Saturday, March 6, 2010

Fiqih Kontemporer

Pendahuluan

Fiqih adalah suatu bidang ilmu yang berkaitan erat dengan keseharian manusia dalam menjalani kehidupan. Oleh karena itu fiqih juga sangat tergantung pada kondisi tempat dan masa dimana manusia itu berada. Seiring dengan berjalannya waktu, muncullah pertanyaan-pertanyaan baru dalam masalah fiqh yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan perkembangan teknologi. Kemudian seperti yang kita semua ketahui bahwa agama Islam seharusnya mencakup segala bidang kehidupan manusia maka begitu pula dengan fiqih, maka untuk menjawab tantangan zaman itulah muncul ulama-ulama fiqih kontemporer yang berijtihad dengan menggunakan hukum-hukum fiqih yang sudah ada kepada masalah-masalah baru dalam kehidupan manusia modern. Untuk lebih jelasnya saya paparkan dalam makalah berikut ini. Semoga dapat diterima dengan baik.

Daftar Isi

Pendahuluan
Daftar Isi
Fiqih Kontemporer
A. Fiqih Memasuki Era Modern
B. Sebab-sebab Timbulnya Fiqih Kontemporer
C. Beberapa Contoh Masalah Fiqih Kontemporer
1. Masalah Pernikahan Melalui Telepon
2. Seputar Masalah Pencangkokan Organ Tubuh
3. Undian Berhadiah Dari Perusahaan Dagang (Produsen)
4. Penggunaan Ayat Al-Quran & Suara Azan Sebagai Nada Dering HP
Daftar Pustaka

Fiqih Kontemporer

A. Fiqih Memasuki Era Modern

Memasuki era modern, fiqih dalam Islam mengalami penurunan dalam penggunaan oleh masyarakat. Fiqih yang sebenarnya mencakup segala hal dalam kehidupan manusia, mengalami degradasi dalam cakupan pengertiannya terutama di kalangan masyarakat awam yang memahami fiqh hanya mengatur tata cara beribadah secara ritual. Pemerintah di berbagai negara mulai menerapkan apa yang disebut sekulerisme yang memisahkan kehidupan agama dari kehidupan politik dan sosial. Fiqih yang tadinya dipakai sebagai dasar negara dakam mengambil keputusan mulai dipisahkan dari kehidupan kenegaraan karena dianggap tidak dapat menjawab segala masalah yang muncul di era modern. Bahkan sebagian orang berpikir bahwa agama menghambat kemajuan. Hal ini dikarenakan para ulama tidak berani berijtihad dalam mengambil keputusan hukum tentang suatu topik dan masalah aktual-kontemporer yang relevan dengan kehidupan kini.
Pada akhir abad ke 20, beberapa negara berkembang mulai memeriksa kembali struktur hukum mereka dan memantau dari segi Al Qur’an dan hukum tradisional Islam yang ternyata terbukti lebih baik dari sistem imperialisme yang diterapkan negara-negara barat.

B. Sebab-sebab Timbulnya Fiqih Kontemporer

Masyarakat Islam dituntut untuk mengikuti perubahan sosial dan sejarah dalam dunia modern. Masalah fiqih kontemporer ini mencakup hal-hal yang terjadi akibat perkembangan zaman dan teknologi. Contohnya dalam hal telepon dan fungsinya apakah dapat digunakan sebagai lebih dari sekedar alat komunikasi, juga permasalahan dalam kedokteran modern, apa saja pandangan Islam terhadap sistem-sistem pemerintahan yang muncul di era modern, dan lain sebagainya.
Tentu saja semua itu memerlukan jawaban yang ditopang dalil-dalil yang kuat, argumentatif, dan komparatif. Maka muncullah pemikir-pemikir besar di kalangan ulama Islam terutama yang berusaha mencari jawaban atas segi fiqih suatu permasalahan yang muncul akibat perkembangan zaman. Salah satunya adalah Dr. Yusuf Qardhawi dari Mesir, beliau mengeluarkan fatwa-fatwa tentang permasalahan yang dihadapi atau dialami umat Islam. Yang mencoba mengembalikan fungsi Islam sebenarnya yaitu bukan sebagai agama saja tetapi juga sebagai cara hidup manusia secara keseluruhan.

C. Beberapa Contoh Masalah Fiqih Kontemporer

1. Masalah Pernikahan Melalui Telepon

Untuk dapat menjawab pertanyaan tentang masalah akad nikah melalui telepon, pertama-tama kita harus mengkaji tentang ijab kabul itu sendiri. Ijab berarti menyerahkan amanah Allah kepada calon suami, dan kabul berarti sebagai lambang bagi kerelaan menerima amanah Allah tersebut. Dalam mencapai keabsahan ijab kabul ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi salah satunya adalah ittihad al-majelis / bersatunya majelis dalam melakukan akad.
Terdapat dua penafsiran ”bersatunya majelis” di kalangan para ulama.
a. Pendapat pertama dikemukakan oleh Said Sabiq dan Al-Jaziri dari madzhab Hanafi yang menekankan pada persatuan waktu antara ijab dan kabul, dan bukan persatuan tempat.
Menurutnya, yang dimaksud dengan ittihad al-majelis adalah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah. Bukan dilakukan dalam dua jarak waktu terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara ijab bubar, kabul diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal dua jarak waktu yang terpisah bisa saja tempatnya sama dan diadakan dalam dua acara yang berturut-turut tetapi karena kesinambungan antara ijab dan kabul itu terputus, maka akad nikah tersebut tidak sah.
Kita dapat melihatnya dari praktik akad nikah yang dianggap sah di kalangan madzhab Hanafiyah. Yaitu kondisi dimana salah seorang diantara pihak yang akan melakukan akad nikah gaib (tidak bisa hadir), maka jalan keluarnya adalah selain bisa mengutus wali, juga bisa dengan menulis surat kepada pihak lain untuk menyampaikan akad nikahnya, yang kemudian menghadirkan saksi untuk membacakan redaksi surat itu di depan mereka. Hal itu dianggap sah selama pengucapan kabulnya dilakukan langsung dalam satu majelis. Juga dalam praktek ijab kabul dimana kedua pihak tidak berada di ruangan yang sama tetapi menggunakan pengeras suara. Sedangkan konsekuensinya adalah saksi tidak dapat melihat salah satu pihak yang melakukan ijab kabul.
Kemudian dalam hal saksi yang tidak bisa melihat salah satu pihak dapat diqiyaskan kepada masalah orang buta sebagai saksi yaitu menurut Ibnu Qudamah, seorang ahli fiqh dari kalangan Hanbali. Dalam kitabnya Al-Mughni beliau menegaskan kabsahan kesaksian dua orang buta untuk akad nikah, dengan alasan bahwa yang akan disaksikan adalah suara. Jika saksi tersebut dapat memastikan secara yakin bahwa suara itu benar-benar diucapkan oleh dua orang yang melakukan akad nikah. Pendapat ini juga diikuti oleh Said Sabiq dalam kitabnya Fiqh As-Sunnah.
Jika kita menggabungkan antara dua kasus ini maka pernikahan melalui telepon menjadi sah karena masalah bahwa dua orang saksi harus mampu melihat kedua orang yang mengucapkan ijab dan kabul menjadi tidak penting, akan tetapi kedua saksi harus dapat memastikan bahwa yang berbicara adalah benar-benar kedua pihak yang melakukan akad nikah dan tidak ada perselisihan dalam hal itu.
b. Pendapat kedua yang diutarakan madzhab Syafi’iyah menegaskan praktik akad nikah melalui telepon tidak sah. Berikut pokok-pokok perbandingannya:
• Kesaksian didasarkan atas penglihatan dan pendengaran. Untuk memenuhi persyaratan bersatu majelis dalam artian bersatu secara fisik, karena itu dengan persyaratan al mu’ayanah (dapat dilihat secara fisik) dapat dipenuhi.
• Dua orang saksi menyaksikan calon suami saja, dan dua orang menyaksikan wali perempuan saja. Meskipun hal itu bisa menjamin bahwa kedua belah pihak berakad, namun yang seperti itu tidak pernah dicontohkan Rasulullah. Sedangkan akad nikah mengandung arti ta’abbud yaitu dalam pelaksanaannya harus terikat dengan contoh dari Rasulullah.
• Yang dicontohkan Rasulullah adalah selain calon suami hadir bersama wali perempuan pada satu tempat untuk melakukan akad nikah yaitu dengan cara mewakilkan (tawkil) kepada seseorang yang dipercaya jika calon suami tidak dapat hadir. Seperti dalam hadits ”HR Abu Dawud dari Uqbah bin Amir Rasulullah berkata pada seorang lelaki, ’Apakah engkau rela untuk saya nikahkan dengan perempuan Fulan?’ Lelaki itu menawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah berkata pula kepada perempuan yang dimaksudkan ’Apakah kamu bersedia untuk saya nikahkan dengan lelaki itu?’ Perempuan itu menjawab ’Bersedia’. Kemudian Rasulullah menikahkan keduanya. Disini Rasulullah bertindak sebagai wakil si lelaki dan juga sebagai wali si perempuan. Maka dapat dijadikan dalil bagi ketidakhadiran secara fisik calon suami tetapi dialternatifkan dengan cara mewakilkan.
• Apabila bukan hanya suara calon suami saja yang dapat didengar tetapi juga gambar yang sedang berbicara tetap dianggap tidak sah oleh madzhab Syafi’i karena yang dilihat hanyalah gambar dan fisiknya tetap tidak berada disana.
• Pemahaman Syafi’iyah dalam hal ini terasa sangat kaku, sehingga masalah pelaksanaan akad nikah tidak bisa berkembang. Tetapi dalam keketatan itu terdapat sikap kehati-hatian untuk menghindari akad nikah yang dilakukan dengan penuh khidmat itu, jangan sampai membuka peluang kepada praktik-praktik yang tidak pasti.
Kedua pandangan diatas dapat dijadikan alternatif untuk memilih salah satu diantaranya selama belum ada ketegasan Undang-undang dari pemerintah. Sedangkan jika pemerintah sudah menegaskan maka para ulama sepakat untuk mengikuti ketetapan dari peradilan.

2. Seputar Masalah Pencangkokan Organ Tubuh

a. Mendermakan organ tubuhnya ketika seorang muslim masih hidup.
Tubuh merupakan titipan dari Allah akan tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan menggunakannnya, sebagaimana harta. Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukan.
Akan tetapi kebolehan ini bersifat bersyarat (muqayyad) yaitu tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar, kemelaratan, dan kesengsaraan bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya. Oleh sebab itu tidak boleh mendonorkan organ tubuh yang cuma satu-satunya dalam tubuhnya misalnya hati atau jantung karena orang tersebut tidak mungkin hidup tanpa organ tersebut. Maka kewajiban menghilangkan dharar tidak boleh sampai menimbulkan dharar pada orang yang mendermakan. Juga termasuk tidak boleh mendonorkan organ tubuh bagian luar seperti mata, tangan, dan kaki. Sedangkan mendonorkan salah satu ginjal apabila kedua ginjal berfungsi baik diperkenankan syara’ bahkan terpuji dan berpahala bagi yang melakukan tetapi tetap harus dilakukan dengan seizin orang yang berhak kepada orang yang ingin mendonorkan seperti suami seorang istri yang ingin mendonorkan karena berpengaruh juga dapat menimbulkan dharar bagi sang suami. Dan mendonorkan ini hanya dapat dilakukan orang dewasa dan berakal sebab anak-anak dan orang gila tidak mengerti persis apa kepentingan dirinya.

b. Mewasiatkan organ tubuh setelah meninggal dunia.
Apabila seorang muslim diperbolehkan mendonorkan organ tubuhnya pada waktu hidup, maka tidaklah terlarang untuk mewasiatkannya setelah dia meninggal nanti. Sebab yang demikian itu akan menimbulkan manfaat yang utuh kepada orang lain tanpa menimbulkan mudarat sedikit pun kepada dirinya. Jika ia melakukannya dengan mendekatkan diri dan mencari keridhaan Allah, maka tidak ada satu pun dalil syara’ yang mengharamkannya.
Sedangkan alasan orang-orang yang tidak memperbolehkan yaitu akan menghilangkan kehormatan mayit berdasarkan hadits ”Mematahkan tulang mayit itu seperti mematahkan tulang orang yang hidup” tidak dapat diterapkan dalam hal ini karena hadits itu dimaksudkan untuk melarang memotong-motong tubuh mayit, merusaknya, dan mengabaikannya sebagaimana yang dilakukan kaum jahiliyah. Mengambil sebagian organ tubuh mayit dilakukan seperti mengoperasi orang yang hidup dengan penuh perhatian dan penghormatan, tanpa merusak tubuhnya dan mematahkan tulangnya.

c. Menjual organ tubuh.
Pendapat yang memperbolehkan donor organ tubuh itu tidak berarti memperbolehkan memperjualbelikannya. Karena jual beli itu (sebagaimana di ta’rifkan fuqaha) adalah tukar menukar harta secara suka rela, sedangkan tubuh manusia itu bukan harta yang dapat dipertukarkan dan di tawar-menawarkan sehingga organ tubuh manusia menjadi objek perdagangan dan jual beli. Suatu peristiwa yang sangat disesalkan terjadi di beberapa daerah miskin, disana terdapat pasar yang mirip dengan pasar budak. Disana diperjualbelikan organ tubuh orang-orang miskin dan orang-orang lemah untuk dikonsumsi orang-orang kaya yang tidak lepas dari campur tangan ”mafia baru” yang bersaing dengan mafia dalam masalah minum-minuman keras, ganja, morfin dan sebagainya.
Tetapi, apabila orang yang memanfaatkan organ itu membeli sejumlah uang kepada donor -tanpa persyaratan dan tidak ditentukan sebelumnya, semata-mata hibah,hadiah, dan pertolongan- maka yang demikian itu hukumnya jaiz (boleh), bahkan terpuji dan termasuk akhlak yang mulia. Hal ini sama dengan pemberian orang yang berhutang ketika mengembalikan pinjaman dengan memberikan tambahan yang tidak dipersyaratkan sebelumnya. Hal ini diperkenankan syara’ dan terpuji, bahkan Rasulullah SAW pernah melakukannya ketika beliau mengembalikan pinjaman (hutang) dengan sesuatu yang lebih baik daripada yang dipinjamnya seraya bersabda :
”Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kamu ialah yang lebih baik pembayaran hutangnya.” (HR Ahmad, Bukhari, Nasa’i, dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah).

d. Mencangkokkan organ tubuh binatang yang najis ke tubuh orang muslim.
Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa ”segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus diukur menurut kadar kedaruratannya”, dan pemanfaatannya harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim terpercaya.
Mungkin juga ada yang mengatakan bahwa yang diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana disebutkan Al-Qur’an dalam empat ayat, sedangkan mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai (yaitu kulitnya) padahal bangkai itu diharamkan bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur’an. Maka apabila syara’ memperkenankan memanfaatkan bangkai asal tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.
Diriwayatkan dalam kitab shahih bahwa Rasulullah saw. pernah melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata ”Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak Maymunah” lalu beliau bersabda ”Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu samak, lantas kamu manfaatkan?” Mereka menjawab, ”Sesungguhnya itu adalah bangkai” beliau bersabda ”Sesungguhnya yang diharamkan itu hanyalah memakannya.”
Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam tubuh orang muslim? Dalam hal ini yang dilarang syara’ ialah mengenakan benda najis di tubuh bagian luar. Adapun yang di dalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru merupakan tempat benda najis, seperti darah, kencing, tinja dan semua kotoran, dan manusia tetap melakukan shalat, membaca Al-Quran, tawaf di Baitul Haram, meskipun benda-benda najis itu ada di dalam tubuhnya dan tidak membatalkannya sedikitpun, sebab tidak ada hubungan antara hukum najis dengan apa yang ada di dalam tubuh.

3. Undian Berhadiah Dari Perusahaan Dagang (Produsen)

Kasus :
Seorang wakil dari perusahaan perdagangan menarik sejumlah angka sesuai dengan jumlah pelanggan dan dikirimkan kepada mereka (misalnya 100 orang pelanggan) kemudian menarik beberapa nomor lain. Apabila nomor yang ditarik ini sesuai dengan nomor yang dikirimkan sebelumnya, maka orang yang mendapat nomor yang sama itulah yang beruntung.
Kemudian pihak perusahaan mengirimkan nomor-nomor tersebut kepada pelanggan bersangkutan untuk memberitahukan kepada mereka mengenai hadiah yang akan mereka peroleh atau sejumlah keuntungan yang akan mereka dapatkan.
Sedangkan pelanggan yang bersangkutan tidak ikut perlombaan, tidak mendatangi penarikan undian, juga tidak membayar apa-apa untuk undian tersebut, hanya saja seperti biasanya mereka membeli produk perusahaan tersebut.
Jawaban :
Hadiah yang dibagi-bagikan perusahaan dagang kepada para pelanggan atau pembelinya baik yang berupa uang maupun barang itu tidak termasuk ke dalam kategori judi (maisir). Sebab salah satu karakter judi ialah mengandung untung-rugi bagi salah satu dari dua belah pihak, seperti halnya yanasib yang terkenal di negara-negara Barat, sangat disesalkan praktik ini telah masuk ke dalam masyarakat kita. Hal ini karena hadiah yang diberikan oleh perusahaan itu sifatnya dari satu pihak (yakni pihak perusahaan) tanpa merugikan pihak kedua, yakni para pelanggan atau pembeli.
Adapun cara yang dipergunakan sebagian perusahaan dengan
menggunakan undian, maka hal itu tidak terlarang oleh syara’ menurut pandangan jumhur ulama, dan hal ini juga ditunjuki oleh beberapa hadits sahih yang memperbolehkan menetapkan kemenangan dengan jalan undian.
Namun, dikecualikan dari hal itu ialah orang yang membeli barang dari toko atau perusahaan hanya dengan motivasi ingin mendapatkan hadiah, sedang ia tidak punya tujuan (keperluan) untuk membelinya. Maka hal ini mengarah kepada judi yang terlarang atau mendekatinya.
Meskipun cara menarik pelanggan dengan menggunakan cara Barat ini kurang dianjurkan untuk diikuti pengusaha-pengusaha Islam, misalnya dengan membagi-bagikan hadiah yang hakikatnya masih samar bagi kebanyakan pedagang pada zaman sekarang. Sebab hadiah-hadiah yang dibagikan kepada sebagian pembeli itu pada akhirnya menimbulkan kenaikan harga yang akhirnya harus ditanggung oleh semua pembeli. Dengan demikian, seolah-olah pembeli yang beruntung mendapatkan hadiah itu (pada undian terakhir) memungut harganya dari seluruh pembeli. Hal inilah yang menimbulkan kesamaran (syubhat) menurut pandangan sebagian ulama, walaupun sebagian pedagang (produsen) beralasan bahwa hadiah yang diberikan itu diambilkan dari laba atau keuntungannya, hal ini memang masih perlu diteliti.
Bagaimanapun, menerima hadiah tersebut asalkan tujuan pokoknya adalah membeli tidak dipandang terlarang. Wallahu a’lam.

4. Penggunaan Ayat Al-Quran dan Suara Azan Sebagai Nada Dering HP

Teknologi tidak pernah berhenti berkembang. Namun sejumlah temuan-temuan baru teknologi ternyata memunculkan perdebatan pro-kontra antara para ulama. Ring tone atau nada dering yang begitu banyak variasinya dalam telepon genggam, awalnya tidak pernah menjadi perhatian apalagi mengundang perdebatan ulama.
Bunyi ring tone, yang mulanya hanya merupakan nada panggil biasa, kemudian berkembang menjadi lagu-lagu, dan berkembang lagi pada pembacaan ayat suci Al-Quran. Perkembangan nada panggil berupa ayat suci Al-Quran lah yang kemudian memicu perbedaan pendapat para ulama. Boleh atau tidak, haram atau halal bila nada dering itu berisi bunyi ayat-ayat Al-Quran?
Tidak sedikit umat Islam yang menggunakan nada panggil telepon seluler miliknya berupa pembacaan ayat suci Al-Quran atau suara azan, atau do'a. Dr. Ahmad Thoha Rayan, memandang tidak boleh menggunakan nada panggil yang berisi suara bacaan Al-Quranul Karim. Ia beralasan, karena Al-Quran yang dibacakan itu seharusnya diperhatikan bacaannya dan direnungkan isinya (ditadabburi), bahkan juga harus disertai adab dan etika tertentu untuk membacanya seperti dengan "ta'awudz" dan "basmalah". Semua alasan itu, tidak mungkin dilakukan oleh para pemilik telepon genggam.
Sementara tentang nada panggil bersuara azan, Dr. Rayan juga mengatakan tidak membolehkannya. Karena ini mungkin saja memunculkan kekacauan, keraguan, salah tanggap, bagi orang yang mendengarnya ketika bukan di waktu awal shalat. Ia juga menegaskan alasannya bukan hanya itu, tapi karena azan adalah syiar suci yang mempunyai waktu dan tempat sendiri untuk dilantunkan. Dan itu semua wajib dihormati.
Di Mesir dan Saudi, fatwa sejumlah ulama juga tidak jauh berbeda. Dr. Ali Jam'ah, Mufti Mesir telah memfatwakan haramnya menggunakan bunyi pembacaan ayat suci Al-Quran dalam telepon genggam yang dijadikan nada panggil. Pengharaman yang disampaikan Dr. Ali Jam'ah, adalah pengharaman yang mutlak sifatnya karena hal tersebut dianggap menodai kesucian Al-Quranul Karim yang diturunkan Allah swt untuk peringatan, dan membacanya adalah ibadah. Bukan digunakan untuk hal-hal yang keluar dari lingkup tujuan diturunkannya.
Sementara Syaikh Mahmud Asyur, tokoh Al-Azhar Mesir dan anggota Majma' Buhuts Islam (forum Kajian Masalah Islam), juga mengatakan hal yang sama. Katanya, "Al-Quran diturunkan dari langit bukan untuk digunakan sebagai urusan yang justeru menyepelekan Al-Quran seperti menjadikannya sebagai nada panggil." Sejumlah ulama lainnya juga menyatakan hal yang hampir sama. Haram. Termasuk Syaikh Shalih Syamrani, Dosen Ma'had Ilmi di Jeddah yang berada di bawah Universitas Imam Muhammad Ibnu Saud. Ia melarang penggunaan Al-Quran dan azan sebagai nada panggil di telepon.
Hanya saja, Dr. Salwa Basusi, Dosen Fiqih Fakultas Studi Islam di Al-Azhar Mesir, lebih lunak sedikit. Ia tidak mengharamkan dan tidak pula membolehkan. Ia hanya menyebutkan, menggunakan suara pembacaan Al-Quran dan azan dalam nada panggil adalah makruh. Sehingga tidak menggunakannya dianggap lebih utama dan lebih baik. Selain para ulama tersebut, memang ada yang tidak terlalu menganggap hal ini terlarang. Mereka lebih mengkaitkan soal adab dan etika. Jangan sampai, bunyi ayat Al-Quran yang dibaca terpotong di tengah ayat, sehingga memunculkan arti yang kacau. Atau, jangan sampai kalimat "Allahu Akbar" terpotong menjadi "Allahu Ak.. " karena si pemilik menjawab teleponnya. Bahkan yang lebih berbahaya, jika kalimat "Laa ilaaha illallah" terpotong menjadi "Laa ilaah.. " yang berarti tidak ada tuhan, sehingga kalimat itu menjadi syirik.

Daftar Pustaka

Arifin, Bustanul, Prof Dr. H. SH., dan Prof Dr H.M. Atho Mudzar,
Permasalahan Fiqih Kontemporer dalam Keluarga Islam. Jakarta :
Gema Insani Press. 2002.
Voll, John Obert, Islam : Continuity and Change in the Modern World, Essex-
England : Westview Press Inc., 1982.
Qardhawi, Yusuf, Dr., Fatwa-fatwa Kontemporer : Jilid 2. Jakarta : Gema
Insani Press. 1995.
Eramuslim, Jumat, 5 Jan 07 11:30 WIB (www.eramuslim.com)

Disampaikan pada matakuliah Pengantar Ilmu Fiqh STEI dan STAI Tiara Jakarta, dibawakan oleh H. Chairuman Kamal, Lc. pada Semester Ganjil 2006/2007

2 comments:

Unknown said...

terima kasih untuk author yang udah ngepost masalah fiqih kontemporer,, sangat bermanfaat untuk saya,, Terima Kasih

eLHa said...

Sangat bermanfaat