Saturday, March 6, 2010

Permasalahan Asuransi Kontemporer

A. Ciri-ciri Asuransi Syariah

Asuransi syariah memiliki beberapa ciri utama yaitu sebagai berikut :
1. Akad asuransi syariah bersifat tabarru’, yaitu sumbangan yang diberikan tidak boleh ditarik kembali. Atau jika bukan tabarru’ maka andil yang dibayarkan akan berupa tabungan yang akan diterima jika terjadi peristiwa, atau akan diambil jika akad berhenti sesuai dengan kesepakatan, dengan tidak kurang dan tidak lebih. Atau jika lebih maka kelebihan itu adalah keuntungan hasil mudharabah bukan riba.
2. Akad asuransi ini bukan akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, karena pihak anggota ketika memberikan sumbangan tidak bertujuan untuk mendapatkan imbalan, dan kalau ada imbalan, sesungguhnya imbalan tersebut didapat melalui izin yang diberikan oleh jamaah (seluruh peserta asuransi atau pengurus yang ditunjuk bersama).
3. Dalam asuransi syariah tidak ada pihak yang lebih kuat karena semua keputusan dan aturan-aturan diambil menurut izin jamaah seperti dalam asuransi Takaful.
4. Akad asuransi syariah bersih dari gharar dan riba.
5. Asuransi syariah bernuansa kekeluargaan yang kental.

B. Kendala Pengembangan Asuransi Syariah

1. Rendahnya tingkat perhatian masyarakat terhadap keberadaan asuransi syariah yang relative baru dibanding dengan asuransi konvensional yang telah lama dikenal masyarakat baik nama maupun operasinya. Keadaan ini kadangkala menurunkan motivasi pengelola dan pegawai asuransi syariah untuk tetap mempertahankan idealismenya.
2. Asuransi bukanlah bank yang melalui produknya berpeluang lebih besar untuk bisa berhubungan dengan masyarakat dalam hal pendanaan atau pembiayaan. Di lain pihak, masyarakat memiliki sedikit peluang untuk berhubungan dengan asuransi syariah, berkenaan rendahnya kepentingan masyarakat terhadap produk asuransi syariah.
3. Asuransi syariah sebagaimana bank dan lembaga keuangan syariah lain yang masih dalam proses mencari bentuk. Maka diperlukan langkah-langkah sosialisai kepada masyarakat, hal ini dilakukan selain untuk mendapatkan perhatian masyarakat, juga sebagai upaya mencari masukan demi perbaikan sistem yang ada.
4. Rendahnya profesionalisme sumber daya manusia (SDM) menghambat laju pertumbuhan asuransi syariah. Penyediaan sumber daya manusia dapat dilakukan dengan kerjasama dengan berbagai pihak terutama lembaga-lembaga pendidikan untuk membuka atau memperkenalkan pendidikan asuransi syariah.

C. Strategi Pengembangan Asuransi Syariah

1. Perlu strategi pemasaran yang lebih terfokus kepada upaya untuk memenuhi pemahaman masyarakat tentang asuransi syariah. Maka asuransi syariah perlu meningkatkan kualitas pelayanan (quality services) kepada pemenuhan pemahaman masyarakat ini, misalnya mengenai : apa asuransi syariah, bagaimana operasi asuransi syariah, keuntungan apa yang didapat dari asuransi syariah, dan sebagainya.
2. Sebagai lembaga keuangan yang menggunakan sistem syariah tentunya aspek syiar Islam merupakan bagian dari operasi asuransi tersebut. Syiar Islam tidak hanya dalam bentuk normatif kajian kitab misalnya, tetapi juga hubungan antara perusahaan asuransi dengan masyarakat. Dalam hal ini, asuransi syariah sebagai perusahaan yang berhubungan dengan masalah kemanusiaan (kematian, kecelakaan, kerusakan), setidaknya dalam masalah yang berhubungan dengan klaim nasabah asuransi syariah bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dibanding dengan asuransi konvensional.
3. Dukungan dari berbagai pihak terutama pemerintah, ulama, akademisi, dan masyarakat diperlukan untuk memberikan masukan dalam penyelenggaraan operasi asuransi syariah. Hal ini diperlukan selain memberikan kontrol bagi asuransi syariah untuk berjalan pada sistem yang berlaku, juga meningkatkan kemampuan asuransi syariah dalam menangkap kebutuhan dan keinginan masyarakat.


Beberapa pertimbangan untuk mengatasi persoalan-persoalan asuransi dalam perspektif hukum Islam :
1. Perlu adanya pengkajian secara mendalam serta diskusi yang intens tentang konsep asuransi syariah oleh kalangan yang mempunyai perhatian terhadap perkembangan asuransi syariah baik dari kalangan akademisi maupun praktisi.
2. Diperlukan payung hukum yang kuat terhadap eksistensi asuransi syariah di Indonesia berupa Undang-Undang yang khusus mengatur tentang usaha asuransi syariah.
3. Maksimalisasi fungsi Dewan Pengawas Syariah yang terdapat dalam setiap perusahaan asuransi syariah. Dalam hal ini perlu adanya transfer pengetahuan dari para praktisi asuransi syariah pada kalangan anggota DPS.
4. Perlu adanya penelitian lebih lanjut dan mendalam tentang kesesuaian praktik asuransi syariah di Indonesia dengan ketentuan-ketentuan dasar yang melandasi operasionalnya, khususnya yang berkenaan dengan ketentuan dasar yang mengacu pada prinsip dasar ekonomi Islam.

D. Hal-hal yang Menimbulkan Keberatan Islam terhadap Asuransi Konvensional

1. Asuransi konvensional adalah akad mulzim (perjanjian yang wajib dilaksanakan) bagi kedua belah pihak, pihak penanggung dan pihak tertanggung. Kedua kewajiban ini adalah kewajiban tertanggung untuk membayar premi asuransi dan kewajiban penanggung membayar klaim asuransi jika terjadi evenement.
2. Akad asuransi ini adalah akad muawadhah, yaitu akad yang didalamnya kedua orang yang berakad dapat mengambil pengganti dari apa yang telah diberikannya.
3. Akad asuransi adalah akad yang bersifat gharar, karena masing-masing dari kedua belah pihak penanggung dan tertanggung pada waktu melangsungkan akad tidak mengetahui jumlah yang ia berikan dan jumlah yang akan diterima.
4. Akad asuransi ini adalah akad idzan (penundukan) terhadap pihak yang kuat yaitu perusahaan asuransi, karena dialah yang menentukan syarat-syarat pertanggungan secara sepihak sebagaimana yang tertuang dalam polis asuransi.


Gharar yang terdapat dalam Kontrak Asuransi dapat dijabarkan sebagai berikut :
a. Hukum Islam menegaskan bahwa tidak boleh ada kesamaran mengenai kewajiban-kewajiban yang dilaksanakan oleh para pihak terhadap suatu kontrak. Objek kontrak, khususnya harus ditentukan (diketahui / ma’lum). Syarat ini ketat, terutama terhadap objek-objek yang dapat diukur / ditimbang yang dapat dikenai larangan riba. Dan diantara sebab-sebab yang merusak suatu kontrak adalah perbuatan memperkaya diri secara tidak benar dan adanya gharar, kontrak asuransi tidak sah menurut hukum Islam jika tidak terlepas dari sebab-sebab ini.
b. Syarat jaminan tidak boleh bersifat tidak pasti karena menyebabkan ketidakabsahan kontrak secara keseluruhan. Sedangkan menurut pendapat lain syarat-syarat yang tidak sah diabaikan saja sedangkan kontrak itu sendiri tetap berlaku asalkan ia langsung dibayarkan karena sesuai prinsip Islam yang tidak membolehkan penundaan dalam penyerahan dan pemilikan timbal balik atas barang-barang yang dipertukarkan dan harus berlangsung pada saat kontrak. Yaitu pihak asuransi langsung membayarkan ganti rugi tanpa menunggu adanya kejadian seperti kecelakaan dan musibah lainnya. Akan tetapi hal ini tidak mungkin dilakukan dalam asuransi sehingga keserupaan kontrak asuransi dengan kafalah adalah berbeda.
c. Yang menjadi subject-matter dalam kontrak asuransi adalah jaminan risiko (kompensasi) yang sesuai dengan perhitungan premi. Jadi asuransi adalah sejenis kontrak penjualan sebagaimana jelas dari polis asuransi. Dalam kontrak ini kompensasi ditentukan berdasarkan risiko, yang tidak pernah memberikan hasil yang pasti. Objek yang tidak dapat diraba atau tidak tentu, tidak mungkin menjadi subject matter dari sebuah kontrak penjualan menurut hukum Islam. Kontrak ijarah yang dijadikan qiyas oleh pihak pendukung asuransi tidak dapat disamakan dengan asuransi. Sebagai contoh kontrak ijarah untuk satpam yang menjadi subject matter adalah jasa menjaga keamanan, sedangkan keamanan itu sendiri bukanlah subject matter akan tetapi merupakan konsekuensi dari kontrak tersebut. Singkatnya, kontrak asuransi haram karena subject matternya tidak pasti dan tidak tentu.
d. Tujuan kontrak adalah mengalihkan risiko kerugian yang bernilai uang dari satu pihak ke pihak lain, yaitu dari pihak nasabah ke pihak perusahaan asuransi. Dalam asuransi bersama, risiko tidak dialihkan akan tetapi dipikul bersama oleh anggota asuransi tersebut. Akan tetapi dalam asuransi konvensional risiko ini bukan untuk ditanggung bersama dengan prinsip tolong menolong melainkan untuk diperjualbelikan.

E. Kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam

Kontrak asuransi konvensional dianggap sebagai kontrak penjualan yaitu suatu janji dari satu pihak (perusahaan asuransi) bahwa, sebagai balasan atas pembayaran, atau janji pembayaran, sejumlah uang yang disebut premi oleh pihak lain (nasabah peserta asuransi). Jika terjadi kerugian pada pihak kedua maka pihak pertama akan membayar nilai uang sampai batas maksimum yang telah disetujui.

Kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam :
a. Dapat disimpulkan bahwa kedudukan kontrak asuransi konvensional di mata Islam dipersamakan dengan kontrak sharf yaitu pertukaran mata uang dengan mata uang yang berlaku baginya doktrin riba dan mengharuskan adanya kesetaraan barang-barang yang dipertukarkan itu dalam persetujuan dan juga adanya saling penyerahan mereka pada saat kontrak. Kedua syarat ini harus dilaksanakan dengan seksama oleh para pihak, tapi yang terjadi pada kontrak asuransi adalah sebaliknya sehingga kontrak inipun tidak sah.
b. Sedangkan asuransi kewajiban (liabilitas) yang dipersamakan dengan ‘aqd al-muwalat (wala’ yaitu hubungan perlindungan dan persahabatan). Wala’ ini diadakan menurut undang-undang antara pembebas dan budaknya yang dibebaskan berkaitan dengan tujuan-tujuan waris. Akan tetapi pada perkembangannya, Syafii berpendapat bahwa umat Islam menjadi ahli waris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris. Hak waris tidak bisa dilanggar oleh wasiat seluruh harta, maka hak umat Islam juga tidak bisa dirusak oleh ‘aqd al muwalat. Jadi prinsip ini tidak dapat diterapkan pada asuransi kewajiban. Selain itu perbedaan mendasar antara keduanya adalah kontak asuransi direncanakan untuk menutupi risiko yang tidak ditentukan, sedangkan al muwalat hanya untuk menutupi kerugian pada saat kerugian tersebut benar-benar terjadi.

F. Argumen tentang Kontrak Asuransi Modern

Para ulama berbeda pendapat mengenai kontrak asuransi modern menurut hukum Islam, berikut alasan yang mengharamkan dan jawabannya :
1. Asuransi merupakan kontrak perjudian dan pertaruhan.
Asuransi bukan perjudian, juga bukan pertaruhan karena didasarkan pada mutualitas (kebersamaan) dan kerja sama. Perjudian adalah suatu permainan keberuntungan dan, karenanya, merusak masyarakat. Asuransi adalah suatu anugrah bagi umat manusia, karena ia melindungi mereka dan memberikan keuntungan bagi perdagangan dan industri.
2. Asuransi bersifat tidak pasti
Ketidakpastian dalam transaksi dilarang dalam Islam karena menyebabkan perselisihan. Jelas dari ucapan-ucapan Nabi SAW bahwa kontrak penjualan dilarang bila penjual tidak sanggup menyerahkan barang yang dijanjikan kepadapembeli karena sifatnya yang tidak tentu. Seekor burung di udara atau seekor ikan di air, misalnya, tidak dapat diserahkan jika tidak ditangkap, dan tertangkapnyapun tidak pasti. Karena suatu ketidakpastian tidak dapat dihindarkan dalam transaksi dunia modern, maka dapat disimpulkan bahwa ucapan Nabi SAW itu menyinggung kasus-kasus dimana ketidakpastian muncul dalam bentuk ekstremnya, seperti dalam perjudian. Menurut keterangan ini, asuransi jauh dari ketidakpastian, khususnya ketika disertai dengan satu kompensasi (ganti rugi) yang pasti. Sebenarnya, kompensasi nyata dalam asuransi adalah keamanan yang dirasakan oleh peserta asuransi sebagai pengganti untuk setiap cicilannya.
3. Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk mengganti kehendak Tuhan.
Asuransi jiwa bukan alat untuk menolak kekuasaan Tuhan atau menggantikan kehendakNya, karena asuransi ini tidak menjamin suatu peristiwa yang tidak terjadi, tapi sebaliknya mengganti kerugian kepada peserta asuransi terhadap akibat-akibat dari suatu peristiwa atau risiko yang sudah ditentukan, seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : 2.
...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
Kematian adalah suatu malapetaka menurut Al-Qur’an Surat Al-Maidah (5) : 106.
Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian...
Oleh karena itu bisa diambil langkah-langkah untuk memperkecil keseriusan akibatnya dan kerugiannya dengan cara bekerjasama saling menolong dan membantu.
4. Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tentu, karena peserta asuransi tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarnya sampai ia meninggal.
Para tokoh Hanafi mengadakan pembedaan antara ketidakjelasan yang menyebabkan kerancuan sehingga kontraknya tidak dapat dilaksanakan dengan ketidakjelasan yang tidak mempengaruhi pelaksanaan. Contohnya: bahwa persyaratan untuk semua kewajiban dinyatankan sah dengan alasan bahwa ia tidak menimbulkan kesalahpahaman apapun, sedangkan persyaratan dinyatakan tidak sah jika hanya untuk sebagian kewajiban saja. Begitupula dengan cicilan dalam asuransi jiwa tidak mempengaruhi keabsahan kontrak, juga tidak merugikan pihak manapun, karena jumlah tiap cicilan diketahui dan jumlah total dari semua cicilan diketahui pada saat semuanya sudah dibayar.
5. Perusahaan asuransi mengivestasikan uang yang dibayarkan oleh peserta asuransi dalam surat-surat berharga (sekuritas) berbunga. Dan, dalam asuransi jiwa, si peserta asuransi, atas kematiannya, berhak mendapatkan jauh lebih banyak dari jumlah yang telah dibayarkannya, yang merupakan riba (bunga).
Asuransi jiwa ini membolehkan peserta asuransi untuk tidak menerima lebih dari yang telah dibayarnya.
6. Seluruh bisnis asuransi didasarkan pada riba, yang hukumnya haram.

G. Pandangan Ulama mengenai Asuransi

Diantara ulama yang mengharamkan Asuransi :
1. Ibnu Abidin, ulama Madzhab Hanafi
Berpendapat bahwa asuransi adalah haram, karena uang setoran peserta (premi) tersebut adalah iltizam maa lam yalzam (mewajibkan sesuatu yang tidak lazim / wajib). Juga diumpamakan sebagai pedagang tidak boleh mengambil uang pengganti dari barang-barangnya yang telah musnah.
2. Muhammad Bakhit al-Muthi’i (Mufti Mesir) Menurut hukum syara’, jaminan atas harta benda adakalanya dengan tanggungan (kafalah) atau dengan jalan ta’addiy (itlaf).
Adapun jaminan dengan jalan kafalah dalam hal ini tidak terjadi karena persyaratan kafalah yaitu makful bih, utang yang benar tidak jatuh tempo disebabkan pelunasan atau pembebasan, atau benda yang dipertanggungkan dirinya. Bahkan makful anhu wajib menyerahkan bendanya itu sendiri untuk makful lahu. Jika benda itu musnah, maka diganti dengan benda-benda yang sebanding.
Adapun dengan cara ta’addiy (itlaf) juga tidak benar karena perusahaan yang menerima jaminan tidak melakukan pengrusakan atas peserta asuransi, namun lebih disebabkan oleh musibah dan malapetaka.
3. Muhammad al-Ghazali
Mengatakan bahwa asuransi adalah haram karena mengandung riba. Beliau melihat riba tersebut dalam pengelolaan dana asuransi dan pengembalian premi yang disertai bunga ketika waktu perjanjian telah habis.
4. Yusuf Qardhawi
Mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah Islam. Contohnya : dalam asuransi kecelakaan
5. Syekh Abu Zahri
Mengatakan bahwa asuransi sosial hukumnya halal, sedangkan asuransi yang bersifat komersial hukumnya haram.
6. Dr. Muhammad Muslehuddin
Mengatakan bahwa kontrak asuransi konvensional ditolak oleh ulama dikarenakan asuransi bersifat tidak pasti, sementara penyokong modernis Islam membolehkannya.
7. Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili
Mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk ke dalam ‘aqd gharar yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadkan.
8. Dr. Husain Hamid Hisan
Mengatakan bahwa akad asuransi adalah Mu’awadhah Maliyah yang mengandung gharar yaitu perjanjian dimana saling memberikan pengganti berupa harta /uang yang mengandung gharar. Akad asuransi juga mengandung riba, judi dan taruhan.
9. Pandangan-pandangan ulama pada lembaga internasional maupun nasional, muktamar atau fatwa oleh majelis, majma’ dan atau ormas Islam
1.) Muktamar Ekonomi Islam, di Mekkah tahun 1976 M.
Memutuskan bahwa asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung riba dan gharar.
2.) Majma’ al-Fiqih al-Islami al-‘Alami (Kesatuan Ulama Fiqih Dunia), di Mekkah al-Mukarramah tahun 1979 M.
Memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan haram hukumnya, baik asuransi jiwa maupun yang lainnya.
3.) Majelis Kesatuan Ulama Besar, di Arab Saudi tahun 1977 M
Memutuskan bahwa asuransi jenis perniagaan hukumnya haram.
4.) Majma’ al-Fiqih al-Islami, di Jeddah tahun 1985 M.
Memutuskan pengharaman asuransi jenis perniagaan (konvensional)
5.) Pekan Fiqh Islam II – Pekan Ibnu Taimiyah, di Damaskus tahun 1961 M. dan Mu’tamar II Lembaga Research Islam, di Al-azhar Kairo tahun 1965 M.
Memutuskan bahwa asuransi konvensional bertentangan dengan prinsip-prinsip muamalat dalam Islam.
6.) Fatwa Jawatan Kuasa Kebangsaan Malaysia, 15 Juni 1972.
Memutuskan bahwa asuransi jiwa tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam, dimana mengandung gharar, judi dan riba sehingga hukumnya haram.
7.) Fatwa Kerajaan Arab Saudi
Memutuskan bahwa Asuransi saat ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat Islam sehingga diperlukan pengaturan dan persyaratan-persyaratan tertentu agar sesuai dengan ketentuan syara’.
8.) Fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia)
Pada prinsippnya MUI menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari realita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari. Oleh karena itu, DSN MUI dalam fatwanya memutuskan bahwa asuransi syariah diperbolehkan dengan berbagai ketentuan sesuai dengan Pedoman Umum Asuransi Syariah.

Diantara ulama yang membolehkan Asuransi :
1. Syaikh Abdur Rahman Isa
Menurutnya, perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian al-ji’alah (memberi janji upah), pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi dan perusahaan asuransi dengan nasabah saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai.
2. Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa
Mengatakan bahwa asuransi merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat, dimana asuransi jiwa dapat menguntungkan nasabah dan perusahaan yang mengelola asuransi tersebut.
3. Syekh Abdul Wahab Kholaf
Mengatakan bahwa asuransi itu boleh, dikarenakan termasuk ke dalam akad mudharabah yaitu perjanjian persekutuan dalam keuntungan dengan modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan pihak lain.
4. Prof. Dr. Muhammad al-Bahi
Mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan merupakan suatu usaha yang bersifat tolong-menolong, memperluas lapangan kerja baru, dapat mengembangkan harta benda dan suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musibah.
5. Ustadz Bahjaj Ahmad Hilmi
Mengatakan bahwa tujuan asuransi ialah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta nasabah.
6. Syaikh Muhammad Dasuki
Mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan asuransi sama dengan syirkah mudharabah dan akad kafalah atau syirkatul ‘ainan juga pelaksanaannya berdasarkan Firman Allah SWT dalam surah al-An’aam ayat 82.
7. Dr. Muhammad Najatullah Shiddiq
Menganalogikan asuransi dengan kafalah atau ganti rugi.
8. Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB.
Mengatakan bahwa asuransi jiwa dan konvensional boleh, dikarenakan persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah, didalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan juga tujuan dari asuransi yaitu kerjasama dan tolong menolong.
9. Syaikh Muhammad al-Madni
Mengatakan bahwa asuransi hukumnya menurut syara’ boleh, dikarenakan premi (iuran) asuransi itu diinventasikan dan bermanfaat untuk tolong menolong.
10. Prof. Mustafa Ahmad az-Zarqa
Mengatakan bahwa sistem asuransi ini memberi keamanan dan ketenangan hati bagi para anggotanya.

H. Dalil-Dalil Syar’i Yang Mendasari Pendirian dan Praktik Asuransi Syariah

1. Perintah Allah untuk mempersiapkan hari depan.
Allah SWT dalam Al-Quran memerintahkan kepada hambaNya untuk senantiasa melakukan persiapan untuk menghadapi hari esok, oleh karena itu berkaitan dengan usaha untuk menabung atau berasuransi.
Allah berfirman dalam Surat Al-Hasyr (59) : 18
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok, dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
2. Firman Allah tentang prinsip-prinsip bermuamalah
QS An-Nisa (4) : 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
QS Al-Baqarah (2) : 280
Dan jika (orang berutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.
An-Nisa (4) : 29
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
Al-Baqarah (2) : 198
Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berzikirlah kepada Allah di Masy`arilharam. Dan berzikirlah (dengan menyebut) Allah sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.
3. Perintah Allah untuk saling bertanggungjawab.
Dalam Islam, memikul tanggung jawab dengan niat baik dan ikhlas adalah suatu ibadah. Sehingga prinsip kebersamaan dan kesejahteraan setiap individu dapat terjamin. Disinilah pentingnya konsep asuransi. Hal ini dapat kita lihat dalam beberapa hadits Nabi SAW berikut :
Kedudukan persaudaraan orang yang beriman satu dengan yang lainnya ibarat satu tubuh. Bila salah satu anggota tubuh sakit, maka akan dirasakan sakitnya oleh anggota tubuh yang lain. (HR Bukhari dan Muslim)
Barangsiapa yang tidak mempunyai perasaan belas kasihan, maka ia juga tidak mendapat belas kasih dari Allah. (HR Bukhari dan Muslim)
4. Perintah Allah untuk Saling Bekerjasama dan Bantu Membantu
Dalam asuransi syariah, para peserta satu sama lain bekerjasama dan saling menolong melalui instrumen dana tabarru’ (kebajikan) sesuai firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah (5) : 2
Sedangkan dalam hadits :
Barangsiapa yang memenuhi hajat saudaranya, Allah akan memenuhi hajatnya (HR Bukhari Muslim dan Abu Dawud)
5. Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah
Allah SWT sangat peduli dengan kepentingan keselamatan dan keamanan dari setiap umatnya. Oleh karena itu, Allah memerintahkan untuk saling melindungi dalam keadaan susah satu sama lain. Allah berfirman dalam QS Quraisy (106) : 4
Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.
Dan dalam hadits
Sesungguhnya orang yang beriman ialah barangsiapa yang memberikan keselamatan dan perlindungan terhadap harta dan jiwa manusia. (HR Ibnu Majah)
6. Hadits-hadits Nabi SAW tentang prinsip bermuamalah
Ada beberapa hadits yang berkaitan dengan prinsip-prinsip muamalah diantaranya :
Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya. (HR Muslim)
Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh pula membahayakan orang lain. (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik)
7. Kaidah-kaidah fiqh tentang muamalah
“Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
“Menghindarkan mafsadat (kerusakan/bahaya) harus didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.”
“Bahaya (beban berat) harus dihilangkan.”

I. Pendapat Yang Menjadi Alasan Dibolehkannya Asuransi Syariah

1. Asuransi tidak bertentangan dengan takdir.
Sesungguhnya berasuransi bukan berarti menghilangkan tawakal kepada Allah, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini ditentukan oleh Allah manusia hanya berusaha sebisanya. Jadi pada dasarnya Islam mengakui bahwa kecelakaan, kemalangan, dan kematian merupakan qadha dan qadar dari Allah. Hal ini tidak dapat ditolak hanya saja kita juga diperintahkan untuk membuat perencanaan untuk menghadapi hari depan. Dengan mengikuti asuransi kita dapat mempersiapkan diri, melakukan ikhtiar antara lain dengan menyisihkan sebagian harta yang kita miliki melalui asuransi bersama dengan saudara-saudara kita yang lainnya. Sehingga jika takdir menjemput kita, maka persiapan-persiapan untuk keluarga yang kita tinggalkan dalam batas tertentu sudah tersedia.
2. Asuransi bukan judi / taruhan (maysir).
Salah satu ulama berpendapat bahwa sesungguhnya asuransi itu tidak termasuk judi / taruhan dengan alasan judi atau taruhan adalah suatu permainan yang hanya membuang-buang waktu juga merupakan penyakit moral, penyakit sosial, dan hambatan untuk menghasilkan insan yang berkualitas. Sedangkan dalam akad asuransi yang kita kenal selama ini hal tersebut tidak ada. Akad asuransi berdasarkan atas asas memperbaiki akibat-akibat malapetaka atau bencana atau peristiwa yang menimpa jiwa atau harta seseorang.

J. Kesimpulan

Dari berbagai pendapat dan penjelasan ulama yang diuraikan di atas, maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa asuransi syariah diperbolehkan, sedangkan asuransi komersial seperti yang diterapkan dalam asuransi konvensional tidak diperbolehkan karena banyak mengandung unsur gharar dan riba.

Daftar Pustaka

Digital Qur’an ver 3.2
Anshori, H. Abdul Ghofur, Asuransi Syariah di Indonesia (Regulasi dan
Operasionalisasinya di dalam Kerangka Hukum Positif di Indonesia). Yogyakarta : UII Press. 2007.
Muslehuddin, Muhammad, Menggugat Asuransi Modern : Mengajukan Suatu Alternatif
Baru dalam Perspektif Hukum Islam (Terjemahan). Jakarta : PT Lentera
Basritama. 1999.
Rodoni, Ahmad, Prof. Dr., dan Prof Dr. Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah.
Jakarta : Zikrul Hakim. 2008.
Sudarsono, Heri, S.E., Bank dan Lembaga Keuangan Syariah : Deskripsi dan Ilustrasi.
Yogyakarta : Ekononisia. 2003.
Sula, Muhammad Syakir, Asuransi Syariah (Life and General) : Konsep dan Sistem
Operasional. Jakarta : Gema Insani Press. 2004.

Disampaikan pada matakuliah Lembaga Keuangan Non Bank STEI Tiara Jakarta, dibawakan oleh Dr. Hj. Helda Rahmi Sina, Lc. M.A. pada Semester Pendek 2008/2009

No comments: