Saturday, October 12, 2013

PASCA: Ekonomi Mikro Islam (3) Perilaku Konsumen



PERILAKU KONSUMEN: CONSUMER BEHAVIOR

Manusia berekonomi untuk mencapai level kemakmuran dan kesejahteraan.
Umat Islam berekonomi sebagai bagian dari konsep keberimanannya. Praktek sistem moneter saat ini tidak dapat menciptakan ekonomi yang berkeadilan. Goal setting menuju kemakmuran, pelakunya adalah pengoptimal: bagaimana mencapai goal dengan sumber daya yang relatif terbatas. Potensi tidak terbatas, sedangkan kemampuan manusia untuk mengeksplorasinya yang terbatas sehingga sumber daya disebut sebagai relatif terbatas baik sumber daya manusia maupun sumber daya alam.

Perilaku optimalisasi berbicara tentang decision.
Contoh perilaku komunitas dengan income tertentu hampir 100% digunakan untuk kebutuhan duniawi. Sedangkan di komunitas lain ada yang menggunakannya sebagian untuk kebutuhan ukhrawi. Faktor pendukungnya bermacam-macam. Membuat plotting masyarakat dengan kategori penduduk yang sudah menempuh pendidikan minimal sarjana, dan meneliti faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih bank yang digunakan. Keduanya merupakan faktor dependen yang saling berhubungan. Ketika memutuskan untuk menggunakan barang atau jasa tertentu, faktor kemakmuran yang digunakan adalah level kepuasan konsumen. Faktor apa saja yang mempengaruhi keputusan untuk menggunakan barang atau jasa tertentu dalam usaha mencapai tingkat kepuasan tertentu.

TUJUAN (GOAL SETTING) ------> KEMAKMURAN
STRATEGI, KEBIJAKAN, PRODUK, DLL

Tujuan tertentu yang hukumnya wajib, maka untuk cara mencapai tujuan tersebut juga menjadi wajib. “Maa laa yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib”

Dalam mencapai tujuan maka perlu melihat Islamic Worldview dengan melihat pengalaman umat Islam sebelumnya dengan dikombinasikan dengan pengetahuan tentang kondisi terbaru.

Pernyataan-pernyataan normatif dalam ekonomi tersebut perlu diaplikasikan ke dalam praktek bisnisnya, untuk itu perlu mengetahui ushul fiqh dan fiqh muamalah.
Contoh : syarat untuk terjadi saling ridho (an taradim minkum) adalah melalui jalan-jalan yang sesuai syariah dan bebas dari unsur-unsur yang mengandung kebatilan (laa takul amwalakum bil baatil)
Ketika melakukan ibadah maka harus memahami fiqhnya.
Kasus seminar: investasi berbasis trust dengan objek pembahasan Ust Yusuf Mansyur dan Kiai lain yang ditokohkan oleh kelompok tertentu dan dimanfaatkan untuk terjun ke bisnis walaupun belum paham dengan karakter bisnis dan fiqh muamalah.
Jika ingin melakukan investasi tertentu maka harus paham dengan fiqh investasinya sehingga terhindar dari hal yang batil.
Trust menjadi salah satu modal dalam berinvestasi yaitu personal guarantee (kafalah bil wujuh) tetapi bukan merupakan syarat sahnya transaksi. Dalam bertransaksi rukun harus terpenuhi, syaratnya pun harus jelas. Jika rukun terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi maka transaksi menjadi fasik. Jika rukun dan syarat tidak terpenuhi maka menjadi batil.

FASIK: RUKUN TERPENUHI TETAPI SYARAT TIDAK TERPENUHI
BATIL: RUKUN DAN SYARAT TIDAK TERPENUHI

Untuk dapat mencapai kemakmuran, seluruh pelaku ekonomi harus memperhatikan point “Islamic Economics’ Postulates (Falah)” sehingga pencapaian ekonomi bukan hanya diperoleh dengan kenaikan nominal tetapi juga peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran.
Dalam proses untuk menentukan kebolehan sesuatu hal maka perlu memperhatikan kondisi yang berlaku, sehingga selain mempertimbangkan faktor syariah maka harus mempertimbangkan faktor akhlak juga.
Berkepentingan untuk menciptakan cara, strategi, produk, dll yang berdampak baik bagi seluruh stakeholders.

Setelah diciptakan maka akan terjadi review: kritisi dan solusi untuk fatwa/produk yang telah dijalankan, yang disebut dengan fine tuning process.
Hasil kajian tidak merupakan sesuatu yang absolut, akan ada proses check and balancing.
Dalam perilaku konsumen: mempertanyakan apakah keputusan yang telah diambil dalam melakukan aktivitas ekonomi merupakan keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i.
Contoh: keputusan dalam membeli barang kebutuhan apakah termasuk kebutuhan primer (dharuriyat): kebutuhan mendasar, sekunder (hajjiyat), dan tersier (tahsiniyat). Terutama dalam membeli kebutuhan sekunder dan tersier maka nilai normatif akan dapat tersingkirkan oleh keputusan emosional dan sosial.

Kebijakan yang digulirkan dan praktek ekonomi yang dilakukan harus berada dalam kerangka kelima maqashid syariah. Contoh: mengukur perbankan hanya dengan CAMEL yaitu hanya rasio-rasio keuangannya saja sehingga hanya satu unsur dalam maqashid syariah yang terukur yaitu hifzhul maal sedangkan yang lain tidak terukur. Sedangkan dalam analisa maqashid syariah faktor lain tidak tercapai, dan terjadi eksternalitas (dampak buruk) bagi faktor lainnya. Kinerja objek (perusahaan, keluarga, dll) harus dilihat dari berbagai faktor yaitu dari unsur keuangan dan didukung dengan pengukuran dari perspektif maqashid syariah. Pengukuran unsur keuangan saja merupakan hal yang important but not sufficient.

RASIONALITAS
Dalam ekonomi yang terjadi sekarang rasionalitas menurut kepentingan pribadi sehingga PARETO OPTIMUM diperbolehkan: satu pihak rugi dan pihak lain untung.
Tipe mindset, rational economic man:
1. Spekulan: ada rugi ada untung, senang dengan volatilitas ekonomi yang tinggi karena ada potensi mendapatkan keuntungan yang berbasiskan pada judi (maysir).
2. Pebisnis riil : menginginkan adanya stabilitas ekonomi.
Dalam ekonomi yang terjadi saat ini dibuka ruang besar untuk spekulasi sehingga terjadi konflik antara kepentingan mikro dengan makro. Makro menginginkan tercapainya kondisi ideal yaitu adanya stabilitas moneter, menurunnya unemployment rate, minimal terjadi balance of payment (impor vs ekspor). Menurut Umer Chapra, kondisi ideal makro tidak akan tercapai jika pelaku-pelaku mikro dibiarkan menjalankan ekonomi tanpa dibatasi aturan-aturan seperti dapat mengambil untung dari volatilitas bunga dan mata uang.


Fasilitator: Dr. Yulizar D. Sanrego, M.Ec.

No comments: