Saturday, March 6, 2010

Perilaku Pebisnis Islami

A. SIFAT DASAR YANG HARUS DIMILIKI OLEH PEBISNIS ISLAMI

Perilaku pebisnis Islami dapat disimpulkan dalam 4 sifat utama Rasulullah SAW yaitu : (1) Siddiq, (2) Amanah, (3) Fathanah, (4) Tabligh. Rincian dan aplikasi dalam bisnis mengenai keempat sifat utama Rasulullah tersebut akan dibahas secara satu-persatu di bagian selanjutnya.

A.1. Siddiq
Siddiq secara bahasa berarti benar, jujur. Sifat siddiq harus menjadi visi hidup setiap Muslim, karena hidup kita berasal dari Yang Maha Benar, maka kehidupan di dunia pun harus dijalani dengan benar, supaya kita dapat kembali kepada pencipta kita, Yang Maha Benar. Dengan demikian, tujuan hidup Muslim sudah terumus dengan baik.
Dari konsep siddiq ini, dapat dirincikan menjadi beberapa konsep khas ekonomi dan bisnis : efektivitas, efisiensi, dst.

A.2. Amanah
Amanah secara bahasa berarti tanggung jawab, kepercayaan, kredibilitas. Amanah menjadi visi hidup setiap Muslim. Karena Sang Benar hanya dapat kita jumpai dalam keadaan ridha dan diridhai, bila kita menepati amanat yang telah dipikulkan kepada kita. Sifat ini akan membentuk kredibilitas yang tinggi dan sikap penuh tanggung jawab pada setiap individu Muslim. Kumpulan individu dengan kredibilitas dan tanggung jawab yang tinggi akan melahirkan masyarakat yang kuat, karena dilandasi oleh saling percaya antaranggotanya. Sifat amanah memainkan peranan yang fundamental dalam ekonomi dan bisnis, karena tanpa kredibilitas dan tanggung jawab, kehidupan ekonomi dan bisnis akan hancur.

A.3. Fathanah
Secara bahasa fathanah berarti kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualita. Sifat ini dapat dipandang sebagai strategi hidup setiap Muslim. Karena untuk mencapai Sang Benar, kita harus mengoptimalkan segala potensi yang telah diberikan olehNya. Potensi paling berharga dan termahal yang hanya diberikan pada manusia adalah akal (intelektualita). Karena itu Allah dalam Al-Qur’an selalu menyindir orang-orang yang menolak seruan untuk kembali (taubat) kepadaNya dengan kalimat “Apakah kamu tidak berfikir?, Apakah kamu tidak menggunakan akalmu?,”. Dan orang yang paling bertakwa justru adalah orang yang paling mengoptimalkan potensi fikirnya. Bahkan peringatan yang paling keras adalah “dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya”.
Implikasi ekonomi dan bisnis dari sifat ini adalah bahwa segala aktivitas harus dilakukan dengan ilmu, kecerdikan, dan pengoptimalan semua potensi akal yang ada untuk mencapai tujuan. Jujur, benar, kredibel, dan bertanggungjawab saja tidak cukup dalam berekonomi dan berbisnis. Para pelaku harus pintar dan cerdik supaya usahanya efektif dan efisien, dan agar tidak menjadi korban penipuan. Bandingkan ini dengan konsep manajemen work hard vs work smart. Dalam ekonomi Islam tidak ada dikotomi ini, karena konsepnya work hard and smart.

A.4. Tabligh
Tabligh secara bahasa berarti menyeru, mengajak, memberitahu yang diterjemahkan menjadi taktik hidup Muslim menjadi komunikasi, keterbukaan, pemasaran. Karena setiap Muslim mengemban tanggung jawab da’wah yaitu menyeru, mengajak, memberitahu.
Sifat ini bila sudah mendarah daging pada setiap Muslim, apalagi yang bergerak dalam bidang ekonomi dan bisnis, akan menjadikan setiap pelaku ekonomi dan bisnis sebagai pemasar-pemasar yang tangguh dan lihai. Karena sifat tabligh menurunkan prinsip-prinsip ilmu komunikasi (personal maupun massal), pemasaran, penjualan, periklanan, pembentukan opini massa, open management, iklim keterbukaan, dan lain-lain.


B. URAIAN SIFAT-SIFAT YANG HARUS DIMILIKI PEBISNIS ISLAMI

B.1. Kejujuran
Kejujuran merupakan penguraian dari sifat siddiq dan amanah dalam diri Rasulullah. Kemudian kejujuran harus diterapkan pada pemasaran yang merupakan penguraian dari sifat tabligh.
Kejujuran yang dimaksud bermula dengan jujur pada diri sendiri yang berlanjut dengan berlaku jujur terhadap orang lain. Nabi SAW bersabda :
Tidak dibenarkan seorang Muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib kecuali dia menjelaskan aibnya. (HR Al-Quzwaini)
Tanpa kejujuran, semua hubungan –termasuk hubungan bisnis- tidak akan langgeng, padahal dalam prinsip berbisnis, interaksi yang memberi untung sedikit tapi berlangsung berkali-kali (lama) lebih baik daripada untung yang banyak tetapi hanya sekali atau dua tiga kali. Dalam berbisnis, kejujuran lebih kuat pengaruhnya daripada kesamaan agama, bangsa, bahkan kekeluargaan yang tidak disertai dengan kejujuran. Diakui oleh semua pihak, kunci utama keberhasilan bisnis dan kelanggengannya adalah kejujuran, termasuk kejujuran dalam berpromosi. Promosi yang berlebihan, apalagi yang mengandung kebohongan, merupakan salah satu bentuk ketidakjujuran yang justru pada akhirnya merugikan pebisnis dan produknya.
Serupa dengan promosi yang berlebihan adalah bersumpah “Demi Allah” untuk meyakinkan pihak lain tentang kebenaran tawarannya yang mengandung kebohongan. Hal tersebut dilarang oleh Al-Qur’an dalam QS Al Baqarah (2) : 224

Janganlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan ishlah di antara manusia. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Demikian juga oleh Nabi SAW antara lain dengan sabda beliau :
Khianat besar menyampaikan sesuatu kepada sesama Anda, dia percaya padahal Anda berbohong (HR Abu Dawud)

B.2. Pemenuhan Janji dan Perjanjian
Prinsip ini merupakan penguraian dari sifat siddiq. Dengan dipenuhinya janji juga mempunyai pengaruh terhadap terciptanya kredibilitas dan kepercayaan yang baik dalam berbisnis. Hal ini merupakan uraian dari sifat amanah. Sehingga dalam prinsip pemenuhan janji dan perjanjian ada 2 sifat yang harus diteladani yaitu siddiq dan amanah.
Salah satu konsekuensi dari kejujuran adalah pemenuhan janji dan syarat-syarat perjanjian. Dua pihak yang bertransaksi pada dasarnya saling percaya akan kebenaran mitranya dalam segala hal yang berkaitan dengan bisnis mereka. Maka jika janji atau syarat perjanjian diabaikan, maka kepercayaan menjadi cedera yang bukan saja dapat membatalkan transaksi yang sedang berlangung, tetapi juga menghambat terjadinya transaksi baru, baik dengan mitra tersebut maupun dengan yang lain yang mendengar tentang hal itu.
Al-Qur’an dan Sunnah secara tegas memerintahkan untuk memenuhi segala macam janji dan ikatan perjanjian seperti yang dicantumkan dalam QS Al Maidah (5) : 1

Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
Dan QS Al-Isra (17) : 34

Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.
Nabi SAW mengingatkan dalam hadits yang berbunyi :
Persepakatan dibenarkan antara kaum Muslim kecuali persepakatan yang menghalalkan yang haram atau yang mengharamkan yang halal. Kaum Muslim (berkewajiban) memenuhi syarat-syarat yang mereka tetapkan kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau yang menghalalkan yang haram. (HR At Tirmidzi dan Al Bazzar melalui Katsir bin Zaid)
Demi memelihara kewajiban ini Al-Qur’an memerintahkan untuk mencatat transaksi bisnis dan mempersaksikannya di hadapan notaris bila perlu, khususnya menyangkut utang piutang dan mempersaksikannya dengan dua orang yang disepakati oleh kedua belah pihak. Seperti yang disebutkan dalam QS Al-Baqarah (2) ayat 282 yang berarti :
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya...

B.3. Toleransi, Keluwesan, dan Keramahtamahan
Ketiga hal ini lebih merupakan turunan dari sifat tabligh dan fathanah yang termuat dalam ilmu komunikasi, pemasaran, penjualan, periklanan. Karena bisnis bukan sekedar memperoleh keuntungan materi semata, tetapi juga menjalin hubungan harmonis yang pada gilirannya menguntungkan kedua pihak, karenanya kedua pihak harus mengedepankan toleransi, keluwesan, dan keramahtamahan yang seimbang.
Ungkapan yang menyatakan “pembeli adalah raja” ada benarnya, tapi pada saat yang sama ada batasnya. Batas-batas itu melahirkan hak buat pembeli dan juga hak buat penjual. Sebagai contoh, pembeli sebaiknya tidak menuntut atau bahkan mendesak kelebihan timbangan/takaran ketika membeli dan jangan juga menguranginya ketika menjual. Hal ini dapat ditemukan dalam hadits Nabi SAW yang berarti :
Semoga Allah merahmati seseorang yang ramah dan toleran dalam menjual, membeli, dan menagih (HR Bukhari dan At Tirmidzi).
Bentuk-bentuk toleransi dan keramahtamahan itu, antara lain, tidak menarik keuntungan yang melampaui batas kewajaran, menambah untuk kepentingan pembeli kadar takaran dan timbangan, bertoleransi menerima kembali -dalam batas tertentu- barang yang dijualnya jika pembeli merasa tidak puas dengannya. Bukannya seperti sebagian pebisnis yang justru menegaskan “barang yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar” serta pemberian tangguh atau pengguguran sebagian atau seluruh kewajiban pihak lain.

Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
Di sisi lain, pembeli pun hendaknya tidak menuntut terlalu banyak dari penjual, memberinya toleransi dalam batas-batas yang wajar, dan lain sebagainya. Alhasil, kedua pihak yang bertransaksi merasa puas dan tidak dirugikan.

B.4. Jujur dalam Timbangan dan Takaran (Ukuran)
Kejujuran juga diterapkan pada penimbangan dan pengukuran, sedangkan dalam kejujuran penimbangan dan pengukuran dengan otomatis kita harus mempelajari ilmu yaitu menguasai teknik penimbangan dan pengukuran yang dibutuhkan sesuai bidang bisnis kita. Hal ini merupakan kejujuran (sifat siddiq dan amanah) yang didukung dengan ilmu yang merupakan penguraian sifat fathanah.
Tak diragukan lagi bahwa kepercayaan konsumen memainkan peranan vital dalam perkembangan dan kemajuan bisnis. Itulah sebabnya mengapa semua pelaku bisnis dengan skala besar melakukan segala daya dan upaya untuk membangun kepercayaan konsumen ini. Pada saat yang sama masalah keakuratan timbangan dan takaran tidak boleh diabaikan. Al-Qur’an banyak sekali memerintahkan kaum Muslimin dalam ayat-ayatnya untuk menimbang dan mengukur dengan cara yang benar dan jangan sampai melakukan kecurangan dan pengurangan baik takaran maupun timbangan.
Seperti yang diperintahkan di empat tempat dalam Al-Qur’an, salah satunya dalam QS Al-An’aam (6) : 152 :

Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil kendati pun dia adalah kerabat (mu), dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat,
Al-Qur’an memperingatkan dengan keras bahwa siapa saja yang melakukan kecurangan dalam timbangan dan takaran dia akan mendapat konsekuensi yang pahit dan getir dari Allah SWT. Penekanan Al-Qur’an akan pentingnya keadilan secara umum dan akan signifikannya keseimbangan dalam segala hal, dapat terlihat dalam perintah-perintah dan ajaran yang ada dalam kitab suci. Dalam pandangan Al-Qur’an misi semua para Rasul secara keseluruhan adalah untuk melangsungkan keseimbangan dan menegakkan keadilan.

B.5. Efisien dan Kompeten
Islam menganjurkan pada kaum muslimin untuk melakukan tugas-tugas dan pekerjaannya dengan tanpa ada penyelewengan dan kelalaian. Ia hendaknya melakukan tugas-tugas dengan cara yang seefisien mungkin dan penuh kompetensi. Hal ini sesuai dengan prinsip sifat fathanah dan amanah dalam mengelola sumber daya yang telah diberikan Allah SWT.
Ketabahan dalam bekerja dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai terhormat. Satu pekerjaan kecil yang dilakukan dengan cara konstan dan profesional lebih baik dari sebuah pekerjaan besar yang dilakukan dengan cara musiman dan tidak profesional. Kompetensi dan kejujuran adalah dua sifat yang membuat seseorang dianggap sebagai pekerja yang jempolan.
Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk menguasai alam ini dan mempergunakan sumber-sumber kekayaannya.

Dan Kami (tundukkan) angin bagi Sulaiman, yang perjalanannya di waktu pagi sama dengan perjalanan sebulan dan perjalanannya di waktu sore sama dengan perjalanan sebulan (pula) dan Kami alirkan cairan tembaga baginya. Dan sebahagian dari jin ada yang bekerja di hadapannya (di bawah kekuasaannya) dengan izin Tuhannya. Dan siapa yang menyimpang di antara mereka dari perintah Kami, Kami rasakan kepadanya adzab neraka yang apinya menyala-nyala. (QS Saba’ (34) : 12)
Al-Qur’an menyuruh manusia untuk menguasai lautan dan mempergunakannya sebagai sarana navigasi, untuk mencari mutiara-mutiara yang bisa dipergunakan untuk kepentingan manusia. Al-Qur’an juga memerintahkan manusia untuk mengelola besi, untuk membangun industri-industri berat atau untuk membangun rumah besar dan seterusnya. Karena tak ada satupun pekerjaan dan tugas yang tidak bisa dilakukan dengan cara yang efisien dan kompeten, maka otomatis peningkatan kualitas-kualitas dalam hal ini dengan sendirinya merupakan sebuah kebutuhan yang tidak bisa dielakkan. Inilah sebabnya mengapa Al-Qur’an menyuruh setiap Muslim menjadi seseorang yang melakukan segala sesuatu dengan efisien dan kompeten.

B.6. Investigasi dan Verifikasi
Investigasi dan verifikasi adalah sesuatu yang esensial karena hal ini merupakan pengantar awal perilaku benar dan etis. Oleh sebab itukah ia tidak mungkin diabaikan begitu saja. Al-Qur’an memerintahkan kaum muslimin untuk melakukan penyelidikan dan verifikasi terhadap semua pernyataan dan informasi yang datang sebelum ia melakukan satu keputusan dan melakukan satu tindakan.

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS Al-Israa’ (17) : 36)
Al-Qur’an juga memberikan nasihat pada manusia untuk melakukan investigasi tentang komoditas tertentu sebelum memutuskan untuk membelinya. Ini hendaknya dilakukan dalam segala hal, dengan tujuan untuk mengetahui apakah komoditas yang akan dia beli itu halal atau haram adanya.

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: "Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)". Mereka menjawab: "Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi): "Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorang pun. (QS Al Kahfi (18) : 19 )
Investigasi dan verifikasi ini berhubungan dengan sifat fathanah yaitu profesional untuk menjamin keamanan (sifat amanah) dan kejujuran (sifat siddiq) dalam berbisnis.

B.7. Prinsip Tanggung Jawab Individu
Dalam pandangan Al-Qur’an, transaksi bisnis sebagaimana dalam sisi kehidupan yang lain, tanggung jawab individual adalah sangat penting. Setiap individu adalah bertanggungjawab terhadap semua bentuk transaksi yang dilakukan. Tak ada seorang pun yang memiliki priviledge tertentu atau imunitas untuk menghadapi konsekuensi apa yang dilakukan. Dalam prinsip Al-Qur’an ini ada semacam alat pencegah terhadap terjadinya tindakan yang tidak bertanggungjawab. Setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini adalah hasil dari sifat amanah, fathanah dan siddiq sedangkan untuk mempertanggungjawabkannya dibutuhkan sifat tabligh.

Pada hari itu manusia ke luar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula. (QS Al-Zalzalah (99) : 6-8)

B.8. Menepati Amanat
Menepati amanat merupakan moral yang mulia dan turunan dari sifat amanah dan siddiq. Dalam HR Bukhari dan Muslim, Nabi bersabda yang bunyinya :
“Tiga golongan yang termasuk munafik meskipun ia berpuasa, shalat, dan mengaku muslim yaitu jika berbicara ia berbohong, jika berjanji ia tidak menepati, dan jika diamanatkan ia berkhianat.”
Allah tidak suka orang-orang yang berkhianat dan tidak merestui tipu daya.
Maksud amanat adalah mengembalikan hak apa saja kepada pemiliknya, tidak mengambil sesuatu melebihi haknya dan tidak mengurangi hak orang lain, baik berupa harga atau upah.

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS An-Nisa (4) : 58)
Dalam berdagang, dikenal istilah menjual dengan amanat seperti bai’ murabahah. Maksudnya, penjual menjelaskan ciri-ciri, kualitas, dan harga barang dagangan kepada pembeli tanpa melebih-lebihkannya.
Amanat bertambah penting pada saat seseorang membentuk serikat dagang, melakukan bagi hasil (mudharabah) atau wakalah. Dalam hal ini, pihak yang lain percaya dan memegang janji demi kemaslahatan bersama. Jika salah satu pihak menjalankannya hanya demi kemaslahatan pihaknya, maka ia telah berkhianat.
Di dalam hadits Qudsi, Allah berfiman “Aku adalah yang ketiga dari dua orang yang berserikat, selama salah satu dari keduanya tidak mengkhianati temannya. Apabila salah satu dari keduanya berkhianat, Aku keluar dari mereka” (HR Abu Dawud dan Hakim dari Abu Hurairah). Yang ditambahkan oleh Razin ”...dan datanglah setan”.


C. KESIMPULAN

1. Perilaku pebisnis Islami dapat disimpulkan dalam 4 sifat utama Rasulullah SAW yaitu
a. Siddiq
b. Amanah
c. Fathanah
d. Tabligh.
2. Rincian dan aplikasi dalam bisnis mengenai keempat sifat utama Rasulullah tersebut diantaranya adalah :
 Kejujuran
 Pemenuhan Janji dan Perjanjian
 Toleransi, Keluwesan, dan Keramahtamahan
 Jujur dalam Timbangan dan Takaran (Ukuran)
 Efisien dan Kompeten
 Investigasi dan Verifikasi
 Prinsip Tanggung Jawab Individu
 Menepati Amanat

Daftar Pustaka

Ahmad, Mustaq, Dr., Etika Bisnis dalam Islam (Edisi Terjemahan). Jakarta : Pustaka
Al-Kautsar. 2006.
Karim, Adiwarman A., Ir. S.E. M.B.A. M.A.E.P., Ekonomi Mikro Islami : Edisi Ketiga.
Jakarta : PT Rajagrafindo Persada. 2007.
Shahatah, Dr. Hussein dan Dr. Siddiq Muhammad al-Amin adh-Dharir, Transaksi dan
Etika Bisnis dalam Islam (Edisi Terjemahan). Jakarta : Visi Insani Publishing.
2005.
Shihab, M. Quraish, Berbisnis dengan Allah : Tips Jitu Jadi Pebisnis Sukses Dunia-
Akhirat. Tangerang : Penerbit Lentera Hati. 2008.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Norma dan Etika Ekonomi Islam (Edisi Terjemahan). Jakarta :
Gema Insani Press. 1997.

Disampaikan pada matakuliah Etika Bisnis Islami STEI Tiara Jakarta, dibawakan oleh Abdurrauf, M.A. pada Semester Genap 2008/2009

No comments: