Terjemah
bebas usul fiqh
Bab al
adillah al muktalifah fiih sampe sad adzzaroi
Dalil
dalil yang masih dipertentangkan (hujjiyyatuha) dalam islam
Diantara dalil dalil yang (masih)
diperdebatkan keabsahanya oleh para ulama yaitu:
1. Qaul shohaby
2. Al maslahah al mursalah
3. Al istishab
4. Sad adzaroi’
A.
Perkataan sahabat
Definisi sahabat:
orang yang menjumpai/menemani nabi
(walaupun sebentar) dan dia berada dalam kondisi islam, dimana waktu yang
sebentar itu memungkinkannya unutk mengetahui dengan pasti sifat sifat nabi,
dan dia meninggal dalam keadaan islam.
Maksud dari perkataan
sahabat: pendapat para sahabat yang diucapkanya atau yang di kerjakanya yang
tidak diriwayatkan oleh nabi shallallahu alaihi wasallam.
Pendapat sahabat tersebut terbagi menjadi empat
bagian:
1. Pendapat para sahabat yang
bukan merupakan rana pemikiran /bukan
bersumber dari akal pikiran. Seperti: hal hal/urusan ghoib, macam macam ibadah, dan taqdir.
Pendapat sahabat yang seperti ini,
menurut imam mujtahid yang empat(syafi’i, maliki, hanbali, dan ahmad) bisa
dijadikan dalil atau hujjah. Seperti perkataan umar r.a. tentang
(فيمن فقع
عين الدابة بربع قيمتها)
2.
Pendapat sahabat yang bertantangan
dengan sahabat yang lainya, perkataan sahabat pada jenis ini tidak bisa
dijadikan hujjah, tetapi para mujtahid (tidak melewatkan) perkataan para
sahabat tersebut dalam ijtihadnya. Seperti perbedaan mereka (sahabat) dalam
pembagian harta waris yang menyertakan saudara dan kake. Sebagai berikut:
_tambahan keterangan masalah waris kake dan saudara_
a.
pendapat madzhab hanafi, yang
bersumber dari sebagian sahabat yang diwakili oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Ibnu Abbas, dan Ibnu
Umar mengatakan bahwa para saudara-baik saudara kandung, saudara seayah ataupun
seibu_ terhalangi/mahjub hak warisnya dengan adanya kake. Mereka beralasan
bahwa kake akan mengganti kedudukan ayah
bila ayah telah tiada, karena kake merupakan bapak tertinggi. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam kaidah yang masyhur di kalangan fuqoha, yakni,
bila ternyata ashabah(orang orang yang berhak menerima warits) banyak arahnya,
maka yang paling didahulukan adalah arah anak, (keturunan), kemudian arah ayah,
kemudian saudara, dan barulah arah paman.
b.
Pendapat kedua yang dianut oleh Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hamdal yang dianut oleh jumhur sahabat dan tabi'in,
yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, asy-Syi'bi, dan Ahli
Madinah ridhwanullah 'alaihim. Mereka mengatakan, para saudara kandung laki
laki/perempuan, dan saudara laki laki seayah berhak mendapat hak waris ketika
bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara
kandung dan yang seayah, sama seperti halnya ayah. Alasan yang dikemukakan oleh
golongan kedua ini adalah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan
pewaris sama. Kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga
saudara. Kakek merupakan pokok dari ayah, sedangkan saudara adalah cabang dari
ayah, karena itu tidaklah layak untuk mengutamakan yang satu dari yang lain
karena mereka sama derajatnya. Bila kita mengutamakan yang satu dan mencegah
yang lain berarti telah melakukan kezaliman tanpa alasan yang dapat diterima.
Hal ini sama dengan memberikan hak waris kepada para saudara kandung kemudian
di antara mereka ada yang tidak diberi.
3.
Perkataan sahabat yang tidak
menyelisihi sahabat lainya, dan pendapat sahabat tersebut masyhur(familar)
diantara para sahabat yang lain. Atau biasa di sebut (ijma sukuti). Dan
perkataan sahabat yang seperti ini menurut pendapat paling kuat dapat dijadikan
hujjah. Seperti ketika sahabat Umar ra.
Mencukupkan 3 talak dengan satu kalimat (menjatuhkan tiga talak dengan
satu ucapan)
4.
Perkataan sahabat yang ada
kaitanya dengan nalar, dan tidak diketahui adanya sahabat lain yang menyelisihi
perkataan sahabat tersebut. Dan perkataan tersebut tidak menyebar luas.
perkataan yang seperti ini masih diperdebatkan, tapi yang lebih shohih,
perkataan tersebut bisa dijadikan hujjah. Karena tidak menutup kemungkinan
sahabat tersebut mengambil manfaat (sumbernya) dari nabi saw. Karena ijtihadnya sahabat, lebih didahulukan
dalam agama dari pada ijtihadnya manusia selain mereka. Seperti perkataan
sahabat Umar tentang qodho haji yang fasid, bahwa pelaksanaan qodho haji yang
fasid harus dilaksanakan terpisah antara suami dan istri
B.
Maslahah al mursalah
Definisi: kemaslahatan yang bersifat
umum yang sesuai dengan maqosid syariah, dimana syariat tidak menunjukan hukum
atas kemaslahatan tersebut, juga tidak terdapat nash yang menunjukan
pengakuanya atau penolakanya.
Pembagian
maslahah mursalah:
1.
Al maslahah al mu’tabaroah:
kemaslahatan umum yang dipelihara dan dijaga oleh syariat dalam sebuah hukum
yang jelas, yang kemudian dijadikan acuan untuk menggali hukum yang lainya
dengna melihat persamaan illat diantara
keduanya. (maslahaha yang seperti ini menjadi
illat dalam qiyas). seperti pengharaman terhadap minuman yang memabukan
(الخمر)
dengan illat (alasan) karena memabukan, ini menunjukan
bahwa pengharaman khomer tsb bertujuan untuk kemaslahatan yaitu untuk menjaga
akal manusia.
2.
Al masalah al mulghoh : maslahat
yang tidak diakui dan bertentangan dengan nash seperti menghalalkan ibadah haji
disepanjang tahun seperti umroh, karena kalau dilaksanakan satu waktu dan
secara bersamaan membuat jamaah menjadi membeludak dan bisa menyebabkan tidak khidmat dalam beribadah,
maslahah yang seperti ini tidak diakui dan bertentangan dengan nash
3.
Al maslahah al mursalah : yaitu
seperti apa yang telah dijelaskan definisinya dan contohnya diatas. Dan Dalil
dalil yang paling kuat tentang kehujjahan marsalah al mursalah dalam mengambil
istinbatul hukm adalah apa yang telah dilakukan oleh para sahabat dalam
permaslahan permasalahan yang dijumpai mereka pada zamanya. Seperti pengumpulan
alur’an, penulisanya dalam sebuah mushaf dst.
Syarat syarat nya maslahah
1. Maslahah tersebut tidak bertentangan dengan nash alqur’an dan hadits
maupun ijma
2.
Maslahah tersebut harus reall,
fakta, dan asli .. bukan kw kw’an ... :P
3.
Maslahah tersebut harus umum dan
menyeluruh, tidak khusus untuk pribadi dan khusus untuk golongan/hizb tertentu.
4.
Maslahah tersebut harus dalam
ranah ijtihad, bukan dalam perkara perkara yang sudah jelas dan qot’i seperti
aqidah, ibadah dan taqdir.
5.
Maslahah dan mafsadahnya tidak
boleh bertentangan dengan maslahah atau mafsadah yang sejenis dengannya atau
yang lebih besar darinya.
C.
Istishab
Definisi: istishab adalah menetapkan kembali hukum yang sudah ada pada
zaman dahulu sampai datangnya dalil baru yang membatalkan hukum tersebut.
Seperti sebuah qoidah usul fiqh yang mengatakan
“ما ثبت بزمان يحكم ببقائه ما لم يوجد دليل على خلافه".”
Apa yang sudah tetap
pada zaman dahulul dari hukum hukum dan syariat, akan terus dipergunakan sebelum datang dalil
baru yang menyelisihi atau mengingkarinya.
Macam macam istishab
1. Istishabul barooah al ashliyyah (hukum asalnya seseorang itu terlepas
dan bebas dari beban dan tanggungan apapun _hingga datangnya dalil atau bukti
yang membebankan ia untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu._ )
Sebagai contoh, kita tidak diwajibkan untuk melakukan shalat
fardhu yang keenam dalam sehari semalam –setelah menunaikan shalat lima waktu-,
karena tidak adanya dalil yang membebankan hal itu. Dan Istishab barooatul
ashliyyah menurut jumhur ulama merupakan hujjah dalam islam.
2.
Isthishab dalil dalla daliliu ala
tsubutih: hukum asal sebuah hukum yang telah ditetapkan syar’i adalah tetap
(berlaku) sampaikapanpun, dan belum ada dalil yang menyelisihinya atau
merubahnya.
Contoh, hukum
berlanjutnya ikatan pernikahan dianatara dua pasangan yang sudah menikah tanpa
membutuhkan dalil tentang keberlangsunganya ikatan pernikahan tersebut. Dan
istishab yang seperti ini menurut jumhur ulama adalah hujjah.
3. Istishabud dalil ma’a ihtimalil muarodhoh: menerima dalil dari hukum
asal sebuah perkara dengan tidak menutup kemingkinan adanya dalail yang
menyelisihinya. Seperti menerima dalil dalil yang ada dalam alqur’an sampai
datang ayat ayat lainya yang menghilangkan hukum asala ayat al qur’an tersebut. Atau ayat ayat yang umum sampai datangnya
ayat yang mentakhsis (membatasi) keumuman ayat tersebut. Istishab yang seperti
ini juga merupakan hujah menurut jumhur ulama.
4. Istishabul hukmi tsabiti bil ijmai fi mahali anniza’i :
menetapkan/menerima hukum asal yang sudah tetap dengan ijma pada saat saat
tertentu. (dhoruroh)
Seperti orang yang
tidak menemukan air untuk ber wudhlu, dia diperbolehkan untuk bertayamum
menurut kesepakatan ulama, dan kemudian ketika dia sedang melaksanakan sholat
dia melihat ada air, maka dia menerima dan menetapkan hukum ijma yang telah
digunakanya, yaitu bertayamum. dan kemudian dia menyelesaikan sholatnya. Tetapi
istishab jenis ini tidak dijadikan hujjah oleh jumhur ulama, karena
diperbolehkanya tayamum dalam sholat menurut ijma ulama adalah karena ketiadaan
air, maka apabila dia menemukan air ketika dia sedang sholat, maka ijma itu
menjadi batal dengan sendirinya.
D.
Saddu zaro’i
Definisi: memotong jalan kerusakan (mafsadah)
sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut
Contoh kasus dan dalilnya.:
1.
Kita
tidak boleh mencaci sesembahan sesembahan orang kafir, karan walaupaun kita
tidak setuju dengan perbuatan mereka, dan caciankita mungkin akan
menyadarkanya, tapi itu bisa menyebabkan mereka mencaci allah (sebagai balasan
atas cacian kita kepada tuhan tuhan mereka). Maka hukum mencaci sesembahan
orang kafir adalah tidak boleh, meskipun terdapan maslahat didalamnya. dan
harus dicegah untuk menghindarkan dari kerusakan yang lebih besar yaitu mereka
mencaci maki allah.
Seperti
firman allah:
ولا تسبوا الذين يدعون من دون الله فيسبوا الله عدوا بغير علم
Dan jangan kamu memaki sesembahan yang mereka
sembah selain Allah,karena mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan.(QS.Al-An’am:108)
2.
Seorang hakim tidak boleh
menerima hadiah, sekalipun hadiah itu hukumnya boleh, dan itu sebagai bentuk
kasih sayang kita kepada yang lainya. Tapi khusu untuk seorang hakim, dia tidak
diperbolehkan unutk menerima hadiah, agar menjauhkan sihakim dari menerima
sogok. Sepertin hadits nabi, beliau mengatakan: hadiah yang diberikan kepada
para pekerja (dari pihak ketiga sebagai imbalan atas kerjaanya) adalah
berlebihi lebihan.
Maka tidak bolehnya seorang hakim menerima
hadiah adalah bentuk pencegahan dari kemungkinan terjadinya madarat dan
mafsadat yang besar. Sekalipun pada dasarnya hadiah itu boleh.
Bentuk
bentuk dzaro’i (jamak dari dzari’ah)
1. Washilah
atau perantara kepada terjadinya keruksakan secara nyata. Seperti meminum khmr
bisa menyebabkan mabuk. Hukum washilah ini dan yang semisalnya adalah haram.
2. Washilah
atau perantara kepada terjadinya kemubahan, akan tetapi maslahtnya lebih besar
dari pada madhorotnya. Seperti berbicara kepada lawan bicara. (melihat muka)
3. Washilah
atau perantara kepada terjadinya kemubahan. Yang tidak dimaksudkan untuk
kemafsadatan. Akanatetapi, pada kebnyakan kasusnya itu menyebabkan terjadinya
kemafsadatan, dan kemafsadatanya jauh lebih besar. Seperti
mencaci/menghina/mengolok ngolok sesembahan orang kafir yang bisa menyebabkan
mereka mengokok ngolok allah. Hukum washilah yang seperti ini menurut pendapat
yang lebih kuat adalah tidak boleh/haram.
4. Washilah
atau perantara kepada terjadinya kemubahan, yang dimaksudkan untuk melakukan
mafsadah. Seperti (makelar) nikah. .. :p yaitu orang yang menikah dengan
seorang perempuan yang telah ditalak tiga oleh suami pertamanya, dengan tujuan
agar suami pertamanya bisa kembali nikah dengan mantan istrinya. Hukum istishab
yang seperti ini haram menurut pendapat yang lebih kuat.
No comments:
Post a Comment