi
tidak wajib karena ada dalil yang lain dari kasus bahwa Rasulullah pernah
melakukan akad tidak tunai dengan yahudi dan tidak ada saksi, kemudian ketika
terjadi perselisihan Ibnu Khuzaimah bersaksi tentang kebenaran Rasulullah,
sehingga dibolehkan tanpa saksi.
(3) Setiap perintah yang diikuti
tanda2 harus dilakukan segera maka harus segera, kecuali jika tidak ada tanda2
harus segera dilakukan.
(4) Perintah mutlak yang dilakukan
berulang2 contoh “dirikanlah shalat” yaitu dari hadits agar mengerjakan shalat
saat matahari tenggelam (magrib), dst. Jika dikaitkan dengan kondisi berulang2
maka dilakukan berulang2. Sedangkan tentang perintah haji tidak diperintahkan
berulang2 tetapi hanya sekali saja yaitu dari hadits “Jika diwajibkan setiap
tahun tidak dapat dilakukan”.
Pada dasarnya perintah menunjukkan dilakukan
sekali kecuali ada yang menandakan dilakukan berulang2.
Contoh jika menjual barang yang bukan
miliknya seperti dropship, ada larangan dan larangan maksudnya adalah haram.
“Jangan menjual barang yang bukan milikmu” jual belinya tidak sah dan seharusnya
akadnya diulang. Jika akan melakukan seperti itu maka minta perjanjian akad
wakalah dari penjual pertama.
Hukum taklifi / konsekuensi dari
larangan jika dilakukan adalah tidak sah.
Hukum untuk larangan:
(1) Jika hukum perintah dasarnya
tidak diulang2, tetapi untuk larangan menunjukkan berulang2 yaitu menunjukkan
selamanya. Contoh laa taqrobu zina yaitu larangan tidak melakukan zina
selama2nya.
(2) Perintah kemudian larangan
menunjukkan haram, yang haram lebih kuat dari yang wajib dan lebih kuat dari
perintah.
(3)
Maalaayatimmulwaajib illa bihi fahuwa
wajib: wudhu wajib, tetapi jika tidak ada air maka wajib membeli air sehingga
membeli airnya menjadi wajib.
Sesuatu tidak menjadi kewajiban jika
dengannya. Contoh: yang mengantarkan zakat adalah nishab, tetapi tidak wajib
mencari harta agar mencapai nishab.
Dosen: Dr. Erwandi Tarmizi, MA
*Catatan Giska
1. Ushul fiqih (bahasa Arab:أصول
الفقه) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan
sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil
dari sumber-sumber tersebut. [1]
Mekanisme pengambilan hukum dalam Islam harus
berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Berikut ini empat sumber
utama:
Contoh: Asal
dalam perintah menunjukan arti wajib.
Dengan mengetahui ushul fiqih, kita
akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil
yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada
di dalam al-qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan
dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah,
dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah
dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in
adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat islam
yang mulia ini
Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara
berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun
dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan
tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga
pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya mereka
menghalalkan maulid nabi dengan dalil sunnahnya puasa senin, yang mana ini
sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui
bahwa itu adalah salah?? Yakni dengan mempelajari ushul fiqih.
Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang
tidak ada dalam masa nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan
demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu
dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam
al-qur’an dan hadits. Seperti halnya penggunaan komputer, microphone dll.
Dalam ushul fiqih akan dipelajari mengenai
kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga
fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan.
Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui
sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga
apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan
mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa
berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling
mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.
Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik
buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul
fiqih seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui
dalil-dalilnya.
Ushul fiqih dapat menjaga aqidah islam dengan
membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang.
Sehingga ushul fiqih merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung dan
menangkal segala bentuk kesesatan.
Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena
banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul
fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.
Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan
berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata
pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari
dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut.
Dengan ushul fiqih, kita akan mengetahui kemudahan,
kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama islam.
Dengan berbagai manfaat yang akan
kita dapatkan di atas, marilah kita bersama-sama mempelajari ilmu ushul fiqih
ini.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu
fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam
semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan
yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada
di zaman Rosulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai
dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama
penyusun ilmu Fiqh [2]
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam
kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini
merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh
para ahli ushul fiqih sesudahnya. Para ulama ushul fiqih dalam pembahasannya
mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun
tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu;
golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.[3]
Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu
mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai
akal-pikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan
pokok (ushul), tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai
dengan persoalan cabang (furu') atau tidak. Di antara kitab-kitab yang ditulis
oleh golongan ini adalah;
1.
Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
2.
Al-Burhan oleh Al-Juwaini
3.
Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali
4.
Al-Mahshul oleh Ar-Razy
Golongan Hanafiyah dalam pembahasannya selalu
memperhatikan dan menyesuaikan peraturan-peraturan pokok (ushul) dengan
persoalan cabang (furu').
Setelah kedua golongan tersebut muncullah kitab
pemersatu antara kedua aliran tersebut di antaranya adalah;
1.
Tanqihul Ushul oleh Sadrus Syari'ah
2.
Badi'unnidzam oleh As-Sa'ati
3.
Attahrir oleh Kamal bin Hammam
4.
Al-Muwafaqat oleh As-Syatibi
Selain kitab-kitab tersebut di atas, juga terdapat
kitab lain yaitu, Irsyadul Fuhul oleh Asy-Syaukani, Ushul
Fiqih oleh Al-Chudari. Terdapat juga kitab Ushul fiqih dalam bahasa Indonesia
dengan nama "Kelengkapan dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M. Hasbi
As-Shiddiqi.[3]
2. Kaidah 1
Sempurna kewajiban kecuali tidak
menjalankan kewajiban yang lainnya
Tanpa
Contohnya terpenuhi akad wadiah tanpa
harus melakukan jual beli terlebih dahulu.
Kaidah 2
Tidak sempurna kewajiban kecuali
dengan menjalankan kewajiban lainnya
Contohnya tidak terpenuhi syarat sah jual
beli jika objek jual beli merupakan barang najis atau barang haram.
3. Nashnya hanya Quran dan Hadits.
Qiyas menukar emas dengan rupiah dengan tidak tunai,
diqiyaskan oleh DSN MUI dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang membolehkan menukar
emas perhiasan dengan dinar dengan cara tidak tunai. Kemudian emas perhiasan
diqiyaskan dengan emas, dan dinar diqiyaskan dengan rupiah (mata uang).
Qiyasnya tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalam nash, dalam nash yang
ada yaitu emas tidak boleh dicicil. Qiyas ini tidak memenuhi syarat 1.
Mengqiyaskan sesuatu dari pendapat yang bertentangan dengan ijma’.
4. Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah
atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah
berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh
sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan
yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian
dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul
lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu
tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan.
Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul
Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah,
menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
Jual beli dengan cara Al-‘Inah
adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu
ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara
kontan.
Hakikatnya
ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba
yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya)
orang-orang yang senang melakukan riba.
Contoh : Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan
harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang
mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga
Rp. 800.000,- secara kontan.
No comments:
Post a Comment