Thursday, April 17, 2014

PASCA: Ushul Fiqh: RANGKUMAN MATERI UTS



RANGKUMAN MATERI UTS

Ushul Fiqh adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut.

Ushul fiqh = dalil yang bersifat ijmali tentang cara untuk mengambil hukum dari dalil2 dan perihal tentang mujtahid yaitu orang yang mengambil hukum dari dalil.

Definisi ushul fiqh: dalil2 yang bersifat umum kemudian cara2 mengambil hukum dari dalil2 tersebut.
Ada 3 bagian dalam ushul fiqh:
1. dalil2 yang bersifat ijmaliy (global)
2. cara mengambil hukum dari dalil2 tersebut
3. dalalatul alfaadz yaitu maksud dari lafadz2 dalam bahasa arab yang diketahui maknanya

Imam Syafii yang pertama membukukan ilmu ushul fiqh, dengan menuliskan kaidah2 dalam memahami Quran dan Sunnah. Imam Syafii merupakan ahli bahasa Arab sebelum menjadi ahli ushul fiqh.
Sejak ada fatwa, sejak saat itulah ada ilmu ushul fiqh. Yang pertama mengeluarkan fatwa adalah Rasulullah.
Para sahabat juga sudah menyimpan kaidah ushul fiqh dipikirannya tetapi tidak dibukukan.
Contoh kaidah ushul fiqh yang dilakukan oleh Rasulullah:
Zakat kuda tidak ditetapkan oleh Rasulullah, padahal zakat unta telah ada nashnya. Tetapi dapat bersedekah dengannya, dengan diambil dari dalil Quran tentang barangsiapa yang berbuat kebaikan sebesar dzarrah akan dicatat.
Rasulullah mengqiyaskan berciuman dengan istri tidak membatalkan puasa sebagaimana berkumur2 tidak membatalkan puasa.

Dapat kita simpulkan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya penulisan ilmu ushul fiqh:
- Adanya perdebatan sengit antara madrasah Irak dan madrasah Hijaz.
- Mulai melemahnya kemampuan bahasa Arab di sebagian umat Islam akibat interaksi dengan bangsa lain terutama Persia.
- Munculnya banyak persoalan yang belum pernah terjadi sebelumnya dan memerlukan kejelasan hukum, sehingga kebutuhan akan ijtihad kian mendesak.

Dalil terbagi dua:
1. Adillah al muttafaq ‘alaiha adalah dalil yang disepakati : (1) Quran, (2) Sunnah, (3) Ijma’, (4) Qiyas
2. Adillah al mukhtalaf fiiha adalah dalil yang berbeda pendapat antar para ulama apakah dapat dijadikan dalil atau tidak. Terdiri dari: (1) qaul as shahabi, (2) al maslahah al mursalah, (3) saddu az zari ah, (4) istihsan, (5) al ‘urf, (6) istishab, (7) syar’u man qablana

Tidak ada perselisihan tentang Al Quran dan Sunnah merupakan dalil, sehingga ini yang merupakan dalil yang disepakati. Qiyas sebagian mengatakan dalil sebagian mengatakan bukan, tetapi kebanyakan menganggap dalil. Al Quran yang dapat dijadikan dalil fiqih adalah seluruh bagiannya termasuk dari kisah2 masa sebelum Nabi Muhammad, tetapi tergantung bagaimana cara pengambilan kesimpulannya.

Al Quran makna dan lafaznya dari Allah, adapun hadits maknanya dari Allah dan lafaznya dari Rasulullah. Pengumpulan Quran diperintahkan oleh Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit, kemudian pada masa Utsman terjadi perbedaan bacaan sehingga dibuat tulisan ulang dan dibagi ke 4 daerah dan seluruh mushaf lain dimusnahkan. Al Quran diturunkan bertahap, tetapi urutannya juga diwahyukan dan Rasulullah menyampaikannya kepada sahabat.

As Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah. Sedangkan sifat penciptaannya, seperti bentuk fisiknya, tidak dapat dijadikan dalil hukum. Sunnah terdiri dari qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), dan taqririyah (persetujuan).

Ketiga jenis sunnah dapat dijadikan dalil selama sahih, yaitu yang memenuhi syarat:
-sanadnya bersambung kepada Rasulullah dan tidak terputus,
-perawinya adil dan dhabit. Adil yaitu tidak pernah melakukan dosa besar, tidak selalu melakukan dosa kecil, dan tidak rusak kehormatannya. Dhabit yaitu ingatannya kuat baik di kepala maupun dalam tulisan.
-lafazhnya tidak ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal) yaitu tidak bertentangan dengan hadits yang lain.
Jika perawinya tidak kuat ingatannya maka termasuk hadits hasan.
Hadits dhaif tidak memenuhi salah satu syarat diatas.
Hadits shahih dan hasan dapat digunakan sebagai dalil.

Perbuatan Rasulullah ada yang wajib, sunnah, mubah.
1.Perbuatan yang sifatnya sebagai manusia hukumnya mubah, contoh: berjalan ke mesjid.
2.‘Adiyah / adat istiadat: yaitu model potongan pakaiannya, hukumnya mubah. Memakai baju wajib, tetapi memakai yang potongannya gamis adalah mubah.
3.Perbuatan yang khusus untuk Rasulullah: tidak boleh diikuti oleh ummatnya. Contoh beristri lebih dari 4 pada waktu yang sama, berpuasa bersambung tanpa berbuka sampai 3 hari karena jika Rasulullah melakukannya diberi kesegaran oleh Allah. Infus yang merupakan sari makanan dan minuman membatalkan puasa, tetapi yang obat saja tidak.
4.Perbuatan untuk menjelaskan syariat, atau perbuatan yang menjelaskan perintah yang mujmal / tidak jelas: contohnya hadits untuk mendirikan sholat sebagaimana Rasulullah shalat “shollu kama roaitumuni usholli”, maka pada dasarnya semua perbuatannya dalam shalat adalah wajib ditiru. Tetapi perbuatan yang pernah ditinggalkan oleh Rasulullah atau sahabatnya yang disetujui maka tidak wajib.
5.Perbuatan yang tidak diketahui hukumnya maka mubah.
 6.Sunnah ketetapan Rasulullah atau taqrir: perbuatan sahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah diam saja dan tidak mengingkarinya maka hukumnya mubah.

Ijma’: kesepakatan mujtahidin, seluruh ulama mujtahid di dunia. Jika ada 1 saja yang tidak sepakat dan org tersebut memenuhi syarat mujtahid maka tidak dinyatakan sebagai ijma’ melainkan jumhur ulama.
Syarat2 mujtahid:
-menguasai dalil2 quran dan sunnah
-menguasai topik yang dibahas
-menguasai ilmu qiyas
-menguasai bahasa arab dengan baik

Contoh ijma’: bahwa sholat 5 adalah wajib.
Untuk suatu kasus bisa terdapat beberapa dalil dari sumber2 yang berbeda yaitu Quran, Sunnah, dan Ijma’.
Contoh ijma’ untuk muamalat yaitu bahwa bunga bank adalah riba.
Dalam menetapkan ijma’ membutuhkan dalil, untuk kasus bunga bank dalilnya sebagai berikut. Riba diharamkan dalam ayat Quran dan Hadits. Riba sendiri diartikan sebagai kelebihan apapun yang didapatkan dari pinjaman. Sedangkan akad bank dengan nasabah adalah pinjaman, baik pinjaman dari bank maupun pinjaman dari nasabah. Sehingga bunga bank adalah riba.
Contoh tidak boleh mengambil fee dari akad kafalah/ penjaminan berdasarkan ijma’.

Ijma’ VS Ittifaq: Ittifaq adalah kesepakatan imam yang 4 mengenai sesuatu kasus, tetapi belum dapat dikatakan ijma’ dan tidak dapat menjadi dalil.
Ijma terdiri dari ijma qath’iy (kuat/pasti/tidak ada keraguan) dan dzanniy (ada keraguan).
Jika ada pendapat yang bertentangan dengan ijma’ para ulama sebelumnya maka tidak dianggap dalam pembahasan.

Definisi qiyas: mempersamakan suatu kasus yang tidak ada nash hukumnya dengan suatu kasus yang ada nash hukumnya, dalam hukum yang ada nashnya, karena persamaan kedua itu dalam illat hukumnya.
Mempersamakan hukum yang belum ada dengan yang sudah ada.
Asal= hukum yang ada dalam nash, cabang=hukum yang belum ada, ‘illat=alasan.

Syarat Qiyas:
1. Nashnya hanya Quran dan Hadits.
Hukum Asal yaitu harus ada dalam nash quran dan hadits.
2. ‘Illat asalnya ada juga pada cabangnya.
Jika ‘illat asal ada pada cabangnya maka boleh digunakan qiyas.
3. Hukumnya harus hukum syar’i yang tidak mansukh (dibatalkan)
4. Persyaratan illat:
-sifatnya harus jelas,
-harus ada standarnya,
-bisa diqiyaskan dengan yang lain,
-illat ditetapkan dengan cara penetapan illat yang benar.
-setiap ada illat harus ada hukumnya, bila ada hukum dan tidak ada illat maka tidak bisa dijadikan illat

Contoh syarat 1. Qiyas menukar emas dengan rupiah dengan tidak tunai, diqiyaskan oleh DSN MUI dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang membolehkan menukar emas perhiasan dengan dinar dengan cara tidak tunai. Kemudian emas perhiasan diqiyaskan dengan emas, dan dinar diqiyaskan dengan rupiah (mata uang). Qiyasnya tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalam nash, dalam nash yang ada yaitu emas tidak boleh dicicil. Qiyas ini tidak memenuhi syarat 1. Mengqiyaskan sesuatu dari pendapat yang bertentangan dengan ijma’.

Contoh syarat 2. Kasus uang kartal dan emas dan perak. Emas dan perak di’illatkan sebagai alat tukar oleh ulama Malikiyah. Tetapi oleh ulama Syafiiyah diillatkan karena zatnya sehingga tidak bisa diqiyaskan. Emas diciptakan sebagai penyeimbang transaksi manusia, sehingga jika belum ada kebutuhan transaksi maka emasnya juga belum ada. Menurut Hanafiyah illat emas dan perak karena ditimbang. Dalam hal ini pendapat yang kuat dan diambil oleh OKI adalah pendapat Malikiyah yaitu sebagai alat tukar. Illat uang kartal berbeda dengan emas dan perak, karena nilai emas dan perak ada pada zatnya sedangkan uang kartal nilainya ada karena adanya pengakuan Negara, sehingga tidak dapat diqiyaskan, tetapi dihukumi sama karena fungsinya sama.

Qaul as-shahabi adalah perkataan (dan perbuatan) para sahabat yang tidak diriwayatkan oleh Rasulullah SAW
Shahabi menurut ahli hadits = orang yang hidup dalam masa yang sama dan telah bertemu dengan Rasulullah dan beriman pada Islam.
Definisi shahabi menurut Imam Ushul Fiqh = seperti definisi menurut ahli hadits ditambah dengan: lama bergaul dengan Rasulullah SAW. Sehingga kemungkinan perkataan atau perbuatannya berasal dari contoh Rasulullah tetapi tidak cukup yakin untuk menisbahkannya kepada Nabi.

Contoh muamalah yang berasal dari Qaul as shahabi: berdasarkan dalil Umar bin Khatab yaitu meminta dp untuk pembelian suatu barang, kemudian dalam waktu tertentu tidak dilunasi maka menjadi milik penjual dan jika dibeli maka dipenuhi pembayarannya. Syafiiyah menyatakan DP tidak boleh karena mengandung gharar. Menurut Hanabilah DP boleh berdasarkan qaul shahabat (atsar) bahwa Umar bin Khatab memerintahkan gubernur membeli tanah dan dibayar dimuka 4000 dinar dan diketahui oleh Umar dan disetujui, untuk imbalan barang yang ditahan karena sudah dipesan.
Contoh lainnya adalah rujuk dari hibah. Penarikan kembali barang yang sudah diberikan kepada orang lain “orang yang mengambil kembali pemberiannya seperti orang yang memakan muntah anjing” sehingga tidak boleh mengambil kembali pemberian. Tetapi membatalkan janji untuk memberikan hibah sebelum diberikan boleh berdasarkan perlakuan Abu Bakar as Shiddiq menghadiahkan panen kurma sebanyak 3 ton dan belum diterima oleh Aisyah dan ketika mendekati wafat dibatalkan hibahnya dan kurmanya dijadikan harta waris.

Maslahah Mursalah adalah kebaikan yang jelas tetapi tidak ada dalil khususnya, tetapi ada dalil umum. Contoh: melanggar lampu merah tidak ada dalil khususnya tetapi ada dalil umum untuk menjaga nyawa manusia. Jika ada dalil khususnya dan ada maslahatnya (kebaikan) tidak termasuk maslahah mursalah, yang termasuk adalah yang tidak ada dalil khususnya tetapi ada kebaikannya.

Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa adalah mencari kemaslahatan ( yang mutlak) sedangkan menurut ahli ushul fiqh adalah suatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya atau menetapkan hukum suatu masalah yang tidak ada nashnya atau tidak ada ijma’nya, dengan berdasar pada kemaslahatan semata (yang oleh syara’tidak dijelaskan dibolehkan atau dilarang) atau bila juga sebagi memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nash atau ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan.

Mashlahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak pula dibatalkan atau ditolak syara' melalui dalil yang rinci. Contoh bagi maslahah ini adalah yang telah dibincangkan oleh ulama’ ialah seperti membukukan al-Qur’an, hukum qisas terhadap satu kumpulan yang membunuh seorang dan menulis buku-buku agama.
Contoh maslahah mursalah yaitu tindakan Umar bin Khattab yang tidak menjalankan hukum potong tangan bagi pencuri yang mencuri dalam keadaan masa paceklik, tindakan Abu Bakar terhadap orang-orang yang ingkar membayar zakat adalah demi kemaslahatan, membuang barang yang ada di atas kapal laut tanpa izin yang punya karena ada gelombang besar yang menjadikan kapal oleng demi kemaslahatan penumpang dan menolak bahaya.

Saddu Az Zariah adalah: menutup jalan kemungkaran, yang sebelum ditutup masih dibolehkan.
Contohnya: menjual anggur asalnya boleh, tetapi menjualnya ke pabrik minuman keras tidak dibolehkan karena akan dibuat menjadi bahan baku minuman keras yang diharamkan.
Contoh lain: bai’ inah pada dasarnya dibolehkan karena merupakan jual beli tetapi kemudian diharamkan karena menghantarkan pada riba.

Bai’ul ‘Inah adalah jual-beli dengan cara ‘Inah, yaitu menjual barang dengan harga tunda lalu membelinya kembali dengan harga lebih rendah namun kontan. Contoh, A berkata kepada B, “Saya jual motor ini, kepadamu dengan harga 10.000 Rupiah dibayar tiga bulan kemudian.” B menjawab, “Ya, saya terima.” Selanjutnya A berkata lagi kepada B, “Bagaimana kalau motor itu saya beli dengan kontan tapi dengan harga 8.000 Rupiah saja?” B menjawab, “Ya.” Alhasil motor kembali ke tangan A dan B mendapatkan uang 8.000 Rupiah namun harus tetap memikul hutang 10.000 Rupiah.

Istihsan dari kata hasan yaitu menganggap baik, baik menurut seseorang. Menganggap baik sesuatu berarti membuat syariat, menurutnya baik tetapi tidak dapat menyampaikan sesuatu dalil khusus.

Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali (yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum) kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.
Pada hakikatnya istihsan itu adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus dan spesifik. Dengan demikian, Istihsan pada dasarnya adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama. Artinya, persoalan  khusus yang seharusnya tercakup ada ketentuan yang sudah jelas, tetapi karena tidak memungkinkan dan tidak tepat diterapkan, maka harus berlaku ketentuan khusus sebagai pengecualian dari ketentuan umum atau ketentuan yang sudah jelas.

Contoh: dalam masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat itu tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat ketika orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat. Tetapi, kaidah umum ini di dikecualikan melalui firman Allah Swt dalam Surat An-Nisa ayat 11 yang artinya: “setelah mengeluarkan wasiat yang ia buat atau hutang”.

‘Urf adalah adat istiadat. Adat istiadat boleh dijadikan dalil bila tidak bertentangan dengan Quran dan dalil yang lain. Bila adat menyalahi nash maka tidak dapat dijadikan dalil. Adat istiadat dapat menjadi dalil jika tidak bertentangan dengan nash dan tidak ada disebutkan khusus dalam nash.
Contoh ‘urf yang dapat dijadikan dalil: qabdh. Qabdh berdasarkan ‘urf dapat dilakukan seperti: membeli bedroom set, pembeli telah membayar tetapi tidak ada kesepakatan untuk mengantar dan ditunggu tidak diantar2 juga, kesalahan ada di penjual karena ‘urfnya biasanya diantar walaupun belum disebutkan untuk diantar, dalam hal ini adat yang menentukan boleh atau tidaknya.
Contoh ‘urf yang tidak dapat dijadikan dalil: yaitu menggadaikan sawah ketika meminjam uang dan sawahnya digunakan oleh pemberi pinjaman selama pinjaman belum dikembalikan berdasarkan adat. Hal ini tidak dapat dijadikan dalil karena ada dalil dalam nash yang melarangnya yaitu ayat Quran yang mengharamkan riba dan ini termasuk riba yaitu keuntungan yang didapatkan dari pinjaman yang diberikan.

Syar’u man qablana adalah syariat nabi2 sebelum Nabi Muhammad SAW merupakan dalil, tetapi tidak semuanya yang dapat dijadikan dalil. Contoh syariat Nabi Sulaiman memiliki 100 istri, tidak dapat dijadikan dalil karena telah dibatalkan dalam Quran yaitu menikahi istri hanya boleh 2 3 4 sehingga dalil 100 istri sudah dibatalkan. Dalil yang boleh dipakai adalah yang belum dibatalkan oleh syariat Islam. Tetapi tidak dapat pula membaca Injil dan Taurat yang ada sekarang untuk mencari hukum karena kemurniannya sudah tidak dijamin dan tidak meyakinkan riwayat mutawatirnya. Hanya Quran yang dijamin kemurniannya dijaga oleh Allah, dan juga ada keterangan dalam Quran bahwa kitab lain telah dirubah oleh umatnya sendiri.

Syar’u man qablana yang boleh dijadikan dalil adalah yang tidak dinasakhkan oleh Quran dan Sunnah dan dapat diyakinkan keasliannya. Keasliannya dapat diketahui yaitu yang dijelaskan dalam Quran dan yang dijelaskan dalam hadits yang shahih.
Contoh syar’u man qablana dalam muamalah yaitu untuk kafalah / dhaman yaitu dalam kisah nabi Yusuf “siapa yang membawa tanda emas dari raja maka boleh membawa makanan dan dijamin oleh nabi Yusuf”.
Meminjam uang atau menjual barang secara tidak tunai dan tidak menuliskannya dibolehkan karena walaupun dalam Quran menganjurkan untuk menulis tetapi dalam hadits dikisahkan nabi terdahulu melakukannya tanpa saksi kecuali saksi Allah sehingga boleh tanpa ditulis dan tanpa disaksikan manusia tetapi disaksikan oleh Allah.
Contoh: nabi Syuaib sebagai bapak 2 orang gadis ingin menikahkan anaknya kepada nabi Musa jika bekerja untuknya selama 8 atau 10 tahun. Hal ini merupakan dalil ijarah yang merupakan bagian dari syar’u man qablana dan juga dalil untuk menjadi mahar menikahkan anaknya yang dibayar secara tidak tunai.

Istishab adalah menetapkan sesuatu menurut keadaan sebelumnya sampai terdapat yang merubahnya.
Contoh istishab dalam muamalat yaitu jika ada pengadilan yang meminta membayar hutang tetapi orang tersebut mengakui tidak berhutang maka dimenangkan tidak mempunyai hutang karena manusia pada dasarnya tidak memiliki hutang, kemudian jika dia mengakui pernah berhutang 9 juta maka menjadi berhutang, dan jika yang memberikan hutang mengatakan 10 juta maka yang dimenangkan adalah yang 10 juta karena lebih kuat.
Maka pada kasus tersebut hukum asalnya manusia sejak lahir tidak berhutang, dan dicari dalil berikutnya yang merubah keadaan asal.
Contoh kasus bank garansi yaitu pada dasarnya hukum muamalah adalah boleh, kemudian dicari apakah ada dalil yang merubahnya yaitu yang menyatakan tidak bolehnya riba jika bank garansinya akan diambil dari pinjaman bank maka feenya berakhir pada riba. Hukum asalnya boleh tetapi karena ada ribanya maka ada larangan riba menjadi haram.
Contoh kasus jual beli online, hukum asalnya muamalah adalah boleh, jika tidak ada ghararnya atau ghararnya dapat diminimalisir dengan menjelaskan spesifikasi barang, maka jika tidak ada gharar tidak ada pula madharat.


Definisi perintah untuk mengerjakan / AMR yaitu tholabul fi’l yaitu tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kepada pihak yang lebih rendah derajatnya, dengan kata2 dalam Quran atau hadits.
Cara mengetahui kalimat menunjukkan perintah yaitu:
Cara mengetahui kalimat amr:
1. Ada fiil amr, contoh: aqimusshalah wa atuzzakah.
2. Diawali dengan lam, contoh liyunfiq.
3. Bentuknya mashdar, sumber kata kerja yang akan menjadi kata benda. Contoh: fadharbarriqob.
4. Isim fiil amar.

Beberapa hukum tentang fiil amar:
- Perintah yang mutlak menjadikan yang diperintahkannya menjadi wajib. Contoh: faktubuuhu, jika berhutang maka tulislah. Pada dasarnya wajib menulis transaksi yang tidak tunai atau berhutang dan jika tidak dilakukan berdosa, tetapi ada dalil hadits yang menjadikannya tidak wajib yaitu cerita tentang nabi yang berhutang kepada yahudi dan tidak ada saksi dan tidak ditulis. Tidak menjadi wajib lagi karena ada dalil yang mengeluarkannya dari hukum asalnya.
- Setiap perintah harus dilakukan sesegera mungkin. Contoh: orang yang mampu tetapi menunda membayarnya maka berdosa.
- Setiap perintah cukup dilakukan sekali dan tidak dilakukan berulang2 kecuali ada dalil harus berulang2.
- Perintah setelah larangan tidak berarti wajib. Contoh: QS bila selesai dari ihram maka berburulah, berburu tidak wajib. Contoh QS dilarang mendekati istri bila haid, dan jika selesai gaulilah. Ini tidak wajib karena sebelum perintah ada larangan. Contoh hadits “dulu aku melarang menyimpan daging qurban lebih dari 3 hari, sekarang simpanlah” menyimpannya tidak wajib tetapi boleh karena sebelum perintah ada larangan. Sebaiknya qurban dibagi 3 yaitu disimpan untuk keluarga, dibagikan untuk yang membutuhkan, dan dibagikan untuk yang tidak membutuhkan sebagai hadiah.

Lawan kata perintah, adalah kata larangan (nahy). Nahy adalah tuntutan untuk meninggalkan perbuatan, dari yang lebih tinggi derajatnya kepada yang lebih rendah derajatnya.
Bentuk2 yang menandakan larangan:
1. Huruf laa yang menunjukkan larangan, ada lam, fiil mudhari dimulai dengan ta, nunnya hilang atau kata sukun, contoh: laa ta’kulu arriba, laa tabi’
2. Yang tidak menggunakan kata laa, tetapi dari kandungan makna keseluruhan mengartikan larangan. Ada yang berbentuk ancaman. Contoh ancaman dengan siksa: Rasulullah melaknat pemakan riba, pemberi makan riba, yang menulisnya, dan yang menyaksikannya. Melaknat adalah menjauhkan dari rahmat Allah. Tidak mengandung kata laa tetapi bermakna melarang. Sifat2 lain yang disebutkan yaitu munafiq, kufur, yaitu yang pelakunya disifatkan dengan kata2 tersebut maka berarti perbuatannya dilarang.

Pada dasarnya seluruh kalimat perintah hukumnya wajib, tetapi ada yang dikecualikan yaitu: (1) perintah yang didahului oleh larangan, maksudnya membatalkan larangan dan kembali ke hukum asalnya yaitu mubah. Yang dikecualikan lainnya yang hukumnya tidak wajib adalah (2) ketika ada qarinah / dalil lain yang menunjukkan hukumnya tidak wajib. Contoh: istasyhidu syahidaini min rijalikum berarti jika berakad untuk transaksi yang tidak tunai pada dasarnya wajib mencari saksi, tetapi menjadi tidak wajib karena ada dalil yang lain dari kasus bahwa Rasulullah pernah melakukan akad tidak tunai dengan yahudi dan tidak ada saksi, kemudian ketika terjadi perselisihan Ibnu Khuzaimah bersaksi tentang kebenaran Rasulullah, sehingga dibolehkan tanpa saksi.
(3) Setiap perintah yang diikuti tanda2 harus dilakukan segera maka harus segera, kecuali jika tidak ada tanda2 harus segera dilakukan.
(4) Perintah mutlak yang dilakukan berulang2 contoh “dirikanlah shalat” yaitu dari hadits agar mengerjakan shalat saat matahari tenggelam (magrib), dst. Jika dikaitkan dengan kondisi berulang2 maka dilakukan berulang2. Sedangkan tentang perintah haji tidak diperintahkan berulang2 tetapi hanya sekali saja yaitu dari hadits “Jika diwajibkan setiap tahun tidak dapat dilakukan”.
Pada dasarnya perintah menunjukkan dilakukan sekali kecuali ada yang menandakan dilakukan berulang2.

Contoh jika menjual barang yang bukan miliknya seperti dropship, ada larangan dan larangan maksudnya adalah haram. “Jangan menjual barang yang bukan milikmu” jual belinya tidak sah dan seharusnya akadnya diulang. Jika akan melakukan seperti itu maka minta perjanjian akad wakalah dari penjual pertama.
Hukum taklifi / konsekuensi dari larangan jika dilakukan adalah tidak sah.

Hukum untuk larangan:
(1) Jika hukum perintah dasarnya tidak diulang2, tetapi untuk larangan menunjukkan berulang2 yaitu menunjukkan selamanya. Contoh laa taqrobu zina yaitu larangan tidak melakukan zina selama2nya.
(2) Perintah kemudian larangan menunjukkan haram, yang haram lebih kuat dari yang wajib dan lebih kuat dari perintah.
(3)

Maalaayatimmulwaajib illa bihi fahuwa wajib: wudhu wajib, tetapi jika tidak ada air maka wajib membeli air sehingga membeli airnya menjadi wajib.
Sesuatu tidak menjadi kewajiban jika dengannya. Contoh: yang mengantarkan zakat adalah nishab, tetapi tidak wajib mencari harta agar mencapai nishab.


Dosen: Dr. Erwandi Tarmizi, MA



*Catatan Giska


1.      Ushul fiqih (bahasa Arab:أصول الفقه) adalah ilmu hukum dalam Islam yang mempelajari kaidah-kaidah, teori-teori dan sumber-sumber secara terperinci dalam rangka menghasilkan hukum Islam yang diambil dari sumber-sumber tersebut. [1]
Mekanisme pengambilan hukum dalam Islam harus berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah dipaparkan ulama. Berikut ini empat sumber utama:
1.                   Al-Qur'an, kitab suci agama Islam
2.                   Sunnah, tindakan, ucapan dan ketetapan Nabi Muhammad
3.                   Ijma, kesepakatan para ulama.
4.                   Qiyas, analogi hukum dengan hukum lain yang telah ada ketetapannya.
Contoh: Asal dalam perintah menunjukan arti wajib.
Dengan mengetahui ushul fiqih, kita akan mengetahui dasar-dasar dalam berdalil, dapat menjelaskan mana saja dalil yang benar dan mana saja dalil yang palsu. Dalil yang benar adalah apa yang ada di dalam al-qur’an, hadist rosulullah serta perkataan para sahabat, sedangkan dalil-dalil yang palsu adalah seperti apa yang didakwahkan oleh kaum syiah, dimana mereka mengatakan bahwa mimpi dari seorang yang mereka agungkan adalah dalil. Atau juga kelompok lain yang mengatakan bahwa perkataan para tabi’in adalah dalil, ini merupakan dalil yang palsu yang dapat merusak syariat islam yang mulia ini
Dengan ushul fiqih, kita dapat mengetahui cara berdalil yang benar, dimana banyak kaum muslimin sekarang yang berdalil namun dengan cara yang salah. Mereka berdalil namun dalil yang mereka gunakan tidaklah cocok atau sesuai dengan pembahasan yang dimaksudkan, sehingga pemaknaan salah dan hukum yang diambil menjadi keliru. Seperti halnya mereka menghalalkan maulid nabi dengan dalil sunnahnya puasa senin, yang mana ini sesuatu yang tidak berhubungan sama sekali. Bagaimana kita bisa mengetahui bahwa itu adalah salah?? Yakni dengan mempelajari ushul fiqih.
Ketika pada jaman sekarang timbul perkara-perkara yang tidak ada dalam masa nabi, terkadang kita bingung, apa hukum melaksanakan demikian dan demikian, namun ketika kita mempelajari ushul fiqih,kita akan tahu dan dapat berijtihad terhadap suatu hukum yang belum disebutkan di dalam al-qur’an dan hadits. Seperti halnya penggunaan komputer, microphone dll.
Dalam ushul fiqih akan dipelajari mengenai kaidah-kaidah dalam berfatwa, syarat-syaratnya serta adab-adabnya. Sehingga fatwa yang diberikan sesuai dengan keadaan dari yang ditanyakan.
Dengan mempelajari ushul fiqih, kita dapat mengetahui sebab-sebab yang menjadikan adanya perselisihan diantara para ulama dan juga apa alasan mereka berselisih, sehingga dari hal ini kita akan lebih paham dan mengerti maksud dari perbedaan pendapat tersebut, yang akhirnya kita bisa berlapang dada terhadap perbedaan pendapat yang terjadi, bukannya saling mengejek dan menjatuhkan satu sama lainnya.
Ushul fiqih dapat menjauhkan seseorang dari fanatik buta terhadap para kiayi, ustadz atau guru-gurunya. Begitu pula dengan ushul fiqih seseorang tidak menjadi taklid dan ikut-ikutan tanpa mengetahui dalil-dalilnya.
Ushul fiqih dapat menjaga aqidah islam dengan membantah syubhat-syubhat yang dilancarkan oleh orang-orang yang menyimpang. Sehingga ushul fiqih merupakan alat yang bermanfaat untuk membendung dan menangkal segala bentuk kesesatan.
Ushul fiqih menjaga dari kebekuan agama islam. Karena banyak hal-hal baru yang belum ada hukumnya pada jaman nabi, dengan ushul fiqih, hukum tersebut dapat diketahui.
Dalam ushul fiqih, diatur mengenai cara berdialog dan berdiskusi yang merujuk kepada dalil yang benar dan diakui, tidak semata-mata pendapatnya masing-masing. Sehingga dengan hal ini, debat kusir akan terhindari dan jalannya diskusi dihiasi oleh ilmu dan manfaat bukannya dengan adu mulut.
Dengan ushul fiqih, kita akan mengetahui kemudahan, kelapangan dan sisi-sisi keindahan dari agama islam.
Dengan berbagai manfaat yang akan kita dapatkan di atas, marilah kita bersama-sama mempelajari ilmu ushul fiqih ini.
Pada mulanya, para ulama terlebih dahulu menyusun ilmu fiqh sesuai dengan Al-Qur an, Hadits, dan Ijtihad para Sahabat. Setelah Islam semakin berkembang, dan mulai banyak negara yang masuk kedalam daulah Islamiyah, maka semakin banyak kebudayaan yang masuk, dan menimbulkan pertanyaan mengenai budaya baru ini yang tidak ada di zaman Rosulullah. Maka para Ulama ahli usul Fiqh menyusun kaidah sesuai dengan gramatika bahasa Arab dan sesuai dengan dalil yang digunakan oleh Ulama penyusun ilmu Fiqh [2]
Usaha pertama dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam kitabnya Arrisalah. Dalam kitab ini ia membicarakan tentang Qur'an, kedudukan hadits, Ijma, Qiyas dan pokok-pokok peraturan mengambil hukum. Usaha Imam Syafi'i ini merupakan batu pertama dari ilmu ushul fiqih yang kemudian dilanjutkan oleh para ahli ushul fiqih sesudahnya. Para ulama ushul fiqih dalam pembahasannya mengenai ushul fiqih tidak selalu sama, baik tentang istilah-istilah maupun tentang jalan pembicaraannya. Karena itu maka terdapat dua golongan yaitu; golongan Mutakallimin dan golongan Hanafiyah.[3]
Golongan Mutakallimin dalam pembahasannya selalu mengikuti cara-cara yang lazim digunakan dalam ilmu kalam, yaitu dengan memakai akal-pikiran dan alasan-alasan yang kuat dalam menetapkan peraturan-peraturan pokok (ushul), tanpa memperhatikan apakah peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan persoalan cabang (furu') atau tidak. Di antara kitab-kitab yang ditulis oleh golongan ini adalah;
1.                   Al-Mu'tamad oleh Muhammad bin Ali
2.                   Al-Burhan oleh Al-Juwaini
3.                   Al-Mustashfa oleh Al-Ghazali
4.                   Al-Mahshul oleh Ar-Razy
Golongan Hanafiyah dalam pembahasannya selalu memperhatikan dan menyesuaikan peraturan-peraturan pokok (ushul) dengan persoalan cabang (furu').
Setelah kedua golongan tersebut muncullah kitab pemersatu antara kedua aliran tersebut di antaranya adalah;
1.                   Tanqihul Ushul oleh Sadrus Syari'ah
2.                   Badi'unnidzam oleh As-Sa'ati
3.                   Attahrir oleh Kamal bin Hammam
4.                   Al-Muwafaqat oleh As-Syatibi
Selain kitab-kitab tersebut di atas, juga terdapat kitab lain yaitu, Irsyadul Fuhul oleh Asy-Syaukani, Ushul Fiqih oleh Al-Chudari. Terdapat juga kitab Ushul fiqih dalam bahasa Indonesia dengan nama "Kelengkapan dasar-dasar fiqih" oleh Prof. T.M. Hasbi As-Shiddiqi.[3]
2.      Kaidah 1
Sempurna kewajiban kecuali tidak menjalankan kewajiban yang lainnya
                                    Tanpa
Contohnya terpenuhi akad wadiah tanpa harus melakukan jual beli terlebih dahulu.

Kaidah 2
Tidak sempurna kewajiban kecuali dengan menjalankan kewajiban lainnya
Contohnya tidak terpenuhi syarat sah jual beli jika objek jual beli merupakan barang najis atau barang haram.


3.      Nashnya hanya Quran dan Hadits.
Qiyas menukar emas dengan rupiah dengan tidak tunai, diqiyaskan oleh DSN MUI dengan pendapat Ibnu Taimiyah yang membolehkan menukar emas perhiasan dengan dinar dengan cara tidak tunai. Kemudian emas perhiasan diqiyaskan dengan emas, dan dinar diqiyaskan dengan rupiah (mata uang). Qiyasnya tidak dapat dibenarkan karena tidak ada dalam nash, dalam nash yang ada yaitu emas tidak boleh dicicil. Qiyas ini tidak memenuhi syarat 1. Mengqiyaskan sesuatu dari pendapat yang bertentangan dengan ijma’.
4.      Secara bahasa kata Sadd berarti menutup dan al-zariah berarti wasilah atau jalalan kesuatu jalan kesuatu tujuan. Dengan demikian sadd adzariah berarti menutup jalan yang mencapaikan kepada tujuan. Dalam kajian ushul fiqh sebagaimana dkemukakan Abdul Karim Zaidah, Sadd Adz-zariah adalah menutup jalan yang membawa kebinasaan atau kejahatan. Sebagian ulama mengkhususkan pengertian dzariah dengan sesuatu yang membawa pada perbuatan yang dilarang dan mengandung kemudharatan. Akan tetapi, pendapat tersebut ditentang oleh para ulama ushul lainnya, diantaranya Ibnu Qattim Aj-Jauziyah yang menyatakan bahwa dzariah itu tidak hanya menyangkut sesuatu yang dilarang, tetapi ada juga yang dianjurkan. Dengan demikian, lebih tepat kalau adzariah (yang dilarang), Fath Fiqh (Zikrul Hakim, Jakarta Timur, 2004) (yang dianjurkan). Pengertian sadd-adzariah, menurut Imam Asy-Syatibi adalah
أَلتَّوَصَّلُ بِمَا مَصْلَحَةُ مَفْسَدَةٍ
Artinya: melaksanakan suatu pekerjaan yang semula mengandung kemasalahatan dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa Sadd-Adzariah adalah perbuatan yang dilakukan seseorang yang sebelumnya mengandung kemaslahatan, tetapi berakhir dengan suatu kerusakan.
Contohnya haul (genap setahun) ia menghibahkan hartanya kepada anaknya sehingga dia terhindar dari kewajiban zakat.
Hibbah (memberikan sesuatu kepada orang lain, tanpa ikatan apa-apa) dalam syariat Islam, merupakan perbuatan baik yang mengandung kemaslahtan, akan tetapi bila tujuannya tidak baik, misalnya untuk menghindarkan dari kewajiban zakat maka hukum zakat adalah wajib, sedangkan hibbah adalah sunnah.
Menurut Imam Asy-Syatibi ,ada kriteria yang menjadikan suatu perbuatan itu dilarang, yaitu:
a. Perbuatan yang tadinyaboleh dilakukan itu mengandung kerusakan.
b. Kemafsadatan lebih kuat dari pada kemaslahatan.
c. Perbuatan yang dibolehkan syara’ mengandung lebih banyak unsur keman faatannya.
B. Macam-Macam Dzariah
Para ulama membagi dzariah berdasarkan dua segi-segi kualitas kemaf sadatan, dan segi jenis kemafsadatan.
a. Adzariah dari segi kualitas kemafsadatan
Menurut Imam Abu Syatibi membagi Adzariah kepada 4 macam, yaitu:
a. Dzariah yang membawa kepada kerusakan secara pasti. Artinya, bila perbuatan chariah itu tidak dihindarkan pasti akan terjadi kerusakan. Umpamanya: menggali sumur di depan rumah orang lain pada waktu malam, yang menyebabkan pemilik tumah jatuh ke dalam sumur tersebut. Maka ia dikeni hukuman karena melakukan perbuatan dengan sengaja.
b. Dzariah yang membawa kepada kerusakan menurut biasanya, dengan arti kelau Dzariah itu dilakukan, maka kemungkinan besar akan timbul kerusakan atau akan dilakukannya prbuatan yang dilarang.
Umpamanya: menjual anggur kepada pabrik pengolahan minuan keras, atau menjual pisau kepada penjahat yang sedang mencari musuhnya, menjual anggur itu boleh-boleh saja dan tidak mesti pula anggur yang dijual itu dijadikan minuman keras, naun menurut kebiasaan, pabrik minuman keras membeli anggur untuk dioleh menjadi menuman keras. Demikian pula menjual pisau kepada penjahat. Kemungkinan besar akan digunakan utnuk membunuh atau menyakiti orang lain.
c. Dzariah yang membawa kepada perbuatan terlarang menurut kebanyakan. Hal ini berarti bila Dzariah itu tidak dihindarkan seringkali sesudah itu akan mengakibatkan berlangsungnya perbuatan yang dilarang. Umpamanya jual beli kredit. Memang tidak selalu jual beli kredit itu membawa kepada riba, namun dalam prakteknya seirng dijadikan sarana untuk riba.
d. Dzariah yang jarang sekali membawa kepada kerusakan atau perbuatan terlarang, dalam hal ini seandainya perbuatan itu dilakukan, belum tentu akan menimbulkan kerusakan. Umpamanya mengali lobang di kebun sendiri yang jarang di lalui orang, menurut kebiasaannya tida ada orang yang lewat di tempat tertutup kedalam lobang. Namun tidak tertutup kemungkinan ada yang nyasar lalu dan terjatuh ke dalam lobang.
b. Dzariah dari segi kemafsadatan yang ditimbulkan
Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziah, pembagian dari segi ini antara lain sebagai berikut:
1. Dzariah yang memang pada dasarnya membawa kepada kerusakan seperti meminum yang memabukkan yang membawa kepada kerusakan akal atau mabuk. Perbuatan zina yang membawa pada kerusakan tata keturunan.
2. Dzariah yang ditentukan untuk sesuatu yang mubah, namun ditujukan untuk perbuata buruk yang merusak, baik dengan sengaja, seperti nikah muhalli, atau tidak sengaja sepserti mencaci sembahan agama lain. Nikah itu sendiri hukumnya pada dasarnya boleh, namun dilakukan dengan niat menghalalkan yang haram menjadi tidakboleh hukumnya. Mencaci sembahan agama lain itu sebenarnya hukumnya mubah, namun karena cara tersebut dapat dijadikan perantara bagi agama lain untuk mencaci Allah menjadi terlarang.
3. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, tidak ditujukan untuk kerusakan, namun biasanya samapi juga kepada kerusakan yang mana kerusakan itu lebih besar dari kebaikannya. Seperti berhiasnya seseorang perempuan yang baru kematian dalam masa iddah, berhiasnya perempuan boleh hukumnya, tetapi dilakukannya berhias itu justru baru saja suaminya mati dan masih dalam masa iddah keadaannya lain.
4. Dzariah yang semula ditentukan untuk mubah, namun tekandung membawa kepada keruasakan, sedangkan kerusakannya lebih kecil dibanding kebaikannya. Contoh dalam hal ini melihat wajah perempuan saat dipinang.
Jual beli dengan cara Al-‘Inah adalah seseorang menjual suatu barang dengan harga tertentu secara kredit lalu ia kembali membelinya dari pembeli dengan harga yang lebih sedikit secara kontan.
Hakikatnya ia tidaklah dianggap sebagai jual beli, melainkan hanya sekedar pinjaman riba yang disamarkan dalam bentuk jual beli dan termasuk bentuk hilah (tipu daya) orang-orang yang senang melakukan riba.
Contoh : Ahmad menjual barang kepada Muhammad dengan harga Rp. 1.000.000,- secara kredit selama satu bulan, kemudian Ahmad atau yang mewakilinya kembali datang kepada Muhammad membeli barang tersebut dengan harga Rp. 800.000,- secara kontan.

No comments: