PERILAKU KONSUMEN: CONSUMER BEHAVIOR
Manusia berekonomi untuk mencapai level kemakmuran dan kesejahteraan.
Umat Islam berekonomi sebagai bagian dari konsep keberimanannya.
Praktek sistem moneter saat ini tidak dapat menciptakan ekonomi yang
berkeadilan. Goal setting menuju kemakmuran, pelakunya adalah pengoptimal:
bagaimana mencapai goal dengan sumber daya yang relatif terbatas. Potensi tidak
terbatas, sedangkan kemampuan manusia untuk mengeksplorasinya yang terbatas
sehingga sumber daya disebut sebagai relatif terbatas baik sumber daya manusia
maupun sumber daya alam.
Perilaku optimalisasi berbicara tentang decision.
Contoh perilaku komunitas dengan income tertentu hampir 100% digunakan untuk
kebutuhan duniawi. Sedangkan di komunitas lain ada yang menggunakannya sebagian
untuk kebutuhan ukhrawi. Faktor pendukungnya bermacam-macam. Membuat plotting
masyarakat dengan kategori penduduk yang sudah menempuh pendidikan minimal
sarjana, dan meneliti faktor yang mempengaruhi masyarakat dalam memilih bank
yang digunakan. Keduanya merupakan faktor dependen yang saling berhubungan.
Ketika memutuskan untuk menggunakan barang atau jasa tertentu, faktor kemakmuran
yang digunakan adalah level kepuasan konsumen. Faktor apa saja yang mempengaruhi
keputusan untuk menggunakan barang atau jasa tertentu dalam usaha mencapai
tingkat kepuasan tertentu.
TUJUAN (GOAL SETTING) ------> KEMAKMURAN
STRATEGI, KEBIJAKAN, PRODUK, DLL
Tujuan tertentu yang hukumnya wajib, maka untuk cara mencapai tujuan
tersebut juga menjadi wajib. “Maa laa yatimul waajib illa bihi fahuwa waajib”
Dalam mencapai tujuan maka perlu melihat Islamic Worldview dengan
melihat pengalaman umat Islam sebelumnya dengan dikombinasikan dengan
pengetahuan tentang kondisi terbaru.
Pernyataan-pernyataan normatif dalam ekonomi tersebut perlu
diaplikasikan ke dalam praktek bisnisnya, untuk itu perlu mengetahui ushul fiqh
dan fiqh muamalah.
Contoh : syarat untuk terjadi saling ridho (an taradim minkum) adalah
melalui jalan-jalan yang sesuai syariah dan bebas dari unsur-unsur yang
mengandung kebatilan (laa takul amwalakum bil baatil)
Ketika melakukan ibadah maka harus memahami fiqhnya.
Kasus seminar: investasi berbasis trust dengan objek pembahasan Ust
Yusuf Mansyur dan Kiai lain yang ditokohkan oleh kelompok tertentu dan
dimanfaatkan untuk terjun ke bisnis walaupun belum paham dengan karakter bisnis
dan fiqh muamalah.
Jika ingin melakukan investasi tertentu maka harus paham dengan fiqh
investasinya sehingga terhindar dari hal yang batil.
Trust menjadi salah satu modal dalam berinvestasi yaitu personal
guarantee (kafalah bil wujuh) tetapi bukan merupakan syarat sahnya transaksi. Dalam
bertransaksi rukun harus terpenuhi, syaratnya pun harus jelas. Jika rukun
terpenuhi tetapi syarat tidak terpenuhi maka transaksi menjadi fasik. Jika
rukun dan syarat tidak terpenuhi maka menjadi batil.
FASIK: RUKUN TERPENUHI TETAPI SYARAT TIDAK TERPENUHI
BATIL: RUKUN DAN SYARAT TIDAK TERPENUHI
Untuk dapat mencapai kemakmuran, seluruh pelaku ekonomi harus
memperhatikan point “Islamic Economics’ Postulates (Falah)” sehingga pencapaian
ekonomi bukan hanya diperoleh dengan kenaikan nominal tetapi juga peningkatan
kesejahteraan dan kemakmuran.
Dalam proses untuk menentukan kebolehan sesuatu hal maka perlu
memperhatikan kondisi yang berlaku, sehingga selain mempertimbangkan faktor
syariah maka harus mempertimbangkan faktor akhlak juga.
Berkepentingan untuk menciptakan cara, strategi, produk, dll yang
berdampak baik bagi seluruh stakeholders.
Setelah diciptakan maka akan terjadi review: kritisi dan solusi untuk
fatwa/produk yang telah dijalankan, yang disebut dengan fine tuning process.
Hasil kajian tidak merupakan sesuatu yang absolut, akan ada proses
check and balancing.
Dalam perilaku konsumen: mempertanyakan apakah keputusan yang telah
diambil dalam melakukan aktivitas ekonomi merupakan keputusan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara syar’i.
Contoh: keputusan dalam membeli barang kebutuhan apakah termasuk
kebutuhan primer (dharuriyat): kebutuhan mendasar, sekunder (hajjiyat), dan
tersier (tahsiniyat). Terutama dalam membeli kebutuhan sekunder dan tersier
maka nilai normatif akan dapat tersingkirkan oleh keputusan emosional dan sosial.
Kebijakan yang digulirkan dan praktek ekonomi yang dilakukan harus berada
dalam kerangka kelima maqashid syariah. Contoh: mengukur perbankan hanya dengan
CAMEL yaitu hanya rasio-rasio keuangannya saja sehingga hanya satu unsur dalam maqashid
syariah yang terukur yaitu hifzhul maal sedangkan yang lain tidak terukur.
Sedangkan dalam analisa maqashid syariah faktor lain tidak tercapai, dan
terjadi eksternalitas (dampak buruk) bagi faktor lainnya. Kinerja objek
(perusahaan, keluarga, dll) harus dilihat dari berbagai faktor yaitu dari unsur
keuangan dan didukung dengan pengukuran dari perspektif maqashid syariah. Pengukuran
unsur keuangan saja merupakan hal yang important but not sufficient.
RASIONALITAS
Dalam ekonomi yang terjadi sekarang rasionalitas menurut kepentingan
pribadi sehingga PARETO OPTIMUM diperbolehkan: satu pihak rugi dan pihak lain
untung.
Tipe mindset, rational economic man:
1. Spekulan: ada rugi ada untung, senang dengan volatilitas ekonomi
yang tinggi karena ada potensi mendapatkan keuntungan yang berbasiskan pada
judi (maysir).
2. Pebisnis riil : menginginkan adanya stabilitas ekonomi.
Dalam ekonomi yang terjadi saat ini dibuka ruang besar untuk spekulasi
sehingga terjadi konflik antara kepentingan mikro dengan makro. Makro
menginginkan tercapainya kondisi ideal yaitu adanya stabilitas moneter,
menurunnya unemployment rate, minimal terjadi balance of payment (impor vs
ekspor). Menurut Umer Chapra, kondisi ideal makro tidak akan tercapai jika
pelaku-pelaku mikro dibiarkan menjalankan ekonomi tanpa dibatasi aturan-aturan
seperti dapat mengambil untung dari volatilitas bunga dan mata uang.
Fasilitator: Dr. Yulizar D. Sanrego, M.Ec.
No comments:
Post a Comment