Saturday, March 6, 2010

Hadits Maudhu'

A. Pengertian Hadits Maudhu’

Definisi al-maudhu dan hadits maudhu’ adalah :
- Secara bahasa berasal dari kata wadha’a yadha’u wadh’an yang dapat diartikan menyimpan, mengada-ada, atau ditinggal.
- Sedangkan secara istilah maka hadits maudhu berarti ”(1)Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat, ataupun menetapkannya.” Dan dapat pula diartikan sebagai berikut ”(2) Hadits yang dibuat-buat oleh seseorang (pendusta) yang ciptaan ini dinisbatkan kepada Rasulullah secara paksa dan dusta, baik sengaja maupun tidak.”
Pelaku yang memalsukan hadits mendapatkan peringatan dari Rasulullah SAW dalam haditsnya :
(a)
”Barangsiapa yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka.”

B. Latar Belakang Timbulnya Hadits Maudhu’

1. Kefanatikan terhadap golongan, atau suatu negri, dll.
Orang-orang yang fanatik terhadap suatu golongan politik, seperti partai Syi’ah terutama Syi’ah Rafidhah, dan juga golongan yang fanatik kepada Mu’awiyah, sedangkan golongan jumhur yang kurang berilmu juga membuat hadits palsu sebagai tandingan bagi hadits-hadits palsu yang dibuat oleh golongan-golongan tersebut. Sedangkan orang-orang yang fanatik terhadap bahasa Persi juga membuat hadits yang mengagungkan bahasa Persi, begitu pula dengan orang-orang yang terlalu fanatik dengan suatu madzhab.
Contoh hadits maudhu’ dari golongan Syi’ah :
(b)
”Apabila kamu melihat Mu’wiyah di atas mimbarku, maka bunuhlah dia.“
2. Usaha kaum Zindik.
Kaum zindik adalah kaum yang membenci Islam baik sebagai agama maupun sebagai dasar negara. Karena Al-Qur’an tidak dapat dipalsukan, maka mereka mencoba memalsukan hadits dengan tujuan menghancurkan Islam dari dalam. Contoh hadits buatan kaum Zindiq :
(c)
”Melihat wajah cantik termasuk ibadah.”
3. Adanya pendapat yang memperbolehkan memalsukan hadits untuk kebaikan.
Yaitu dengan tujuan untuk menarik simpati dan menumbuhkan minat beribadah bagi orang-orang awam, tetapi dengan bahasa yang berlebih-lebihan. Dan dengan tujuan agar orang-orang awam melakukan ibadah seperti wirid dan sebagainya. Contoh :
(e)

”Barangsiapa mengatakan kalimat Allah akan menciptakan seekor burung dari setiap kalimat yang paruhnya terbuat dari emas dan bulunya dari marjan.”
4. Perselisihan madzhab fiqhiyah dan kelompok-kelompok ilmu kalam.
Dalam rangka memperkuat madzhab masing-masing, mereka berani melakukan pemalsuan hadits. Contoh hadits seperti ini :
(d)
”Barangsiapa mengangkat kedua tangannya di dalam shalat, maka tidak sah shalatnya.”
5. Menjilat penguasa.
Dalam hal ini, para pemalsu hadits membuat hadits palsu yang isinya akan membuat senang penguasa sehingga orang yang memalsukan hadits tersebut akan disukai oleh penguasa saat itu. Contohnya yaitu dalam hadits Rasulullah SAW yang berbunyi :
(f)
Kemudian ditambahkan kata ___________________ oleh Al-Ghiyats untuk menarik simpati khalifah saat itu yaitu Al-Mahdy. Yang berarti :
”Tidak sah perlombaan itu selain mengadu anak panah, mengadu unta, mengadu kuda, atau mengadu burung.”

C. Ciri-ciri Hadits Maudhu’

Pada dasarnya, ciri-ciri hadits maudhu adalah tidak memenuhi persyaratan hadits shahih, hadits hasan, dan hadits dhaif. Lebih lengkapnya dapat disimpulkan sebagai berikut :
Ciri-ciri yang terdapat pada sanad.
1. Pengakuan dari si pembuat sendiri. Contohnya seperti pengakuan seorang guru tasawuf ketika ditanya oleh Ibnu Ismail tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an mengatakan, ”Tidak seorangpun yang meriwayatkan hadits kepadaku. Akan tetapi kami melihat manusia-manusia membenci Al-Qur’an, maka kami ciptakan untuk mereka hadits ini (tentang keutamaan ayat-ayat Al-Qur’an) agar mereka menaruh perhatian untuk mencintai Al-Qur’an.” Tetapi menurut Ibnu Daqiqi’l, pengakuan seorang rawi belum dapat dipastikan memaudhukan suatu hadits, karena mungkin sekali sang perawi berbohong.
2. Adanya qarinah/alasan yang memperkuat adanya pengakuan pembuat hadits maudhu. Misalnya seorang perawi mengaku menerima suatu hadits dari seorang guru, sedangkan kenyataannya sang perawi tidak pernah bertemu dengan guru tersebut, atau guru yang dimaksud sudah meninggal sebelum sang perawi dilahirkan.
3. Tingkah laku sang perawi yang mencerminkan pernah berbuat hal yang tidak baik seperti sering berdusta kemudian hadits yang sejenis tidak ditemukan dalam hadits-hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih tsiqah.
Ciri-ciri yang terdapat pada matan.
1. Maknanya bertentangan dengan Al-Qur’an, atau dengan hadits mutawatir, atau dengan ijma’, dan dengan logika yang sehat.
* Contoh hadits yang bertentangan dengan Al-Qur’an :
(1)
”Anak zina itu tidak dapat masuk surga sampai tujuh turunan.”
Hal ini bertentangan dengan kandungan surat Al-An’am : 164 :
(2)
”...dan seseorang tidak akan memikul beban dosa orang lain...”
* Contoh hadits yang bertentangan dengan hadits mutawatir :
(3)
”Sesungguhnya setiap orang yang dinamakan dengan nama-nama Muhammad dan Ahmad dan semisalnya tidak akan dimasukkan neraka.”
Hal ini bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menyebutkan bahwa neraka itu tidak dapat ditebus dengan nama-nama tersebut, akan tetapi keselamatan dari neraka itu karena keimanan dan amal shalih.
2. Redaksi haditsnya buruk yaitu lafadz yang tidak baik dan tidak fasih padahal Rasulullah SAW adalah orang yang sangat fasih dalam berbahasa, santun dan enak di telinga. Redaksi yang jelek dapat berpengaruh kepada arti hadits itu sendiri.
3. Isinya menyebutkan janji yang sangat besar untuk perbuatan kecil. Contoh :
(4)
”Sesuap makanan di perut si lapar adalah lebih baik dari membangun seribu masjid jami’.”
4. Maknanya rusak. Hal ini dititikberatkan pada kerusakan arti, sebab periwayatan hadits tidak harus bi lafdzi tetapi boleh maknawi, kecuali bila maknawi tetapi dikatakan lafalnya dari nabi akan termasuk hadits palsu.
5. Isinya bertentangan dengan kenyataan sejarah yang terjadi di masa Rasulullah SAW seperti hadits tentang ketentuan jizyah (pajak) yang dibebankan pada penduduk Khaibar. Kelemahan hadits tersebut berada pada sanadnya yang dikatakan dari Sa’ad bin Muadz yang telah meninggal sebelum perang Khandaq melawan Khaibar, dan bahwa pada saat itu kewajiban jizyah belum diterapkan.
6. Isinya terlalu melebih-lebihkan salah satu sahabat. Contoh hadits ini :
(g)

”Bahwa Rasulullah SAW memegang tangan Ali bin Abi Thalib pada suatu majlis diantara para sahabat yang lain kemudian bersabda ’Inilah wasiatku dan saudaraku, dan khalifah setelahku’ kemudian sahabat yang lain sepakat.”
D. Macam-Macam Hadits Maudhu’

1. Hadits Matruk
Hadits Matruk ialah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang tertuduh dusta dalam perhaditsan.
Yang disebut dengan rawy yang tertuduh dusta ialah seorang rawy yang terkenal dalam pembicaraan sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan, bahwa dia sudah pernah berdusta dalam membuat Hadits. Seorang rawy tertuduh dusta, bila ia bertaubat dengan sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan Haditsnya.
Hadits yang diriwayatkan oleh rawy yang tertuduh dusta, disebut Hadits Matruk dan rawy yang meriwayatkannya disebut dengan Matruku’l-Hadits (orang yang ditinggalkan Haditsnya).
Adapun orang yang pernah berbuat dusta di luar Hadits, tidak ditolak periwayatannya. Sedang menurut sebagian ahli Hadits menolak periwayatannya, dikarenakan orang yang pernah berdusta di luar periwayatan hadits, ada kemungkinan dia berdusta di dalam periwayatan hadits.
Contoh Hadits Matruk :
(h)

”Telah bercerita kepadaku Ya’qub bin Sufyan bin ’Ashim, katanya : ”telah bercerita kepadaku Muhamad bin ’Imran, ujarnya: ”telah bercerita kepadaku ’Isa bin Ziyad, katanya: ”telah bercerita kepadaku ’Abdu’r-Rahim bin Zaid dari ayahnya, dari Sa’id ibnu-’l-Musayyab, dari ’Umar Ibnu’l-Khaththab r.a., katanya: ”Rasulullah s.a.w. bersabda: ”Andaikata (di dunia ini) tak ada wanita, tentu Allah itu disembah dengan sungguh-sungguh”.
Ibnu ’Adyy menjelaskan bahwa 2 orang rawy, yakni: ’Abdu’r-Rahim dan ayahnya (Zaid), adalah orang yang matruku’l-Hadits. Karenanya Hadits yang diriwayatkan melalui sanad mereka disebut Hadits Matruk.
2. Hadits Munkar dan Ma’ruf
Hadits Munkar ialah hadits yang menyendiri dalam periwayatan, yang diriwayatkan oleh orang yang banyak kesalahannya banyak kelengahannya, atau jelas kefasikannya yang bukan karena dusta.
Lengah biasanya terjadi dalam penerimaan Al-Hadits, sedangkan banyak-salah terjadi dalam menyampaikan Al-Hadits. Adapun yang dikehendaki dengan fasik, ialah kecurangan dalam amal, bukan kecurangan dalam i’tikad, sebab soal curang dalam i’tikad dinamakan bid’ah dan ini masuk dalam pembicaraan Hadits Dla’if, yang karena rawynya orang pembuat bid’ah.
Definisi hadits munkar di atas tidak mensyaratkan bahwa suatu Hadits dikatakan munkar itu harus ada perlawanannya, yaitu berlawanan dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi-rawi yang tsiqah.
3. Hadits Mu’allal.
Hadits Mu’allal (Ma’lul) ialah suatu hadits, yang setelah diadakan penelitian dan penyelidikan, nampak adanya salah sangka dari rawynya, dengan mewashalkan (menganggap, bersambung suatu sanad) Hadits yang Munqathi’ (terputus) atau memasukan sebuah hadits pada suatu hadits yang lain, atau yang semisal dengan itu. Ringkasnya, Hadits Mu’alal itu nampaknya tidak bercacat, tetapi setelah diselidiki terdapat ’illat, kadang-kadang terdapat pada sanad dan kadang-kadang terdapat pada matan. Contohnya Hadits Ya’la bin ’Ubaid :
(i)

”Dari Sufyan Ats-Tsaury dari ’Amr bin Dinar dari Ibnu ’Umar dari Nabi s.a.w ujarnya: Sipenjual dan si pembeli boleh memilih, selama belum berpisahan.”
’Illat Hadits ini terletak pada ’Amr bin Dinar, sebab mestinya bukan dia yang meriwayatkan, melainkan ’Abdullah bin Dinar. Hal itu dapat diketahui berdasarkan riwayat-riwayat lain, yang juga melalui sanad tersebut. Tetapi oleh karena kedua rawy tersebut sama-sama tsiqah, tetap shahih matannya.

4. Hadits Mudraj (Saduran)
Hadits Mudraj ialah hadits yang menampilkan redaksi tambahan, padahal bukan bagian dari hadits. Redaksi tersebut bisa saja milik orang lain baik itu dari sahabat maupun

Daftar Pustaka

Ash-Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Sejarah & Pengantar Ilmu Hadits,
Semarang-Indonesia : PT Pustaka Rizki Putra, 1999.
Rachman, Fatchur, Drs., Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung-Indonesia : PT
Al-Ma’arif, 1978.
Suparta, Munzier, Drs. MA., Ilmu Hadis, Jakarta-Indonesia : PT RajaGrafindo
Persada, 1993.

Disampaikan pada matakuliah Ulumul Hadits STEI dan STAI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Imran Zabidi, M.A., M.Phil. pada Semester Ganjil 2006/2007

No comments: