Saturday, March 22, 2014

PASCA: Ushul Fiqh



Terjemah bebas usul fiqh
Bab al adillah al muktalifah fiih sampe sad adzzaroi

Dalil dalil yang masih dipertentangkan (hujjiyyatuha) dalam islam
Diantara dalil dalil yang (masih) diperdebatkan keabsahanya oleh para ulama yaitu:
1.       Qaul shohaby
2.       Al maslahah al mursalah
3.       Al istishab
4.       Sad adzaroi’


A.        Perkataan sahabat
Definisi sahabat: orang  yang menjumpai/menemani nabi (walaupun sebentar) dan dia berada dalam kondisi islam, dimana waktu yang sebentar itu memungkinkannya unutk mengetahui dengan pasti sifat sifat nabi, dan dia meninggal dalam keadaan islam.
Maksud dari perkataan sahabat: pendapat para sahabat yang diucapkanya atau yang di kerjakanya yang tidak diriwayatkan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam. 

Pendapat  sahabat tersebut terbagi menjadi empat bagian:
1.       Pendapat  para sahabat yang bukan  merupakan rana pemikiran /bukan bersumber dari akal pikiran. Seperti: hal hal/urusan  ghoib, macam macam ibadah, dan taqdir. Pendapat  sahabat yang seperti ini, menurut imam mujtahid yang empat(syafi’i, maliki, hanbali, dan ahmad) bisa dijadikan dalil atau hujjah. Seperti perkataan umar r.a. tentang
 (فيمن فقع عين الدابة بربع قيمتها)
2.       Pendapat sahabat yang bertantangan dengan sahabat yang lainya, perkataan sahabat pada jenis ini tidak bisa dijadikan hujjah, tetapi para mujtahid (tidak melewatkan) perkataan para sahabat tersebut dalam ijtihadnya. Seperti perbedaan mereka (sahabat) dalam pembagian harta waris yang menyertakan saudara dan kake. Sebagai berikut:
_tambahan keterangan masalah waris kake dan saudara_
a.       pendapat madzhab hanafi, yang bersumber dari sebagian sahabat yang diwakili oleh  Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar mengatakan bahwa para saudara-baik saudara kandung, saudara seayah ataupun seibu_ terhalangi/mahjub hak warisnya dengan adanya kake. Mereka beralasan bahwa kake  akan mengganti kedudukan ayah bila ayah telah tiada, karena kake merupakan bapak tertinggi. Hal ini sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqoha, yakni, bila ternyata ashabah(orang orang yang berhak menerima warits) banyak arahnya, maka yang paling didahulukan adalah arah anak, (keturunan), kemudian arah ayah, kemudian saudara, dan barulah arah paman.
b.       Pendapat kedua yang dianut oleh Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hamdal yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in, yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli Madinah ridhwanullah 'alaihim. Mereka mengatakan, para saudara kandung laki laki/perempuan, dan saudara laki laki seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah. Alasan yang dikemukakan oleh golongan kedua ini adalah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima. Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian di antara mereka ada yang tidak diberi.
3.       Perkataan sahabat yang tidak menyelisihi sahabat lainya, dan pendapat sahabat tersebut masyhur(familar) diantara para sahabat yang lain. Atau biasa di sebut (ijma sukuti). Dan perkataan sahabat yang seperti ini menurut pendapat paling kuat dapat dijadikan hujjah. Seperti ketika sahabat Umar ra.  Mencukupkan 3 talak dengan satu kalimat (menjatuhkan tiga talak dengan satu ucapan)
4.       Perkataan sahabat yang ada kaitanya dengan nalar, dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi perkataan sahabat tersebut. Dan perkataan tersebut tidak menyebar luas. perkataan yang seperti ini masih diperdebatkan, tapi yang lebih shohih, perkataan tersebut bisa dijadikan hujjah. Karena tidak menutup kemungkinan sahabat tersebut mengambil manfaat (sumbernya) dari nabi saw.  Karena ijtihadnya sahabat, lebih didahulukan dalam agama dari pada ijtihadnya manusia selain mereka. Seperti perkataan sahabat Umar tentang qodho haji yang fasid, bahwa pelaksanaan qodho haji yang fasid harus dilaksanakan terpisah antara suami dan istri

B.             Maslahah al mursalah
Definisi: kemaslahatan yang bersifat umum yang sesuai dengan maqosid syariah, dimana syariat tidak menunjukan hukum atas kemaslahatan tersebut, juga tidak terdapat nash yang menunjukan pengakuanya atau penolakanya.
Pembagian maslahah mursalah:
1.         Al maslahah al mu’tabaroah: kemaslahatan umum yang dipelihara dan dijaga oleh syariat dalam sebuah hukum yang jelas, yang kemudian dijadikan acuan untuk menggali hukum yang lainya dengna  melihat persamaan illat diantara keduanya. (maslahaha yang seperti ini menjadi  illat dalam qiyas). seperti pengharaman terhadap minuman yang memabukan (الخمر) dengan illat (alasan) karena memabukan, ini menunjukan bahwa pengharaman khomer tsb bertujuan untuk kemaslahatan yaitu untuk menjaga akal manusia.
2.         Al masalah al mulghoh : maslahat yang tidak diakui dan bertentangan dengan nash seperti menghalalkan ibadah haji disepanjang tahun seperti umroh, karena kalau dilaksanakan satu waktu dan secara bersamaan membuat jamaah menjadi membeludak dan bisa  menyebabkan tidak khidmat dalam beribadah, maslahah yang seperti ini tidak diakui dan bertentangan dengan nash
3.         Al maslahah al mursalah : yaitu seperti apa yang telah dijelaskan definisinya dan contohnya diatas. Dan Dalil dalil yang paling kuat tentang kehujjahan marsalah al mursalah dalam mengambil istinbatul hukm adalah apa yang telah dilakukan oleh para sahabat dalam permaslahan permasalahan yang dijumpai mereka pada zamanya. Seperti pengumpulan alur’an, penulisanya dalam sebuah mushaf dst.
Syarat syarat nya maslahah
1.       Maslahah tersebut tidak bertentangan dengan nash alqur’an dan hadits maupun ijma
2.       Maslahah tersebut harus reall, fakta, dan asli .. bukan kw kw’an ... :P
3.       Maslahah tersebut harus umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk pribadi dan khusus untuk golongan/hizb tertentu.
4.       Maslahah tersebut harus dalam ranah ijtihad, bukan dalam perkara perkara yang sudah jelas dan qot’i seperti aqidah, ibadah dan taqdir.
5.       Maslahah dan mafsadahnya tidak boleh bertentangan dengan maslahah atau mafsadah yang sejenis dengannya atau yang lebih besar darinya.

C.      Istishab
Definisi: istishab adalah menetapkan kembali hukum yang sudah ada pada zaman dahulu sampai datangnya dalil baru yang membatalkan hukum tersebut. Seperti sebuah qoidah usul fiqh yang mengatakan
ما ثبت بزمان يحكم ببقائه ما لم يوجد دليل على خلافه".
Apa yang sudah tetap pada zaman dahulul dari hukum hukum dan syariat, akan     terus dipergunakan sebelum datang dalil baru yang menyelisihi atau mengingkarinya.
Macam macam istishab
1.    Istishabul barooah al ashliyyah (hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas dari beban dan tanggungan apapun _hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu._ )
Sebagai contoh,  kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-, karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu. Dan Istishab barooatul ashliyyah menurut jumhur ulama merupakan hujjah dalam islam.
2.    Isthishab dalil dalla daliliu ala tsubutih: hukum asal sebuah hukum yang telah ditetapkan syar’i adalah tetap (berlaku) sampaikapanpun, dan belum ada dalil yang menyelisihinya atau merubahnya. 
Contoh, hukum berlanjutnya ikatan pernikahan dianatara dua pasangan yang sudah menikah tanpa membutuhkan dalil tentang keberlangsunganya ikatan pernikahan tersebut. Dan istishab yang seperti ini menurut jumhur ulama adalah hujjah.
3.    Istishabud dalil ma’a ihtimalil muarodhoh: menerima dalil dari hukum asal sebuah perkara dengan tidak menutup kemingkinan adanya dalail yang menyelisihinya. Seperti menerima dalil dalil yang ada dalam alqur’an sampai datang ayat ayat lainya yang menghilangkan hukum asala ayat al qur’an tersebut.  Atau ayat ayat yang umum sampai datangnya ayat yang mentakhsis (membatasi) keumuman ayat tersebut. Istishab yang seperti ini juga merupakan hujah menurut jumhur ulama.
4.    Istishabul hukmi tsabiti bil ijmai fi mahali anniza’i : menetapkan/menerima hukum asal yang sudah tetap dengan ijma pada saat saat tertentu. (dhoruroh)
Seperti orang yang tidak menemukan air untuk ber wudhlu, dia diperbolehkan untuk bertayamum menurut kesepakatan ulama, dan kemudian ketika dia sedang melaksanakan sholat dia melihat ada air, maka dia menerima dan menetapkan hukum ijma yang telah digunakanya, yaitu bertayamum. dan kemudian dia menyelesaikan sholatnya. Tetapi istishab jenis ini tidak dijadikan hujjah oleh jumhur ulama, karena diperbolehkanya tayamum dalam sholat menurut ijma ulama adalah karena ketiadaan air, maka apabila dia menemukan air ketika dia sedang sholat, maka ijma itu menjadi batal dengan sendirinya.
D.      Saddu zaro’i
Definisi: memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut
Contoh kasus dan dalilnya.:
1.       Kita tidak boleh mencaci sesembahan sesembahan orang kafir, karan walaupaun kita tidak setuju dengan perbuatan mereka, dan caciankita mungkin akan menyadarkanya, tapi itu bisa menyebabkan mereka mencaci allah (sebagai balasan atas cacian kita kepada tuhan tuhan mereka). Maka hukum mencaci sesembahan orang kafir adalah tidak boleh, meskipun terdapan maslahat didalamnya. dan harus dicegah untuk menghindarkan dari kerusakan yang lebih besar yaitu mereka mencaci maki allah.
Seperti firman allah:
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم
Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)
2.       Seorang hakim tidak boleh menerima hadiah, sekalipun hadiah itu hukumnya boleh, dan itu sebagai bentuk kasih sayang kita kepada yang lainya. Tapi khusu untuk seorang hakim, dia tidak diperbolehkan unutk menerima hadiah, agar menjauhkan sihakim dari menerima sogok. Sepertin hadits nabi, beliau mengatakan: hadiah yang diberikan kepada para pekerja (dari pihak ketiga sebagai imbalan atas kerjaanya) adalah berlebihi lebihan.
Maka tidak bolehnya seorang hakim menerima hadiah adalah bentuk pencegahan dari kemungkinan terjadinya madarat dan mafsadat yang besar. Sekalipun pada dasarnya hadiah itu boleh.




 Bentuk bentuk dzaro’i (jamak dari dzari’ah)
1.    Washilah atau perantara kepada terjadinya keruksakan secara nyata. Seperti meminum khmr bisa menyebabkan mabuk. Hukum washilah ini dan yang semisalnya adalah haram.
2.    Washilah atau perantara kepada terjadinya kemubahan, akan tetapi maslahtnya lebih besar dari pada madhorotnya. Seperti berbicara kepada lawan bicara. (melihat muka)
3.    Washilah atau perantara kepada terjadinya kemubahan. Yang tidak dimaksudkan untuk kemafsadatan. Akanatetapi, pada kebnyakan kasusnya itu menyebabkan terjadinya kemafsadatan, dan kemafsadatanya jauh lebih besar. Seperti mencaci/menghina/mengolok ngolok sesembahan orang kafir yang bisa menyebabkan mereka mengokok ngolok allah. Hukum washilah yang seperti ini menurut pendapat yang lebih kuat adalah tidak boleh/haram.
4.    Washilah atau perantara kepada terjadinya kemubahan, yang dimaksudkan untuk melakukan mafsadah. Seperti (makelar) nikah. .. :p yaitu orang yang menikah dengan seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suami pertamanya, dengan tujuan agar suami pertamanya bisa kembali nikah dengan mantan istrinya. Hukum istishab yang seperti ini haram menurut pendapat yang lebih kuat.
   






No comments: