Saturday, March 6, 2010

Rangkuman Materi Penghalang Ahliyah Al-’Ada’ dan 5 Sumber hukum yang menjadi Mukhtalaf Fiih

Penghalang-penghalang Ahliyah Al-’Ada’

Dalam salah satu persyaratan taklif untuk Mahkum Alaih, terdapat 2 macam kelayakan untuk mendapat taklif yaitu Ahliyah Al Wujub dan Ahliyah Al-Ada’. Ahliyah Al-Ada’ adalah tanggung jawab yang berdasar pada akal. Singkatnya Ahliyah Al-’Ada’ adalah baligh yang dijadikan batas awal dimulainya tuntutan taklif.
Ahliyah Al-’Ada’ terkadang berkurang karena adanya halangan-halangan tertentu. Ada dua macam halangan dalam hal ini yaitu :
1. Halangan samawiy yaitu halangan yang bukan karena upaya dan bukan pula karena pilihan. Contoh : keadaan belum dewasa masa kecil, gila dan gila berselang, lupa tidur, pingsan, sakit dan meninggal.
2. Halangan kasbiy yaitu halangan-halangan karena usaha dan upaya manusia, artinya diakibatkan karena perbuatan manusia. Contoh : ketidaktahuan, mabuk, diletakkan dibawah pengampuan (al-hajr), kesalahan dan keadaan dipaksa (al-ikrah).
Sedangkan pengaruh dari halangan ini disimpulkan menjadi 3 yaitu :
1. Halangan yang menghapus Ahliyah Al-’Ada’. Contoh : meninggal yang menghapuskan untuk selamanya dan gila, tidur, pingsan, mabuk, dan lupa hanya menghapuskan sementara.
2. Halangan yang tidak menghapuskan samasekali tetapi hanya menyebabkan keringanan. Contoh : pada keadaan dipaksa, sakit, haid, nifas, dan lain sebagainya.
3. Halangan yang tidak menghapuskan dan tidak meringankan tetapi hanya mengubah hukum yang berlaku untuk kepentingannya atau kepentingan orang lain. Contoh : orang yang diletakkan di bawah pengampunan (curatele).
Beberapa kasus dalam halangan-halangan terhadap Ahliyah Al-’Ada’ :
1. Al Mahjur Alaih / Al Safih yaitu orang yang diletakkan dibawah pengampunan. Contoh : orang yang berakal tetapi tidak mampu mengurus hartanya. Oleh karena itu ia tetap dituntut untuk melaksanakan semua tuntutan syariat, selain akad-akad yang berkaitan dengan harta.
2. Ketidaktahuan. Dalam hal ini Imam Syafi’i membagi ilmu menjadi 2 :
a. Ilmu umum yang mudah diketahui oleh umumnya manusia. Contoh : salat, puasa, haji, zakat, haramnya membunuh, mencuri, dsb. Dalam hal ini tidak bisa menghapuskan Ahliyah Al-’Ada’ karena apabila orang tersebut berada di wilayah Islam maka mudah diketahui karena sering melihat atau mendengar, meskipun tidak pernah membaca khusus tentang hal tersebut.
b. Ilmu khusus yang hanya diketahui oleh para ahlinya. Contoh : sanksi ta’zir, dalam bidang muamalah, dll.
3. Al Khatha’ (kesalahan) menghilangkan dosa akhirat. Akan tetapi dalam masalah jinayah, Al Khatha’ menghapuskan hukuman badan tetapi tidak menghapuskan hukuman harta atau kafarat. Al Khatha’ dibagi menjadi 3 :
a. Kesalahan dalam perbuatan (al-khatha’ fil fi’l)
b. Kesalahan dalam niat dan maksud (al khatha’ fil qasd)
c. Kesalahan dalam perkiraan (al-khatha’ fil taqdir)
4. Paksaan (al Ikhrah) mempengaruhi Ahliyah Al-’Ada’ baik dalam perkataan maupun perbuatan, tetapi tidak menghilangkan ahliyahnya, sebab orang yang dipaksa tetap dituntut untuk melakukan semua tuntutan syariah.

Sumber-sumber hukum yang menjadi Mukhtalaf Fiih
(Menjadi pertentangan di kalangan ulama)


A. Istihsan

Definisi Al Istihsan secara bahasa adalah mengikuti sesuatu yang baik. Sedangkan menurut istilah dapat disimpulkan sebagai berikut ”perpindahan dari suatu hukum tentang suatu kasus karena ada dalil syara’ yang khusus”. Dalil tentang istihsan terdapat pada QS Az Zumar : 17-18 ”Maka gembirakanlah hamba-hambaKu yang mendengar perkataan lalu mengikutinya dengan yang lebih baik” dan dari hadits Nabi SAW.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi berpindahnya suatu hukum :
1. Berpindahnya suatu hukum dari qiyas dhahir kepada suatu qiyas khafiy (istihsan). Contoh : seorang lelaki gila yang sudah dewasa. Berdasarkan qiyas dhahir, ayah sebagai wali telah habis masa perwaliannya dengan balighnya anak tersebut kecuali ada ketetapan hakim. Atas dasar istihsan (qiyas khafiy) maka ayah tetap menjadi wali tanpa keputusan hakim, dengan alasan sebab perwaliannya tetap, yaitu kelemahan akal.
2. Berpindahnya suatu hukum yang ditetapkan oleh nash yang umum kepada yang khusus. Contoh tentang pencuri yang harus dipotong tangan tetapi karena sedang berada pada masa kelaparan, Umar tidak memotongnya.
3. Berpindahnya suatu hukum yang kulliy kepada hukum yang merupakan kekecualian.
Macam-macam istihsan ditinjau dari segi sanadnya :
1. Istihsan yang sanadnya qiyas untuk kemudahan dan menghilangkan kesempitan (kemaslahatan). Contoh dalam qiyas khafiy.
2. Istihsan yang sanadnya ’urf yang shahih. Contoh membayar angkutan umum tanpa ijab qabul.
3. Istihsan yang sanadnya nash. Contoh : sah puasanya orang yang lupa makan atau minum.
4. Istihsan yang sanadnya darurat. Contoh : membersihkan sumur yang terkena najis dengan menuangkan air bersih karena tidak ada jalan lain untuk membersihkannya.
Pendapat ulama tentang Istihsan :
1. Istihsan adalah dalil syara’ menurut pendapat ulama Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanbaliyah. Dengan alasan : digunakan untuk mendapatkan maslahat yang lebih kuat atau madharat yang lebih sedikit, dengan hukum azimah dan rukhshah, seperti dalam ayat Al Qur’an yang menyatakan adanya keringanan dalam keadaan terpaksa.
2. Ulama-ulama yang menolak istihsan sebagai dalil syara’ yaitu Imam Asy-Syafi’i. Dengan alasan : syariat itu berupa nash atau mengqiyaskan kepada nash, ayat-ayat Al Qur’an yang menyuruh kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah serta tidak mengikuti hawa nafsu, Nabi SAW tidak pernah memberikan fatwa dengan istihsan, Nabi SAW menolah sahabat yang berfatwa dengan dasar istihsan, istihsan tidak ada dhabitnya dan tidak ada ukuran dalam mengqiyas.
3. Pendapat Imam Asy-Syaukani bahwa istihsan adalah dalil syara’, tetapi bukan dalil yang mustaqil melainkan kembali kepada dalil syara’ yang lain sebab setelah diteliti membawa maslahat.

B. Maslahah Mursalah

Disebut juga dengan maslahah muthalaqah. Definisinya secara istilah ”memberikan hukum syara’ kepada suatu kasus yang tidak ada dalam nash dan ijma’ atas dasar memelihara kemaslahatan yang terlepas yaitu yang tidak ditegaskan maupun tidak ditolak oleh syara.” Dalil untuk maslahah mursalah dalam QS Al Anbiya : 107 ”Kami tidak mengutusmu (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi sekalian alam” dan QS Yunus : 57, Al Baqarah : 220.
Kriteria maslahat yang dimaksud disini yaitu :
1. Tidak bertentangan dengan maqashid syari’at yang daruriyah, hajiyyat, tahsiniyah.
2. Rasional.
3. Mengakibatkan raf’ al haraj (tidak menyempitkan).
Persyaratan dalam menggunakan maslahah mursalah :
1. Maslahah mursalah hanya berlaku dalam muamalah dalam arti hubungan manusia dengan manusia dan tidak berlaku dalam ibadah karena tidak bisa berubah-ubah.
2. Maslahah disini harus kemaslahatan yang hakiki bukan yang diragukan, dalam arti mengambil maslahat tadi nyata-nyata membawa manfaat dan menolak kemadharatan.
3. Bersifat umum bukan kemaslahatan yang sifatnya individual, dalam arti kemaslahatan yang memberi manfaat pada umumnya umat.
4. Maslahat yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang berupa maqashid al syari’ah dan dalil-dalil yang kulliy serta nash-nash yang qath’iy wurudnya dan dalalahnya.

C. Sadz Dzari’ah dan Fath Dzari’ah

Dzari’ah artinya washilah atau jalan yang menyampaikan pada tujuan. Secara istilah berarti jalan untuk sampai kepada yang haram atau yang halal. Yaitu jalan atau cara yang menyampaikan kepada yang haram menjadi haram juga, jalan yang menyampaikan kepada yang halal menjadi halal juga bahkan cara yang menyampaikan kepada yang wajib juga menjadi wajib. Contoh : shalat jum’at adalah wajib maka meninggalkan jual beli pada waktu shalat jum’at adalah wajib juga.
Atas dasar ini maka hukum dibagi dua :
1. Maqashid (tujuan) yaitu maqashid al-syari’ah yang berupa kemaslahatan
2. Wasa’il (cara) yaitu jalan yang menuju kepada pencapaian tujuan.
Yang dilihat dalam dzari’ah ini adalah wasa’il tersebut.
Perbuatan atau tingkah laku manusia ditinjau dari cara dzari’ah :
1. Perbuatan yang pelaksanaannya mengakibatkan kemafsadatan secara qath’iy. Contoh : Nabi melarang penimbunan karena penimbunan menjadi dzari’ah kepada kesulitan manusia.
2. Perbuatan yang mengakibatkan kemafsadatan. Contoh : menanam anggur yang dari anggur itu kemudian bisa dibuat khamr. Hal ini memiliki manfaat yang lebih besar dari kemadharatannya.
3. Perbuatan yang paling ghalibnya menyebabkan kemafsadatan. Contoh : menjual anggur kepada tukang membuat khamr.
4. Perbuatan yang mengakibatkan banyak menimbulkan kemafsadatan. Contoh : jual beli yang merupakan sadz al-dzari’at untuk riba yaitu salam pembeli dengan harga yang lebih murah dari harga barang saat penyerahan.
Sadz al-dzari’at adalah perintah yang terdiri dari maksudnya sendiri dan jalan untuk sampai kepada maksud dan larangan yang terdiri dari sesuatu yang dilarang karena ada mafsadat dan washilah yang mengarah pada mafsadat. Sadz al-dzari’at digunakan apabila menjadi cara untuk menghindarkan dari mafsadat yang dinashkan dan sudah pasti. Kemudian tentang masalah-masalah yang berhubungan dengan soal amanat (tugas-tugas keagamaan) bahwa kemadharatan meninggalkan amanat lebih besar daripada pelaksanaan suatu perbuatan atas dasar sadz al-dzari’at.
Fath al-dzari’at adalah yang menyampaikan kepada yang diperintah dan digunakan apabila menjadi cara/jalan untuk sampai kepada maslahat yang dinashkan karena yang dinashkan adalah qath’iy.

D. Istishab

Istishab secara bahasa berarti terus bersama-sama, sedangkan secara istilah adalah ”mengekalkan apa yang telah ada selama tidak ada yang mengubahnnya” atau ”terus berlakunya apa yang ditetapkan maupun yang tidak ditetapkan sehingga ada dalil yang mengubah keadaan.”
Pembagian Istishab :
1. Istishab al bara’at al ashliyah yaitu seperti terlepasnya tanggung jawab dari segala taklif sampai ada bukti yang menetapkan taklifnya. Contoh : anak kecil sampai datang balighnya.
2. Istishab yang ditunjukkan oleh syara’ atau akal. Contoh : seseorang harus tetap bertanggung jawab terhadap hutang sampai ada bukti dia telah melunasi.
3. Istishab hukum. Contoh : sesuatu telah ditetapkan dengan hukum mubah atau haram maka hukum ini terus berlangsung sampai ada dalil yang mengharamkan yang asalnya mubah atau membolehkan yang asalnya haram.
4. Istishab washaf. Contoh : bila seseorang meninggalkan kampung halaman dalam keadaan hidup maka orang ini dianggap hidup sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa ia telah meninggal dunia.

E. Al ’Urf

Al ’Urf juga dikenal dengan istilah Al ’Adat & Al Ta’ammul. Definisinya ”segala sesuatu yang biasa dijalankan orang pada umumnya, baik perbuatan atau perkataan. Adat dengan persyaratan-persyaratan tertentu da[at dijadikan sandaran untuk menetapkan suatu hukum. Dalil penggunaan adat dalam hadits Nabi SAW ”Apa yang dianggap baik oleh orang-orang Islam, maka hal itu baik pula di sisi Allah.”
Syarat penggunaan adat kebiasaan :
1. Tidak bertentangan dengan nash.
2. Tidak menyebabkan kemafsadatan dan tidak menghilangkan kemaslahatan termasuk tidak memberi kesempitan dan kesulitan.
3. Telah berlaku pada umumnya kaum muslimin, dalam arti bukan hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang Islam saja.
4. Tidak berlaku dalam masalah ibadah mahdhah.
Pembagian ’adat kebiasaan secara kualitatif :
1. Al ’adat al shahihah (adat kebiasaan yang benar) yaitu adat yang memenuhi persyaratan diatas. Terdiri dari : adat yang umum biasa dilakukan manusia dimana saja, dan adat yang khusus kebiasaan di negara / tempat tertentu.
2. Al ’adat al bathilah yaitu adat kebiasaan yang tidak memenuhi salah satu syarat diatas.

Disampaikan pada matakuliah Pengantar Ushul Fiqh STEI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Saiful Akib, Lc pada Semester Ganjil 2006/2007

No comments: